The Other Side
Setelah beberapa hari istirahat, aku merasa sudah pulih kembali. Kuputuskan untuk masuk sekolah hari ini. tinggal dua minggu lagi sebelum aku menyerahkan setengah laporan penyamaran ke Pak Arya.
Sebenarnya dalam waktu tiga bulan ini, aku sudah cukup mendapatkan bahan cerita untuk artikel. Sepertinya, tidak perlu hingga enam bulan aku menyamar. Tetapi semua keputusan ada di tangan Pak Arya. Jika beliau setuju dengan laporanku nanti, kemungkinan aku akan mengakhiri penyamaran dalam waktu tiga bulan saja.
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, hendak bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Sebelumnya, aku mengecek ponselku. Dan alangkah kagetnya! Ada 100 pesan Whatssap dari Alvaro, beberapa pesan dari geng cantiks juga dua pesan dari kedua sahabatku, Laura dan Nadya.
Entah kenapa aku penasaran dengan 100 pesan Whatssap dari Alvaro. Saat aku membuka isi percakapannya hanya chat yang menyuruhku istirahat, makan dan minum obat. Juga doa semoga cepat sembuh dan gombalan lainnya seperti biasa. Dengan malasnya aku menutup chat darinya lalu beralih ke pesan Whatssap dari geng cantiks yang isinya seperti biasa, kehebohan gosip-gosip di SMA Dharmawangsa kemudian kubuka percakapan dari kedua sahabatku.
Laura Angelia
Sa, kita harus meet up!
Penting banget ada yang mau kita omongin!
Nadya Agista
Sa, kita harus meet up! (2)
Penting banget ada yang mau kita omongin! (2)
Aku mengerutkn dahiku. Tumben ada hal penting yang mau diomongin.
Alisa Natasa
Sorry guys, baru buka whatssap.
Beberapa hari ini gue sakit.
Mau meet up di mana?
Laura Angelia
Kok bisa sakit?
Sekarang sudah sembuh?
Alisa Natasa
Alhamdulillah, sudah sembuh.
Mau meet up di mana nih?
Laura Angelia
Syukurlah kalau sudah sembuh.
Meet up di kafe depan kantor saja hari ini gimana?
Sepulang kerja. Nad, lo gimana?
Nadya Agista
Gue oke. Di mana saja gue oke.
Sasa sakit apa?
Alisa Natasa
Demam gue.
Kehujanan.
Nadya Agista
Ya ampun Sasa, mangkanya jangan mandi air hujan.
Udah tahu badan triplek gitu, kena angin siluman langsung ambruk.
Hahahaha.
Alisa Natasa.
Sialan lo Nad!
Yauda hari ini kita meet up di kafe depan kantor?
Sepulang kerja ya!
Aku menutup percakapan Whatssap dengan kedua sahabatku lalu membuka aplikasi Line, tumben tidak ada chat dari Ega. Mungkin dia sibuk? Eh kenapa juga aku tiba-tiba memikirkan Ega?
Baru saja aku hendak beranjak ke kamar mandi, Alvaro tiba-tiba masuk ke kamarku. “Astaga Al! lo ngapain pagi-pagi ke sini?”
Alvaro mengerutkan dahinya. “Kamu mau ke sekolah?”
“Hmm” Aku mengangguk sambil berjalan melewatinya, tapi Alvaro menahanku.
“Tunggu dulu.” Kedua tangan Alvaro memegang rahangku, dia mengarahkan wajahku ke wajahnya dan memeriksa mukaku dengan saksama. Lalu tangan kanannya menyentuh dahiku. Entah kenapa aku malah diam saja. “Muka kamu masih terlihat pucat dan kamu masih sedikit hangat. Lebih baik kamu istirahat lagi saja.”
“Gue sudah sehat Al! Lagian gue enggak mau lama-lama istirahat.” Kutepis tangan Alvaro kemudian berlalu menuju kamar mandi.
“Cuacanya mendung Sa, kamu enggak boleh kehujanan.”
