Part. 5- Lovely
Jujur aja, aku nggak tahu mesti gimana saat ini. Apalagi melihat apa yang ada di hadapanku. Om Will dan Jed sama-sama melotot galak satu sama lain. Mereka berdua lagi marah.
"Gue kasih lu macarin Naura, nggak berarti lu bebas ngapain aja!" desis Om Will tajam.
"Naura bukan anak kecil yang perlu diurus sama lu, juga lu nggak perlu kepo soal urusan gue sama dia," balas Jed yang nggak kalah tajam.
"Tapi nggak cipokan di rumah kayak gini, Anjir!" sahut Om Will emosi.
"Terus dimana? Hotel?" balas Jed lagi.
Om Will makin nggak senang, dan kini melotot padaku. "Kamu yah! Jadi cewek nggak bisa jaga diri! Kenapa juga kamu mau diciumin sama Jed gitu aja?"
"A-Aku..."
"Udah deh, nggak usah sok nyolot! Semua gara-gara lu yang ngomong sembarangan! Lu yang nganter Lana pulang, tapi gue yang difitnah sama lu!" sela Jed sambil menarikku ke belakang tubuhnya agar terhindar dari pelototan Om Will.
Jadi gitu? Yang nganter pulang si Om, tapi Jed dighibahin. Aku mendadak kesal dan langsung bergeser untuk melotot galak pada Om Will.
"Om Will kok kampungan banget sih? Kenapa pake bohongin aku?" semburku kesal.
Om Will malah kasih senyuman miring yang nyebelin abis. "Sukurin! Gue cuma mau tahu udah segede apa sih lu, sampe niat pacaran sama temen om lu sendiri. Terbukti kan kalau lu masih cumi-cumi."
"Ya nggak gitu caranya! Aku sampe suudzon sama Jed tahu, gak?" balasku gemas.
"Itu namanya lu nggak punya kepercayaan sama orang yang lu sebut dengan pacar. Kalau nggak ada rasa percaya, buat apa pacaran? Jed itu ceweknya banyak loh! Bisa makan ati nanti lu sama dia," ucap Om Will yang semakin menjadi.
Aku merengut cemberut sambil melirik pada Jed yang sudah berdecak pelan.
"Aku tuh bete yah kalau kamu mulai mikir yang nggak-nggak," tegur Jed langsung.
"Emangnya bener kalau kamu banyak ceweknya?" tanyaku lirih, bersamaan dengan tawa geli dari Om Will.
Harusnya sih nggak heran kalau Jed banyak cewek. Orangnya ganteng banget kok. Tapi aku mendadak insecure karena masih jadi anak sekolah yang nggak punya apa-apa. Semua serba pas-pasan. Bentuk dada yang nggak seberapa, bokongnya juga nggak seksi, pinggang juga nggak berlekuk. Huwaaa, kenapa aku yang kayak jelata gini bisa dipilih sama Jed yang pangeran sekali?
"Will itu sengaja, Naura. Kamu udah jadi keponakannya, tetanggaan dari kecil, dan sering nginep di rumahnya. Masa kamu nggak tahu kelakuannya? Dia cuma nggak seneng kalau aku jalan sama kamu," ujar Jed menjelaskan.
"Kenapa gitu?" semburku sambil melotot pada Om Will.
"Karena Jed capek hati sama kelakuan lu yang kayak bocah!" jawab Will enteng, dan langsung mendapat sambitan bantal dari Jed yang sukses mengenai kepalanya.
Om Will tertawa keras, mengambil kunci rumahnya yang ditaruh di rak kaca, lalu berdadah ria tanpa dosa. "Udah yah, gue balik dulu. Lanjutin berantemnya. Gue tunggu sad ending-nya."
Aku ingin mengumpat, namun tertahan. Kini, Jed berbalik untuk menatapku selepas kepergian Om Will.
"Emangnya bener kalau kamu..."
