Just Mantan

Ratusan siswa baru SMA Moniyan masih berbaris rapi di tengah lapangan upacara. Jika dilihat lebih detail, mereka sudah ogah-ogahan berdiri terlalu lama dibawah sinar matahari. Kalau saja kali ini bukan Khufra, sang kepala sekolah, yang tengah berpidato, anak-anak baru itu pasti memilih untuk meninggalkan lapangan detik itu juga.

Dunia memang adil!

Tak hanya di lapangan yang terasa begitu panas. Ruangan OSIS yang tengah digunakan rapat panitia pensi penutupan MOS mendadak panas. AC di ruangan itu mati beberapa menit yang lalu. Keadaan itu membuat seluruh penghuni ruangan gusar dan kepanasan.

Seseorang cewek berdiri dan langsung berlari meraih gagang pintu. Dibukanya pintu ruangan itu agar ia kembali mendapatkan oksigen yang berkualitas.

"Hah!" Seru Freya lega setelah mendapatkan kembali kebutuhan napasnya. "Gila kayak di oven gue!" Lanjutnya. Freya enggan masuk lagi ke ruang OSIS. Ia memilih duduk di bangku teras menunggu yang lain keluar ruangan. Ia yakin, rapat akan segera berakhir.

"Mending kita udahin aja rapat kali ini.!" Kata Claude sang ketua OSIS. Ia juga merasa kegerahan dan mengibaskan kerah bajunya.

Mendengar instruksi positif dari sang ketua, seluruh anggota yang ikut rapat mulai membereskan alat tulis masing-masing. Satu persatu dari mereka pun meninggalkan ruangan.

"Revisi pembagian dana udah lo beresin kan, Miy?" Pertanyaan Claude tertuju pada seorang cewek yang masih berkutat pada laptopnya. Claude juga sudah bersiap untuk meninggalkan ruangan.

"Ya, udah gue bagi. Tinggal gue kasih ke tiap divisi." Jawab gadis berambut panjang dikuncir kuda itu. Ia menekan beberapa shortcut pada keyboard laptopnya. Tak lama kemudian terdengar suara mesin print tengah bekerja.

"Bagus lah, pokoknya gue serahin masalah keuangan itu ke lo." Balas Claude.

"I can handle that!" Sahut Miya sambil mengambil hasil cetakannya.

"Pokoknya kalo ada masalah, lo lapor aja ke gue." Kata Claude lalu meninggalkan ruangan itu menyisakan Miya seorang diri.

"Miya cepetan!!! Katanya lo mau liat dede-dede gemez sambil cuci mata!" Jerit Freya dari luar ruangan.

Miya segera memasukkan laptop ke tas ranselnya dan keluar ruangan sambil membawa hasil cetakan dan dompet berwarna biru muda.

Miya mendapati Freya tengah duduk di bangku koridor sambil berkutat pada ponselnya. "Ayo!" Ajak Miya. Seketika itu Freya menoleh dan berlari kecil ke arah Miya.

Dua sahabat beda kelas namun satu organisasi itu berjalan menyusuri koridor menuju kantin. Panas di tengah siang begini enaknya dilawan pake minuman dingin yang ada di counter Mak Vexa, langganan mereka.

"Aaa.!!!!" Freya kembali histeris setelah membaca pesan singkat yang entah datang dari siapa. Yang jelas, telinga Miya hampir budek mendengarnya.

"Akhirnya gue tau!!" Serunya kegirangan.

"Apaan?" Miya penasaran.

Freya menunjukkan foto seorang siswa baru pada Miya. Seorang cowok tinggi yang terlihat cool namun lebih terkesan badboy. "Dia Dyrroth, anak gugus 7. Gue dapet foto ini dari Layla.!" Lanjut Freya. Ia mengetikan sesuatu untuk membalas pesan yang membuatnya kegirangan.

"Lumayan." Komentar Miya. "Lo jangan lupa tanya juga. Dia suka gak sama tante - tante kayak lo?!" Canda Miya membuat lengannya sukses disikut Freya.

"Rese lo!" Balas Freya manyun.

Miya teekekeh. "Ya abisnya lucu. Tahun lalu lo ngejar Ling. Taunya, pacarnya nyusul sekolah disini. Dan sekarang lo masih coba peruntungan lo buat dapetin brondong. Semoga kali ini sukses, Fre!" Kata Miya memberi semangat, namun lebih terkesan mengejek untuk Freya.

"Gak usah diingetin soal Ling, lah." Rajuk Freya. "Bukannya gitu, gue tuh suka gemes liat tipe-tipe cowok kayak gini." Lanjut Freya.

"Emang selera lo brondong semua ya?" Tanya Miya. Setahunya, sahabatnya itu selalu menceritakan soal adik kelas yang disukai Freya.

