Home
"Hei, sore banget pulangnya?"
Ibu Alucard yang tengah mengepak baju-baju jahitannya di ruang tamu, menyambut kedatangan anaknya.
Cowok pirang itu mencium tangan sang ibu. "Tadi mampir makan dulu." Kata Alucard.
"Nana lagi ngobrol sama siapa?" Tanya Kadita, ibu Alucard. Ia mendengar Nana tengah mengobrol dengan seseorang di teras sana.
"Calon menantu!" Sahut Alucard seraya beranjak menuju kamarnya.
Kadita mengerutkan keningnya. Apa mungkin pacar Nana? Rasanya Nana belum dibolehkan berpacaran. Atau calon dari anaknya yang lain?
Kadita tersenyum tipis seraya menengok ke anak sulungnya yang sudah menaiki tangga. Ia berjalan menuju pintu depan.
Kadita mendapati sosok gadis bersurai silver itu di teras. Gadis itu tengah mengobrol sesuatu dengan Nana--yang tadinya sedang menyiram tanaman.
"Halo, Miya. Apa kabarmu, sayang?" Sapa Kadita seraya memeluk gadis itu.
Miya menyambut pelukan ibu dari sang mantan. Sikapnya masih sama seperti dulu.
"Aku baik-baik aja, Tante." Jawab Miya.
Ibu dari Alucard itu selalu menyambut Miya dengan senang serta pelukan hangat. Bagaimanapun, Miya jadi teringat akan sosok Mamanya yang sekarang tinggal terpisah dengannya.
"Tante gimana?" Tanya Miya balik setelah melepas pelukannya.
"Tante juga baik. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja." Sahut Kadita, Ibu dari pemuda pirang itu. "Tante senang kamu mau main ke sini lagi!" Lanjut Kadita. Sebuah senyum tersungging dari wajah cantiknya--meski usianya sudah di akhir 40-an.
"Iya, Tante. Kebetulan aku ada perlu sama Alucard." Kata Miya seraya tersenyum.
"Ya sudah, ayo masuk! Kita minum teh sama-sama." Ajak Kadita seraya merangkul Miya dan menuntun gadis itu masuk.
.
"Maaf ya, Miya. Ruang tamu lagi berantakan. Jadi kita ngobrol-ngobrol di sini aja, ya." Kata Kadita setibanya mereka di ruang makan.
"Gak apa-apa, Tante. Santai aja." Ucap Miya seraya duduk di salah satu kursi makan. "Lagi sibuk ya, Tan?" Tanya Miya yang tadi melihat tumpukan paket yang sudah siap di kirim.
"Sedikit. Kebetulan, banyak pesanan kebaya. Kayaknya buat acara wisuda." Jawab wanita berusia 40-an akhir itu seraya melangkah menuju dapur untuk membuatkan minuman.
Miya hanya mengangguk-angguk. Setahunya, ibu dari mantannya itu punya usaha butik kecil-kecilan. Ia memproduksi dan mendesain baju sendiri. Semenjak ditinggal suaminya yang pergi entah kemana, Kadita harus menghidupi ketiga anaknya seorang diri. Untungnya, keterampilannya dalam menjahit dapat dimanfaatkan sekaligus menjadi mata pencarian keluarga itu saat ini.
"Nih, kita ngeteh-ngeteh dulu." Kata Kadita setibanya di meja makan seraya membawa nampan berisi 2 gelas teh, satu teko kaca berisi teh tambahan dan beberapa biskuit di piring.
"Yaampun, makasih Tante." Ucap Miya. Gadis itu mengambil satu gelas dan meminum isinya pelan-pelan.
Kadita mengambil kursi yang bersebrangan dengan Miya. Ia terus memandang gadis bermata hazel itu dengan senyum tipis. Entah apa yang dipikirkan wanita yang dipanggil 'ibu' oleh Alucard itu. Yang jelas, ekspresinya saat memandang Miya terlihat berubah-ubah. Terkadang ia senang, terkadang terselip sedikit penyesalan.