"Bisa nggak pake nanyain hal kayak gitu gak sih? Aku bakalan capek kalau kamu nggak percaya sama aku," sela Jed ketus.
Aku nggak membalas, cuma diam aja. Mau gimana lagi? Sebagian otakku sudah termakan omongan Om Will tadi. Aku juga bingung harus bagaimana. Kalau kelakuanku kayak bocah bagi mereka, seharusnya mereka bimbing aku untuk jadi dewasa. Bukannya malah jadi bahan omongan saat aku lagi nggak ada.
Kok aku jadi capek banget yah pacaran sama orang kerja? Kayaknya aku yang memang cari masalah sendiri buat masa remajaku.
Sebuah usapan ringan mendarat di atas kepala, yang membuatku mendongak untuk menatap Jed yang kini sudah menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Intinya sih, Jed masih marah sama aku.
"Kamu sayang aku?" tanyanya pelan.
Aku mengangguk cepat. "Sayang banget."
"Aku juga," balas Jed.
Aku terharu mendengar balasannya.
"Karena kita sama-sama sayang, kita harus jaga hubungan ini, Naura. Yang artinya harus saling percaya dan terbuka. Tolong banget buat kamu kalau ngambek, jangan block nomor aku. It hurts me deeply," lanjut Jed yang membuatku ingin menangis lagi.
"Kamu mau marah, silakan. Aku juga nggak ganggu karena tahu kamu bakalan nggak mau ngomong sama aku. Tapi senggaknya, kasih kabar. Buktiin kalau kamu sayang dengan tetap kabarin aku, sengambek apapun kamu. Biar aku tahu kamu aman, kamu tenang, dan aku nggak kuatir."
Aku jadi menangis karena merasa bodoh atas diri sendiri. Aku yang kekanakan, justru mengecewakan Jed yang berusaha memahamiku yang labil. Kenapa sih jadi cewek itu harus ribet banget? Udah baperan, suka ribet, plin plan, makanya sering diomelin kayak gini.
Jed memelukku sambil menenangkan. Aku lupa satu hal tentang Jed. Selain ganteng, penyayang, dan tenang, Jed itu sabar banget. Aku sampai nggak enak hati buat nyusahin kayak gini, tapi ternyata, naluri kebucinanku terlalu kuat.
Semakin besar rasa cinta, maka rasa ingin memiliki semakin kuat, hingga berujung dengan keinginan untuk memonopoli. Hal itu yang membuat aku nggak percaya dengan apa yang disampaikan jika nggak melihat sendiri.
"Maafin aku, yah," rengekku sambil memeluk pinggang Jed.
Aku sedih banget. Kalau sedih, aku pasti menangis sesenggukan kayak gini. Kemeja Jed sampai basah, tapi kepalang tanggung karena aku terlalu nyaman dengan posisi ini.
"Aku juga minta maaf karena udah kasih pressure ke kamu. Kalau memang masih belum bisa ngomong ke keluarga, senggaknya kamu bisa ngomong ke teman," balas Jed yang membuatku spontan mendongak untuk melihatnya.
"Teman?" tanyaku.
Jed mengangguk sambil memasang muka serius. "Bilang sama teman-teman kamu, kalau kamu udah punya pacar. Terutama sama Nuno! Aku nggak mau yah kalau kamu dibonceng-bonceng sama cowok kayak gitu."
"Tapi kalau cerita sama mereka, nanti jadinya pada ember, trus nyampe ke Mama," elakku cepat.
"Buktinya Ria nggak," sahut Jed.
"Ria itu teman baik. Beda sama yang lain."
"Intinya aku nggak suka kalau kamu jalan sama Nuno."
"Nuno itu cuma teman, Jed."
"Kalau gitu, harusnya nggak ada masalah kalau aku bareng sama Lana?"
"Ih, kok jadi bawa-bawa Lana?"
"Kamu nggak suka, kan?"
"Ya nggak lah."
"Sama! Aku juga nggak suka."
