Part. 4 - Cranky
Aku mengalihkan pikiran dengan mencoba tulis yang ringan2 aja.
Happy Saturday 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Patah hati adalah metafora umum yang digunakan untuk menjelaskan sakit emosional atau penderitaan mendalam yang dirasakan seseorang setelah kehilangan orang yang dicintai, melalui kematian, perceraian, putus hubungan, terpisah secara fisik atau penolakan cinta.
Itu adalah info yang kudapat dari Wikipedia. Tadinya, aku nggak tahu bagaimana rasanya sakit atau patah hati. Tapi sejak dua hari lalu, atau saat Om Will bilang kalau Jed pergi bareng sama Lana, aku sudah merasakannya.
Rasanya nggak enak banget. Dadaku sesak, nggak bisa tidur, dan airmata keluar terus. Apalagi kalau inget Jed yang kayaknya cinta banget sama aku, juga ciuman pertama kami, kesedihanku malah semakin menjadi.
Nggak ada telepon, chat, atau apapun dari Jed, karena aku sudah mem-block nomornya. Saat ini, aku bukan lagi marah atau kesal padanya, tapi kecewa.
Ria benar soal pacaran dengan cowok yang lebih tua. Kalau mereka nggak anggap serius, hanya sekedar main-main, dan bukan jangkauan mereka untuk beri kepastian.
Astaga, Naura! Lulus SMA aja belum, malah mengharapkan kepastian. Terlalu muluk ekspektasiku soal pacaran. Baru denger kabar kayak gitu aja, malah sedih begini.
"Naura!"
Panggilan itu membuatku menoleh dan mendapati Nuno sedang berlari mengejarku.
"Kenapa?" tanyaku pelan.
Nuno menatapku dengan alis terangkat, lalu menggaruk kepalanya dan terlihat nggak nyaman. "Lu nggak ikutan sama kita yang mau ke McD buat ngemil bareng?"
Aku menggeleng. "Nyokap udah suruh cepet pulang. Lagian, kita abis eskul dan udah sore banget."
Nuno berdecak pelan sambil mengacak rambutku. "Dasar anak mama! Sesekali kumpul lagi dong. Kok lu jadi anak rumahan banget sejak kelas 12? Biasanya kan selalu ikutan nongkrong sama yang lain."
Aku baru tersadar saat Nuno bilang begitu. Seharusnya, aku menikmati masa SMA dengan memiliki teman sebanyak-banyaknya, mengenal banyak hal dengan mereka, dan mengukir kenangan indah karena masa seperti ini nggak akan terulang.
Betapa bodohnya aku sampai harus mengutamakan Jed setelah jadian. Bisa dibilang, aku nggak pernah tahu kemana Jed pergi atau apa yang dilakukannya saat kami nggak ketemu.
Aku yang dengan jujurnya bilang ada di rumah dan tungguin kabarnya, tapi dia yang selalu susah dihubungi dengan alasan lagi jam kantor dan baru kasih kabar di atas jam tujuh malam.
"Hey! Malah bengong lagi! Lu balik sama siapa?" cetus Nuno yang sukses membuyarkan pikiranku.
"Mmm, ke McD yang di mana?" tanyaku kemudian.
"Buat apa lu nanya kalau nggak ikutan?" balas Nuno sambil tertawa pelan.
"Kalau cuma ngemil doang, gue ikut deh. Tapi kalau sampe mau mampir-mampir, yah gue nggak bisa. Capek banget soalnya," sahutku yang membuat Nuno tersenyum sumringah.
"Nah, gitu dong, Nau. Tapi, lu ikut bukan tersinggung karena omongan gue tadi, kan?"
"Ya, nggak lah. Mendadak pengen McFlurry Oreo."
"Good! Gue traktir dan sekalian anter pulang, ya."
Akhirnya, aku ikut Nuno untuk berkumpul bersama teman-teman kami. Sudah sekelas sejak dari kelas sepuluh, aku sudah mengenal baik teman-temanku, begitu juga dengan Mama. Sahabatku adalah Ria, lalu ada Putri, Lusi, Sisca, Toni, Rocky, dan Nuno.