"Tante, kenapa liatin aku kayak gitu? Aku malu jadinya." Kata Miya setelah mengakhiri minumnya. Ia merasa tidak enak karena diperhatikan sebegitu lekat oleh Kadita.
Kadita tersadar, "Ahh. Maaf Miya." Sahutnya disertai senyum dan kekehan kecil. "Tante cuma inget dulu-dulu saat kamu masih sering main ke sini."
Miya tersenyum. Ia sudah menebak akan begini jadinya jika ia bertemu dengan ibu Alucard. Wanita itu sangat dekat dan sangat baik pada Miya.
"Iya tante. Maafin Miya juga karena gak pernah main ke sini lagi." Kata Miya lembut. Sekarang keadaannya berbeda dengan dulu. Ada sedikit canggung yang dirasakan oleh kedua wanita yang tengah berkomunikasi itu.
"Iya, tante ngerti." Kata Kadita penuh pengertian. "Tante juga minta maaf." Lirihnya.
"Minta maaf untuk apa, Tante?" Tanya Miya bingung.
Kadita menyadari sesuatu. Miya belum tahu apa alasan Kadita harus meminta maaf padanya. Ia menatap mata Miya yang masih terlihat bingung.
"Emm.. Maaf untuk sikap Alucard yang.." Kadita mencari alasan. "Yang sudah buat kamu sakit hati." Lanjut Kadita. Air matanya mulai menetes. Wanita itu segera menghapusnya agar tetesan air mata kedua, urung keluar.
Miya mendesah kecil "Ini bukan salah tante." Ucap Miya seraya memegang tangan wanita itu. "Mungkin, itu kemauan Alucard sendiri. Aku gak bisa maksa keinginannya."
Kadita mengangguk, "Ya. Tapi tante selalu mendoakan kebahagiaan kalian." Ucap Kadita. Masih ada genangan penyesalan dari sorot matanya.
'Maafkan aku ya Tuhan. Jika ada jalan keluar lain, pasti sudah ku lakukan demi mereka.' Lirih Kadita dalam hati.
Alucard turun dari tangga sambil membawa buku catatan matematika yang diminta oleh Miya. Saat itu, Alucard sudah membersihkan diri dan berganti baju. Kali ini ia memakai kaos oblong dan kolor basket, pakaian santainya kalau di rumah.
Cowok pirang itu sejenak berhenti dan memperhatikan dua wanita yang sangat dicintainya sedang mengobrol di kursi makan. Ia meneruskan langkahnya untuk menghampiri mereka.
"Nih buku lo. Masih gue simpen baik-baik." Kata Alucard menyodorkan buku catatan bersampul cokelat itu pada Miya. Cowok itu mengambil tempat duduk di sebelah Miya. "Sori, gue gak sempet beli cokelat." Lanjutnya.
Miya menoleh ke arah Alucard seraya menerima buku itu. "Thanks." Ucap Miya.
Alucard menyeruput teh yang ada di gelas Miya. Gadis itu sempat menahannya namun Alucard malah menepis tangannya.
"Itu minuman gue, Alu!" Sahut Miya kesal.
"Gak apa-apa." Sahut Alucard.
"Ya tapi itu bekas gue! Jorok banget sih!"
"Yang penting bukan bekas yang lain." Sahut Alucard santai sambil melahap biskuitnya. Kedua alisnya dimainkan di depan Miya.
"Sejak kapan lo jadi bucin begitu? Ngeri gue liatnya." Sahut Miya mendadak ngeri.
"Sejak lo putusin!" Sahut cowok itu membuat satu geplakan mendarat di tangannya.
Mereka tidak sadar kalau sedaritadi Kadita memperhatikan mereka berdua. Ia hanya tersenyum-senyum sendiri.
"Ekhmm.."
Dua sejoli itu sontak menoleh ke arah sumber suara. Wajah Miya memerah sementara Alucard tersenyum simpul.
"Miya, tante mau beres-beres dulu ya." Kadita beranjak dari kursi makan. "Kalian lanjutin aja ngobrolnya."