Aku menghela napas dan mengangguk lagi. Demi supaya Jed nggak bareng sama Lana, aku akan menghindar dari Nuno walau nggak mengerti kenapa harus kayak gitu. Aku nggak anggap lebih cowok itu, dan Nuno cukup paham kok. Lagian, kami beneran cuma temenan, beda sama Lana yang ngeganjenin Jed melulu. Aku kan jadinya sebel.
"Naura sayang," panggil Jed lembut, yang sukses membuat hatiku ngebut.
Kalau udah dipanggil sayang, hati mana yang nggak bakalan luluh? Aku tuh nggak bisa diginiin. Jadi bucin itu banyak kelebihannya. Yaitu lebih baper, lebih sensi, lebih posesif, lebih alay, lebih segalanya. Kalau ditanya kenapa, aku juga bingung jawabnya. Hanya yang sudah merasakan baru bisa mengerti, jika belum, itu berarti kamu masih sendiri.
"Aku nggak mau berantem kayak gini lagi, oke? Kita udah sepakat untuk jalanin hubungan ini baik-baik, meski harus main petak umpet kayak gini. Aku bukan mau manjain kamu, tapi menghargai keputusan kamu untuk backstreet. Karena aku udah menghargai keputusan kamu, tolong kamu juga hargai perasaanku dengan nggak anggap enteng hubungan ini, oke?" ucap Jed dengan sangat pelan, sambil mengamati wajahku dengan ekspresi serius, seolah dia nggak main-main dengan ucapannya.
"Aku nggak anggap enteng hubungan kita. Justru karena serius banget, makanya aku jadi marah banget soal kemarin," balasku membela diri.
"Itu cuma hal kecil, Nau," sahut Jed tegas.
"Buat kamu gitu, tapi aku nggak."
"Nggak berarti kamu harus ngotot bakalan ngambek berhari-hari tiap kali kita ribut, kan?"
Alisku terangkat, cukup kaget dengan pertanyaan Jed barusan. "Maksud kamu soal tiap kali ribut?"
Jed menghela napas dan mengusap kepalaku lembut. "Hubungan itu nggak selamanya mulus, pasti ada ributnya, debatnya, bahagianya. Namanya juga penjajakan, bukan untuk menyamakan diri, tapi biar tetap sejajar meski berbeda. Perbedaan nggak cuma di soal umur, tapi karakter, pola pikir, cara pandang, semuanya. Itulah makanya orang pacaran, biar kenal dulu sebelum ke tahap menikah."
Kupikir selama ini, orang pacaran cuma buat tempelin bibir dan tukeran lidah, karena itu adalah alasan Ria buat pacaran supaya tahu deket sama cowok kayak gimana. Ternyata penjelasan dari Jed, membuat pikiranku berbeda. Ria bener-bener ngaco.
"Kalau gitu, kamu jangan capek ingetin dan ajarin aku, ya," putusku kemudian.
Senyum Jed melebar dan tampak begitu hangat. "Justru aku lagi kasih tahu kamu biar tambah pinter."
"Jadi, kamu udah nggak marah lagi?" tanyaku hati-hati.
"Justru aku yang harus tanya, kamu masih marah?" tanyanya balik dan aku langsung menggeleng.
"Then give me your big hug," lanjut Jed sambil membuka dua tangannya dan aku langsung memeluknya erat.
Kami berpelukan dan senyumku mengembang begitu saja. Senang rasanya kalau sudah baikan. Kadar sayangnya jadi bertambah, juga rasa cinta. Apa ini rasanya kalau habis ngambek trus baikan? Kemudian, aku merasakan sebuah kecupan mendarat di pucuk kepala, yang membuatku langsung mendongak untuk menatap Jed.
"Ngambek berhari-hari, ternyata kamu makin jago cium orang ya," ucap Jed dengan tatapan yang turun ke bibirku.
Ah, masa Jed minta cium lagi?
"Itu spontan," balasku pelan.
Jed tersenyum dan mengusap bibirku dengan jempolnya. "Tapi aku suka."
