Kencan

Aku menyeruput green tea sambil sesekali memandang gedung kantor di seberang melalui jendela kafe. Tiga puluh menit berlalu dari jam pulang, mereka belum juga keluar dari sana. Sudah menjadi kebiasaan jika sepulang kerja pasti bersantai-santai dulu, berias atau bergosip. Tabiat perempuan!

Kupandang kembali gedung kantor di seberang, akhirnya kulihat kedua sahabatku itu keluar dari pintu gerbang. Mereka melihatku di kafe kemudian melambaikan tangan kepadaku setelah menyeberang.

“Tetap aja ya ngaret! Padahal tempat ketemuan sudah tinggal kepeleset begini,” sindirku ke Laura dan Nadya.

“Hehe maaf cinta, biasalah kita beberes dulu.” Laura beralasan.

“Sasa jangan marah ya, ‘kan udah biasa nungguin kita ngaret,” goda Nadya.

“Sialan lo, Nad! Udah deh kalian mau ngomongin apaan sih?” Aku nggak sabaran.

“Bentar, kita pesan minuman dulu. Yuk Nad!” Laura menarik Nadya ke kasir.

Aku mengangguk kemudian menyeruput kembali minumanku. Beberapa menit kemudian mereka berdua kembali.

“Oke Sa, mending kita langsung saja kali ya? Gini, lo sudah punya pacar ya?” tanya Laura.

Aku mendelik. “Pacar? Kaga, enggak punya.” Laura dan Nadya menatapku curiga. “Kenapa sih kalian? Gue beneran enggak punya pacar. Lagian kalau gue punya pacar pasti kalian orang pertama yang tahu.” Pikiranku jadi berkecamuk. Kenyataannya aku berpacaran sama anak SMA! Tapi backstreet! Darimana Laura dan Nadya bisa tahu?

“Sa, gue kenal lo dari kecil! Mending lo ngaku aja sih kalau memang sudah punya pacar.” Laura ngotot.

“Bener Sa, mata kita enggak bohong waktu ngelihat lo gandengan mesra sama cowok di Mall beberapa hari yang lalu.” Nadya langsung buka-bukaan.

Aku menatap kedua sahabatku yang masih menatapku curiga. Sial! Ternyata mereka melihatku dan Alvaro waktu itu. Kalau tidak bergandengan tangan aku masih bisa mengelak, tapi ini? Mana mungkin mereka bakal percaya jika kukatakan Alvaro hanya teman.

Aku menghela napas pasrah. “Gue terpaksa pacaran sama dia.”

What! Jadi benar kan lo udah punya pacar!” pekik Nadya.

“Etdah Nad! Biasa aja kali!” gerutuku.

“Tuh cowok, anak SMA?” tanya Laura.

Aku mengangguk. “Tapi beneran deh Lau, gue kepaksa pacaran sama dia. Lagipula pasti dia bakal putusin gue kalau tahu gue lebih tua dari dia.”

“Jadi, dia enggak tahu kalau lo lebih tua? Terus kepaksa kenapa?” Laura semakin penasaran.

“Ih beneran deh Lau, gue sadar gue kemakan omongan gue sendiri! Dan gue paham lo enggak suka berondong. Tapi ini juga kepaksa demi Julian! Tunangan lo!”

Laura mengkerutkan dahinya. “Julian? Apa hubungannya sama dia? Dan lo salah paham Sa, gue bukannya enggak suka berondong, gue hanya kesal aja setiap kali yang diomongin si Nadya, tuh, berondong mulu!”

“Kok jadi gue sih?” Nadya enggak terima.

“Apa? Memang bener, kan?” cecar Laura, “sekarang lo jelasin Sa, kenapa Julian sampai kebawa-bawa kasus pacaran kepaksa lo ini?”

Aku pun menceritakan dengan lengkap ke Laura dan Nadya bagaiman bisa demi Julian gue terpaksa pacaran sama Alvaro.

“Eh seriusan lo? Jadi Julian sama sekali enggak tahu kalau Alvaro dibawah umur?” tanya Laura.

Aku mengangguk. “Mana dia ngancam mau membeberkan jati dirinya kalau gue enggak mau nurutin jadi pacar dia. Julian ‘kan bisa dituntut! Mending kalau hanya dituntut, yang gue dengar Julian bisa enggak dipercaya lagi membuka usaha bisnis klub sama bokapnya.”

“Iya Sa, bokapnya Julian memang tegas kalau soal bisnis. Enggak terima satu kesalahan pun. Ya ampun Sa, maaf ya? Demi Julian, yang sabar.” Laura menepuk bahuku. Kampret si Laura!

Aku mengangguk pasrah. “Tapi lo jangan meledek gue pacaran sama berondong,” Laura terkekeh menahan tawa. “Tuh kan! Mulai deh meledek gue!”

“Gue enggak nyangka lo pacaran sama berondong.” Laura masih menahan tawa.