"Seangkatan juga ada sih." Freya mengakuinya dengan malu-malu.

"Hah, siapa?" Tanya Miya.

Freya tak langsung menjawab. Hingga akhirnya ada seseorang yang ikut bersuara di tengah percakapan itu.

"Miy, uang buat perlengkapan panggung!" Seru seorang cowok yang mendadak hadir di depan mereka.

Cowok tinggi berambut pirang itu mengadahkan tangan kanannya ke arah sang bendahara OSIS, Miya.

Miya memutar bola matanya, kenapa harus orang menyebalkan ini yang mewakili Divisi Perlengkapan untuk meminta dana.

"Hay Alu!" Sapa Freya sambil tersenyum amat manis. "Gimana persiapan panggungnya? Udah beres?" Tanya Freya dengan ekspresi yang sama.

"Udah 70%." Jawab Alucard singkat.

Miya menyerahkan list pengambilan dana untuk ditandatangani beserta bolpoint berwarna biru muda.

Alucard menerima list itu dan mencari divisinya. Ia mengisi nama penanggungjawab keuangan dan memberikan paraf disana. Alucard menukar list dan pulpen tersebut dengan uang yang sudah disediakan dalam amplop.

Miya meletakan amplop itu di tangan kanan Alucard tanpa bicara sepatah kata pun. Tak mau berada lama-lama dengannya, Miya menarik Freya untuk melanjutkan perjalanannya menuju kantin.

"Bye Alu.!" Pamit Freya seraya mengikuti tarikan Miya.

Alucard terpaku sejenak melihat dua gadis berbeda sifat itu. Ia segera pergi dari tempat itu karena masih banyak urusan yang harus ia selesaikan.

***

Miya berkumpul bersama Freya dan Layla di bangku kantin seperti biasa. Miya hanya terdiam sambil menikmati jus mangga buatan Mak Vexa. Sementara Freya dan Layla membicarakan soal Dyrroth sang anak baru yang diprediksi akan menjadi 'most wanted' setelah Alucard.

"Iyaa dia tuh jadi idola seangkatannya sekarang!" Kata Layla disambut antusias Freya yang duduk disebrangnya.

"Jangankan seangkatan, Le. Gue aja ngefans sama dia!" Balas Freya.

"Tapi kayaknya bakalan kurang deh ngecengin Dyrroth. Kita kan gak genap setahun lagi sekolah di sini." Kata Layla dengan lesunya.

"Tapi gapapa, Le. Yang penting kita puas-puasin mandangin Alu sebelum kita lulus!" Usul Freya.

"Ya, bener juga kata lo!" Layla setuju.

"Sejak kapan kalian ngefans sama Alupret itu?" Akhirnya Miya bersuara.

"Dulunya cuma kagum aja karena kecerdasan dia dan berhasil nyalip lo di ranking pararel. Sekarang jadi ngefans pas dia jadi juara 1 Karate tingkat provinsi." Jawab Layla.

"Iya, kurang apa lagi coba? Udah ganteng, pinter, jago beladiri. Cowok idaman banget. Jadi ngerasa dilindungi kalo jadi pacarnya." Timpal Freya.

"Lo gak ikutan ngefans Alucard?" Tanya Layla.

"Ogah. Ngapain ngefans sama mantan!" Sergah Miya. Tersadar dengan kalimatnya, ia langsung menutup mulut. Keceplosan.

"Hah?!" Seru Layla dan Freya berbarengan.

"Alucard mantan lo?!" Seru Freya membuat seluruh kantin menatap ke arah mereka. Tak lama kemudian mereka mendengar beberapa siswa berbisik membicarakan Miya dengan muka sinis.

Freya menyadari keadaan itu. Ia kembali mengontrol suaranya. "Lo pacaran sama Alu dari kapan?"

"Sejak masuk SMA. Baru putus pas liburan kemaren." Jawab Miya.

"Jadi, cewek yang selama ini ditutupin identitasnya sama Alucard itu lo?!" Tanya Layla masih gak percaya.

"Hnn." Miya mengangguk.

"Parah lo!" Protes Freya sambil menggeplak meja. "Rapi juga ya lo nutupinnya." Freya tak habis pikir.

"Yah, Fre gimana dong?" Layla bimbang.

"Baru aja mau gue deketin. Ternyata dia mantannya sahabat sendiri." Keluh Freya. Kepalanya menyandar di sandaran bangku dan mengdongkak ke atas. Harapannya yang hampir naik, kini terjun bebas begitu saja.

"Kalo lo mau deketin ya silakan aja. Dia udah bebas kok sekarang." Sahut Miya.

