Modus
Sudah seminggu misiku berjalan lancar. Bisa dikatakan aku sukses menyamar jadi anak SMA. Belum ada masalah kecuali perasaan bersalah yang aku rasakan setiap kali membully murid-murid kurang beruntung di sekolah atau yang seperti Caca bilang, "Mereka pantas di bully."
Aku sudah mendapatkan beberapa bahan untuk artikelku. Pengakuan anak-anak populer tentang membully yang ternyata menunjukkan status sosial seseorang. Tidak habis pikir, apakah begitu penting status sosial? Aku harus mencari tahu soal ini.
Hari ini aku mengikuti Genk Cantiks ke lapangan basket. Sekolah ini cukup keren memiliki lapangan basket di dalam ruangan.
Aku melihat Alvaro sedang latihan basket. Dia melirikku berkali-kali, aku mencoba untuk tidak menggubrisnya dan mengobrol dengan Caca, Tiara dan Karin.
"Risih banget gue dilihatin Alvaro!" gerutuku dalam hati.
"Sa, Sa, lo dilihatin Alvaro tuh!" Tiara menyenggolku.
"Hah? Udah biarin aja!" ujarku tanpa melihat Alvaro.
"Sa, Sa, Alvaro kesini!" Karin berbisik dengan nada histeris.
"Sial! Ngapain sih Alvaro kesini!" Aku balas berbisik dengan kesal.
Aku melirik Alvaro dan benar saja dia sedang menuju ke arahku.
"Semoga aja dia cuma lewat! Cuekin aja Sa! Cuekin!" kataku dalam hati.
"Sasa," Alvaro tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumnya dengan terpaksa. Ya! Terpaksa! "Beliin minuman dong, Alvaro haus."
Aku memutar bola mataku. Apa-apaan deh ini bocah! Enak banget nyuruh-nyuruh gue! Gak tahu apa gue lebih tua?
"Udah deh Sa, beliin aja minuman buat pangeran paling ganteng di sekolah." ujar Caca sarkastik. Kulihat Caca tidak menyukai pemandangan Alvaro yang sedang mendekatiku.
"Yaudah deh iya." Entah kenapa aku malah menuruti para bocah-bocah ini dan ketika aku hendak berdiri tiba-tiba ada adik kelas yang mendekati Alvaro dan menyodorkan minuman kepadanya.
"Ka-Kak Alvaro, ini minuman buat Kakak." ucapnya gugup sambil setengah menduduk.
Kuperhatikan Alvaro hanya diam saja, bahkan tak menoleh sedikit pun ke adik kelas tersebut.
Aku berdecak sambil tertawa sinis. Alvaro melirikku dengan dahi berkerut. Sadar aku diperhatikan Alvaro seperti itu, aku pun berdehem kemudian berdiri di hadapannya.
"Alvaro, kalau lo mau dihargai orang jangan lupa untuk menghargai orang terlebih dahulu."
"Maksud kamu?"
"Maksud gue, lo hargai itu adik kelas yang udah bawain lo minuman, jangan berharap gue menghargai lo kalau di depan mata kepala gue sendiri aja gue lihat lo gak bisa menghargai orang." Aku menjelaskan kepada Alvaro dengan nada dan tatapan datar.
Sekilas aku melihat Caca, Karin dan Tiara menunjukkan ekspresi tak percaya aku bisa berkata seperti itu kepada Alvaro, bahkan adik kelas itu hanya bisa terdiam dan terpaku.
Alvaro tersenyum tipis, senyuman yang tak bisa diartikan yang ditujukan kepadaku. Aku tak peduli! Kemudian berlalu meninggalkannya.
"Gila lo Sa! Lo berani banget ngomong kayak gitu ke Alvaro?" Karin histeris. Begitu kami berempat duduk manis di Kantin.
"Bener banget Sa! Gila! Cewek satu sekolah berharap banget dimodusin sama Alvaro, eh lo yang dimodusin malah cuek aja!" Tiara menambahkan.
"Yaelah, gue masih waras belum gila! Lagian modus, modus apaan?"
"Gak usah pura-pura bego deh Sa, lo tuh dimodusin sama Alvaro." Caca menyindir. Entah apa perasaanku saja, tapi sepertinya Caca tidak suka Alvaro mendekatiku.