"Biar Miya bantuin, Tante." Ucap Miya ikut beranjak, namun ia ditahan Alucard.
"Gak usah, Miy. Kamu disitu aja sama Alu. Mending kalian belajar. Sama-sama wakilin sekolah kan buat olimpiade matematika?" Kata Kadita seraya tersenyum.
"Udah lo di sini aja. Lagian ada Nana atau Harrith yang bisa bantuin." Kata Alucard.
"Oke, Tante." Ucap Miya. Setelah itu Kadita meninggalkan mereka di kursi makan.
Miya menurut dan mengangguk pada Kadita. Gadis itu kembali duduk seraya meninju lengan Alucard. Cowok itu terkekeh.
"Nyokap lo masih baik banget sama gue." Kata Miya seraya membuka lembar demi lembar buku matematikanya.
"Ya, dia akan--selalu baik. Apalagi sama lo." Sahut Alucard.
Miya tersenyum tipis. Itulah senyum yang paling disukai Alucard dari seorang Miya.
"Nah, ini!" Seru Miya yang terpaku pada satu halaman buku. "Ini rumus yang gue cari!" Lanjutnya seraya merogoh tasnya dan mengambil kertas-kertas yang tadi dicetaknya di ruang OSIS.
Miya mencoba memecahkan soal yang belum sempat dijawabnya. Ia berpatokan pada sebuah rumus yang ada pada buku itu. Setelah membacanya, Miya mulai paham dengan alur kerja rumus itu.
"Akhirnyaa!" Miya gembira ketika semua soal di kertas itu berhasil dijawabnya. Ia tinggal meminta koreksi dari Lesley untuk memastikan jawabannya tepat.
"Segitu semangatnya ya lo mau ngalahin gue?" Kata Alucard datar.
"Ya! Karena lo bukan lawan yang sembarangan!" Sahut Miya seraya masih mencek jawaban-jawabannya.
"Gue mau nanya alur soal yang ini." Kata Alucard sambil menunjuk rumus Limit.
Gadis itu mencontohkan satu soal Limit yang ada di lembar cetakannya--sambil menjelaskannya pada Alucard.
Pemuda pirang itu hanya mengangguk-angguk.
"Kalo yang ini?" Tanya Alucard lagi seraya mengebet lembaran baru. Kini ia menunjuk rumus Integral.
Gadis bersurai silver itu kembali menjelaskan dengan cara yang sama. Penjelasannya sangat simple dan mudah di mengerti.
Alucard kembali mengangguk. Ia lebih sering melihat ke arah Miya daripada ke buku dan lembar-lembar soal.
"Ada lagi?" Tanya Miya setelah ia yakin kalau dua rumus itu sudah dipahami oleh Alucard.
"Oke, satu lagi." Sahut cowok itu. Ia membuka lembar buku yang lain.
Miya sudah siap menjelaskan lagi pada Alucard.
Namun ketika lembaran itu terbuka, bukan berupa rumus yang tertulis di sana. Melainkan kalimat 'Still Love You' yang ditulis dengan gaya grafity khas Alucard.
Miya langsung terdiam melihat tulisan itu. Ia menatap Alucard sebentar. Benar saja, pemuda pirang itu tengah menatapnya lekat. Mendadak hati gadis itu bergetar. Ia tertunduk untuk menyembunyikan pipinya yang memerah.
"Kenapa?" Tanya Alucard lembut.
Miya segera menutup buku itu. "Udah, Alu. Mending kita belajar buat olimpiade dulu." Kata Miya mulai berkata-kata lagi.
"Kenapa lo mendadak semangat ikut olimpiade? Karena tantangan gue atau..." Kalimat Alucard terpotong.
