Part. 10 - Red sign
Pesan Jed semalam, nggak aku lakuin. Ya kali aku biarin pintu nggak dikunci, aku juga takut kalau malam-malam ada yang samperin. Dikira Jed, dia doang yang sekolah, trus aku nggak? Enak aja.
Lagian, aku juga tahu kalau Jed cuma bercanda, niatnya pasti cuma buat nakut-nakutin aku. Semalam setelah masakin indomie dan temenin main poker sebentar, aku langsung ke kamar dan molor sampai pagi.
Aku bangun jam tujuh pagi dan langsung mandi. Udah jadi kebiasaan kalau habis bangun tidur, pasti mandi dulu, baru sarapan. Kata Om Will, rencananya kami akan balik siang nanti supaya nggak tiba di Jakarta kemalaman.
Kelar mandi, aku ganti baju dan langsung beresin barang bawaan, biar nanti kalau udah sarapan bisa langsung jalan. Setelah itu, aku keluar kamar untuk bangunin Om Will, lalu Jed.
Setiap pergi kemana aja, aku selalu dapat kerjaan buat bangunin duo kebo yang kalau nggak dibangunin, nggak bakal bangun. Nggak bisa disalahin juga karena mereka tidurnya malam banget, tapi salah juga karena cari penyakit.
Kamar Om Will berada persis di depan kamarku, yang langsung aku ketok beberapa kali, dan membuka kenop pintu. Suara dengkuran si Om menyambutku, dan aku masuk ke dalam kamar untuk membangunkannya.
"Iya, Bawel. Gue udah bangun. Goweran bentar 10 menit, nanti gue mandi," ucap Om Will dengan mata yang masih terpejam.
"Nanti aku balik lagi," balasku sambil beranjaak dari kamarnya dan segera menuju ke kamar Jed yang ada di sebelah kamarku.
Aku mengetuk pintu, lalu membuka pintu yang nggak dikunci. Aku heran kenapa orang kalau tidur, bisa nggak kunci pintu kamar? Apa cuma aku yang parno kalau bakalan ada yang niat jahat pas malam-malam?
Setelah masuk kamar, pintu sudah kututup dan menghampiri Jed yang masih tidur. Menepuk bahunya, memanggil namanya, aku duduk di tepi ranjang untuk memperhatikan wajah tidur Jed yang cakep banget.
Baru aja mau mengusap kepala, tiba-tiba aku ditarik maju, dan berguling ke samping, lalu terbaring dengan Jed yang berada di atasku, menindihku. Sumpah yah, aku jadi waswas sama Jed sekarang.
"Kamu udah bangun tapi pura-pura bobo!" protesku sambil menahan dadanya agar memiliki jarak karena sudah semakin menindihku.
Jed terkekeh sambil membungkuk untuk mengarahkan kepalanya pada sisi leherku, mengendusnya. "Hmmm, wangi amat sih pacarnya aku."
"Ih, geli, awas dong. Aku udah mandi, kamu yang belom," seruku.
"Nggak apa-apa, nanti mandi lagi aja, kalau perlu mandi bareng," balas Jed yang langsung kubalas dengan menggelepak kepalanya, dan dia mengadu kesakitan.
"Kok mukul sih?" protes Jed sambil mengusap kepalanya.
"Kamu tuh sekarang mesum terus," ucapku gemas.
"Cuma kamu yang bisa ilangin mesumnya aku," balas Jed sambil nyengir.
"Jed!"
Napasku tertahan saat Jed tiba-tiba membungkuk tepat di depan dada, lalu menenggelamkan wajahnya di sana, tepat berada di antara payudara. Aku cuma bisa menatap plafond kamar dengan mata melebar, tubuh yang menegang kaku, dan nggak tahu apa lagi yang kurasakan saat Jed mengecup tepat di degup jantungku yang mengencang.
Dua tangan Jed begitu erat merengkuh pinggang, dengan dua kaki panjangnya yang membelit dua kakiku. Memejamkan mata, dua tanganku refleks meremas bahu Jed dan mengeluarkan erangan pelan saat lidah Jed meliuk di atas kulitku. Dengan atasan v-neck yang menampilkan sebagian kulit di sekitar dada, lidah Jed berkelana di sana, memberi rasa geli sekaligus nikmat yang asing.
"Enghh, Jed," ucapku serak, saat mulut Jed mengisap tepat di atas dada, dengan satu tangannya yang sudah menyelinap untuk meremas dadaku dari balik bra.