"Bener tuh kata Caca! Lo dimodusin sama Alvaro!" Karin meyakinkanku.
"Iya deh iya, gue dimodusin! Tapi kan dari awal gue bilang gak tertarik sama Alvaro!" Aku menegaskan.
"Kalau tertarik jangan munafik!" sindir Caca.
"Gue emang gak tertarik Ca!" Aku mulai emosi.
Caca hanya mendengus. Tak peduli dengan penegasanku.
"Sabar Sa! Sabar! Jangan sampai berantem! Inget, lo sedang dalam misi penyamaran, jangan sampai berantakan!" kataku dalam hati mencoba meredam emosi.
Dammit! Gara-gara si Alvaro!
"Eh, eh, panjang umur tuh si Alvaro! Baru aja diomongin." celetuk Karin.
Kulihat Alvaro masuk ke dalam kantin membawa sebuah keranjang warna merah. Aku merasa familiar dengan keranjang tersebut.
"Ya ampun! Itu kan keranjang kue yang gue beli kemarin di adiknya si Wiro!" pekikku dalam hati.
"Kue! Kue!" teriak Alvaro. "Gue mau bagiin kue keranjang gratis nih! Yang mau ambil aja!"
Penghuni kantin tiba-tiba terdiam dan menatap Alvaro bingung.
"Gak salah si Alvaro?"
"Alvaro bagi-bagi kue?"
"Itu si Alvaro yang ngomong?"
Dan beragam celoteh lainnya. Lalu, Wiro masuk ke dalam kantin bersama Mutia.
"Eh Wiro! Mutia! Mau kue gak? Gue kasih gratis nih." Alvaro tersenyum ke mereka berdua. Tapi baik Wiro maupun Mutia justru tak bergeming, mungkin saking kagetnya seorang Alvaro berbicara pada mereka atau mungkin kaget karena takut dibully.
Wiro menatap keranjang kue di hadapan Alvaro dengan ekspresi bingung, dia kemudian menatap Alvaro seakan-akan bertanya. "Lo yang beli kue keranjang adek gue?"
Alvaro sepertinya paham dengan ekspresi Wiro. "Ini kue keranjang yang dibeli Sasa, gue cuma mau bagi-bagiin aja."
Sial! Alvaro kampret! Ngapain dia ngomong gitu?
Wiro kemudian menatapku. Aku dengan cepat memalingkan muka. Kenapa aku salah tingkah?
Caca. Karin, Tiara menatapku curiga seakan-akan aku berbuat kesalahan kepada mereka.
"Sa, lo beliin kue keranjang buat Alvaro?" tanya Tiara.
"Hah? Kaga! Itu kue keranjang ketinggalan di mobil dia." jawabku berkelit.
Sial! Itu kue padahal udah dari beberapa hari yang lalu, apa enggak basi? Oh iya, aku lupa kalau kue yang dijual adiknya Wiro itu kue-kue kering yang tahan lama.
"What? Wait, ketinggalan di mobil Alvaro? Berarti lo naik mobilnya dia dong?" Tiara menampilkan ekspresi terkejut.
"Sa! Lo tahu gak? Kalau Alvaro enggak pernah mengizinkan siapapun naik ke mobil dia? Siapapun!" Karin menambahkan dengan nada histeris.
"Iya, rumornya begitu. Tapi, masa iya sih?" Aku sok penasaran.
"Serius, Sa!"
"Serius!"
"Itu beneran Sa, bukan rumor. Berarti lo orang pertama di SMA Dharmawangsa yang berhasil naik mobilnya Alvaro, itu juga kalau lo beneran naik mobilnya Alvaro." ujar Caca dengan nada datar.
Lagi dan lagi, aku merasa nada bicara Caca seperti tidak menyukaiku. Ah, masa bodoh!
"Al! lo jualan kue? Sejak kapan?" tanya Bagas sambil menepuk pundak Alvaro.
"Sejak sepupu lo beli nih kue," Alvaro tersenyum kepadaku. "Gue gak jualin, gue mau bagi-bagiin gratis."
"Tunggu dulu, sepupu gue? Maksud lo Sasa?" Alvaro mengangguk. "Cih! Padahal sama gue pelit banget!" Bagas menyindir dan menjulurkan lidahnya kepadaku.
