Part. 3 - Squabble

Semenjak ciuman pertama, hatiku jauh lebih berbunga dan semakin berdebar setiap kali bertemu dengan Jed. Tentu saja, otakku selalu teringat saat itu, saat dimana Jed menciumku dengan lembut.

Aku memang senorak itu jika baru saja mengalami hal baru untuk pertama kali. Di malam itu, aku bahkan nggak bisa tidur dan gelisah semalaman. Lalu aku mengalami hal yang sama di malam-malam berikutnya. Aku jadi panik sendiri dan kurang tidur.

"Hey, kamu kenapa sih? Dari hari Minggu, bawaannya tegang dan nggak nyaman. Kamu lagi bete sama aku?" tanya Jed yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya.

Aku merengut cemberut, lalu mendengus pelan karena cuma aku yang panik, sedangkan Jed santai banget kayak nggak ada apa-apa. Kenapa yah cowok itu kayak nggak ada beban hidup, sedangkan cewek tuh apa-apa kudu dipikirin? Aku yang ribet, atau memang cowok yang terlalu cuek?

Baru ngerasain pacaran, rasanya kayak nano-nano. Di saat aku lagi mencoba untuk mengenal diri sendiri, aku juga harus mengenal orang lain. Kayaknya agak salah kalau mutusin pacaran pas masih sekolah gini.

"Kalau aku jujur sama kamu, nanti kamu bakalan ilfil gak sama aku?" tanyaku ketus.

"Bagian mananya yang kalau jujur trus jadi ilfil, Nau? Yah aku pasti seneng lah," jawab Jed dengan ekspresi bingung.

Aku baru aja pulang sekolah dan dijemput Jed. Hari ini adalah hari Jumat, dan jadwal Jed jemput aku. Alasan ke Mama yaitu aku ada tugas kelompok untuk persiapan UAS sama Ria, yang udah pasti aku minta Ria buat tutup mulut.

Selain nggak enak karena harus bersembunyi, backstreet itu bikin stok dosa bertambah. Minggu sampai Kamis adalah jadwal LDR yang cuma bisa komunikasi lewat ponsel. Jumat dan Sabtu adalah jadwal kami bersama dengan alasan yang sudah aku jelaskan, yaitu kerja kelompok dan ibadah. Sedih banget aku tuh kayak gini.

"Aku tuh merasa... malu dan deg-degan terus kalau ingat kamu," ucapku sambil menutup wajah yang terasa memanas dan suara mencicit lemah.

Malu banget rasanya. Aku tuh nggak mau dianggap naif atau cupu, walau memang kayak gitu. Maksudnya, bukan mau gengsi, tapi kan tetap harus jaga muka biar nggak dibegoin. Itu pesan Ria buat aku.

Sebuah usapan lembut mendarat di atas kepala, disusul sebuah kecupan dan tubuh besar yang mengelilingi tubuhku. Tersentak kaget, aku segera mendongak dan mendapati Jed menatapku penuh arti. Deg! Kenapa sekarang main peluk terus sih? Baru kemarin dibilang kalau mau apa-apa, Jed pasti izin.

"Kamu kayak gini karena ciuman kita Sabtu lalu?" tanya Jed pelan.

Kayaknya, aku salah banget untuk terima ajakan Jed main ke apartemennya. Aku jadi susah napas kalau begini. Malah cuma berdua aja karena Jed anak perantauan.

"Iya," jawabku dengan suara berbisik, nggak tahu kemana pita suaraku saat ini.

Jed tersenyum dan pelukannya mengerat. Dua tanganku sudah dalam posisi menahan dadanya supaya nggak terlalu dekat tapi kayaknya nggak berhasil. Duh, aku malu banget karena ketahuan kuantitas dada yang nggak seberapa.

"Kenapa sih kamu gemesin banget?" balasnya parau, meski berusaha bercanda tapi kayaknya terpaksa.

Sorot mata Jed menggelap dan itu membuatku teringat ciuman pertama kami karena dia memberi sorot mata yang sama.

"Kamu tuh sengaja yah bikin aku gugup kayak gini?" tanyaku.

Jed menggeleng dan bergeser untuk mundur agar bisa duduk di tepi meja sambil menarikku maju. Kini, aku berdiri di antara kedua kakinya, dan dua tangannya yang masih melingkar di tubuhku.

"Justru kamu yang bikin aku gugup karena takut nggak bisa tahan diri. Biar gimana pun, kamu punya pengaruh besar buatku," jawabnya pelan, dan aku berani sumpah kalau tatapan Jed turun ke bibirku.

Aduh, Mama, anaknya mau dicium lagi nih.

"Aku tuh beneran gugup nih," cicitku dengan ekspresi memelas.