Aku yang hendak masuk kamar mandi jadi terhenti dan melirik Alvaro. Dia menatap keluar jendela, aku menggelengkan kepalaku. “Al! itu bukannya mendung, tapi mataharinya aja yang belum muncul! Lihat tuh masih jam setengah enam pagi!”
“Aku khawatir, kalau kamu kehujanan nanti demam lagi.”
“Gue enggak akan kehujanan, selama ada lo.”
“Maksudnya?”
Dasar cowok emang dari zaman jahiliyah enggak peka!
“Kan lo janji mau jadi payung gue?”
Alvaro menatapku bingung lalu tersenyum semringah.
Sial! Kenapa juga aku ngomong kayak gitu? Astaga! Tanpa sadar aku menggoda Alvaro! Ayah, bunda, tolong Sasa! Tiba-tiba aku ingin memutar lagu Umbrella by Rihanna.
“Udah deh mending lo ke kamar Bagas, bangunin tuh anak! Gue mau mandi, mau siap-siap!” Aku menyeret Alvaro keluar.
Sesaat sebelum pintu tertutup Alvaro menahannya. “Sa, aku siap jadi payung kamu kapan saja. Bukan hanya di saat hujan, tapi saat kemarau pun aku siap,” ucapnya diakhiri kedipan mata kepadaku.
“Apaan sih!” Aku langsung menutup pintu. Malu!
Selesai bersiap-siap, aku berangkat sekolah bersama Alvaro. Bagas sudah berangkat duluan, kini jadi kebiasaannya kalau Alvaro menjemputku dia langsung melarikan diri. Dan aku terpaksa berangkat bersama bocah laki-laki ini. Lagipula aku tidak bisa membantahnya. Malas berdebat! Mending nurut saja!
Murid-murid di SMA Dharmawangsa tidak ada yang curiga aku dan Alvaro berpacaran, bahkan geng cantiks pun tidak curiga. Alvaro ternyata pintar main kucing-kucingan. Jika dia ingin berdua saja denganku pasti aku ditariknya ke tempat sepi. Yah, aku hanya mengikuti permainannya saja.
Eh tunggu dulu, bukannya ini permintaanku? Backstreet? Tapi ya sudahlah, aku bahkan tak berminat berduaan dengannya di sekolah. Namun Alvaro memainkan permainan kucing-kucingan yang entah bagaimana aku malah menikmatinya.
ᴥ ᴥ ᴥ
Sepulang sekolah, aku hendak menuju kafe di depan kantorku karena janji bertemu dengan Laura dan Nadya. Tetapi masih ada beberapa jam lagi sebelum mereka keluar kantor.
Aku berpikir sejenak, apa sebaiknya pulang dulu? Karena sudah terlanjur izin dengan geng cantiks tidak ikut rutinitas mereka, Shopping! Malas juga sih, lagian aku sudah memiliki cukup bahan cerita untuk artikel. Aku tidak perlu lagi mengorek informasi. Daripada isi dompet tidak bersisa, mending aku beralasan tidak ikut mereka.
Tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang. Alvaro!
“Masuk, Sa!” Alvaro menyuruhku masuk ke dalam mobilnya dan aku menurut saja.
“Mau ke mana sih Al? Harus banget ya gue diculik gini?”
“Mau kencan sama pacar.”
“Mau kencan saja pake diculik!”
“Kamu kalau enggak diculik nanti melarikan diri.”
“Apaan deh!” Aku memutar bola mataku malas. Receh banget gombalnya!
“Senyum dong Sasa, Sasa Sayang,” goda Alvaro.
Aku menoleh ke Alvaro, tersenyum kemudian memasang tampak jutek kembali.
“Lucu deh kamu, jadi makin sayang.”
“Ada plastik nggak?”
“Enggak ada, buat apa?”
“Mau muntah daritadi dengar gombalan lo!”
“Kamu mah suka gitu, tapi aku tetap sayang kok.”
Ya Tuhan, kuatkan hati Sasa!
