Part. 2 - Silly

Udah jadian selama tujuh bulan lebih dua hari, harusnya tuh aku biasa aja tiap malam minggu. Tapi malah aku selalu panik kalau udah mau jam dua siang.

Gimana, nggak? Aku tuh kayak yang bingung mau pake baju apa, dandan kayak gimana, atau mikirin gimana caranya tampil cantik dengan posisi aku yang masih kelas 12.

Mau dandan seksi, nggak pantes karena ukuran tubuh nggak memadai. Pernah banget aku beli sabrina dress, bukannya nyangkut di lengan, malah kedodoran karena dadaku kurang menantang.

Mau sederhana, masa iya aku harus tampil ala kadarnya. Keliatan banget kayak anak ABG. Aku nggak mau disangka jalan sama Om-Om. Nggak tahu seleraku yang salah karena suka sama Jed, atau selera Jed yang salah nyangkut di aku.

Tiap minggu, aku selalu beli baju. Ya lewat online, atau jajan sama temen yang bawa baju dagangan. Kalau lucu banget, aku pasti beli. Jadi, uang jajanku habis buat beli baju demi bisa tampil maksimal di depan Jed. Hufftt, segitu bucinnya aku sama dia.

"Nanti malam jadi?"

Sms yang dikirim Jed sejak tadi siang, sudah kubaca berulang dan selalu membuatku panik. Kayaknya nggak banget deh kalau kayak gini terus. Lama-lama, aku bisa darah tinggi.

"Naura, itu Om Jed udah jemput!" panggil Mama dari bawah.

Seperti itulah Jed di mata Papa dan Mama. Mereka mengharuskanku untuk memanggil Jed dengan panggilan Om, karena Jed adalah teman Om Will.

Setiap hari Sabtu, aku bilang sama Mama kalau ada ibadah di hari Sabtu malam, yang kebetulan Jed juga ikut ibadah di sana. Jadi gini, di setiap Sabtu malam, ada ibadah remaja dan pemuda, yang dikhususkan untuk para muda-mudi, dimulai dari anak SMP sampe yang udah kerja. Kalau Minggu adalah ibadah untuk umum, yang artinya diperuntukkan untuk segala usia.

Sebenarnya juga, ikut ibadah di hari Sabtu adalah rencana rahasia kami untuk memiliki waktu pacaran yang nggak kami dapatkan tanpa alasan. Maafin Naura, ya Lord. Naura niat ibadah, tapi niat pacaran juga. Tapi nggak macem-macem kok pacarannya. Cuma makan bareng atau nonton bioskop bareng. Nggak lebih.

Setelah ngaca beberapa kali, dari yang pede sampe minder, terus ganti dan tambah nggak pede, akhirnya balik lagi pake baju yang pertama kali dipakai. Aku tuh bingung banget kenapa bisa sampe sebucin ini kalau lagi pacaran. Akhirnya, aku turun ke lantai bawah dengan setengah hati sambil menggenggam erat tali tote bag-ku.

"Kok cemberut? Pasti berantem lagi sama Ria," tebak Mama sok tahu. Beliau sedang berada di ujung tangga, dan kayaknya mau samperin aku.

Aku cuma mendengus dan mencium pipi Mama sambil pamit. "Aku jalan dulu, Ma."

"Jangan pulang malam-malam, ya," pesan Mama.

Aku mengangguk dan ikut Mama keluar ke ruang tamu dimana Jed lagi ngobrol sama Papa. Waktu tatapan kami bertemu, wajahku memanas dan salah tingkah. Aduh, bisa nggak sih jangan senyum kayak gitu? Hatiku buatan china, rentan lemah dengan serangan manis kayak gitu. Huft.

Aku dan Jed pamit sama Papa dan Mama, lalu kami berdua langsung menuju ke mobilnya yang diparkir di depan. Kalau Jed kerja, dia bawa motor karena males macet-macetan. Kalau pergi sama aku, dia bawa mobil karena katanya ingin membuatku nyaman. Jed itu perhatian banget.

"Hey, kenapa diem aja?" tanya Jed sambil meraih satu tanganku, saat mobil sudah melaju melewati pintu gerbang kompleks perumahanku.

Aku menoleh dan tersenyum menatapnya. "Aku merasa nggak cantik deh. Ini kayaknya rambutku lagi bad hair day, dan..."

"Emangnya kenapa sih harus ngeluh nggak cantik mulu? Nggak ada yang aneh kok sama muka dan penampilan kamu. Yang aneh itu pikiran kamu. Kurang bersyukur namanya," sela Jed tegas.

Aku merengut cemberut. "Kamu tuh nggak paham dilema-nya aku. Aku tuh serba salah. Jalan sama kamu tuh harus dipikirin, biar nggak malu-maluin."

Jed langsung melirikku, senyumnya nggak ada, ekspresinya malah jadi galak gitu. Kayaknya marah, tapi kan aku cuma jujur dan jawab pertanyaannya.