Alis Jed terangkat. "Bukan takut? Gugup aja?"

Aku mengangguk cepat, lalu menarik napas karena baru sadar sedaritadi aku menahan napas. Sialnya, justru aroma parfum Jed terhirup kuat, dan membuat sekujur tubuhku menegang kaku. Perasaanku kok jadi aneh gini? Antara gugup tapi penasaran, misalkan nggak dilanjut bakal kecewa. Ya Lord, otakku!

Dua tangan besar Jed menangkup wajahku, lalu membelai pipiku dengan lembut. Demi apapun, debaran jantungku begitu keras menghantam dada, dan aku yakin jika Jed bisa mendengarnya. Apalagi jika melihat senyuman penuh arti di sana.

"Kamu tahu apa yang bikin aku suka sama kamu?" tanyanya lembut dan aku menggeleng pelan.

Itu adalah pertanyaan yang sedari dulu ingin kutanyakan, tapi nggak punya nyali. Aku takut nanti dia jawab kasihan. Bisa nangis sesenggukan karena harus terkesan menyedihkan untuk pengalaman cinta pertamaku ini.

"Karena apa yang terlihat dari kamu adalah sebuah ketulusan. Kamu bener-bener tunjukkin lewat sikap, perkataan, dan gerak gerik kamu saat kita berpapasan. Kupikir, aku cuma halu karena kayaknya nggak mungkin cewek kayak kamu mau sama aku," ujarnya.

Mataku melotot nggak percaya. "Ah, bohong banget. Ada juga aku yang nggak percaya karena kamu bisa suka sama aku!"

"Buktinya, aku yang nembak duluan, kan?" sahutnya.

"Iya sih, cuma kupikir kamu pasti tahu kalau aku suka sama kamu."

"Emang iya. Maka dari itu, aku pede buat nembak kamu."

Aku mengerjap dan menatapnya dengan bingung, lalu menyipit curiga. "Serius?"

Jed mengangguk. "Aku mulai notice kamu waktu Will sering cerita tentang keponakan kesayangannya. Jadi, bisa kamu bayangin gimana bebanku waktu pacarin keponakannya diem-diem?"

Aku merengut dan mengangguk pelan.

"Setelah kamu terima aku jadi pacar, seminggu kemudian, aku kasih tahu Will," lanjut Jed yang bikin aku berseru kaget.

"SERIUS?"

"Serius," jawab Jed dengan ekspresi meringis, kembali mengeratkan pelukan karena aku mulai menggeliat untuk melepaskan diri.

"Kenapa kamu baru ngomong sekarang? Terus kenapa Om Will kayak yang biasa aja?" tuduhku kesal.

Pantes aja, tiap kali aku main ke rumah, Om Will mulai cuek dan sibuk main games di kamar. Udah gitu, kalau jadwal dating kami tiba, Om Will pasti nggak ada di rumah. Mungkinkah Om Will berniat untuk supaya aku nggak bohong lagi? Huwaaa, aku makin panik sekarang.

"Aku yang minta Will untuk nggak ngomong apa-apa, sebelum kamu yang kasih tahu soal hubungan kita sama dia," jawab Jed tegas.

"Tapi kenapa?"

"Pertama, Will adalah teman baikku. Kedua, rasanya aneh kalau kita menjalani hubungan secara sembunyi kayak gini. Maksudku, nggak ada yang salah kalau kita jadian, kan? Kamu single, aku single."

"Papa dan Mama nggak kasih aku pacaran. Katanya kalau pacaran, lebih baik putusin aja. Sebentar lagi UAS, aku harus fokus dan..."

"Itu kalau kamu pacaran sama temen kamu yang norak itu," sela Jed ketus dan terkesan nggak suka.

Nggak tahu kenapa, Jed selalu nggak suka kalau ada Nuno main ke rumah. Padahal, Nuno nggak dateng sendirian. Masih ada Ria dan yang lainnya.

"Bukan berarti sama kamu, aku dibolehin pacaran. Kamu tuh temen Om-ku. Rasanya kurang pantas dan aku takut kalau nantinya Papa dan Mama jadi berubah sama kamu," balasku gemas.

Jed nggak langsung membalas. Dia hanya terdiam menatapku sambil melepas pelukan. Tiba-tiba, aku jadi waswas. Kok rasanya, dia kayak marah banget sama aku?

"Kamu belum mencoba, kenapa harus ngomong yang nggak-nggak? Emangnya aku seburuk itu sampai kamu berpikir kalau kita nggak pantas?" tanyanya dingin.

Tuh, bener, kan? Jed marah. Aku paling nggak berani kalau Jed mulai nggak senang. Jed dan Om Will adalah sama. Mereka jarang marah, tapi sekali marah, akan sangat menakutkan.