"Nggak mau lagi," cicitku langsung. "Tadi udah ketangkep basah sama Om Will. Aku nggak mau kalau nanti malah Papa dan Mama."
Jed tertawa sambil menggeleng, lalu melepaskan pelukan. "Aku cuma bilang suka, nggak berarti aku minta lagi, meski kalau kamu kasih, aku nggak bakal nolak. Udah sana, mandi dan ganti baju. Aku pesen makan dulu, nanti kita makan bareng Will di rumahnya."
"Siap, Bos!" seruku girang, dan langsung berlari ke kamarku yang ada di lantai atas.
Meski sudah sering menjadi pihak ketiga dalam persahabatan Om Will dan Jed yang selalu nimbrung buat makan bareng, nggak tahu kenapa aku masih antusias banget kalau bisa makan bareng dengan mereka berdua. Biasanya, aku lebih suka diam sambil mendengarkan obrolan mereka.
Nggak sampai setengah jam, aku sudah selesai mandi dan ganti baju. Berhubung ada pacar, aku pake bedak tipis dan lipgloss setelah pake krim malam. Meski wajahku pas-pasan, tapi nggak boleh malu-maluin kalau ada pacar. Dan aku lupa artikel mana yang kubaca waktu itu, sampai mengingatnya dan melakukannya sekarang.
Waktu aku turun, Jed masih duduk di ruang tamu, dan sudah ada satu kantong besar di atas meja kaca. Kayaknya makan malam kami. Jed mengangkat wajahnya dan mengerutkan kening saat melihatku. Duh, pasti ada yang aneh deh di mukaku.
"Kenapa liatnya kayak gitu? Jelek banget ya?" tanyaku sambil menyentuh kedua pipiku.
"Kamu kalau ngomong selalu sembarangan," jawab Jed sambil beranjak dan menghampiriku. "Pacarku itu paling manis sedunia."
"Ih, apa-apaan sih?" seruku malu sambil menutup wajah, sok malu tapi senang.
Aku bisa mendengar Jed terkekeh sambil mengacak rambutku yang masih basah. "Keringin dulu rambutnya, nanti masuk angin. Balik lagi ke kamar, keringin pake hairdryer."
Aku menurunkan tangan dari wajah, dan... cup! Aku tersentak saat Jed tiba-tiba mengecup bibirku singkat, lalu menyeringai lebar di sana.
"Aku nggak salah pilih. Kamu memang manis kayak stroberi," ujar Jed sumringah, lalu langsung berlari menjauh saat aku bersiap untuk memukulnya.
Jed tertawa terbahak-bahak saat aku mengentakkan kaki, lalu segera berlari menaiki anak tangga untuk kembali ke kamar dan mengeringkan rambutku. Sebelum pacaran, kupikir Jed itu orangnya serius dan tenang. Ternyata, Jed itu super iseng dan nyebelin. Tapi, aku masih sayang dan tambah sayang. Kayak yang sayang banget pokoknya.
Setelah sudah yakin kalau nggak ada lagi yang bakal diprotes Jed, aku langsung turun dan Jed sudah berdiri di ambang pintu masuk, sambil menenteng kantong besar itu. Dia langsung mengulurkan tangan dan aku menyambutnya dalam genggaman. Kami keluar dari rumah, dan Jed mengunci pintu dengan satu tangan, lalu bersama-sama menuju ke rumah Om Will.
Om Will sudah menunggu di depan rumah sambil bersidekap, menatap kami dengan ekspresi jijik yang nggak kusukai. Kenapa sih dia? Kayak nggak suka banget sama aku.
"Om Will kenapa pake jutek sih?" tanyaku ketus.
"Nggak biasa liatnya. Astaga, Nau, lu masih sekolah. Dari sekian banyak temen sekolah lu, kenapa harus kecantol sama Jed? Nggak ada pilihan lain?" balas Om Will yang langsung mendapat gelepakan dari Jed.
