Part. 11 - Execution

Ternyata, aku produktif sekali weekend ini dan bisa update dua hari berturut2.
Yuk, kita baperan sama Jed dulu.

Happy Reading 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Aku hanya bisa pasrah menerima tatapan tajam dan menuntut dari Papa dan Mama saat ini. Om Will benar-benar memberitahukan hubunganku dengan Jed pada mereka saat kami tiba di rumah. Tentu saja, ada Oma Imel yang ikut duduk di sana. Papa, Mama, dan Oma Imel duduk di sebrang, berhadapan denganku yang duduk bersebelahan dengan Jed, sedangkan Om Will duduk di sofa tunggal.

"Kenapa kamu harus bohongin Mama, Naura?" tanya Mama tegas.

Nyaliku ciut kalau Mama terdengar marah. Bukannya menjawab, aku malah menundukkan kepala.

"Bukan Naura yang bohong, Tante, tapi saya," suara Jed menjawab, spontan membuatku tersentak dan langsung menoleh padanya yang sedang menatap ke depan dengan serius.

"B-Bukan, Ma. Ini..."

"Saya yang suruh Naura untuk nggak bilang apa-apa sama Om dan Tante," sela Jed tanpa menoleh ke arahku.

"Bukan, Ma!" seru aku cepat sambil menoleh pada Mama yang kini tampak berang, berbeda dengan Papa yang masih begitu tenang.

"Ini kenapa pada rebutan buat ngakuin siapa yang bohong? Mama nggak perlu tahu siapa yang suruh, tapi kenapa harus bohong sama kami?" tanya Mama dengan ketus.

"Karena aku takut," jawabku jujur.

"Takut kenapa?" tanya Mama dengan nada menuntut.

"Aku takut kalau Mama nggak bakalan setuju dan suruh aku putus. Aku cinta dan sayang Jed, Ma. Makanya aku minta Jed nggak ngomong apa-apa sama kalian semua, jadinya kita backstreet," jawabku yang sudah mulai menangis.

Jed langsung merangkul bahuku dan mengusap lembut lenganku. Aku menoleh dan menatapnya lirih, tapi dia masih menatap ke arah Papa dan Mama dengan serius.

"Satu-satunya orang yang perlu disalahkan adalah saya, bukan Naura," ucap Jed kemudian.

"Bukan begitu, Nak. Kamu tahu kalau Naura masih sekolah dan sebentar lagi akan ujian kelulusan. Dia masih harus lanjut kuliah dan jalannya masih panjang," balas Mama.

Mendengar ucapan Mama, aku bertambah sedih. Aku nggak mau putus sama Jed, juga nggak mau melepasnya. Meski umurku masih terlalu muda untuk mempertahankan cinta yang kata orang adalah cinta monyet, tapi yang kurasakan saat ini adalah nyata. Perasaanku pada Jed adalah tulus, bukan timbul lalu tenggelam.

Bahkan, aku sudah memeluk pinggang Jed sambil menangis terisak, menatap Mama dengan sisa keberanian yang kumiliki. Mama tampak kaget melihat apa yang kulakukan, sedangkan Papa dan Oma Imel masih bergeming. Om Will? Aku nggak tahu dan nggak mau melihatnya karena masih kesal padanya.

"Ssshhh, nggak apa-apa. Jangan nangis," bisik Jed menenangkan.

Aku hanya bisa menggeleng cepat dan nggak mau melepas pelukan.

"Nak Jed," panggil Papa yang langsung membuatku waswas.

"Ya, Om?" balas Jed.

Aku menatap Papa lirih, dan berharap agar Papa tidak menyuruh Jed meninggalkanku.

"Apa kamu menyayangi Naura?" tanya Papa.

"Sangat, Om," jawab Jed.

"Lalu, apa kamu peduli tentang masa depannya?" tanya Papa lagi.

Jed mengangguk. "Sangat peduli."

"Kalau begitu, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sebagai seorang yang lebih dewasa? Perlu kamu ingat jika Naura masih terlalu muda dan labil, juga mudah terpengaruh dengan hal baru yang tidak dimengerti. Masih belum tahu konsekuensi dan resikonya," lanjut Papa.

"Papa!" seruku kencang, lalu Jed langsung meremas satu tanganku dengan kuat, seolah peringatan agar aku nggak boleh membantah sekarang.