Untuk kesekian kali kukatakan, Bagas itu keponakan terlaknat! Namun, biar laknat tapi aku sayang sama dia. Fakta!
"Sasa, mau kuenya?" tanya Alvaro.
Aku menoleh. Sejak kapan Alvaro tiba-tiba ada di sebelahku?
Kulirik kue keranjangnya, kuambil sebuah lalu tersenyum ke Alvaro kemudian memalingkan muka.
"Kamu benar Sa, seharusnya aku menghargai orang terlebih dahulu kalau mau dihargai sama kamu." Alvaro tersenyum kepadaku kemudian mengedipkan sebelah matanya.
Astaga! Apa-apaan! Aku tak menggubrisnya.
"Sa.."
"Hmm.."
"Kamu cantik deh kalau cuekkin aku."
What!? Uhukk. Uhukk.
"Ini, ini, minum."
Kutatap sinis Alvaro. "Gue kesedak air minum, lo malah nawarin air minum."
"Eh iya, maaf, salah." Alvaro menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sa..."
"Apa sih? Dari tadi manggil-manggil gue." Aku menyelak kata-katanya.
"Belum juga selesai ngomong."
"Yauda selesain."
Bukan maksud hati jutek sama Alvaro, tapi aku merasakan sesuatu yang aneh setiap kali dia berbicara denganku.
Masa iya aku jatuh cinta sama Alvaro?
"Gak! Enggak mungkin! Eh, enggak boleh! Dia masih 17 tahun! Sedangkan gue sudah 25 tahun! Delapan tahun lebih tua! Enggak! Enggak!" tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Sa? Kamu kenapa? Kamu sakit kepala?" tanya Alvaro.
"Hah? Enggak kok enggak! Tadi lo mau ngomong apa?" jawabku salah tingkah.
Ini hari kenapa sih? Perasaan dari tadi aku salah tingkah mulu!
"Hmm," Alvaro berdehem. "Bukan maksud aku Sa, enggak menghargai adik kelas yang suka sama aku. Tapi aku enggak mau kasih harapan ke mereka. Aku enggak mau bikin mereka baper."
Aku manggut-manggut. "Bener juga sih, cewek kan gampang baperan."
"Tapi beda kalau kamu, Sa."
"Gue?"
Alvaro mengangguk. "Aku penasaran, apa kamu baper sama aku?"
Sejenak aku mencoba mencerna kata-kata Alvaro, kemudian aku paham apa yang dia maksud.
Dasar anak zaman sekarang, bisa aja gombal gembelnya! What? Baper sama dia? Maksudnya ada perasaan gitu sama dia? Enggak akan!
"Dengar ya Alvaro," Aku berdehem. "Gue-gak-akan-baper-sama-lo!" Aku menegaskan di setiap suku katanya.
Alvaro tersenyum, senyuman yang familiar. Shit! Lama kelamaan aku merinding melihat senyumannya itu.
"Kalau begitu, aku akan bikin kamu baper sama aku."
"Silahkan, kalau bisa." Aku kemudian memalingkan muka, melanjutkan minumku. Kulihat dari ekor mataku, Alvaro masih menatapku. Tersenyum dan mengangguk.
Caca, Karin, Tiara dan Bagas ternyata sedari tadi memperhatikan obrolanku dengan Alvaro.
Kulihat Bagas yang sedang menahan tawa, aku memasang ekspresi ingin menerkam wajahnya.
Sedangkan Caca, Karin dan Tiara hanya terdiam menatapku, ekspresi mereka datar namun menyimpan sejuta pertanyaan.
Bel masuk pun berbunyi, tanda waktu istirahat sudah selesai.
Sesaat sebelum aku kembali ke kelas, Wiro menghampiriku.
"Ka-Kak, terima kasih ya sudah beli semua kue keranjang adikku." Wiro berterima kasih dengan nada takut.
"Sama-sama Ro, titip salam ya buat Ibu kamu. Semoga cepat sembuh." ujarku tersenyum.
Wiro mengangguk dan tersenyum.
Untungnya, kantin sudah sepi. Caca, Karin dan Tiara sudah lebih dulu masuk ke kelas. Namun, ada seseorang yang tidak kusadari mengetahui pertemuanku dengan Wiro di kantin.
"Kamu memang berbeda, Sa." gumamnya.
