Part. 1 - Jed

"Kenapa jam segini baru pulang, Nau? Kamu kemana aja? Kata Ria, kamu langsung cabut pas jam pulang."

Suara ocehan Mama langsung menyambut saat aku baru membuka pagar rumah. Aku cuma bisa menghela napas sambil berjalan masuk. Mau gimana lagi? Pasrah aja terima ocehan Mama.

"Abis cari buku, Ma," jawabku saat Mama sudah ada di hadapanku sambil bertolak pinggang.

"Sama siapa? Ria bilang..."

"Temenku itu nggak cuma Ria kali, Ma. Masih ada Putri, Sisca, Lusi, Nuno, Toni, juga Rocky, Ma," selaku cepat.

Mata Mama langsung melotot. "Dari semua yang kamu sebut, satu pun nggak ada yang tahu kamu pergi ke mana! Mama udah telepon mereka!"

Astaga, Mama! Kenapa harus kayak gitu, sih? Ini anaknya udah kelas 12. Udah mau lulus dan bakalan jadi mahasiswi.

"Harus banget ya aku sebutin semua temen-temenku?" keluhku malas.

"Kamu itu terlalu banyak alasan! Semenjak masuk SMA, kamu sering banget kelayapan dan nggak jelas perginya sama siapa!" omel Mama.

"Aku nggak kelayapan, Ma," balasku.

"Terus apa? Jangan-jangan, kamu tuh diem-diem pacaran sama anak begajulan? Naura, Mama udah sering bilang untuk jaga diri dan nggak usah main pacar-pacaran. Umur segitu nggak ngerti cinta, karena berujung buta," sahut Mama judes.

"Buta apaan sih?"

"Buta logika!"

Haish! Mama selalu ngomelin hal yang itu-itu aja. Kenapa sih nggak bisa kayak Ria yang punya nyokap pengertian, yang nggak masalah kalau Ria jadian sama Dodi? Aku kan juga pengen rasain yang namanya pacaran.

"Sori ya, Ma. Aku cuma beli buku sebentar di toko buku tadi. Nggak sempet kasih kabar karena hape lagi lowbat," ucapku mengalah, karena sudah terlalu lelah untuk berdebat, atau mendengar larangan yang itu-itu saja.

"Iya, tapi..."

"Permisi, Tante."

Aku langsung menoleh dan mengerjap gugup saat melihat sosok Jed yang sudah berdiri di ambang pintu. Deg! Cowok itu kenapa sih? Aku kan jadi deg-degan kalau dia mendadak muncul begitu.

"Eh, Nak Jed. Ada apa?" tanya Mama ramah.

Aku memutar bola mata saat mendengar keramahan Mama. Tadi ngomong sama aku kayak mau makan orang, giliran ada cowok sekeren Jed langsung berubah jadi girang.
Jed melihatku sekilas, lalu kembali melihat Mama. Cowok itu masih keliatan cakep banget walau abis pulang kerja. Kemejanya sudah digulung sampai batas siku, juga sebagian sudah keluar dari celana, tapi tetap aja charming.

"Maaf kalau tadi sempet pinjem Naura sebentar buat temenin beli kue," ujar Jed kemudian.

Mataku melebar kaget, melirik singkat pada Mama yang juga kaget, lalu memberi ekpresi mengancam pada Jed yang masih melihat Mama.

"Loh, tadi katanya beli buku, kok sekarang malah jadi temenin beli kue?" tanya Mama dengan tatapan menyelidik ke arahku.

Aku cuma bisa pasrah.

"Naura memang tadinya beli buku, Tante," suara Jed membalas. "Nggak sengaja ketemu saya di sana. Daripada pulang sendirian, saya ajak beli kue dulu, baru anter pulang. Maaf baru samperin ke sini karena baru aja dari rumahnya Will buat kasih kue pesenannya."