"Lihat sendiri, kan? Kayak gini aja udah berani ngelawan orangtua," sewot Mama.

"Aku nggak ngelawan, tapi mau jelasin. Aku memang masih sekolah, tapi nggak berarti aku nggak punya suara. Aku tahu kalau aku masih muda, tapi aku bisa tanggung jawab," balasku tersinggung.

"Apa buktinya?" tanya Mama lantang.

"Aku selalu pulang tepat waktu, juga nilai sekolahku bagus semua. Tiap kali ada PR, pasti ngerjain dan dibantu sama Jed, juga Om Will. Aku juga niat rajin belajar untuk dapat nilai bagus supaya bisa masuk uni pilihan," jawabku.

"Tapi..."

'Maaf, Tante, juga Om," sela Jed tenang sambil mengusap lembut punggungku. "Saya hanya ingin menjelaskan beberapa hal sebelumnya, jika Om dan Tante berkenan untuk mendengarkan."

"Silakan," balas Papa langsung.

"Mungkin bagi Om dan Tante, kami masih terlalu muda untuk jalanin hubungan. Pacar-pacaran itu nggak penting, yang terpenting adalah sekolah, kuliah, lulus, dan kerja. Tapi, selama diri sendiri niat untuk belajar menjadi dewasa, umur bukanlah tolak ukur. Salah satunya adalah pengenalan dari dua orang yang berbeda, untuk mencari kecocokan dan keseimbangan," ujar Jed.

"Memangnya kamu yakin kalau nantinya akan bersama dengan Naura? Hal itu masih terlalu jauh, Nak," sahut Papa kalem.

"Saya tahu, Om. Saya memang belum bisa menjanjikan apa-apa, tapi ada proses yang masih kami jalani, dan kalau memang kami bisa bareng sampai nanti, saya yakin akan dipermudah," balas Jed.

"Jika saya nggak kasih restu, itu berarti nggak mudah, kan?" tanya Papa yang membuatku tersentak, dan hendak membalas tapi remasan Jed kembali menguat seolah menyuruhku tetap diam.

"Bukan berarti itu sulit, dan saya percaya ada jalan keluar untuk hal tersulit sekali pun," jawab Jed tenang.

Aku menoleh pada Jed dengan mata berkaca-kaca, merasa terharu melihat keseriusannya saat menatap dan berbicara dengan Papa. Jed itu baik banget, dan aku makin sayang sama dia. Sebelum pacaran, harapanku cukup sederhana. Yaitu ingin mendapat kisah yang menyenangkan, meski nggak berakhir bahagia, tapi selalu terkenang dalam ingatan sebagai kenangan terindah. Itu saja.

"Jed adalah teman baik Will, dan anaknya baik. Harusnya kalian tenang kalau Naura sama orang yang kalian kenal selama bertahun-tahun," tiba-tiba Oma Imel buka suara.

"Bener banget! Jed itu temen baik, kalau mau macem-macem juga pasti mikir," tambah Om Will yang membuatku langsung menoleh padanya.

Om Will tampak serius, juga nggak terkesan iseng. Cuma aku masih sebel kenapa dia harus laporan sama Papa dan Mama?

"Tapi mereka nggak jujur," balas Mama yang masih bersikeras jadi ibu tiri yang paling nyebelin.

"Jed mau jujur, tapi Nau yang nggak mau. Dia takut nggak dikasih pacaran dan nggak mau putus sama Jed," sahut Om Will sambil menatapku, lalu memeletkan lidah tanda mengejekku.

"Dasar tega!" hardikku kesal.

"Memang!" balas Om Will lantang.

"Will!" tegur Jed dengan nada nggak suka, dan Om Will hanya memutar bola mata sambil bersandar di sofa dengan malas.

"Sudah! Sudah! Nggak usah berantem," lerai Papa.

"Intinya gini, gue kasih tahu kalian, bukan berarti kepengen Naura dan Jed dieksekusi, tapi dimaklumi. Salah gue yang kecolongan dan nggak ngeh kalau berdua ini bisa kegatelan satu sama lain. Gue cuma mau kalian tahu mereka pacaran, juga Naura nggak perlu main kucing-kucingan, dan Jed nggak perlu terbeban dengan harus bohong terus-terusan," ujar Om Will kemudian.

'Tapi Naura mau ujian sebentar lagi. Kalau nanti nilainya jelek gara-gara pacaran gimana?" seru Mama.