ᴥ ᴥ ᴥ
Aku merebahkan diri di atas kasur. Hampir jam delapan malam, selepas pulang sekolah tadi aku shopping bersama Genk Cantiks. Kepalaku menoleh memandang beberapa kantong belanjaan. Caca memaksaku membeli beberapa pakaian agar serasi dengan Genk Cantiks.
"Ada-ada aja deh! Kebuang sia-sia duit gue!" Aku berdecak kesal.
Aku membangunkan diriku dan terduduk di atas kasur, baru menyadari kalau bau badanku apek sekali. Kuputuskan untuk membersihkan diri. Namun, saat aku hendak beranjak, Bagas sudah berada di ambang pintu kamarku. Sial! Aku lupa menutup pintu!
"Tan, Lo kenapa jutek banget sih sama Alvaro?" tanya Bagas sambil bersender di daun pintu dan memakan Chiki Taro, camilan kesukaannya.
"Urusan gue lah, Gas! Kenapa sih?" jawabku balik bertanya dengan malasnya.
"Bukannya gitu Tan," Bagas mendekatiku kemudian duduk di sebelahku. "Alvaro tuh, tipe cowok yang cuek kalau gak demen, nah, dia gak cuek sama lo itu berarti dia demen sama lo Tan."
"Trus? Masalah buat lo?"
"Kok jadi gue sih Tan? Yang bermasalah justru lo!"
"Kenapa juga gue bermasalah?"
Bagas tertawa. "Inget umur Tan, selama 25 tahun belum pernah pacaran kan?"
Sialan! Ini keponakan memang suka banget ngajak ribut!
"Siapa bilang gue enggak pernah pacaran." Aku mendengus.
"Halah Tan, gak usah malu sih kalau enggak pernah pacaran soalnya enggak pernah ada yang suka sama lo kan?"
"Heh Bagas! Udah deh, arah pembicaraan lo kemana sih? Pertama ngomongin Alvaro, ujung-ujungnya nyindir gue!"
"Hahaha, sorry Tan, sorry," Bagas terkekeh. "Gue sebagai keponakan lo juga sahabat dari Alvaro, gue bakal senang banget Tan, kalau lo pacaran sama dia." Bagas kembali tertawa.
Aku menatap sinis Bagas, aku tahu betul dia menyindirku!
Plaaakkk!
"Aww, Tante sakit ih!" ringis Bagas.mengusap kepalanya.
"Jangan gila! Gue pacaran sama Alvaro? Sama aja gue pacaran sama keponakan sendiri!" bentakku.
"Yaelah Tan, gue kasih restu juga malah begitu."
"Gue gak butuh restu lo buat pacaran sama siapapun itu!"
Aku pun beranjak dari kasur dengan kesal menuju kamar mandi. Gerah rasanya ingin sekali membersihkan diriku. Sialnya, aku kepikiran kata-kata Bagas. Pacaran sama Alvaro? Lalu aku teringat ide gila Caca yang menyuruhku untuk pacaran sama Alvaro.
"Jangan tambah masalah Sa. Fokus saja dengan misi penyamaran, inget pekerjaan!" batinku sambil menikmati siraman air shower yang membasahi tubuhku.
Selepas membersihkan diri, aku memainkan ponselku. Baru teringat aku belum mengabari Nadya dan Laura beberapa hari ini. kukirim pesan whatssap ke mereka.
Alisa Natasa
Besok kita ngumpul ya!
Di tempat biasa.
Laura Angelia
Oke.
Nadya Agista
Kirain lo lupa sama kita 😒
Laura Angelia
Lupa sama lo mah wajar Nad!
Nadya Agista
Sialan!
Sasa enggak lupa kan sama gue?
😭😭😭
Alisa Natasa
Enggak kok sayang 😘
Oke fix. Besok kita kumpul ya?
Laura Angelia
Sip 👌
Nadya Agista
Sip 👌 (2)
Aku mematikan ponselku dan bersiap-siap untuk tidur. Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat di layar ponselku tertera nama "Alvaro Ganteng." kemudian aku teringat dengan kata-kata Bagas.
Astaga! Buru-buru aku menolak panggilan tersebut lalu mematikan ponselku. Apa banget sih! Kenapa aku jadi panik gini? Aku menarik selimut dan memejamkan mata.
"Tidur aja deh!" batinku.
ᴥ ᴥ ᴥ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top