"Gila!" Sahut Freya bangkit dan menegakkan posisi duduknya. "Ogah banget gue dapet bekasan sahabat sendiri!"

"Kita gak pernah ngapa-apain kok." Kata Miya.

"Mustahil, lo pacaran lebih dari 2 tahun. Seenggaknya bibir kalian pernah ketemu kan?" Tanya Layla agak frontal.

"Demi apapun belum, Le!" Miya meyakinkan kedua sahabatnya. "Lagian kalo gue pacaran, abang gue selalu ikut! Ya kali Alu berani macem-macem depan abang gue!"

Freya dan Layla saling adu pandang, mereka seperti sedang menego sesuatu. Mereka kepikiran dengan perkataan Miya. Cewek kuncir kuda itu pernah bilang kalo kakak cowoknya itu super posessive. Gak heran sih kalau setiap Miya dan Alu pacaran, kakaknya pasti ikut juga.

"Gimana, Le?" Tanya Freya galau.

"Semua terserah lo, Fre. Miya juga gak keberatan kok. Lagian gue udah ada Clint. Yang penting persahabatan kita jangan sampe bubar cuma gara-gara cowok." Jelas Layla dengan kata bijaknya.

Freya beralih memandang Miya ragu. Miya membalas tatapannya sambil menghela napas.

"Gapapa, Fre. Gue juga udah gak ada apa-apa sama dia." Kata Miya membuat Freya yakin dan membulatkan tekadnya untuk mendekati Alucard.

"Ya, gue coba maju.!" Seru Freya.

Ketiganya seolah melupakan obrolan alot yang terjadi barusan.

***

Miya dan Layla keluar gerbang bersama untuk menunggu jemputan. Freya, entah kemana. Mungkin sedang menjalankan misinya mendapatkan perhatian dari Alucard.

Sebuah mobul sedan hitam metalik berhenti di depan Miya dan Layla. Kaca mobil terbuka. Miya mendapati sosok kakaknya disana.

"Tumben cepet abang jemputnya." Ucap Miya. "Le gue duluan gapapa?" Tanya Miya.

"Gapapa, Miy. Supir gue kayaknya bentar lagi nyampe!" Balas Layla.

Tak lama kemudian, sebuah mobil putih menyalip mobil kakak Miya. Ternyata itu supir yang akan menjemput Layla.

"Miy, jadi gue yang duluan. Bye.!" Pamit Layla berderap menuju mobilnya.

Miya duduk di kursi penumpang dan menutup kembali pintu mobilnya. "Tumben lo jemput tanpa gue teror dulu." Kata Miya mulai menggunakan sitbelt nya.

Gusion yang semula memperhatikan layar ponselnya, beralih memperhatikan Miya. "Heh, siapa yang nyuruh lo duduk di depan!"

Miya heran, "Maksudnya?"

"Sana pindah ke belakang!" Titah Gusion membuat Miya memisuh-misuh.

Dengan terpaksa, Miya berpindah tempat ke bangku belakang.

Tak lama kemudian, seorang cewek masuk dan duduk di kursi penumpang samping Gusion.

"Hay, beb!" Seru cewek berambut maroon itu ceria. Gusion membalasnya dengan ceria juga.

Pantesan!

Tempat itu disediakan Gusion untuk kekasihnya, Lesley. Miya juga sudah mengenal Lesley sejak ia berpacaran dengan Gusion beberapa tahun yang lalu.

Gusion dan Lesley berpelukan.

"Oh ada ceweknya, pantes aja gue dilupain!" Seru Miya dari belakang membuat Lesley menoleh.

"Hay, Miya." Sapa Lesley ramah. Lesley sudah tahu dan hafal betul sifat adik kandung kekasihnya itu.

"Kak Lesley ngajar di sini?" Tanya Miya heran.

"Ya, Matematika kelas 3 IPA 3 sampai 5 ." Jawab Lesley. "Baru masuk hari ini."

"Yah, gak bakal ngajar di kelas aku dong, kak?" Keluh Miya berharap bisa diajar oleh Lesley yang lumayan genius itu.

"Kamu kelas apa emangnya?" Tanya Lesley.

"3 IPA 1. Gue mah pinter, gak kayak dia!" Jawab Miya sambil mencubit pipi abangnya.

"Wah sayang banget, ya." Balas Lesley.

"Gak apa-apa beb. Daripada kamu ngajar di kelas Miya. Dia kalo salah gak mau disalahin." Kata Gusion. Miya melotot di tempatnya.

"Masa?" Tanya Lesley sambil tersenyum.

Gusion mengangguk sebagai jawaban. Sepasang kekasih itu tersenyum dan kembali berpelukan singkat. Miya panas di bangkunya lalu menendang sedikit kursi kemudi. Gusion tersentak ke depan.