"Mama nyebelin! Mama sama Papa aja beda 10 tahun! Itu berarti Mama udah pacaran sama Papa waktu masih sekolah, kan? Kata Papa, kalian pacaran selama 8 tahun dan baru nikah. Harusnya nggak aneh dong kalau aku umur segini udah pacaran," balasku nggak terima.

"Zaman dulu sama zaman sekarang itu beda!" sahut Mama.

"Beda apanya? Semua sama aja, yang penting bisa jaga diri dan nggak kelewatan," tukasku sok bijak.

"Sotoy dah," celetuk Om Will dan aku langsung menoleh padanya dengan muka cemberut.

"Naura, stop. It's okay. Mama kamu benar, kamu mau ujian dan harus fokus untuk kelulusan," ujar Jed menengahi.

Aku menatap Jed kaget. "A-Aku nggak mau putus!"

"Siapa yang ngomong putus?" tanya Jed bingung.

"Itu maksudnya apa? Mama nggak setuju aku pacaran, terus kamu iyain aja, gitu?" seruku sambil menangis lagi.

"Nggak gitu," balas Jed sambil menenangkanku dengan menepuk-nepuk punggungku.

"Aduh, ribet banget sih?" seru Om Will gemas. "Punya otak tuh milenial dikit dong, Kak! Dengan melarang dia bareng sama Jed, taruhan sama gue kalau dia justru nggak semangat belajar dan bakalan nggak lulus! Seperti yang tadi lu bilang kalau zaman dulu sama zaman sekarang itu beda!"

"Heh? Nggak gitu juga! Gue nggak mau dia salah langkah karena lebih milih pacaran daripada mikir sekolah," balas Mama.

"Sekolah bukan dipikirin, tapi dijalanin," sahut Om Will nggak mau kalah.

"Sudah! Sudah! Pusing kepala kalau berdebat kayak anak kecil begini!" lerai Papa.

Papa masih mengoceh panjang lebar, sementara aku menangis tersedu-sedu, dan Jed yang berusaha menenangkan. Yang kutakuti adalah seperti ini. Mama adalah orang yang sulit, yang berpikir jika aku nggak sama dengan dirinya, atau takut jika aku bertemu dengan orang yang nggak seperti Papa.

Mama lupa satu hal, bahwa aku bukan dirinya. Tiap orang kan punya kisah masing-masing, nggak bisa disamain. Aku juga nggak mau jadi Mama, walau mengaguminya dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Meski, Mama dan Papa adalah inspirasiku, tapi aku cuma mau jadi diri sendiri, karena menjadi inspirasi bukan berarti harus sama persis.

"Begini saja," ujar Oma Imel. "Mereka berdua udah sama-sama gede, apalagi Jed udah lebih dewasa dan bisa mikir panjang. Jadi, sebagai orangtua kasih dukungan dan pantau mereka. Saya yakin kalau mereka berdua bisa bertanggung jawab atas pilihan sendiri."

"Betul kata Tante Imel, Ma," timpal Papa kalem, dan itu langsung membuat isakanku terhenti, lalu menatap Papa dengan penuh harap.

"Gimana kalau nanti Naura jadi nggak fokus, Pa?" balas Mama bersikeras.

"Begini aja, Tante," celetuk Jed yang membuat semuanya menoleh ke arahnya.

"Jed," panggilku panik sambil memeluk lengannya dan menggelengkan kepala.

"It's okay, nggak apa-apa," balas Jed menenangkan, lalu menoleh kembali pada mereka dengan ekspresi yang masih serius.

"Saya berjanji akan membimbing Naura dalam pelajaran sekolahnya, dan saya jamin kalau Naura akan mendapat nilai tertinggi untuk bisa masuk ke uni pilihannya. Jadi, hubungan kami nggak akan jadi penghambat," ucap Jed.

"Kalau sebaliknya gimana?" tanya Mama.

Aku bete banget sama Mama yang daritadi tuh bikin kesal. Oma Imel dan Papa udah setuju, tapi Mama yang masih terus menyudutkan Jed dengan tanya jawab kayak gini.

"Tante boleh melarang saya untuk jangan bertemu dengan Naura lagi," jawab Jed yang langsung mendapat aksi protes dariku.

"Nggak bisa gitu dong, Jed! Aku..."

"Nggak ketemu bukan berarti nggak teleponan, Naura," sela Jed tenang.