Kami berdelapan sudah berteman baik sejak dipilih dalam satu kelompok untuk tugas kolaborasi science. Jadi, kami selalu kompak dan melakukan banyak hal bersama-sama.
Rasanya menyenangkan saat bisa berkumpul dengan teman-teman, bercanda bersama, dan aku bisa tertawa dengan keras hari ini. Kesedihanku terlupakan, berganti rasa senang yang menyenangkan.
Jam lima sore, kami memutuskan untuk bubar, dan Nuno memenuhi janji untuk mengantarku pulang. Agak ribet karena Nuno bawa motor yang dudukan belakangnya nungging. Aku sampai pegel karena berusaha menahan tubuh supaya nggak menempel pada punggung Nuno, dan duduk di posisi tertinggi sambil mencengkeram pinggiran besi yang ada di belakang dengan dua tangan.
"Thanks banget ya, No," ucapku saat sudah turun dari motornya dan berdiri di sampingnya.
Nuno mengangguk dan membuka kaca helm-nya. "Next time, ikutan lagi, ya. Kayaknya udah lama banget nggak ngobrol sama lu. Yang tadi asik juga."
Aku terkekeh. "Ashiap. Gih sana, lu pulang dulu. Udah sore banget."
Nuno kembali mengangguk sambil menurunkan kaca helm-nya, melambaikan tangan, kemudian melajukan motornya. Aku masih berdiri mengawasi kepergiannya sampai ujung jalan, lalu berbalik hendak membuka pagar sampai ada suara yang menahanku melakukannya.
"Jadi, gitu? Nggak ada kabar, masih ngambek, nge-block nomor aku, dan sekarang malah jalan sama temen cowok yang aku nggak suka!"
Aku langsung menoleh pada Jed yang udah berdiri nggak jauh dariku. Mengerjap bingung, aku memperhatikan sekeliling, dan meyakini jika Jed sedang menungguku dari rumah Om Will.
"Kenapa diam? Nggak bisa ngomong karena ketahuan kelayapan sama orang lain?" tambah Jed dengan nada menyudutkan, sambil berjalan mendekatiku.
"Kamu nggak salah ngomong kayak gitu? Sendirinya juga sama, buat apa nuduh-nuduh aku?" Balasku nggak terima.
"Aku?" tanyanya ketus.
"Iya! Nggak mau ngaku?"
"Ngaku apaan?"
"Kalau kamu pergi sama Lana! Sabtu dan Minggu!"
Ekspresi Jed berubah, mungkin kaget karena ketahuan sama aku. Tapi aku nggak peduli. Memangnya dia kira dia itu siapa sampai harus marah karena aku dibonceng sama Nuno?
"Kata siapa?" tanyanya dengan tenang.
Aku mendengus. "Om Will lah. Siapa lagi?"
"Dan kamu percaya gitu aja?"
"Kenapa nggak? Dia itu Om aku, yang udah pasti nggak bakal bohongin aku."
Jed tertegun, lalu menghela napas, dan mengusap wajahnya dengan kasar. Sejak berantem hari Jumat kemarin, aku nggak melihat Jed sampai hari ini. Rasanya, rindu tapi kesal. Semakin nggak rela karena dia pergi sama Lana, dan sialnya, Jed kelihatan lebih ganteng.
"Jadi, kamu merasa apa yang disampaikan Will itu benar, tanpa perlu mendengar penjelasan dari aku dulu?" tanyanya lagi.
"Kalau tanya sama kamu, udah pasti jawabnya nggak!" balasku.
"Memang nggak," sahutnya langsung.
"See? Kamu aja langsung jawab nggak."
"Aku jawab nggak karena memang begitu."
Ih, kok jadi begini sih? Aku jadi bingung dan tambah pusing. Om Will nggak mungkin bohong, tapi lihat muka seriusnya Jed juga nggak mungkin bohong.
"Jadi, kamu mau bilang kalau Om Will yang bohong? Gitu?" tuduhku nggak terima.
Ekspresi Jed masih begitu tenang tapi nyeremin. Aku nggak pernah lihat Jed kayak gitu. Jujur aja, nyaliku mulai menciut.
"Dan kamu nggak percaya sama aku?" balasnya kemudian.