"Bukan cuma tantangan dari lo!" Sahut Miya langsung memotong perkataan Alucard. "Banyak yang ngasih gue masukan. Kedua sahabat gue, Silvanna, dan yang paling penting Abang gue." Kata Miya sambil menatap mata safir pemuda pirang itu. "Gue bertekad buat menangin olimpiade ini bukan sekedar nerima tantangan dari lo. Ini buat Bang Gusion. Gue gak mau terlalu membebani dia buat bayar uang kuliah gue kelak. Seengaknya, kalo gue menang olimpiade ini, peluang gue dapet beasiswa kuliah--lebih besar. Dan gue gak mau sia-siain itu." Kata Miya serius hingga Alucard tak bisa berkata-kata.
Cowok pirang itu menatap lekat mata mantan kekasih--yang masih dicintainya itu. Gadis itu kembali membuka buku matematika itu dan mencoba membaca-baca rumus yang lain.
"Kak Miyaa!!" Seru Nana yang datang dari depan dengan nada manjanya. "Bikinin pancake." Katanya sambil memelas. Adik Alucard itu duduk di kursi yang bersebrangan dengan Miya.
"Bikin sendiri! Emang Miya pesuruh lo!" Sahut Alucard melotot. Nana balas melotot.
"Gue kangen sama pancake bikinan kak Miya!" Balas Nana. "Gak apa-apa kan, Kak?" Tanyanya pada Miya.
"Nanti ibu bikinin aja, Na. Kak Miya sama kak Alu lagi belajar. Jangan ganggu!" Sahut Kadita yang masih berkutat dengan catatan paketnya di ruang tamu.
Kebetulan, rumah itu berkonsep minimalis, sehingga ruang makan dan dapur terlihat jelas dari ruang tamu.
Miya terkekeh kecil sambil merapikan poninya. "Gak apa-apa, Tante. Aku bikinin aja." Kata Miya seraya mengoper buku itu ke Alucard. Ia juga menyodorkan satu lembar soal yang dicetaknya--yang belum terisi sama sekali. "Kerjain!" Titah Miya pada Alucard.
Gadis itu beranjak dari kursi makan menuju dapur. Ia mengambil beberapa bahan untuk membuat pancake yang disimpan di kulkas. Nana mengikuti Miya sambil menyiapkan peralatan yang akan digunakan.
Miya memakai apron yang khusus dijahit oleh Kadita. Ditambah bordiran nama Miya di apron itu. Ia mengusap bordiran namanya dengan ibu jari. Mau tak mau, Miya rindu memakai apron ini.
Tangan Miya meracik bahan-bahan untuk membuat pancake. Ia sudah hafal di luar kepala tentang proses membuat pancake dari bahan-bahan sampai proses memasak. Resepnya memang simple dan mudah dihafal. Meskipun baru itu menu yang dikuasai Miya hingga saat ini.
"Aku pernah dibikinin pancake sama kak Alu. Tapi rasanya gak enak!" Sahut Nana setelah meletakkan teflon di atas kompor.
"Berisik!" Sahut Alucard dari kursi makan. Ternyata cowok pirang itu mendengarnya.
Miya tersenyum sambil mengaduk adonan pancake. "Emang dia pernah kerja depan kompor sebelumnya?" Tanya Miya, lebih ke menyindir Alucard karena pemuda itu jarang pergi ke dapur.
"Ya paling bikin mie instan." Sahut Nana. Alucard gemas di tempatnya.
"Ohya, Na. Harrith suka yang rasa apa ya?" Tanya Miya ketika memilih essence rasa yang ada di kulkas.
"Dia suka yang pandan." Jawab Nana. Miya mengambil essence pandan.
"Gue yang cokelat!" Sahut Alucard dari kursi makan.
"Ga nanya lo, pirang!" Sahut Miya seraya membagi adonan itu ke beberapa wadah.
"Awas aja lo! Gue bikin lo gak bisa pulang!" Sahut Alucard.
"Gue di jemput bang Gusion, blee." Miya menyulurkan lidah ke arah Alucard. Setelah itu, Miya menambah essence di setiap adonannya.
Beberapa menit kemudian, pancake itu sudah matang dan tinggal ditambahkan topping.
