Part. 15 - Kawaii Bear
Kasih asupan manis di malam hari.
Hehehehe...
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Jadi, cowok lu ngakuin kalau pernah main sama cewek lain?" tanya Ria sambil kepedesan makan bakso Bang Kumis.
Di sekolah, ada kedai bakso yang enak banget, dan jadi primadona buat anak sekolah yang kelaparan di jam istirahat kedua.
Jam istirahat di sekolah ada dua kali, yaitu jam sepuluh, dan jam dua belas. Aku selalu dibawain bekal sama Mama, tapi suka bosen banget makan makanan rumah. Biasanya, aku oper kasih temenku yang badannya gendut banget, namanya Gobind. Selain doyan makan, dia juga nggak suka buang makanan. Ditawarin apa aja sama temen-temen yang lain, pasti diterima dengan alasan berkat nggak boleh ditolak.
Sering banget ngeluh gendut dan pengen diet, tapi kayaknya nggak ada perubahan karena ucapan nggak sama dengan niat. Soalnya, mulutnya ngunyah terus dan nggak bisa diem.
Jam istirahat kedua adalah kesukaan bagi kami karena boleh jajan keluar sekolah. Gerbang akan dibuka dan kami boleh kemana aja asalkan bisa balik tepat waktu sebelum bel.
Menempati meja paling pojok yang jadi tempat favorit kami, aku dan Ria sudah janjian sejak tiba sekolah untuk makan siang di kedai bakso ini. Intinya sih, aku mau curhat karena merasa nggak tenang setelah malam mingguan sama Jed kemarin.
Tenang aja, nggak terjadi apa-apa kok. Kami cuma ciuman dan aku jadi tambah pinter buat gigit dan hisap bibir. Oopsss, aku keceplosan ya? Sengaja banget kayaknya bikin temen jomblo yang cuma bisa gigit jari. Monmaap.
"Gue galau banget," balasku cemberut. "Satu pihak, itu kan masa lalu. Di lain pihak, gue nggak terima."
"Wajar aja sih kek gitu. Istilah kasarnya, mana ada yang mau terima barang bekas, sedangkan lu aja masih ori," sahut Ria yang masih kepedesan sambil membuka botol minumnya.
"Ya bukan gitu juga sih," ucapku.
Ria minum sampai habis, lalu ber-ah ria dan sendawa tanpa beban. Aku sampai melotot karena hal itu malu-maluin banget. Semua orang langsung nengok ke arah kami.
"Lu itu nggak tahu malu banget!" omelku sebal.
"Yang namanya sendawa itu nggak pernah pake permisi, Nau," elak Ria.
"Ya tapi pake tahan dikit biar nggak kegedean," sahutku.
"Ya udah sih, kayak gini aja ribet banget deh ah. Balik lagi ke urusan curhat lu deh, jadinya gimana?"
"Gimana apanya? Kan, gue udah cerita."
"Jadi lu maunya gimana? Putus?"
Aku melotot galak pada Ria. "Kenapa sih tiap kali curhat sama lu, jalan keluar yang lu kasih cuma putus? Gue bisa jadian sama Jed tuh nggak gampang, Ya!"
"Terus apa yang lu masalahin sekarang? Lu nggak terima kalau dulu Jed pernah tidur sama mantannya, hanya karena lu nggak punya pengalaman yang sama, gitu?" balas Ria gemas.
"Ya, nggak gitu! Sekarang gue tanya sama lu deh, apa tanggapan lu soal Marcus yang pernah main sama mantannya?" cerocosku.
"Ya udah, mau diapain lagi? Dengan gue marah-marah dan bersikap nggak terima, ya nggak bakalan ubah kenyataan kalau Marcus pernah main sama ex-nya."
"Gitu doang?"
"Ya iya lah."
"Seriusan? Sedikit pun nggak ada rasa nggak terima?"
Ria mengusap bibirnya dengan tisu sambil menatapku datar. "Gue pernah punya perasaan kayak lu gitu, tapi itu waktu pertama kalinya gue pacaran. Agak kampungan gimana sih?"
Aku berdecak kesal. "Lu ngatain gue kampungan?"
"Oke, gue ganti. Norak?" balas Ria cuek.
"Ih, gue serius, Ya!" sahutku bete.
"Lu pikir gue bercanda?" balas Ria lagi, kali ini pake muka judes.
Aku cuma diam aja karena Ria memang seserius itu. Kalau dia bercanda, pasti nyengir. Ini pake judes banget, entah tersinggung atau kepedesan.