"Nggak usah ngajarin Naura yang nggak-nggak," desis Jed langsung.
"Gue kasih tahu biar dia pinter dikit cari cowok," sahut Om Will sambil masuk ke dalam rumah, diikuti oleh aku dan Jed.
Kami bertiga sama-sama duduk di ruang makan, mulai membuka makanan yang dibeli Jed, yang adalah pecel ayam favorit kami. Aku menyiapkan alat makan dan menata di meja untuk Om Will dan Jed. Seperti biasa, aku hanya mendapat satu porsi, sisa enam porsi yang ada di situ adalah milik Om Will dan Jed.
Kata mereka, pecel ayam itu potongannya kecil, nggak kenyang kalau cuma makan satu. Trus nasi uduknya juga sedikit, makanya harus beli banyak untuk kenyang. Buatku, sepotong ayamnya cukup besar, dan sebungkus nasi uduknya banyak banget.
Waktu aku baru duduk, Jed sudah otomatis mengambil ayamku dan menyuwirnya untukku. Spontan, aku menoleh pada Om Will yang ternyata lagi asik makan, lalu tersenyum geli sambil menoleh pada Jed yang kini sedang melihatku dengan satu alis terangkat sambil menyuwir ayam.
"Harus banget yah nyuwirin ayam dan liat-liatan kayak gitu di depan gue? Mentang-mentang udah buka-bukaan sama gue, gitu?" celetuk Om Will yang membuatku menoleh dan sedang menatap kami bergantian dengan judes.
"Siapa suruh lu kepo liatin kami?" balas Jed ketus.
Aku menoleh pada Jed yang sudah menyenggol lenganku dan dia menyodorkan piring berisi ayam yang sudah bersih tanpa tulang. Ahhh, baik banget sih kamu.
"Makasi," ucapku pelan.
"Hm," balas Jed yang langsung mengambil alih jatah makanannya dan mulai makan.
Kalau kami makan dengan menu daging bertulang, misalkan ayam, iga, atau ikan, baik Jed atau Om Will pasti menawarkan diri untuk membantuku. Soalnya, aku nggak pinter makan daging. Alasan utama sih karena aku nggak suka tanganku kotor.
Setelah itu, Om Will dan Jed kembali mengobrol seperti biasa dengan topik varian yang membuatku cuma bisa jadi pendengar sambil makan. Mereka berdua pun terbiasa dengan aku yang jadi lilin diantara mereka.
Sesi makan usai, mereka menanyakan tentang PR, yang kebetulan aku punya PR Math yang cukup susah. Om Will dan Jed mengajari dan membantuku untuk menyelesaikan, juga membuat beberapa latihan soal untuk kujawab.
Aku masih bersama mereka yang kini sedang bermain games sampai Oma Imel pulang, bersama dengan Papa dan Mama. Tentu aja, itu berarti aku juga harus pulang karena Papa dan Mama udah manggil dari depan. Setelah berpamitan dengan Oma dan Om Will, aku menatap Jed sambil tersenyum.
"Bye," bisikku pelan.
Jed mengusap kepalaku sambil berbisik. "Bye, aku main game bentar sama Will sampe jam setengah sepuluh, nanti baru pulang."
Aku mengangguk dan segera berjalan ke luar, tapi sebelumnya menoleh untuk melihat Jed yang sudah bergabung kembali dengan Om Will.
Nggak ada yang bisa kulakukan saat tiba di kamar, selain melompat ke ranjang, menyembunyikan diri di dalam selimut, dan memekik pelan untuk meluapkan kebahagiaan.
Terlebih lagi waktu ponselku berbunyi, dan itu chat dari Jed yang tertulis: "Mulai besok, aku akan anter dan jemput kamu ke sekolah setiap hari. Sleep tight, Baby. I love you."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Tulis cerita ini tuh bawaannya senang hati 💜💜💜
Bikin aku nggak berenti senyum dan berbunga2 🙈
11.11.2020 (18.10 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top