Saat itu, tumpukkan panceke sudah tersedia di piring dan siap untuk di santap. Nana membawa 2 piring pancake rasa original dan pandan.
Mau tak mau, antusias Alucard surut seketika karena tak ada pancake cokelat kesukaannya. Ia menatap Miya sinis yang masih membersihkan area kompor dan kitchen set.
"Gak usah sewot-sewot gitu!" Sahut Miya tiba-tiba duduk di samping Alucard seraya menyodorkan piring berisi pancake cokelat dengan topping keju.
Cowok pirang itu senyum sambil menarik piring itu. Ia mengambil pisau dan garpu dan mulai menikmati pancake buatan sang mantan.
"Lo mau?" Tanya Alucard menyodorkan sepotong pancake yang tertancap di garpu. Niat hatinya ingin menyuapi Miya.
"Apaan si!" Miya menolak.
"Sekali aja." Pinta Alucard.
"Enggak." Miya tetap menolak.
"Ayo sekali aja." Alucard semakin memajukkan garpunya meski Miya menutup mulut.
"Enggak, Alu! Apaan sih!"
"Kalo lo gak mau makan, berarti ada apa-apa di pancake gue!" Kata Alucard. "Lo kasih racun ya?" Selidik Alucard.
"Enak aja!"
"Yaudah cepet makan!" Garpu itu semakin mendekat ke mulut Miya.
Miya mengerlingkan matanya sebelum membuka mulut.
Satu suapan pancake dari Alucard berhasil menembus mulut Miya. Alucard menyeringai penuh kemenangan sementara pipi Miya kembali memerah.
"Apa sih?! Gue jadi kambing congek di sini!" Sahut Nana yang sedari tadi melihat kedua anak SMA di depannya itu menunjukkan keromantisan. "Gue pindah sana aja deket ibu!" Kata Nana membawa jatah pancake-nya dan memghampiri ibunya di ruang tamu.
"Harrith lo mau enggak!!" Jerit Nana memanggil saudara kembarnya.
Kehadiran Miya sudah seperti keluarga di rumah ini. Begitu juga Miya yang menganggap seluruh orang di rumah ini adalah keluarganya.
Beberapa menit kemudian, Miya membereskan dan mencuci peralatan yang tadi digunakan untuk membuat pancake. Alucard membantu gadis itu dengan mengelap barang-barang yang selesai dicuci.
"Mungkin besok kita mulai belajar sama kak Lesley." Kata Miya sambil mencuci peralatan.
Alucard mengangguk.
Tak lama kemudian, Nana memghampiri Alucard dengan panik.
"Kak, ada kak Lunox." Sahut Nana membuat Miya dan Alucard menoleh ke ruang tamu.
Mereka mendapati sesosok gadis berambut pendek tengah mengobrol dengan Kadita. Alucard dengan sigap menarik Miya ke depannya. Ia menutupi Miya agar Lunox tidak melihat Miya. Sementara Nana duduk di meja makan sambil menjatuhkan tas Miya ke bawah meja.
Miya yang kaget tiba-tiba ditarik Alucard hanya bisa tersentak. Ia ingin melayangkan protes, namun ditahan Alucard.
"Nana lagi belajar?" Tanya Lunox yang tahu-tahu duduk di kursi makan.
"Ahh. I..iya kak!" Jawab Nana agak gugup.
Alucard semakin menutup keberadaan Miya. Untung saja Miya memiliki tubuh yang ramping sehingga bisa dengan mudah ditutup oleh tubuh kekar Alucard.
Lunox menatap Alucad heran yang tengah berdiri di sudut kitchen set. "Kamu lagi apa?" Tanyanya heran.
"Gue lagi beresin kompor!" Sahut Alucard dingin sambil membelakangi Lunox.
"Itu apa yang kamu tutupin?"
"Gak ada apa-apa." Jawab Alucard tanpa berbalik menghadap Lunox.
