We Are Getting Back Together
Kejadian di lift membuatku kembali ke tempat acara dengan pikiran yang kemana-mana. Aku tak habis pikir Alvaro ternyata masih memiliki perasaan yang sama padaku meski sudah sepuluh tahun berlalu. Bahkan dia masih mengingat janjinya!
Aku memasuki ruangan acara dan sedikit terkejut ketika melihat Ayah dan Bunda juga Kak Rara dan suaminya Kak Aditya ada di ruangan tersebut. Mereka semua duduk semeja dengan... tunggu dulu, Pak Arya dan istrinya? Keluargaku dan keluarga Alvaro?
Sambil terheran-heran aku menatap keluargaku yang setahuku tadi mereka tidak ada di sini. Dahiku mengkerut dan memutar bola mataku ke atas. Aku duduk di tempatku kembali dan bertanya-tanya, ada apa ini? Mencurigakan!
Mataku pun kembali bergerilya mencari-cari sosok Alvaro, tadi memang aku tinggalkan dia namun hingga aku duduk di ruangan ini, dirinya belum juga kembali. Ke mana dia?
Lalu ingatanku kembali ke beberapa menit lalu ketika aku dijebak Alvaro di dalam lift.
“Kamu ingat kan janji aku?” tanya Alvaro sambil tetap mengunciku di dinding lift. Tangannya sudah tidak mencengkeramku. “Dan aku kembali untuk menepati janji itu,” Alvaro kembali mendekati bibirnya ke telingaku. Pipinya beradu dengan pipiku, hembusan napasnya terasa sekali di daun telingaku membuat hatiku berdesir dan begidik. “I will bring you back to be mine,” bisiknya dengan penuh ketegasan.
Aku menahan napas. Tentu saja dia harus menepati janjinya! Enak saja menyuruhku menunggu dan hatiku tak boleh berpaling tapi dia tak menepati janjinya? Lelaki macam apa! Eh, ini kenapa aku marah-marah?
“Kamu belum sepenuhnya menepati janji kamu! Kalau kamu memang menepati janji kamu, tentu saja, kamu akan bersikap seperti lelaki sejati bukan dengan menjebakku seperti ini lalu mengeluarkan rayuan. Kamu pikir aku akan termakan rayuanmu? Huh?” Aku mendorong tubuhnya lalu bergegas melarikan diri meninggalkannya.
Alvaro tak mengejarku namun sempat kulihat dia tersenyum tipis, senyuman khas dirinya yang kurindukan selama sepuluh tahun ini. Shit!
Kupejamkan mata. Hatiku mulai tak keruan. Jujur saja, aku sendiri heran kenapa begitu tak berdaya berhadapan dengan Alvaro! Padahal dulu aku bisa mengendalikan perasaanku ini. Apa karena aku sudah terlalu lama merindukan dirinya? Mendamba dirinya? Eh, ini aku lagi kenapa sih?
Tepukan riuh membuatku tersadar dari pikiran dan hatiku yang tak keruan. Sedari tadi aku melamun memikirkan perkataan Alvaro dan berusaha memahami perasaanku sendiri.
Kulihat Alvaro memasuki ruangan, dia terlihat ganteng sekali sambil membawa sebuket bunga mawar yang sangat besar, sial! Aku jadi enggak fokus! Melihat buket bunga itu mengingatkanku kejadian di mana dia mengirimkan sebuket bunga ke dalam kelas. Jangan bilang itu buket bunga buat aku? Astaga, aku menertawai diriku, pede sekali aku!
Mana mungkin buket bunga itu buat aku, pastilah buat salah satu cewek-cewek cantik yang menggodanya tadi. Cih!
“Selamat malam, para undangan yang sudah hadir di acara ini, para tamu pria yang tampan-tampan dan para tamu wanita yang cantik-cantik,” Alvaro berdehem dan tersenyum. Para tamu undangan pun tertawa. Ya ampun Alvaro! Penyakit gombalnya memang tak bisa disembuhkan! “Malam ini adalah malam yang sangat spesial bagi saya, bukan hanya karena kini saya dipercaya meneruskan perusahaan Ayah saya, tapi malam ini tentu saja akan semakin spesial dan berarti bagi saya, karena seseorang,” Alvaro terdiam sejenak. Dia menatapku intens dari kejauhan. “Seseorang itu adalah wanita yang sudah membuat saya jatuh cinta, sepuluh tahun lalu saya berjanji, akan kembali untuknya dan saya akan menepati janji itu sekarang.” Alvaro kemudian berjalan menuju ke arahku dan membuatku salah tingkah. Alvaro mau ngapain sih?
Kini dia sudah berdiri tepat di hadapanku, tangannya merogoh kantung jasnya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah. Dia membuka kotak itu, terlihat sebuah cincin perak berhiaskan sebuah batu berwarna biru yang indah di tengahnya. Sungguh aku terpesona dengan cincin itu. Aku yakin itu bukan sembarang cincin!