"Yang namanya pacaran, kita tuh kayak belajar respect sama orang lain selain keluarga, Nau. Sekaligus kita bisa ngetes orientasi seksual apa ada masalah atau nggak? Kita punya rasa tertarik sama cowok, itu namanya normal dan manusiawi. Kita juga udah belajar sex education sejak kelas tujuh, yang artinya umur kayak kita yang masih puber, baik cewek atau cowok, pasti punya nafsu yang lagi tinggi-tingginya," ujar Ria panjang lebar.
Aku cuma bisa mengangguk sambil bertopang dagu, demi bisa nyimak apa yang Ria ngomong. Kalau lagi galau dan baper, aku suka bingung dan butuh masukan. Mau bener atau salah, ditampung dulu aja, mikirnya bisa belakangan kalau lagi diem di kamar, atau pup di kloset.
"Tadinya, gue juga mikir hal yang sama kayak lu. Kalau dalam bahasa orang gede, kita itu dikatain naif, tapi yah emang bener sih karena kita belum ada pengalaman, ye'kan? Mikirnya terlalu muluk dan berharap orang masih pada suci kayak perawan," lanjut Ria.
Aku merengut cemberut. "Tapi Jed sama cewek lain, Ya."
"Bersyukur aja kalau dia sama cewek lain, daripada sama cowok? Apa nggak serem kalau saingan sama lawan jenis, Mau?" balas Ria ketus.
"Bener juga ya," gumamku sambil menghela napas.
"Yang penting mah fokus aja apa yang terjadi sekarang, Nau. Tugas kita jadi anak SMA tuh cukup stres mikirin UAS aja. Soal pacaran mah jadi selingan. Ngapain sih pusingin masa lalu cowok lu kayak baca bahan ujian sampe mumet gitu? Emangnya lu udah mau nikah sama dia?" ucap Ria sambil menopang dagu dan menatapku heran.
"Kenapa nggak? Gue nggak kepengen gonta ganti pacar. Pengennya sekali seumur hidup," balasku penuh tekad.
"Ah elah, muluk amat jadi bocah," sahut Ria sambil ber-ckck ria. "Pacaran baru sekali aja udah ribet karena cowok lu pernah main sama mantan. Eh, Naura, denger gue baik-baik, halu boleh, bego jangan. Terlalu berharap nanti kecewa."
"Gue cinta banget sama Jed, Ya," ucapku serius.
"Tahu banget! Kalau nggak, mana mungkin lu galau kayak gitu?" komentar Ria sambil menatapku dengan ekspresi nyinyir.
"Ya kayak yang lu bilang kalau gue masih kampungan. Ini tuh hal baru buat gue, nggak kayak lu yang udah pacaran beberapa kali. Gue baru sekali, makanya kaget," ujarku masam.
Ria menatapku dengan penuh penilaian, lalu meraih dua tanganku dan meremasnya erat.
"Lu tahu nilai positif apa yang bisa lu dapetin saat ini?" tanyanya.
Aku terdiam untuk berpikir sebentar. "Gue tahu soal itu sebelum menyesal?"
"Ada benernya tapi kurang tepat. Dia mau jujur sama lu kalau udah pernah tidur sama mantan. Kan ada cowok yang sok suci dan bilang nggak demi bisa ngibulin lu. Menurut gue, Jed itu termasuk fair jadi cowok."
Nggak tahu kenapa ucapan Ria barusan bikin aku mendadak semangat. Untuk apa juga aku galau kalau Jed udah jujur sama aku? Harusnya aku lebih bersyukur dengan hal yang lebih besar ketimbang mempermasalahkan masa lalu yang sudah terlewati.
Obrolan kami dilanjutkan dengan wejangan Ria yang mengajarkan untuk menikmati hubungan yang sedang berjalan. Selama merasa nyaman, maka nggak ada masalah. Jika ada masalah, maka rasa nyaman itu akan memperbaiki keadaan lewat dua pihak yang mau menyelesaikan.
Astaga! Masih jadi anak kelas 12, kok akunya sotoy banget? Udah kayak jadi orang gede banget aku tuh. Akhirnya, aku dan Ria balik ke kelas untuk ikutin sisa pelajaran di hari itu.
Seperti biasa, Jed jemput aku tepat waktu dan berhenti di depan gerbang sekolah. Jadinya kalau bel sekolah udah bunyi, aku harus buru-buru keluar dan nggak sempet ngobrol sama teman-teman lagi.