"Gimana mau percaya? Lagi marahan aja, kamu masih punya waktu buat pergi sama Lana! Sekarang aku tahu, itu kan alasan kamu bilang soal hubungan kita? Kamu yang sok bilangin jangan ngecewain orang-orang yang sayang sama aku, tapi sebenarnya males lanjutin hubungan karena aku masih cupu. Sama sekali nggak asik buat dijadiin pacar!" ucapku berapi-api, dengan emosi dadakan yang entah datang darimana.
Aku bisa melihat reaksi Jed yang masih begitu tenang, tapi auranya semakin membuatku ciut. Meski aku berani meluapkan emosi, tapi dalam hatiku mulai waswas. Aku jadi takut.
"Emangnya yang asik buat dijadiin pacar kayak gimana, Nau?" tanya Jed tanpa ekspresi.
Ya Lord, ekspresi Jed yang lagi kayak gini, kok malah bikin aku jadi salah tingkah? Jed itu cowok kampret. Aku malah sempet-sempetnya terpesona sama sorot matanya yang tajam dan kesan judes yang kentara di mukanya.
"Yang kayak Lana lah." sewotku putus asa.
"Kenapa dia?" tanya Jed sambil berjalan mendekat, dan aku mulai gelisah sambil menoleh ke arah pagar rumah.
Mudah-mudahan nggaknada orang rumah yang keluar, karena aku baru sadar kalau suaraku cukup keras.
"Yang udah dewasa," jawabku sambil menoleh kembali pada Jed, lalu tersentak karena Jed tahu-tahu sudah di depanku.
"Buatku, yang asik itu yang lucu," balas Jed datar.
"Yang nggak bakalan panik kalau dicium," sahutku dengan gemetar karena Jed sudah membungkuk untuk menyamakan posisi.
"Buatku, yang panikan sampe mikir yang nggak-nggak, justru bikin gemes dan mau cubit pipi kamu kayak gini!" ucap Jed sambil mencubit dua pipi tembemku dengan gemas, namun pelan.
Ih, apa-apaan sih? Kok malah cubit-cubitan pipi kayak gini? Aku spontan menangkap dua tangan besar Jed yang hanya sanggup mencengkeram setengah pergelangannya, lalu menurunkan tangannya dari pipi, dan kembali menoleh ke arah pagar untuk memastikan supaya nggak ada orang rumah yang keluar.
"Tenang aja, Papa dan Mama kamu lagi temenin Tante Imel kondangan di Mulia. Rumah kamu kosong," ujar Jed seolah bisa membaca pikiranku, dan aku spontan menoleh ke arahnya dengan muka cemberut.
"Kamu tuh nyebelin!" sewotku lagi.
"Sama!" sahut Jed ketus, lalu menghela napas sambil membuang muka ke arah lain, ekspresinya kesal abis.
"Ngapain di sini? Lagi gosipan bareng sama Om Will? Atau merasa udah jago banget bikin aku marah?" tanyaku judes.
Jed kembali menatapku, kali ini nggak ada kesan ramah yang setiap kali terpasang saat kami berhadapan. Aku merasa cukup tegang sekarang.
"Kalau kamu nggak mau dianggap kayak anak kecil, jangan bersikap kayak gitu, Nau. Ngomong itu emang gampang, tapi lakuinnya yang susah," jawabnya tegas.
"Aku nggak gitu! Kamunya aja yang..."
Jed langsung menarikku untuk masuk ke dalam rumah, mungkin kami mulai menarik perhatian karena berantem di tengah jalan.
Rumahku sepi, nggak ada orang. Kami hanya tinggal bertiga, dan nggak ada pembantu karena Mama cuma memakai jasa mbak cuci gosok yang kerja harian. Kalau Papa dan Mama pergi, biasanya kunci rumah dititipkan di rumah Om Will.
"Kenapa kita bisa langsung masuk ke rumah? Emangnya Papa dan Mama titip kunci rumah sama kamu?" tanyaku kaget.
Jed mengangguk. "Aku dateng ke sini sehabis ketemu klien, tapi katanya kamu lagi ada tugas kelompok sama temen. Makanya aku tungguin sambil ngobrol sama Papa kamu, trus tadi ngecek rumah Will karena dia belum pulang. Aku jadi juru kunci malam ini, sambil nungguin pacar yang lagi ngambek pulang. Nggak tahunya malah jalan sama cowok lain."