Mobil Alvaro kemudian berhenti di sebuah indomaret. Dan dia menyuruhku untuk menunggu sebentar. Enggak beberapa lama dia kembali dengan dua kantong plastik besar berisi banyak sekali snack dan minuman.
Alvaro tidak mengatakan apapun. Dia langsung bergegas melajukan mobilnya kembali. Ngapain dia beli banyak banget snack dan minuman?
Sekitar setengah jam berlalu, Alvaro memarkirkan mobilnya di dekat sebuah gang kecil. Dia mengajakku turun dan memasuki gang tersebut sambil membawa dua plastik besar. Aku mengikutinya dari belakang. Kuperhatikan Alvaro tidak berbicara apapun.
“Kak Alvaro!” teriak sekumpulan anak-anak begitu kami sampai di ujung gang.
“Heeeey! Kakak bawa makanan dan minuman buat kalian, nih.”
“Asyiiiiikkk!”
Aku memperhatikan Alvaro dan anak-anak tersebut. Tanpa sadar bibirku merekah, tersenyum melihatnya begitu senang sekali disambut anak-anak itu. Lalu kualihkan pandanganku melihat-lihat tempat tersebut. Di sana terdapat sebuah rumah panggung dengan lukisan graffiti yang indah di sekeliling temboknya.
“Al, ini tempat apa sih?”
Alvaro tidak menjawab, dia malah mengajakku bergabung.
Aku memilih duduk di bangku kayu tidak jauh dari rumah panggung, memperhatikan Alvaro yang sedang bercengkrama dengan anak-anak.
“Kak Sasa?”
“Loh? Mutia?”
“Iya Kak, aku Mutia yang biasa dipanggil Inem.”
Entah kenapa perkataan Mutia membuatku tertohok. Memang sih aku tidak pernah memanggilnya Inem, tapi aku ini anggota geng cantiks yang mana anggotanya selain aku selalu merundung dan memanggilnya Inem.
“Kamu kok di sini?”
“Aku di sini mau ngajar anak-anak. Kak Sasa, pasti sama Kak Alvaro ya ke sini?”
“Eh iya. Kok tahu?”
“Tadi Kak Alvaro kasih tahu kalau dia bawa teman, ternyata Kak Sasa.” Aku mengerutkan dahiku dan Mutia sepertinya menyadari kebingunganku. “Kak Alvaro yang punya tempat ini Kak,” ujarnya, “aku bersyukur banget Kak Alvaro mau mendanai tempat ini. Dulu ini hanya tempat bermain kumuh buat anak-anak. Tapi sekarang Alhamdulillah, menjadi rumah baca dan aku bisa kasih les gratis buat mereka. Hitung-hitung ‘kan pahala ya Kak, berbagi ilmu?”
Jadi, Alvaro pemilik tempat ini? Dan Mutia, di usianya yang masih 16 tahun. Dia sudah menjadi guru bagi anak-anak yang tidak mampu untuk bersekolah. Siapa sangka, gadis yang selalu menjadi korban perundungan di sekolah ternyata seorang pejuang pendidikan.
Kebanyakan korban perundungan berakhir menjadi pribadi yang tertutup dan rentan bunuh diri. Namun, Mutia sepertinya memiliki energi yang positif. Perundungan terhadap dirinya sama sekali tidak mempengaruhinya untuk tetap semangat menjalani hidup. Ini harus masuk dalam cerita artikelku!
“Aku permisi dulu ya, Kak.” Aku mengangguk. Seperginya Mutia, Alvaro menghampiriku. Aku menatapnya sambil tersenyum hingga dia duduk di sampingku tanpa sadar masih saja menatapnya.
“Sa, Kamu kenapa? Kok lihatin akunya gitu amat? Ganteng ya pacarnya?”
Seketika air mukaku langsung datar kemudian memalingkan muka. Kampret memang si Alvaro, nggak bisa nggak gombal gitu di depanku!
“Sasa, Sayang.”
“Hmm.” Aku menoleh.