"Aku maunya ketemu sama kamu! Nanti kalau Lana ngeganjenin kamu terus gimana?" balasku nggak terima.

"Lana sama kamu nggak bisa dibandingin," ucap Jed yang masih saja tenang, tapi aku udah kepanasan.

"Mama, aku sama Jed baik-baik aja. Selama pacaran enam bulan, Mama tahu sendiri kalau aku nggak pernah kelayapan dan pulang malem, kan?" tukasku bersikeras.

"Bukan berarti Mama harus kasih kemudahan untuk dapetin kamu gitu aja. Sebagai Mama, ya harus lebih kritis dan menjadi tantangan buat cowok yang deketin kamu. Nggak peduli dia teman baik Om kamu, atau siapapun itu. Jelas-jelas, Om kamu sendiri aja masih luntang lantung kayak gitu, gimana temennya?" sewot Mama.

"Punya nyokap kayak lu emang bikin males. Gue bingung sama kakak sepupu gue yang satu ini waktu milih cewek itu pake apaan. Untung nyokap gue lebih realistis, ketimbang lu yang idealis. Terus aja kelakuan kayak gitu, yang ada si Naura jadi perawan tua baru tahu rasa!" balas Om Will judes, dan Mama langsung berseru nggak terima.

"Cukup!" lerai Papa lagi, dan kini menatap Jed dengan ramah. "Maaf, Nak Jed, harap maklumi kami sebagai orangtua yang berusaha menjaga anak semata wayangnya karena ini adalah pertama kalinya kami tahu jika Naura ada yang suka."

"Papa!" protesku sebal dan Papa cuma nyengir.

Situasi menjadi lebih santai dan tenang, meski Mama masih terus memberi aturan ini itu pada Jed, yang ditanggapi dengan anggukan kepala. Karena jam sudah mendekati jam 7 malam, kami makan malam bersama, dan setelah itu berpisah.

Keputusan sudah diambil bahwa aku dan Jed cuma boleh bersama saat akhir pekan. Hari biasa hanya diperbolehkan untuk antar jemput sekolah, selebihnya nggak boleh jalan-jalan atau mampir ke tempat lain.

"Jangan cemberut, senyum dong," ucap Jed saat aku mengantarnya hingga ke pagar. Om Will dan Oma Imel sudah jalan lebih dulu untuk kembali ke rumah sebelah.

"Aku minta maaf kalau Mama nyebelin," ujarku sedih.

Jed tersenyum sambil menggeleng. "Mama kamu bukan nyebelin, tapi sayang sama kamu. Sudah seharusnya kayak gitu, karena seorang Mama selalu ingin memberi yang terbaik buat anaknya."

"Tapi, aku nggak mau kamu sakit hati atau..."

"I'm fine, and totally happy. Don't you get it, Naura? Kita nggak perlu ngumpet-ngumpet lagi dan bisa pacaran normal karena semuanya udah tahu," sela Jed sambil mengusap kepalaku dengan lembut.

"Jed," panggilku pelan.

"Ya?" balasnya lembut.

"Aku beneran sayang sama kamu," ucapku lirih.

"Aku juga sayang banget sama kamu," sahutnya.

"Jadi, habis ini, nantinya gimana, Jed?"

Senyuman Jed melebar dan dia mendekatkan diri untuk memberi kecupan singkat di kening, lalu berbisik lembut sekali. "Nantinya, aku akan datang tiap malam minggu, dan bilang sama orangtua kamu, kalau aku mau jemput pacarku buat malam mingguan."

Dan aku nggak bisa kasih balasan, selain memberi cengiran lebar, lalu disusul dengan teriakan Mama yang sudah memanggil dari dalam.

"Sampai hitungan ketiga kamu belum masuk, Mama bakalan usir pake disinfectan spray!"

Astaga, Mama itu malu-maluin banget!



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Jadi tuh waktu aku masih SMA, Mama itu paling overprotektif sama aku.
Tiap kali ada cowok yang samperin, pasti discanning dulu sama beliau, padahal bukan pacar tapi cuma mau kerja kelompok. 😅

But, it was memorable.
Buatku, itu cara Mama nunjukkin rasa sayangnya ke aku sebagai anak perempuan satu2nya di rumah.

Aura Jed sangat pangeran sekali 🙈


10.01.21 (19.15 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top