Sementara Miya terdiam. Ia bingung dengan keadaannya saat ini. Wajahnya yang menempel di dada Alucard membuat perasaannya tak karuan. Apalagi wangi menthol khas cowok itu jelas tercium oleh Miya. Apalagi ketika ia mendongkak, wajah Alucard hanya berjarak beberapa inchi darinya.
Alucard menatap Miya yang terlihat kebingungan. Satu telunjuknya menempel di bibirnya menandakan Miya untuk diam. Kemudian ia tersenyum tipis sambil menatap Miya lekat.
Kedua pasangan mantan itu saling menyembunyikan detak jantung mereka yang memang melaju begitu cepat. Apalagi ketika tatapan mereka bertemu.
"Lunox, kita bisa berangkat sekarang!" Sahut Kadita dari ruang tamu.
Gadis ber-iris keabuan itu menoleh, "Oke, bunda." Sahut Lunox.
'Bunda?' Batin Miya.
"Na, kakak pergi sama Bunda dulu ya." Pamit Lunox menghampiri Kadita dan membantu wanita itu membawa beberapa kardus paket.
Merasa Lunox tak berada di situ lagi, Alucard segera menjauhkan diri dari Miya. Mereka terlihat canggung. Alucard mengusap leher belakangnya, begitu juga dengan Miya.
"Sori." Kata Alucard.
Miya mengangguk. Tapi perasaannya masih tak karuan.
"Alu, udah malem. Gue harus pulang." Pamit Miya seraya membereskan buku-bukunya.
Nana mengambil dan membersihkan tas Miya yang tadi ia jatuhkan. "Maafin Nana, Kak." Katanya.
Miya tersenyum seraya menggeleng. "Gak apa-apa, Na. Santai aja." Kata Miya.
"Gue anter?" Tanya Alucard.
"Bang Gusion jemput. Mungkin bentar lagi nyampe." Kata Miya.
.
Alucard menemani Miya yang menunggu jemputan di halaman rumah Alucard. Mereka masih terlihat canggung setelah kejadian tadi.
"Miy, sori." Kata Alucard memecah keheningan.
"Ini bukan salah lo atau salah siapa-siapa, Al." Sahut Miya. "Lagian, kita udah gak ada apa-apa kan? Lo tenang aja, olimpiade selesai, kita juga gak bakal sedeket ini lagi."
"Gue juga gak..."
Tinn
Mobil Gusion tiba di depan rumah Alucard. Kaca mobil itu terbuka, di kursi depan telah duduk gadis berkepang maroon yang tersenyum pada keduanya.
"Yaampun, belum gue suruh, kalian udah mulai belajar bareng." Goda Lesley disambut pelototan Alucard.
Gusion yang melihat langsung sewot. "Apa lo? Berani ama cewek gue?!" Ancam Gusion, Alucard langsung ciut. Sementara Lesley dan Miya tertawa kecil.
"Gue pamit ya. Salam buat Tante Kadita, Nana dan Harrith." Pamit Miya seraya membuka pintu kursi belakang.
Alucard mengangguk seraya mengacak rambut Miya sebelum gadis itu masuk ke dalam mobil.
Lesley memperhatikan raut wajah Alucard yang sepertinya masih sangat menyayangi Miya. Ia dapat menebak dari tatapannya.
"Bang, gue titip adek lo!" Sahut Alucard pada Gusion.
"Berisik!" Sahut Gusion seraya melajukkan mobilnya.
"Lo enggak di apa-apain kan?" Tanya Gusion pada Miya.
Miya menggeleng, "Enggak, Bang." Jawab Miya.
Gadis berkuncir kuda itu menatap pemandangan jalan dari jendela mobil. Ia larut dalam lamunannya. Mengingat perasaannya yang kembali tak karuan saat Alucard begitu dekat dengannya. Ia juga melamunkan tentang Lunox yang memanggil Kadita 'Bunda'. Itu artinya hubungan Alucard dan Lunox benar-benar serius.
Tak terasa air mata mulai keluar membasahi pipi Miya. Ia segera menghapusnya sebelum Gusion atau Lesley menyadarinya.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top