"Kenapa jalan sama aku, kamu harus pake mikir? Kamu nggak nyaman?" tanya Jed ketus.

"Bukan gitu. Aku tuh nyaman banget. Bahagia banget malah iya. Tapi, aku tuh merasa childish, sedangkan kamu tuh dewasa banget. Aku pengennya..."

"Itulah yang bikin kamu jadi mikirin yang nggak-nggak. Kebanyakan pengennya, tapi lupa sama hal yang paling utama," sela Jed lagi.

"Apa?" tanyaku langsung.

"Kalau aku sayang sama apa adanya dari cewek lucu yang bernama Naura," jawab Jed sambil meremas tanganku yang sedaritadi digenggamnya dengan lembut.

Tertegun, aku sampai kehabisan kata-kata, lalu menunduk malu karena ucapan Jed. Kata Ria, pacaran sama cowok yang umurnya beda jauh harus hati-hati. Soalnya, mereka sukanya main-main aja, nggak serius, dan tahunya ngegombal biar bisa pegang-pegang.

Aku nggak nemuin satu hal pun dari Jed yang diomongin Ria semenjak pacaran. Jed itu sopan, dan nggak pernah aneh-aneh. Mau cium pipi atau kening aja pake izin. Bukan yang selonong boy gitu. Dibilang main-main, Jed selalu kasih kabar waktu kami nggak bareng. Bagiku, yang diomongin Ria itu nggak bener. Tahunya cuma suudzon doang.

"Lagian, nggak usah deh cantik-cantik. Aku yang repot jagainnya. Sainganku ada banyak, rata-rata masih muda. Dibanding aku yang udah twenty something, rasanya jauh lebih insecure," celetuk Jed yang bikin aku kembali menoleh padanya.

"Hallah, kamu bisa aja. Itu cewek yang namanya Lana siapa? Deket-deketan mulu kalau lagi main di rumah Om Will. Aku tuh nggak suka ya kamu dideketin sama dia," seruku nggak terima.

Waktu lagi pada skripsi, Om Will punya tim yang terdiri dari empat orang buat ngerjain. Om Will, Jed, Kak Santo, dan Kak Lana. Sejak awal, aku udah nggak suka sama cewek yang namanya Lana-Lana itu. Seductive banget! Herannya, Jed nggak nolak, juga nggak menjauh. Tapi, aku nggak bisa ngapa-ngapain karena waktu itu, cuma bisa menyukai dalam diam dan mengagumi dari kejauhan.

Udah lulus pun, mereka masih berteman dan nggak jarang suka ngumpul di rumah Om Will. Sampe sekarang. Yang bikin aku bete, Lana masih deketin Jed, dan Jed ladenin. Kalau ada aku, Jed juga cuek aja. Memang sih kami tuh backstreet, yang berusaha bersikap biasa supaya nggak ada yang curiga. Tapi kan harus jaga hati juga dong.

"Kenapa sih kamu masih cemburu sama Lana? Aku sama dia nggak ada apa-apa," ucap Jed sambil melepas genggaman, memindahkan gigi, lalu kembali menggenggam tanganku lagi.

"Dia itu centil!" balasku nggak terima.

"Apa bedanya sama temen kamu yang namanya Nuno? Dia juga suka deketin kamu dan ajak bercanda. Pake haha hihi segala kalau lagi ngumpul," sahut Jed nggak mau kalah.

"Nuno itu cuma temen. Nggak ada apa-apa!" Sewotku.

"Nah, kamu kesel juga kan dituduh nggak-nggak, padahal nggak ada apa-apa," balasnya sambil tertawa pelan.

"Kamu mah suka gitu!" cetusku sebal.

Aku ingin memukul lengannya, tapi tanganku sudah ditangkap Jed, lalu dia menarikku mendekat padanya hingga menubruk tubuhnya dari samping.

Kyaa! Aroma parfumnya tercium jelas di hidung, juga saat tangan kekarnya sudah merangkul agar aku bersandar di bahunya. Ya Lord, aku nggak yakin bisa napas dalam waktu beberapa menit ke depan. Aku nyaman, tapi sesak.

Kecupan ringan mendarat di kening saat aku mendongak untuk menatapnya. Sambil menyetir dengan satu tangan, Jed merangkulku dan tersenyum hangat.

"Aku cuma sayang sama kamu. Aku juga pedulinya sama kamu. Bukan Lana, bukan yang lain, tapi kamu," ujarnya pelan.

Aku nggak bisa ngapa-ngapain selain menyembunyikan wajah ke dadanya. Malu banget, astaga. Harusnya kan aku ngambek, kenapa jadi ge-er karena digombalin kayak gini?

Aku bisa merasakan tubuh Jed terguncang pelan karena terkekeh, dimana rangkulannya mengerat. Dia benar-benar tahu caranya membuatku nggak berkutik.

"Kamu tuh lucu banget. Jangan gemes-gemes juga, ya. Aku bisa khilaf," bisiknya lembut.

Aku baru saja mendongak untuk bertanya maksud ucapannya, tapi Jed langsung menunduk untuk mendaratkan sebuah kecupan tepat di bibirku.