Ada nada sindiran dalam suara Jed, tapi ekspresinya masih biasa aja. Kalau aku mungkin bakalan mencak-mencam nggak karuan seandainya hal itu terjadi di mataku. Baru denger dari Om Will aja, aku langsung kesel banget.
"Aku cuma dianter pulang yah, nggak yang jalan berduaan aja. Tadi cuma makan es krim berdelapan. Puas?" desisku kesal.
Jed terdiam, lalu berdiri sambil bersandar di tembok, dengan posisi mengarah padaku. Duh, aku kok jadi salting gini?
"Jadi, maunya kamu gimana, Naura?" tanya Jed pelan.
"Gimana apaan? Kan kamu yang..."
"Enough, Nau! Aku nggak mau kita marahan sampai berhari-hari hanya karena urusan kayak gini! Biasakan untuk dengar penjelasan, sebelum menuduh sembarangan!" sela Jed dengan nada tinggi, dan aku langsung menciut.
"Nggak kayak gini caranya menyelesaikan masalah. Dengan kamu block nomor aku, cuekin aku, dan pergi sama cowok lain, itu nggak bikin kamu damai. Justru kamu makin merasa bersalah, lalu pikiran kamu semakin ngaco," tambah Jed tegas.
"Kamu yang bikin aku marah duluan," sahutku dengan suara bergetar, sudah ingin menangis karena Jed terlihat menakutkan.
"Bikin marah yang mana? Aku cuma minta kamu pikir ulang soal backstreet ini! Kalau masih belum mau, ya udah, kita jalanin dulu sambil pikir bareng-bareng gimana nantinya," balas Jed ketus.
"Bukan soal itu! Tapi soal kamu yang pergi sama Lana!" sahutku sambil menangis dengan rasa nggak terima dan marah yang bercampur menjadi satu.
Jed terlihat emosi, ekspresinya semakin nggak senang. "Yang ngomong itu Will, kan?"
Aku mengangguk.
"Itu berarti urusan yang kamu cari-cari sendiri karena memang lagi bete sama aku. Dengerin ya, aku nggak ibadah waktu hari Sabtu! Aku memang pergi ke acara ultah temen di hari Minggu, tapi nggak sama Lana! Aku nggak lama-lama di sana, cuma ngobrol sama Will dan tanyain soal kamu karena kamu nggak balas pesan atau angkat teleponku. Habis itu, aku balik dan Will masih di sana," ucap Jed menjelaskan.
Tangisanku berhenti dan menatap nggak percaya. "Terus kamu pulang sama Lana?"
"Aku pulang sendiri, Naura! Pulang sendiri! Aku tahu kamu cemburu banget sama Lana, makanya kalau ada apapun yang berhubungan sama dia, aku menghindar," jawab Jed dengan ekspresi gemas sambil melotot galak ke arahku.
"Tapi, Om Will..."
"Will itu cuma ngerjain! Dia tahu kamu lagi ngambek, trus pengen bikin aku kesal dengan kasih omongan kayak gitu! Habis ini, aku bakalan hajar Will sampe abis!" sela Jed serius.
Aku langsung panik dan menggelengkan kepala. Spontan, aku melangkah mendekat, lalu mengambil satu tangan Jed yang terkepal erat dan menggenggamnya dengan dua tangan.
"Jangan main pukul, ya," rengekku pelan.
Jed mendengus dan masih menatapku tajam. "Aku tuh kecewa sama kamu yang nggak percaya sama aku. Fine, Will itu Om kamu, tapi bukan berarti aku nggak punya kesempatan untuk dipercaya sama kamu, kan?"
Melihat Jed yang kecewa, aku segera memeluk pinggangnya tanpa sadar, dan merasa bersalah. Aku memang merasa kalau aku tuh suka nyebelin jadi orang. Marah sendiri, nyesel sendiri, panik sendiri. Plin plan banget aku tuh.
"Maaf," rengekku lagi. "Habisnya aku kesel dengernya, trus Om Will serius banget pas ngomong itu."
"Dan pergi sama Nuno buat balas aku, gitu?" balas Jed ketus.