"Naura," gumamnya lembut, sambil terus melakukan hisapan di sana.
Hisapan Jed semakin mengeras, juga remasannya. Haruskah aku berteriak untuk memintanya berhenti? Tapi aku takut kalau nanti jadi heboh.
"Jed, stop," erangku pelan, sambil mendorong Jed.
Napas Jed memburu, sorot matanya menggelap, dan menatapku seperti orang yang seolah aku adalah mangsanya. Aku sampai merinding melihat tatapan Jed seperti itu.
"Please, stop," ucapku parau, dan entah kenapa aku kayak mau nangis karena mataku sudah berkaca-kaca.
Jed langsung memeluk dan mencium keningku, lalu mengembuskan napas berat. "Maaf, Sayang. Kasih aku waktu untuk tenangin diri dulu."
Aku menjawab dengan anggukan kepala sambil mengerjap cepat, dan nggak tahu apa yang harus aku lakukan selain diam. Jed masih memeluk erat dan napasnya mulai teratur, nggak memburu seperti tadi. Lalu kemudian, Jed melonggarkan pelukan dan berguling ke samping.
Dengan berbaring menyamping dan menopang kepala dengan satu tangan, Jed menatapku sambil tersenyum dan membelai pipiku dengan satu tangannya yang lain.
"Sori, ada yang sakit?" tanya Jed pelan.
Ekspresi Jed terlihat bersalah, tapi sorot matanya nggak kayak tadi. "Nggak."
"Thanks, yah," ucapnya.
"Kenapa malah bilang thanks sama aku?" tanyaku bingung.
"Karena berani suruh aku berhenti. Coba kalau nggak, aku bisa kelewat batas," jawab Jed.
Keningku berkerut, mencoba memikirkan beberapa pertanyaan untuk diajukan, tapi aku nggak berani.
"Kenapa? Ada yang kamu pikirin?" tanya Jed.
Aku mengangguk dan segera beranjak untuk duduk bersila di depan Jed. "Kita udah pacaran berbulan-bulan, kan?"
Jed mengangguk.
"Terus, sejak jadian sampe kemarin itu, kita biasa aja. Tapi kenapa sekarang kamu seneng banget main fisik? Aku jadi... mmm, bingung," ucapku dengan suara mencicit, sambil menatap Jed malu.
Jed terkekeh dan mengubah posisi untuk duduk. "Selalu ada perubahan saat kebersamaan itu semakin terasa dekat. Aku dan kamu udah saling sayang. Kita jadian untuk pengenalan, pendekatan, juga mengeratkan hubungan. Sentuhan itu sekedar selingan karena kebutuhan. Aku... butuh kamu."
"Harus pake... mmm, sentuh kayak tadi?" tanyaku bingung.
Jed tertawa sambil mengacak rambutku. "Kalau kamu nggak mau, kamu bisa menolak atau suruh aku berhenti kayak tadi."
"Tapi, ini perlu banget kayak tadi?" tanyaku lagi.
"Perlu nggak perlu sih sebenarnya. Aku cuma pengen lihat sejauh mana aku bisa bawa pengaruh dalam diri kamu. Lagipula, aku sayang dan butuh. Cuma sama kamu, aku bisa kayak gini," jawab Jed.
"Aku juga sayang dan butuh kamu," balasku tanpa ragu.
Jed tertegun sebentar, lalu kembali tertawa. Kayaknya nggak ada yang lucu, tapi kenapa dia selalu ketawa? Aku jadi bingung.
"Sayangnya kita sama, tapi butuhnya yang beda," ujar Jed sambil nyengir.
"Butuhnya kamu lebih ke mesum ya?"
"Bukan mesum sebenarnya, tapi eksperimen."
"Eksperimen?"
"Mau tahu aja gimana sih responnya ABG kalau dicium kayak gitu?"
Aku langsung berseru nggak terima dan memukul bahu Jed dengan kesal, sementara Jed cuma ngakak aja. Selama beberapa saat aku meluapkan kekesalan, akhirnya Jed menangkap dua tanganku dan kini menatapku serius.
"Aku bercanda, okay? Jangan marah," ujar Jed dengan pelan.
"Ya tapi nggak gitu juga jawabnya. Aku kan lagi serius," seruku yang masih nggak terima.
"Iya, sori. Intinya gini, aku mulai hubungan karena suka, lalu sayang sama kamu. Itu udah berarti cinta. Dan selama jalan sama kamu, rasa sayangku lebih besar, juga keinginan memiliki lebih banyak. Jadi, yang namanya cinta, pasti ada passion di dalamnya," ucap Jed serius.