Alvaro kemudian berlutut di hadapanku. Aku semakin salah tingkah! Jantungku berdebar-debar. Apa dia mau melamarku? Aku berkali-kali mencoba menepis pikiran itu!
Kutatap Alvaro yang dibalas tatapan penuh ketulusan olehnya dan kulihat ada perasaan sayang dan cinta di kedua bola matanya. Tentu saja, hatiku kembali berdesir menangkap perasaan itu. Dia serius, kali ini benar-benar serius! Karena tak kulihat remaja berusia 17 tahun di tatapannya itu melainkan seorang pria yang serius akan melamar wanitanya!
“Alisa Natasa, will you marry me?” tanya Alvaro dengan lantang dan tegas sambil menyodorkan cincin indah itu dan sebuket bunga mawar ada di sampingnya.
Benar ternyata! Dia melamarku! Hampir saja aku melompat dari tempat dudukku saking terkejutnya!
Mataku melihat semua tamu undangan menunggu jawabanku! Tapi aku harus jawab apa? Ini gila! Alvaro melamarku di sebuah acara besar, bahkan aku dan dia baru saja bertemu kembali beberapa menit yang lalu setelah sepuluh tahun! Apa sih yang dia pikirkan?
Aku ingin sekali menjawab ‘iya’ karena jujur saja aku bahagia sekali dia langsung melamarku begitu kami bertemu kembali. Kuingatkan diriku kini berusia 35 tahun! Apalagi yang aku tunggu? Sudah seharusnya aku tak meragukan cinta Alvaro, keseriusannya, membuatku yakin laki-laki di hadapanku kini adalah seorang pria bukan lagi remaja yang dulu!
Tanpa sadar aku tersenyum dan menganggukkan kepala tanpa berkata apapun. Entah sudah berapa kali aku mengangguk, tamu undangan langsung bersorak dan bertepuk tangan. Aku terharu ingin menangis. Meski masih ada tersisa pertanyaan, tak salah kan keputusanku? Menerima lamaran Alvaro?
Pria di hadapanku ini pun berdiri, dia mengajakku bangun dari dudukku. Lalu dia menyerahkan sebuket bunga mawar dan menggengam tangan kiriku kemudian memasangkan cincin berbatu warna biru yang indah itu ke jari manisku.
“Ini adalah cincin warisan, secara turun temurun, melewati beberapa generasi, cincin ini selalu disematkan ke jari manis seorang perempuan yang akan dinikahi pria dari keluarga Wijaya.” Alvaro menjelaskan lalu dia menatapku tersenyum kemudian dikecupnya lembut punggung tangan kiriku.
Aku merasa seperti seorang ratu dengan perlakuan dan kata-katanya itu. Sudah tak ingin lagi aku menyangkal perasaanku, indah, rasanya sangat indah. Ah! Bukan indah lagi, tapi menakjubkan!
Alvaro langsung memelukku, menyeruakkan wajahnya di tengkuk leherku, kemudian dia berbisik. “Aku tak ingin lagi membuatmu menunggu. Aku sendiri tak ingin lagi menunggumu. Sebagai pria sejati, sesuai janjiku, tentu saja aku akan menikahimu.”
Aku tersenyum mendengarnya lalu kubalas pelukannya dan berbisik pelan. “Aku tak pernah lelah menunggumu, karena aku tahu, kamu pasti akan menepati janjimu.”
Alvaro kemudian melepaskan pelukannya. Dahinya berkerut.
“Kenapa?” tanyaku.
“Sejak kapan pakai aku kamu?” Alvaro tersenyum menggodaku. Sial!
Aku memicingkan mata ke Alvaro tak menjawab pertanyaannya. Kucoba melepaskan genggaman tangannya di lenganku. Tapi genggamannya sangat kuat.
“Jawab pertanyaanku! Aku tak suka jika kamu tak menjawabnya!” tegas Alvaro.
Aku mendesah pelan. “Apa harus dijawab?”
“Tentu saja! Aku ingin tahu jawabannya.”
“Baiklah,” Aku menatap Alvaro yang terlihat serius. Kok aku ingin ketawa ya? Hal begini saja diseriusin. “Sejak beberapa menit lalu saat kamu menjebak aku di lift. Kamu lupa?”
“Ah.” Alvaro tertawa dan mengangguk tanda paham.
Aku memutar bola mataku malas. “Dasar!” kupukul lengannya.
Lamaran Alvaro untukku berjalan lancar, ternyata dia sudah merencanakan ini dari jauh-jauh hari. Pantas saja keluargaku semua ada di acara ini. Alvaro sudah menemui orangtuaku terlebih dahulu tanpa sepengetahuanku.