Aku menggeleng keras. "Aku cuma pengen ngumpul sama temen-temen lagi. Aku merasa kayaknya semenjak pacaran, aku nggak punya waktu buat temen."
"Jadi, hubungan ini lagi-lagi terasa salah?" tanya Jed kemudian.
Aku mengerjap panik, lagi-lagi bicara sembarangan dan kembali menggelengkan kepala. Berusaha menjawab, tapi aku nggak punya jawaban itu. Menghela napas, aku hanya menundukkan kepala dengan perasaan yang semakin bersalah.
Tangan Jed sudah merengkuh pinggang dan menarikku dalam pelukan yang lebih erat. Aku masih memeluk pinggang Jed, dan Jed yang sudah memelukku erat. Kami berpelukan dalam diam dan aku menikmati momen seperti ini.
Rasanya menyenangkan. Berhari-hari aku uring-uringan, nggak bisa tidur, dan merasa kesal sendiri, tapi pelukan ini langsung melepas semua perasaan itu. Bisa merasakan kehangatan tubuh Jed, mencium parfumnya yang sudah familiar di hidungku, membuat tubuhku merasa lebih rileks.
Aku mendongak untuk bisa melihat Jed yang kayaknya sedaritadi sudah melihatku. Aku menatapnya lirih, kembali merasa bersalah karena membuat wajahnya kecewa. Spontan, aku berjinjit sambil mengarahkan satu tangan ke tengkuknya untuk menundukkan kepalanya, supaya aku bisa mencapai wajahnya. Entah inisiatif darimana, entah itu iblis atau rasa cinta yang meluap, aku mencium bibirnya tanpa ragu.
Aku mengecup, tentu saja. Mana mungkin aku bisa langsung melakukan ciuman seperti Jed waktu itu? Aku juga nggak tahu bagaimana caranya selain menempelkan dan memajukan bibirku di bibir Jed. Meski begitu, degup jantungku nggak beraturan. Aku deg-degan.
Sialnya, aku lupa kalau sedang berhadapan dengan Jed yang suka bikin kaget. Tiba-tiba, tubuhku kayak diangkat dan didudukkan di meja, dan Jed langsung menyerangku dengan ciuman yang membuatku kewalahan.
Ciumannya buru-buru banget, aku sampai nggak bisa napas. Jed menyesap, menjilat, lalu mengisap keras, kemudian menggigit gemas. Bukannya menikmati, aku malah kayak lagi ujian untuk mengingat setiap gerakan bibirnya. Tapi itu nggak lama, cuma sebentar, karena setelahnya aku nggak bisa mikir lagi selain mengeluarkan suara yang kayaknya bukan aku, tapi dari aku.
Lidah Jed sudah masuk, meliuk naik turun, lalu membelai lidahku, dan menyesapnya pelan. Suara yang bukan aku tapi dari aku itu kembali terdengar, bahkan tubuhku terasa lemas, dan seperti ada yang meleleh di bawah.
"J-Jed..." panggil aku susah payah, dan merasa nggak berdaya karena napasku memberat.
Jed mengisap bibir bawahku dengan keras untuk menyudahi ciuman. Saat Jed selesai, bibirku berdenyut, dan kayaknya bakalan menebal sehabis ini. Aku menatap lirih sorot mata Jed yang menggelap.
Kami sama-sama bernapas terengah, bertatapan dalam diam, dan...
"EH, ANJIR! LU APAIN KEPONAKAN GUE DI SANA? LEPASIN, GAK?"
Suara Om Will membuat kami sama-sama menjauhkan diri. Aku nggak tahu lagi apa yang harus kulakukan karena apes banget hari ini. Kalau tadi harus membujuk Jed biar nggak marah, sekarang harus menghadapi Om Will yang marah besar.
Gimana tenangin Om Will? Masa iya aku harus cium juga? Huwaa, Mama, anaknya udah nakal banget ini.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Tenang aja.
Nggak ada konflik.
Nggak ada drama2.
Nggak ada sedih2an.
Karena saat bersama Jed,
Yang dirasakan hanyalah cinta dan kasih sayang yang penuh. 🤣
Gimana nggak luluh, kalo Jed-nya bikin salfok dan salting gini. 🙈
07.11.2020 (17.10 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top