“Aaaahh…” Alvaro menyodorkan ciki ke mulutku dan menyuruhku membuka mulut.
“Apaan sih Al!” Kutepis tangannya.
“Enggak boleh ya suapin pacar?”
“Bukannya gitu….”
“Aaaaahhh….”
Refleks mulutku terbuka dan Alvaro berhasil menyuapi ciki ke mulutku.
“Alvaro ih!” Aku ngedumel sambil mengunyah ciki di mulutku.
“Jangan ngomong kalau lagi ngunyah nanti keselek.” Aku memasang ekspresi kesal sekesal-kesalnya.
“Ih kakak udah gede masih disuapin.” Tiba-tiba seorang anak perempuan menyindirku.
Alvaro kembali tertawa. Sabar, Sa! Sabar!
“Dek, ini namanya tanda sayang.” Aku melirik Alvaro, mulai lagi gombalannya. “Nih ya Dek, kamu pasti disuapin ‘kan sama Ibu kamu? Itu tandanya Ibu kamu sayang banget sama kamu.”
Anak perempuan itu mengangguk tanda paham. “Berarti Kak Alvaro sayang dong sama kakak ini?”
“Iya Dek, Kak Alvaro sayang banget sama kakak ini.”
Alvaro melirikku sambil tersenyum dan bagai tersengat listrik aku merasakan perasaan yang aneh dihatiku yang membuatku membalas senyumannya.
“Kakak beruntung banget disayang sama Kak Alvaro.”
Aku dan Alvaro masih saling menatap. Dalam pikiranku, apa benar yang dikatakan anak perempuan itu? Aku beruntung disayang sama laki-laki ini?
“Cieee blushing.” Tiba-tiba Alvaro menoel hidungku membuatku langsung tersadar.
Astaga! Apa yang terjadi padaku? Aku memalingkan muka sambil memegang kedua pipiku. Jangan sampai jatuh hati Sasa! Jangan sampai! Tapi sepertinya aku sudah mulai jatuh hati kepada Alvaro.
Seketika aku teringat janji ketemuan sama Laura dan Nadya. “Al, masih lama nggak di sini?”
“Memangnya kenapa?”
“Kalau masih lama gue mau balik duluan. Ada janji sama teman.”
“Teman? Geng cantiks?”
“Bukan.”
“Cowok?”
“Bukan juga.”
“Terus siapa temannya?” Kini nada pertanyaan Alvaro mulai terdengar posesif.
Duh, Alvaro kenapa banyak nanya gini sih? “Sahabat gue dari sekolah yang lama.”
“Mereka ke Jakarta?” Aku bingung. Apa maksud dari pertanyaannya? “Kata Bagas, kamu pindahan dari Bandung.”
Shit! Hampir saja! “Iya, mereka datang jauh-jauh dari Bandung mangkanya aku harus ketemuan sama mereka.”
“Oke. Aku antar.”
“Eh nggak usah, nanti Mutia gimana?”
“Enggak apa-apa, rumah dia juga di sekitar sini kok.”
“Tapi gue enggak mau ngerepotin lo.”
Alvaro menatapku tajam. “Kamu pacar aku dan aku enggak pernah merasa direpotin sama kamu.”
Kalau sudah begini, mau tidak mau lebih baik aku menurut. Alvaro mengintimidasiku melalui tatapannya dan nada bicaranya pun sangat menegaskan. Daripada berdebat mending diam. Karena jika aku berontak, dia hanya akan marah dan mengeluarkan jurus posesifnya.
Sepertinya Alvaro tidak suka jika aku masih saja tidak enak kepadanya. Aku juga terkadang merasa tidak nyaman. Dia seakan ingin menegaskan bahwa dirinya adalah milikku. Tapi mau gimana lagi? Perasaan tidak nyaman itu terkadang muncul karena aku kepikiran perbedaan usia kami. Alvaro masih berusia 17 tahun! Sedangkan aku sudah berusia 25 tahun!
ᴥ ᴥ ᴥ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top