"Apaan sih lo sirik aja?!" Seru Gusion

"Enak banget lo pacaran depan gue! Dulu aja, gue pegangan tangan langsung melotot lo!" Protes Miya.

Gusion terkekeh, "Inget mantan ceritanya?" Ledek Gusion.

"Diem lo!" Sahut Miya. Ia memilih untuk berbaring di kursi belakang sambil memainkan ponselnya.

Sedikit terbuka dari memori otak Miya tentang kebersamaannya dengan Alucard. Tentang pertemuan mereka, tentang usaha Alucard mendekatinya dan tentang Alucard yang menembaknya dengan cara yang sederhana. Ingin Miya buka kembali memori itu, tapi percuma saja. Ia sudah menyetujui Freya untuk mendekatinya.

***

Alucard dan timnya masih sibuk mempersiapkan panggung di Aula SMA Moniyan untuk mengadakan pentas seni sekaligus penutupan Masa Orientasi Siswa.

Saat ini ia tengah mengecek sound system dan beberapa microphone. Setelah semua terdengar oke, ia segera mengecek dekorasi dan kebutuhan yang lain.

Divisi perlengkapan bekerja ekstra dari siang sampai malam hari. Tentu saja, mereka telah melepas seragam mereka dan menggantinya dengan kaos santai. Sementara celana seragam kotak - kotak cokelatnya mereka biarkan. Toh ada seragam lain yang khusus dikenakan tiap hari Sabtu.

Arloji yang melingkar di tangan Alucard sudah memunjukkan pukul 21.18. Waktu yang lebih malam dari perkiraan selesai. Alucard menghela napas dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Anggota yang lain sedang mempersiapkan lampu panggung.

Alucard duduk di sebuah kursi penonton menghadap langsung ke panggung. Peluhnya menyebar ke seluruh bagian wajah, leher dan lengannya yang terlihat. Bahkan, kaos putihnya sudah terlihat basah.

Entah kenapa, Alucard membuka amplop yang diberikan Miya tadi siang. Di depannya, tertulis rapi "Divisi Perlengkapan". Tulisan khas Miya yang sangat rapi. Alucard tersenyum tipis melihatnya. Dulu, tulisan itu sering menghiasi buku-buku pelajarannya. Ketika Alucard absen karena sakit, atau ada kompetisi bela diri, Miya yang membuatkan catatan untuk Alucard.

Ia membuka amplop itu yang semakin terlihat tipis. Ia membaca carik demi carik kertas yang bertuliskan berbagai kebutuhan perlengkapan.

Ya, Miya memang rapi dalam mengatur sesuatu. Bahkan pembagian keuangan untuk setiap kebutuhan pun mampu diaturnya. Mulai dari carikan kertas untuk membayar sound system dan panggung, kebutuhan dekorasi, konsumsi kru dan panitia, operasional panitia, hingga biaya tak terduga itu Miya pisahkan dan diberi tanda.

Tak lupa juga Miya menyantumkan informasi mengenai tempat membeli dekorasi yang harganya lumayan murah, sehingga yang bertugas tidak perlu repot-repot mencari toko dekorasi dan menghamburkan biaya operasional.

Tentu saja hal ini sangat membantu mereka untuk memperepat pekerjaannya. Raga Miya memang tidak langsung membantu mereka, tapi petunjuk yang ditinggalkan cukup membuat mereka lega. Itulah yang disukai Alucard dari seorang gadis bernama Miya.

Alucard kembali tersenyum tipis. Ia baru tersadar kalau masih ada sejumlah uang yang belum tersentuh sama sekali. Ada 4 lembar uang lima puluh ribuan disana. Alucard mengambil dan membaca note yang menyatu dengan uang itu.

"Buat beli kopi sama roti bakar. Gue tau, kalian balik bareng Mba Kun malem ini. Semangat kalian!!" Tulis Miya pada secarik kertas itu. Alucard tersenyum lebar. Miya memang sangat pengertian.

Alucard menghampiri timnya yang masih bekerja mengecat properti drama anak-anak OSIS. "Oy, kalian mau nasi goreng atau roti bakar?" Tanya Alucard setengah berteriak.

Banyak jawaban yang di dapatkannya saat itu. Bahkan ada yang menjawab selain pilihan yang diberikan Alucard. Hah, daripada mendengarkan jawaban yang simpang-siur, biar Alucard sendiri yang memutuskan. Toh, kalau sudah dibeli, siapa yang menolak untuk makan?

"Lu, sama gue aja perginya!" Seru seorang cowok gondrong yang berlari menghampirinya dari pojok panggung.

"Yo!" Jawab Alucard sambil mengambil jaket dan kunci motornya.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top