"Ini apa?" tanyaku kaget waktu buka pintu depan, dan sudah ada sebuah boneka Winnie the Pooh pake kaos warna pink.
Jed segera mengambil boneka yang ditaruh di bangku depan agar aku bisa duduk. Dan saat aku sudah duduk, boneka itu ditaruh di pangkuanku.
"Ini tuh apaan?" tanyaku senang dan memeluk boneka itu dengan gemas.
Aku suka banget sama boneka. Bentuknya harus beruang dan nggak tahu kenapa kayak gitu. Rasanya enak aja dipeluk dan dijadiin temen bobo.
"Buat kamu biar hepi lagi," jawab Jed sambil memasangkan seatbelt dan menatapku hangat.
Aku langsung gugup. Dekat sama Jed kayak gini bikin deg-degan, tapi aku suka banget. Apalagi mukanya cakep terus, nggak pernah jelek. Heran.
"Emangnya aku keliatan nggak hepi?" tanyaku pelan.
Jed mengangguk tanpa ragu. "Semenjak kamu tahu soal itu, kamu jadi lebih pendiam dan agak jaga jarak. Bales chat pun pendek banget, juga ogah-ogahan pas di telepon. Jujur aja, aku nggak tahu harus gimana, tapi nggak bisa lihat kamu sedih."
Aku nggak bisa jawab apa-apa selain menatap Jed dalam diam. Jed mulai melajukan kemudi dan membawa mobil dalam kecepatan sedang.
"Kamu udah makan?" tanya Jed kemudian.
"Tadi udah makan bakso sama Ria," jawabku sambil menoleh pada Jed yang sudah meraih satu tanganku untuk digenggam.
Jed selalu menyetir dengan satu tangan, karena satu tangannya yang lain pasti menggenggam tanganku. Sumpah, kayak gini aja aku tuh baper banget.
"Mau temenin aku makan sebentar, gak?" tanya Jed sambil meremas tanganku.
Aku langsung menatapnya kesal. "Kamu pasti nggak makan siang lagi, kan?"
"Sengaja skip lunch supaya meeting cepet kelar dan bisa jemput kamu," jawab Jed sambil terkekeh, lalu menarik tanganku ke arah bibirnya, dan mengecup ringan di punggung tanganku.
Kyaaa, Mama! Aku mau nikah aja deh sama Jed kalau hatinya diserang terus kayak gini. Aku jadi nggak bisa marah, mau kesel aja nggak enak hati.
"Kamu tuh yah, pinter banget ngegombal," ujarku sok menggerutu, tapi dalam hati, senangnya minta ampun.
Jed tertawa pelan. "Kok gombal sih? Aku cuma jujur kok. Emang beneran kayak gitu. Sumpah."
"Hush, nggak boleh ngomong sumpah-sumpah!" tegurku spontan yang langsung dibalas Jed dengan menarikku agar mendekat padanya.
Satu tangan yang tadinya menggenggam tanganku, kini merangkul bahu dengan erat dimana tubuhku bersandar pada Jed. Bibir Jed sudah mengecup puncak kepalaku berkali-kali.
"Ya udah, sumpahnya nanti aja buat sehidup semati," bisik Jed serak.
Aku tersentak dan mendongak untuk menatap Jed yang tampak serius. Ya Lord, kata Ria, aku terlalu muluk kalau kepengen Jed jadi yang pertama dan terakhir. Tapi sama Jed, kenapa jadi seserius ini? Aku makin galau.
"Aku minta maaf kalau bikin kamu sedih atas masa laluku. Nggak ada yang bisa aku lakuin selain berharap kamu bisa kasih aku kesempatan untuk buktiin kalau hidup aku sekarang, cuma ada seorang Naura di hati," ujar Jed sambil menyetir, dengan sesekali melirik ke arahku.
"Maaf ya kalau aku childish banget. Aku berusaha jujur dengan perasaanku sendiri waktu dengerin hal yang bikin aku galau," balasku apa adanya.
Jed mengangguk sambil kembali mengecup pucuk kepalaku. Aduh, aku merasa disayang banget. Kenapa dari dulu nggak nyobain pacaran aja? But, Jed is worth to wait. Gawat banget kalau sampai putus, bisa jadi aku bakalan nggak bisa move on. Amit-amit.
"Jangan ngambek lagi, yah. Please, aku jadi nggak konsen kerjanya. Juga udah mikir macam-macam," ujar Jed lagi.
"Mikirin apa?"