Para tamu undangan bergantian memberi selamat karena kini aku dan Alvaro resmi bertunangan.
“Selamat ya Sasa, ternyata kamu punya affair dengan CEO majalah saingan kita.” ucap Bu Miranda Moore memicingkan mata ke Alvaro.
Aku langsung bingung mau jawab apa! Duh!
“Maaf Bu.” Aku hanya bisa minta maaf sambil menyengir.
“Kok minta maaf? Memang kamu salah apa?” Bu Miranda tertawa. “Semoga lancar ya sampai acara pelaminan, kapan diselenggarakan pernikahannya?” lanjutnya bertanya.
“Sebulan lagi.” Baru aku mau menjawab, Alvaro sudah menjawab duluan.
“Eh kok sebulan lagi?” tanyaku kaget.
“Loh kenapa? Kamu mau dipercepat? Seminggu lagi?”
“Alvaro!”
ᴥ ᴥ ᴥ
Dua minggu setelah bertunangan dengan Alvaro, aku masih disibukkan dengan pekerjaanku. Dan hari ini Alvaro datang ke kantorku seperti biasa dia tak mengabariku terlebih dahulu.
Aku yang sedang serius mengamati beberapa kolase di atas mejaku tak menyadari seseorang masuk ke dalam kantorku.
“I miss you, darling.” Alvaro memelukku dari belakang.
“Astaga Al! Kamu ngapain sih? Ini di kantor!” Aku terkejut hendak melepaskan pelukannya.
“Hmm,” Alvaro semakin mengeratkan pelukannya dan menyeruakkan wajahnya di leherku. Kurasakan hembusan napasnya yang membuatku begidik. “Kamu enggak lupa kan hari ini kita harus fitting baju?” tanyanya.
Ah iya! Aku lupa kalau hari ini harus fitting baju kebaya. Kuputarkan tubuhku menghadapnya sambil tangannya tetap memeluk pinggangku.
Kutatap matanya, ini lucu! Jika biasanya calon pengantin wanita yang mengingatkan calon pengantin pria, aku dan Alvaro justru kebalikannya.
“Maaf aku lupa,” Kumemainkan kedua tanganku di dadanya. “Sepulang kerja nanti kita fitting baju ya?”
Alvaro menggeleng. “Aku sudah izin sama atasan kamu, makan siang ini kamu sudah boleh pulang.”
“Kamu ih! Jangan seenaknya minta izin! Nanti gajiku dipotong.” Aku mendumel kesal.
“Kamu habiskan saja gajiku, sekarang kan aku CEO.” Alvaro mencubit hidungku. Astaga! Dia mulai berani ngelunjak ya!
Aku meringis lalu memutar kedua bola mataku malas.
“Tahu deh yang CEO, bebas mau ngapain juga! Aku ini apa hanya editor majalah biasa!” Aku mencibir.
Alvaro kemudian merekatkan kembali pelukannya yang sedikit melonggar. Tatapannya serius namun tak mengintimidasi.
“Bagi aku kamu itu berharga bukan sekedar hanya. Jangan berkata seperti itu lagi, aku tidak suka!”
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Sifat possesifnya tidak berubah!
Aku tersenyum dan mengangguk. “Oke. Nanti pas makan siang kita fitting baju, sekarang kamu balik ke kantor kamu dulu, nanti jemput aku.”
“Aku akan menunggu kamu di sini.”
“Al…”
“Sssttt, jangan membantah lagi! Karena aku sedang menahan diri untuk tidak mencium bibir kamu sekarang.” Alvaro menatap bibirku, napasnya memburu, tinggal beberapa senti lagi bibirku dan bibirnya saling bersentuhan.
Ceklek. Pintu kantorku terbuka.
“Maaf Bu, ini bahan-bahan yang Bu Sasa minta.” Sekretarisku langsung membuyarkan moment itu.
“Ah iya,” Aku hendak mengambil bahan-bahan itu dan melepaskan pelukan Alvaro namun dia justru mengeratkan tangannya di pinggangku. “Al!” Aku melotot ke arahnya. Dasar bikin aku malu setengah mati!
Sekretarisku hanya tertawa. “Biar saya letakkan di meja.” ujarnya kemudian dia permisi.
“Alvaro! Apa-apan sih! Aku malu tahu enggak!” hardikku begitu sekretarisku sudah keluar.
“Aku sudah enggak sabar ingin memiliki kamu seutuhnya. Membayangkan malam pengantin kita.” Alvaro tersenyum menggodaku.
“Jangan mesum!” Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga. “Aku mau melanjutkan pekerjaanku, kalau kamu mau menungguku di sini sampai makan siang, silahkan! Tapi jangan menganggu pekerjaanku!”