Aku pernah lihat Om Will marah banget dan nggak mau lihat lagi karena takut. Om Will berteriak, lalu melempar barang untuk melampiaskan kekesalan. Aku lupa kenapa, tapi kayaknya Om Will ribut sama temennya waktu itu.

"Maksudnya nggak kayak gitu," ucapku panik saat Jed bergerak menjauh dan pergi menuju ke pantry, membuka kulkas, lalu mengambil air putih.

"Nggak masalah kalau kamu mau nutupin hubungan kita karena orangtua kamu yang nggak mau kamu pacaran dulu. Tapi, kamu nggak bisa anggap kita nggak pantas," ujar Jed sambil menuangkan air ke dalam gelas, lalu meneguknya cepat.

"Masalahnya, aku bingung dan panik banget. Aku..."

"Atau kamu malu jalan sama aku dan dikira pacaran sama Om-Om?" sela Jed sambil menyipit tajam setelah menandaskan gelasnya.

"Kamu bukan Om-Om," elakku cepat.

"Tapi temennya Om kamu, yang berarti Om, kan? Kamu malu dianggap kayak gitu? Khususnya temen-temen kamu?" sahut Jed langsung.

"Kamu kok jadi nyebelin banget sih? Aku kesel yah kalau kamu kayak gini," balasku sambil mengentakkan kaki.

"Terus kamu pikir aku juga nggak bisa kesel kalau kamu kayak gitu?" sahut Jed nggak mau kalah.

Setelah pacaran beberapa bulan, ini adalah pertengkaran pertama kami. Rasanya konyol sekali karena meributkan hal yang seharusnya nggak jadi masalah. Kita sudah sering membahasnya dan sepakat jika hubungan kami akan dipublikasikan setelah aku lulus SMU.

"Jadi, maunya kamu gimana?" tanyaku kemudian.

Jed menghela napas dan menatapku lelah. "Aku nggak bisa jalanin hubungan yang nggak diketahui sama keluarga kamu, Nau. Aku merasa bersalah."

"Kita udah deal, kan?" seruku cepat.

"Bukan berarti nggak bisa diubah, kan? Kamu yang lagi di tempat aku, tapi keluarga tahunya kamu lagi di tempat Ria. Misalkan Mama kamu dateng ke rumah Ria, dan nggak nemuin kamu di sana, terus gimana? Bukannya aku yang bakal dituduh karena udah bawa anak orang?" balas Jed sambil berjalan menghampiriku, lalu membungkuk untuk menyamakan posisi kepala. "Aku nggak mau ngecewain orang-orang yang udah menyayangi kamu."

"Kenapa baru sekarang kamu bilang kayak gini sama aku? Kenapa nggak dari awal?"

"Karena aku nggak mau terbawa suasana," jawabnya langsung dan menghela napas. "Aku mulai khilaf, Nau."

Wajahku memerah, spontan bergerak mundur sambil menatapnya gugup. Jed hanya tersenyum hambar sambil menegakkan tubuh.

"Aku nggak mau bikin kamu takut, gugup, atau merasa bersalah, lalu nggak bahagia sama aku. Juga, aku berusaha menahan diri untuk nggak kelewat batas sama kamu. Aku baru mencium satu kali, tapi kamu udah kayak gini," ujarnya menjelaskan.

Ada rasa kesal yang menumpuk karena penjelasan Jed seolah menuduhku kekanakan. Okay, aku memang masih muda, terlalu naif dan mungkin aja childish. Tapi kalau harus dibilangin secara terang-terangan kayak gitu, aku juga bisa tersinggung.

"Emangnya respon aku harus kayak gimana? Lompat kegirangan sambil nagih ciuman lagi? Atau sodorin bibir aku supaya dicium sama kamu. It was my first, don't you get it? Makanya tadi di awal, aku tanya kamu bakalan ilfil gak kalau aku jujur? Kalau tahu obrolannya sampai sejauh ini, aku juga nggak mau bahas," sewotku nggak terima.

"Bukan gitu, Nau. Kamu..."

"Udah ah, aku mau pulang aja! Aku nggak mau ketemu kamu dulu!" selaku kesal.

Karena tersinggung, aku ngotot pulang meski Jed melarang. Akhirnya, dia mengantarku karena aku memaksa, dan nggak ada obrolan sepanjang perjalanan.

Saat tiba di rumah, aku main keluar tanpa pamit. Mengabaikan Jed yang memanggilku. Sifat burukku adalah jika marah, aku akan diam seribu bahasa dan nggak mau diganggu. Tunggu kemarahanku reda sendiri dan mulai mood untuk bicara.