"Mikirin kalau kamu mau balas dengan cari cowok lain buat selingkuhin aku."
Mataku melebar kaget dan nggak percaya kalau Jed bisa punya pikiran yang sama kayak aku. Rasa nggak terima bikin aku punya pikiran untuk membalas Jed dengan cari cowok random di sekolah, biar tahu rasa gimana kalau ceweknya dipegang orang.
Sehubungan aku masih punya otak, yang punya prinsip boleh cinta tapi jangan sampai bego, pikiran jelek itu musnah. Ya kali aku selingkuh, terus ngorbanin diri dipegang sama cowok lain selain Jed. Aku rugi banyak dan nggak rela juga kalau bukan Jed yang pegang.
Astaga, Naura! Otaknya kenapa kepengen dipegang terus sama Jed? Ish, aku kan jadi mau cobain kalau diingetin terus kayak gini.
"Aku nggak bakalan selingkuh. Ada juga kamu yang bakalan kayak gitu karena banyak yang mau," sewotku.
Jed terkekeh dan menggeleng. "Buat apa banyak yang suka, kalau yang sayang dan cinta banget itu cuma kamu aja? Yah jelas aku tetap mau sama kamu lah. Pokoknya, jadi atau nggak jadi, semua tergantung kamu."
"Loh, kok ngomongnya gitu?"
"Karena kamu muda dan labil, masih bisa berubah pikiran. Apa yang kamu putusin sekarang, belum tentu sama dengan tahun depan. Doa aku cuma satu, mudah-mudahan kamu nggak pernah menyesal atau benci sama aku, misalkan kita harus berhenti di tengah jalan," jawab Jed.
"Kok ngomongnya makin ngaco?" tanyaku marah.
"Kita harus realistis, Sayang. Meski aku nggak bisa janji apa-apa sama kamu, tapi aku tetap mengusahakan yang terbaik buat kita," jawab Jed lagi.
"Kalau gitu, ya udah. Nggak usah ngomong aneh-aneh. Cukup jalanin aja, berharap yang terbaik, dan nggak perlu macam-macam. Terlalu realistis bikin pusing kepala. Aku tuh pokoknya maunya sama kamu, sekarang, nanti, sampe seterusnya. Titik!" desisku tegas.
Aku menarik diri dan membuang muka ke luar jendela. Kesal rasanya saat keyakinan diri diragukan oleh orang lain. Tadi Ria, sekarang Jed. Apa salahnya jika aku menginginkan satu cowok aja dalam hidup? Apakah semustahil itu? Menurutku, semua itu tentang kemauan diri. Misalnya Jed yang berubah, itu adalah kemauan dirinya, bukan aku. Dan kalau itu terjadi, aku nggak bisa apa-apa selain terima semua itu meski mungkin akan nggak terima.
Tapi saat ini, yang diragukan adalah aku, bukan Jed. Jadi rasanya kesel banget. Aku menoleh sambil memberikan ekspresi kesal saat Jed kembali menggenggam tanganku. Tuh, kan? Jed kalau kasih senyum, itu kayak ada racunnya. Mematikan rasa marah dan kesal, yang berganti dengan kebucinan akut yang nggak ada obatnya lagi.
"Maaf ya, Sayang. Aku salah lagi. Aku janji nggak bakalan kayak gitu. Sekarang, temenin aku makan ya. Aku lapar nih," bujuk Jed.
"Mau makan apa?" tanyaku ketus.
"Pengennya sih makan kamu, tapi perutku..."
"Oke! Aku mau jadi makanan kamu!"
"W-What?" tanya Jed kaget.
"Iya, aku nggak takut kalau kamu mau makan aku!" jawabku lantang.
Jed terdiam sejenak, menatapku dengan penuh penilaian, lalu kembali menatap ke depan sambil terus mengarahkan kemudi.
Kemudian, dia tersenyum sambil melirikku dengan seringaian berbahaya yang membuat degup jantungku memburu kencang.
"Fine! Laparku udah berubah haluan. Nggak ada kata mundur yah, Sayang. Karena aku nggak akan ragu untuk maju," ucap Jed tegas.
Kayaknya, aku salah nantangin orang.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Mmmmm, yah demikianlah obrolan gaje Nau dan Jed yang bikin aku senyum2 sendiri.
Boneka Pooh baju pink itu nggak tahu kemana, padahal modelnya limited, bentuknya kek bantal gitu.
Dia adalah alasanku kenapa sangat menyukai winnie the pooh hehe..
01.03.21 (22.45 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top