Aku melirik Mama yang langsung ber-oh ria dan percaya gitu aja. Segitu nggak percayanya Mama sama aku, sampe dikasih tahu daritadi nggak mempan, tapi giliran Jed yang ngomong langsung santai. 

"Oh, gitu. Ya udah, nggak apa-apa. Kalau Nau pulangnya sama Jed, Tante lega. Tahu sendiri kan pergaulan anak zaman sekarang? Udah gitu, Nau juga susah dikasih tahunya, jadi Tante langsung mikir macem-macem. Terima kasih udah anter Nau ya, Nak Jed," ujar Mama sumringah.

See? Mama aja nggak minta maaf sama aku, tapi malah terima kasih sama Jed. Aku jadi bete kalau Mama suka pilih kasih. Sama anak cowok, Mama kasih kebebasan. Giliran aku, posesifnya ampun-ampunan.

"Sama-sama, Tante. Kalau gitu, saya pulang dulu, ya," pamit Jed.

"Eh, nggak mau makan malam dulu? Ini udah mau jam lima loh. Atau kamu ada janji sama Will sehabis ini?" seru Mama.

Aku menatap Jed yang kini melihat ke arahku, memberiku sebuah senyuman hangat, lalu kembali menatap Mama. Ih, sempet-sempetnya tebar pesona yang bikin jantung aku makin nggak normal.

"Nggak, Tante. Saya mau pulang dulu, takut nanti dicariin," jawab Jed sambil melihatku.

Aku spontan menunduk untuk menghindari tatapannya. Kenapa sih jadi liat-liatan kayak gini?

"Dicariin siapa? Keluarga kamu bukannya masih di Jambi semua?" tanya Mama.

Aku langsung menoleh dan menegur Mama. "Ma, kepo banget sih."

Mama hanya berdecak pelan.

"Takut nanti dicariin pacar, Tan," jawab Jed yang sukses membuat wajahku memanas, lalu melirik singkat pada Jed.

Cowok itu memamerkan cengiran lebar, makin ganteng dengan lesung pipinya yang dalam. Bener kata Mama, cewek seumuranku itu nggak paham cinta, tapi jadi buta. Aku tuh merasa bego kalau ada dia.

"Oh, pacarnya," ujar Mama yang entah kenapa terdengar kecewa.

"Saya permisi dulu ya, Tan," ucap Jed lagi.

“Ya udah, biar Nau anter kamu ke depan, ya. Tante mau siapin makan malam dulu,” sahut Mama yang langsung mendorong pelan bahuku untuk maju.

Kegugupanku bertambah saat tatapan Jed sudah sepenuhnya menatapku, juga senyuman lebarnya yang membuatku salah tingkah. Harus banget yah tebar pesona kayak gitu?

“Kenapa kamu malah samperin ke sini?” bisikku pelan saat kami sudah berada di dekat pagar, sambil melirik ke dalam rumah, takut Mama tiba-tiba nongol.

“Aku takut kalau kamu dimarahin sama Mama kamu,” jawabnya.

Aku kembali menoleh dan Jed masih menatapku sambil tersenyum. Manisnya kurangin dikit bisa gak, sih? Ini jantungnya masih belum normal nih.

“Nanti kalau Mama curiga gimana?” tanyaku.

Jed terdiam selama beberapa saat, lalu mengangkat bahu dengan santai. “Biarin aja. Kalau ditanya, ya ngaku aja.”

“Dengan konsekuensi putus sama kamu? Nggak mau!”

Jed terkekeh geli saat mendengar balasanku. Baiklah, agar supaya kamu nggak bingung, sini aku kasih tahu.

Iya, aku udah pacaran sama Jed. Kita jadian sekitar tujuh bulan yang lalu, atau saat Jed ngajakin makan es krim di kedai dekat sekolah, yang waktu itu tiba-tiba nongol buat jemput.