“Nanti setelah kita menikah, kamu tidak usah bekerja,” Alvaro lalu duduk di sofa. “Jadi ibu rumah tangga seutuhnya saja melayaniku.” lanjutnya.
Aku yang sedang menghadap meja kerjaku membelakanginya terdiam sejenak. Sebenarnya memang sudah niatanku jika menikah nanti aku ingin sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga.
Kubalikkan badanku menghadapnya yang sedang duduk sofa. “Aku memang berencana resign kok setelah menikah nanti.”
Kami berdua untuk beberapa saat saling bertatapan dan tersenyum. Ya, kami paham arti tatapan itu. Tak perlu dijelaskan oleh kata-kata!
Aku kembali sibuk dengan pekerjaanku. Alvaro duduk di sofa sambil terus memandangku. Entah bagaimana aku mulai terbiasa dipandanginya, tak seperti dulu.
Setelah beberapa jam berlalu akhirnya jam makan siang pun tiba. Kami memutuskan untuk melakukan fitting baju terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan makan siang di sebuah restoran.
“Al, Aku penasaran tentang satu hal. Dan ini sebenarnya menganggu pikiran sejak dulu. Boleh aku bertanya?” Aku memulai pembicaraan setelah kami memesan makanan.
“Tanya aja, kenapa harus minta izin segala? Kamu bebas bertanya apapun. Apa yang ingin kamu ketahui? Rahasia terdalamku? Semuanya akan aku ceritakan.” Alvaro menggenggam tanganku yang sedang di atas meja. “Sebentar lagi kita menikah, aku harap tidak ada rahasia diantara kita. Aku akan terbuka untukmu dan kamu juga harus terbuka untukku.”
Aku mendesah kemudian mengangguk perlahan.
“Dulu, kamu bilang sudah menceritakan aku kepada orangtua kamu dari tiga tahun sebelumnya. Memangnya kita sudah pernah bertemu? Maksudku, sebelum aku menyamar jadi murid SMA?”
Alvaro tersenyum. “Jadi kamu penasaran sekali tentang itu ya?”
Aku mengangguk sambil mengkerucutkan bibirku. Entah kenapa aku bersikap seperti ini!
Alvaro menghembuskan napas perlahan. “Kamu ingat kakak sepupu aku? Adinda Arsyad?” Aku mengkerutkan dahiku kemudian mengangguk. “Dia selingkuhan pacar sahabat kamu kan? Nadya? Ingat saat kamu melabrak Kak Dinda? Saat itu aku sedang bersamanya, tapi kamu tidak menyadarinya. Aku langsung jatuh cinta sama kamu pada pandangan pertama.” Aku melongo mendengar ceritanya. Jadi begitu! “Tapi takdir memaksaku untuk tidak bisa berkenalan denganmu saat itu, karena kamu terlihat benci sekali dengan Kak Dinda.” lanjutnya.
Tentu saja saat itu aku membenci kakak sepupunya itu yang sudah berselingkuh dengan pacarnya sahabatku. Tak kusangka, karena kejadian itu Alvaro menemukanku sebagai pelabuhan terakhir cintanya. Padahal aku sama sekali tak menyadari kehadirannya.
“Tunggu dulu, berarti sejak awal kamu sudah tahu kalau aku lebih tua dari kamu?” tanyaku bingung.
Alvaro menggeleng. “Tidak, aku tidak tahu sama sekali.”
“Loh? Memangnya kakak sepupumu itu tidak tahu usia Nadya yang seumuran denganku?”
Alvaro tertawa. “Kakak sepupuku mana peduli tentang usia Nadya apalagi kamu. Dia bahkan tak mau tahu tentang pacar selingkuhannya.”
“Ah! Jadi begitu.” Aku menganggukkan kepalaku.
“Kamu ingat rumus cinta yang pernah aku berikan ke kamu? Itu aku tahu dari Kak Dinda, dia sendiri tahu rumus itu dari pacarnya yang waktu itu masih pacarnya sahabat kamu. Kata pacarnya itu rumus dia dapat dari sahabat kamu, Nadya.”
Aku tertawa mendengar ceritanya. Sekali lagi aku tak menyangka jika semuanya hanya berputar-putar di situ saja. Rumus cinta itu pernah di pakai Nadya untuk modus ke kakak kelas dulu.
Kedua tanganku kemudian menggenggam tangan Alvaro yang sedari tadi menggenggam tanganku di atas meja. Kutelusupkan jari-jariku di antara jemarinya. Hangat, itulah yang kurasa!
“Terima kasih ya sudah menepati janji kamu.” ucapku lembut sambil menatapnya intens.
“Terima kasih juga sudah menungguku dan menjaga hatimu untuk tidak berpaling.” ujarnya tak kalah lembut dengan membalas tatapanku penuh rasa cinta.
ᴥ ᴥ ᴥ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top