Aku cuma bisa diam dan menatap Jed seksama. Inikah pelajaran yang bisa aku ambil selama jalan sama cowok yang beberapa tahun lebih tua dariku? Dewasa sebelum waktunya, atau memang sudah waktunya untuk tahu banyak soal kedewasaan?
"Passion yang diawali cinta itu beda dengan yang cuma mau enaknya aja. Aku berani mesum sama kamu, setelah tahu kalau kita sama-sama saling sayang, dan rasanya nggak kenapa-napa kalau mulai pelan-pelan," lanjut Jed dengan ekspresi ragu.
Aku merasa wajahku memanas, kayak yang mendadak gerah dan salah tingkah. Kalau boleh jujur, aku suka dengan apa yang Jed lakuin ke aku, dan nggak merasa dilecehkan. Cuma kalau sudah kelewat batas yang melebihi nalar, aku minta berhenti. Bukan munafik atau jual mahal, tapi lebih ke urusan penyesalan.
Menurutku, melakukan sesuatu harus didasari dengan kemauan diri, bukan paksaan. Supaya nggak menyesal nantinya, dan aku nggak mau menyesal karena bersama dengan Jed, aku bahagia. Jadi, momen yang mau aku buat bersamanya adalah hal yang menyenangkan.
"Iya, nggak apa-apa. Tapi jangan kelewatan, aku masih perlu belajar," balasku malu-malu.
Jed tersenyum dan membelai kepalaku dengan lembut. "Aku tahu. Makanya, kamu harus berani nolak dan bilang nggak, supaya aku tahu kalau udah kelewat batas. Kita sama-sama belajar untuk saling mengerti, okay?"
Aku mengangguk dan membiarkan Jed memelukku. Kami berpelukan beberapa saat, lalu melepaskan diri untuk kembali ke tujuan semula.
"Kamu mandi dulu, aku mau bantu siapin sarapan," ucapku sambil beranjak dari ranjang, diikuti Jed.
"Kenapa harus kamu yang siapin? Ada mbak, kan?" tanya Jed sambil membuka atasan.
Deg! Aku langsung membuang muka karena bertambah gerah. Rajin gym dan olahraga, bentuk tubuh Jed bagus banget. Pelukable, sandarable, dan manjatable. Aku sampe nggak tahu mesti ngapain waktu Jed mulai berulah untuk membungkuk dan menarikku mendekat.
"Nggak usah malu, ini punya kamu. Mau disentuh, dicium, atau diapain, bebas. Aku nggak masalah," bisik Jed pelan.
Aku langsung mendongak untuk menatapnya dengan mata menyipit. "Kamu tuh yah, makin lama makin mesum."
Jed nyengir. "Habisnya kamu tuh lucu. Aku cuma baru buka kaos, muka kamu merah banget. Gimana kalau aku buka celana?"
"Ngapain juga kamu harus buka baju di depan aku?" semburku pelan.
Sambil terus nyengir, Jed membungkuk untuk berbisik tepat di telinga. "Biar kamu terbiasa dan nggak kaget kayak tadi. Ke depannya, kita bakalan sering main rumah-rumahan dan baju cuma sekedar pengalihan."
Sebelum aku sempat membalas, pintu kamar Jed dibuka dengan kasar, dan membuat kami berdua langsung menoleh pada Om Will yang masuk dengan ekspresi murka.
"BAGUS BANGET! Weekend getaway lu orang pake buat ngamar! Pulang dari sini, gue bakalan bilang sama orang rumah kalau lu berdua pacaran!" sembur Om Will.
"Om, nggak gitu, Om. Kita nggak ngamar," seruku panik.
"Nggak ngamar?" balas Om Will sinis.
Aku mengangguk cepat dengan ekspresi yakin, tapi Om Will malah menyipitkan mata sambil memiringkan kepala.
"Tuh, lihat! Di sekitaran dada lu, ada cupangan sampe lima titik! Kalau nggak ngamar, terus apa namanya? Lagi belajar cari garis lintang, dan bikin titik koordinat di dada? Gitu?" sewot Om Will yang bikin mataku melotot kaget, dan Jed yang langsung kabur ke kamar mandi.
Dasar Jed sialan!
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Yang pas zaman sekolah, terus ketahuan dapet titik merah di dada, pasti senyum2 pas baca ini 🙃
Selamat liburan ya.
I purple you 💜
26.12.2020 (10.50 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top