Pertemuan kami itu unik, mungkin orang lain nggak akan mengira sampai sejauh ini. Pada intinya, aku naksir Jed udah lama banget. Aku suka dia waktu masih SMP. Centil ya? Iya, aku emang centil. Waktu SMP, udah tahu cowok ganteng. Dan Jed adalah cowok pertama yang membuat hatiku berdebar kencang.

Opa dari pihak Papa punya adik paling kecil, yang biasa aku panggil dengan Oma Amel.

Oma Amel punya tiga anak, dan yang paling kecil adalah Om Will. Perbedaan umur Opa dan Oma Amel cukup jauh, jadinya anak-anak Opa udah termasuk dewasa saat Oma Amel baru mendapatkan anak pertama.

Singkat ceritanya, Papa dengan Om Will itu sepupuan, tapi umurnya beda jauh banget. Papa berumur empat puluhan, sedangkan Om Will masih berumur dua puluhan. Kami bertetangga dengan Om Will, dan hanya selisih satu rumah.

Jed adalah teman kuliah Om Will, yang waktu zaman kuliah tuh sering banget main di rumah Om Will.

Jadi, dengan kata lain, Jed adalah temen Om-ku, yang artinya aku harus panggil Jed itu Om juga. Tapi Jed menolak mentah-mentah panggilan itu, yang sama dengan Om Will yang selalu protes tiap kali aku panggil pake panggilan Om. Perbedaan umur kami cuma delapan tahun, yang artinya nggak jauh-jauh banget.

Itu menurutku yah, tapi nggak buat teman baikku, namanya Ria. Katanya, seleraku itu ketuaan. Masa iya? Menurutku, cowok berumur dua puluhan jauh lebih menarik ketimbang temen seumuran. Nggak tahu kenapa kalau tiap kali jalan ke mall, sosok cowok yang lagi temenin anak ceweknya makan bareng, atau cowok pake baju kantoran itu punya kesan tersendiri buatku.

Daripada harus ngeliat sekelompok cowok pake seragam SMA, yang kalau liatin orang pake tatapan genit trus bisik-bisik sama temennya, lalu cekikikan. Ih, nggak banget. Aku nggak suka. Bagiku, cowok itu harus punya manner. Senggaknya, nggak bersikap sok eksis dengan pasang muka sok ganteng, yang sebenarnya biasa aja.

“Jadi, mau sampai kapan kamu kayak gini?” tanya Jed yang langsung membuyarkan lamunanku.

“Nanti dulu ya, tunggu aku lulus dulu. Nggak apa-apa, kan?” balasku.

Jed mengangguk sambil tetap tersenyum. “Aku ikutin kamu aja. Buatku, orang-orang tahu atau nggak soal hubungan kita, itu sama sekali nggak penting. Yang terpenting adalah aku masih bareng sama kamu.”

Kalau ngomongnya manis terus, lama-lama aku bisa diabetes. Aku tuh nggak bisa diginiin. Selain jadi cinta pertama, Jed juga pacar pertama. Jujur aja, aku takut kalau ketahuan pacaran sama Mama, makanya nggak berani bilang kalau udah pacaran, meski keluargaku udah kenal baik dengan Jed.

Jadi, untuk sementara begini dulu aja. Jalanin hubungan diem-diem, sambil mengenal Jed lebih banyak. Seperti kata Jed, nggak penting orang tahu atau nggak, yang penting tuh kami bersama.

Sebab, dunia nggak harus tahu tentang Naura yang udah punya pacar.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Bikin yang manis2 aja, ya.
Udah capek rasain pahitnya hidup.
🤣🤣🤣🤣🤣

Terus, karena aku yang kudet dan baru ngebucinin Suho di Webtoon, jadi visual Jed itu ini aja 🙈


Vote dan komen jangan lupa. 💜
Jadi, merasa aneh nggak aku pake POV 1?
Aku masih merasa absurd. 😅

Hope you like it.

26.10.2020 (22.36 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top