Terdiam, mungkin mematung. Sedetik, oke, aku nggak bisa menghitung karena untuk mengedip aja kayaknya nggak. Aku shock. Barusan, bibir aku tuh dicium kan?

Jed menyeringai lebar, lalu melirik singkat ke depan, dan kembali menatapku. "Jangan bingung gitu. Barusan aku gemes banget sama pacarku, jadinya khilaf."

Aku bahkan masih terdiam dan nggak bisa bersuara karena terlalu kaget. Mungkin karena aku yang masih diam dan cukup lama nggak bereaksi, Jed ikut diam, dan laju mobil mulai pelan. Nggak lama setelahnya, mobil berhenti. Masih di jalan, dan Jed cuma menepi di bahu jalan.

"Kamu marah?" tanyanya pelan.

Aku cuma menggeleng.

"Kaget?" tanyanya lagi dan aku mengangguk.

Jed mengadukan keningnya padaku. "Maaf, yah. Aku spontan aja lakuinnya."

Akhirnya, aku bisa memgembuskan napas berat dan mengerjap cepat. Kenapa sih kayak gini aja harus gugup? Kadang aku suka kesel sama diriku yang nggak bisa jadi diri sendiri saat bersama Jed. Buat apa jaim, kalau Jed aja nggak pake jaim kalau lagi bareng kayak gini?

"Aku nggak marah," ucapku dengan suara mencicit.

Jed tersenyum. "Lain kali, aku akan ngomong kalau mau kayak gitu lagi."

"Kenapa harus lain kali?" tanyaku.

"Maunya?" tanyanya balik.

"Kenapa nggak sekarang aja?"

Pertanyaanku membuat Jed tertegun, seperti menatapku dengan tatapan nggak percaya. Aku tanya beneran loh ini.

"Serius?" tanyanya.

"Emangnya kenapa? Takut?" balasku.

"Naura, kamu..."

Aku memberanikan diri untuk menangkup wajah Jed dengan dua tanganku yang terasa dingin. Punya pacar beda umur yang cukup lumayan, juga backstreet kayak gini, harusnya dijadikan pengalaman yang berkesan.

Aku udah 17 tahun, sebentar lagi mau lulus. Itu artinya, aku bukan anak kecil lagi. I'm not a girl, not yet a woman. Iya, itu judul lagu Britney Spears yang diciptakan sendiri untuk membuktikan jati diri di zaman itu.

"Just kiss me properly, and make my first memorable," ucapku dengan penuh tekad, dan dibalas dengan ekspresi tertegun dari Jed.

Dan setelah itu, Jed menunduk untuk mempertemukan bibirku dengan bibirnya. Hangat. Lembut. Dan mendebarkan. Baru kali ini, aku sedekat itu dengan Jed. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, napasnya, dan bibirnya.

Degup jantungku bertalu-talu saat bibir Jed mulai mengecup sekali. Dilanjutkan dengan kedua, ketiga, dan seterusnya. Berawal dari kecupan-kecupan ringan di setiap inchi bibir, hingga berubah menjadi kecupan berat yang terasa menyesakkan.

Bibir bawahku seperti dihisap, memaksa untuk terbuka sedikit, dan sebuah erangan terlepas dari mulutku. Aku memekik pelan dan spontan membuka mulut saat Jed tiba-tiba menggigit bibir bawahku. Kekagetanku belum reda, dan justru bertambah ketika merasakan lidah Jed menggeliat masuk ke dalam rongga mulutku.

Aku nggak ngerti dengan perasaan ini. Seharusnya, aku jijik karena bertukar liur kayak gini, tapi justru aku merasa nyaman dengan tubuh yang seperti meleleh. Napasku tersengal, berusaha mencengkeram kerah kaus Jed sebagai pegangan, dan nggak sanggup melanjutkan.

Seperti tahu apa yang kurasakan, Jed menghentikan ciuman dan menatapku sayu. Sorot matanya berbeda dengan yang selalu kulihat. Jika biasanya ramah dan hangat, kali ini begitu tajam dan menggelap. Napasnya memburu kasar, menerpa kulit wajahku, dan itu membuatku semakin berdebar.

"Nau..."

"Ya?"

Jed tersenyum sambil membelai pipiku dengan lembut. "You drive me crazy."


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Coba absen pengakuan dulu di sini:

Ciuman pertama di bahu jalan? Check!

Panik karena mau ngedate sama pacar pertama? Check!

Gonta ganti baju sebelum pergi, akhirnya pake yang pertama dicoba? Check!

Bisanya cuma GR dan salting kalo dipuji cantik sama pacar? Check!

Disenyumin aja, rasanya kayak mau ilang? Check!

HAHAHAHAHA ini adalah cerita yang menjadi kegabutanku dalam bernostalgia.
Mudah2an menghibur.

Happy Weekend.
I purple you 💜

Tampilan Jed waktu mau ngedate. 😖

30.10.2020 (09.50 AM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top