"Maaf kalau aku bikin kamu marah. Tolong pikirin baik-baik, ya. Aku maunya kita jujur sama mereka, khususnya keluarga. Aku nggak akan ganggu dan tungguin kamu membaik. Love you."

Chat yang dikirim Jed membuatku semakin kesal. Baru menyadari kalau pacaran itu nggak semudah atau seindah yang kupikirkan. Apalagi masih sekolah kayak aku.

Keluargaku belum punya pikiran yang cukup terbuka soal pacar-pacaran. Aku nggak bisa kayak temen-temenku yang lain, yang diberi kebebasan untuk pacaran. Mungkin juga karena aku adalah anak tunggal dan menjadi satu-satunya harapan bagi keluarga. Jadi, bebanku lebih banyak ketimbang yang lain.

Masih bete, aku nggak cari Jed, dan Jed pun begitu. Sabtu yang adalah jadwal ibadah bareng, akhirnya menjadi absen pertama karena lagi marahan. Minggu juga nggak ada kabar darinya. Bodo amat.

"Tumben lu ke sini?" tanya Om Will saat aku lagi bantu Oma Imel untuk menyiram bunga.

Om Will baru pulang dan kayaknya habis jalan-jalan. Rapi banget.

"Emangnya nggak boleh sirem bunga? Biasanya aku juga yang bantu Oma," balasku sewot.

Ekspresi Om Will terlihat menilai, lalu menggelengkan kepala. "Ya udah, gue tinggal masuk dulu."

Teringat sesuatu, aku buru-buru mematikan air dan menaruh selang untuk berlari mengejar Om Will yang sudah mencapai teras.

"Kenapa sih?" tanya Om Will saat aku mencengkeram pergelangan tangannya.

"Om, kamu udah tahu soal aku dan Jed. Kenapa diem aja?" desisku nggak terima.

"Kenapa gue harus bahas kalau lu nggak ngomong apa-apa sama gue?" tanya Om Will dengan alis terangkat lantang.

Aku cemberut dan menatap Om Will sebal. "Senggaknya, Om Will tegur aku dong. Kenapa mau aja disuruh sama Jed buat diem?"

Om Will mengerutkan kening sambil menatapku dengan ekspresi berpikir. Jujur aja, Om Will itu suka iseng dan nggak pernah serius. Tapi kali ini, nggak kayak biasanya Om Will serius banget.

"Lu yakin kalau pilihan lu udah bener?" tanya Om Will ambigu.

"Maksudnya gimana, Om?" tanyaku balik.

"Lu lagi marahan kan sama Jed? Makanya, tiba-tiba rajin sirem bunga jam segini. Biasa juga, lu sibuk video call sama Jed," jawab Om Will tanpa beban, yang membuatku melongo kaget.

Aku baru tahu kalau cowok juga suka gosip. Kayaknya Jed sudah banyak cerita. Kalau nggak, mana mungkin Om Will sampai bisa tahu sedetail itu?

"Rese!" sewotku yang hendak kembali menyiram bunga, tapi Om Will menahanku dengan mencengkeram lengan. "Mau apa sih?"

"Berhubung gue adalah Om yang sayang sama keponakannya, gue mau kasih tahu satu hal," ucap Om Will sambil menyeringai lebar.

"Apa?"

"Lu nggak pergi gereja sama Jed kemarin, kan? Asal lu tahu kalau Jed jadinya pergi sama Lana. Hari ini juga, ada acara ultahan temen. Dan Jed juga dateng bareng sama Lana."

Deg! Ada rasa sesak dalam dada. No! Bukan sesak, tapi nyeri. Untuk orang yang dari dulu aku nggak suka karena deketin Jed, kenapa harus muncul lagi untuk bikin aku merasa insecure?

"Naura!"

Panggilan Om Will nggak kugubris karena aku sudah berlari keluar dari halaman rumahnya, sambil menundukkan kepala untuk menyembunyikan mataku yang memanas. Lalu sedetik kemudian, air mata sudah mengalir deras.

Kok Jed tega banget main pergi sama cewek yang aku nggak suka, di saat aku lagi kesel sama dia?



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Selamat pagi,
Mudah2an kamu tetap bahagia walau nggak dapet asupan halu secara rutin dariku.

Jujur aja, mood menulisku lagi anjlok banget, kayak nggak ada setruman gitu.
Di samping itu, aku juga lagi sibuk di Duta.

Btw, terima kasih banyak untuk semua doa dan ucapannya ya.
Doa yang sama untuk kalian.
Kiranya Tuhan memberkati dan melindungi kalian.

Borahae 💜

Jed kalo lagi marah kayak gini.
Uwu banget 😍


04.11.2020 (10.00 AM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top