“Cih! Lau, bukannya lo benci banget ya kalau gue ngomongin berondong? Sasa juga malah nikung gue! Jahat!” Nadya mendumel.

“Lah? Siapa yang nikung siapa sih?” Aku enggak terima.

“Lo kan tahu banget Sa, gue yang paling semangat soal berondong! Dari awal juga gue yang minta dikenalin sama anak SMA yang ganteng. Eh, malah lo yang dapetin! Ganteng pula!” jelas Nadya.

“Terima nasib aja sih, Nad! Lagian gue, tuh, mau muntah setiap kali lo ngomongin berondong udah kayak kehabisan stok cowok ganteng aja di kantor,” cibir Laura.

“Lo enggak tahu sih Lau, kapan hari gue nemu cowok ganteng di kantor. Senang banget gue karena satu divisi sama gue, eh, enggak tahunya melambai! Gue lupa kalau gue bagian desainer! Tahu sendiri cowok-cowok fashion itu kayak gimana! Sakit hati dedek!” Nadya curhat dengan nada yang dilebih-lebihkan.

Aku dan Laura tertawa terbahak-bahak. “Kasian banget sih lo, Nad! Sekalinya nemu yang ganteng ternyata setengah mateng ya? Di kantor gue banyak cowok ganteng, noh! Mateng semua! Atau lo mau sama si Ega? Eh tunggu dulu, si Ega itu kok bisa kenal sama Julian ya?” tanya Laura kepadaku.

“Katanya Ega sih Julian itu teman lamanya.”

“Jangan Ega deh, jangan! Adek lo aja deh Lau?” Nadya melirik Laura sambil tersenyum-senyum.

“Kaga! Apaan sama adek gue! Ogah punya ipar kayak lo, Nad!” Laura memasang ekspresi geli.

“Ih Laura Jahat!” maki Nadya.

“Bodo amat, Nad! Bodo!” Laura kemudian melirikku. “Sa, pokoknya lo jalanin aja dulu sama Alvaro, emang sih dia masih SMA dan kemungkinan besar dia bakal putusin lo kalau tahu yang sebenarnya, tapi kalau sampai dia ngajak lo ke rumah buat kenalan sama orangtuanya, bisa dipastikan dia serius sama lo,” lanjutnya.

Aku terdiam mendengar kata-kata Laura. Boro-boro kenalan sama orangtuanya, diajak ke rumahnya juga enggak pernah. Entah kenapa aku merasa Alvaro memang enggak serius denganku.

ᴥ ᴥ ᴥ

Aku kaget, saat keluar dari kamar hendak menuju dapur, kulihat Alvaro dan Kak Rara sedang bercengkrama di ruang tamu. Ngapain sih Alvaro? Semoga aja Kak Rara nggak ngomong mcam-macam.

“Eh Sasa, sudah bangun?” tanya Kak Rara.

Aku tersenyum. “Alvaro ngapain ke sini ya?” tanyaku dengan nada sinis.

“Sasa jangan gitu, ah! Alvaro mau ngajak kamu kencan, tuh!” Kak Rara mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Kakak udah kasih izin kok,” bisiknya menahan tawa.

Apa-apaan sih Kak Rara? Ya kali aku masih butuh izin segala? Memangnya aku masih anak kecil?

Aku memicingkan mata ke Alvaro. “Memang kemarin belum puas kencannya?”

Alvaro menggeleng. “Enggak, aku enggak puas.”

“Nagih ceritanya?” tanyaku sambil memicingkan mata.

“Hmm.” Alvaro mengangguk dan tersenyum puas.

“Cih! Yauda tunggu sebentar gue siap-siap dulu.”

“Jangan cantik-cantik ya Sa!”

Aku terhenti kemudian menoleh. Alvaro apa-apaan sih!

Selesai bersiap-siap, aku dan Alvaro berpamitan. Aku tak bertanya hendak pergi ke mana. Aku sendiri bingung kenapa menurut saja dibawa pergi sama Alvaro. Entah bagaimana, ada satu bagian dari hatiku yang mulai percaya kepadanya. Satu bagian itu mulai terbuka untuk menerima kehadirannya.

“Ini kan….” Aku melihat sekeliling. Ternyata Alvaro membawaku ke tempat rumah baca yang beberapa hari lalu kami datangi bersama.

“Iya Sa, kita kencan di sini ya? Aku paham kamu enggak suka hanya berduaan saja sama aku, mangkanya aku ajak kamu ke sini. Aku lihat kamu senang banget pas pertama kali aku bawa ke tempat ini.”

Aku menatap Alvaro dengan kedua sudut bibirku terangkat naik. Dia hanya menatapku sekilas kemudian menyuruhku turun dari mobil. Kami berdua pun masuk ke dalam gang menuju rumah baca itu.

“Kak Alvaro, Kak Sasa,” sambut Mutia.

“Gimana anak-anak, Mut? Ada perkembangan nggak kamu ajarin mereka?” tanya Alvaro.

“Alhamdulillah, sebagian sudah ada yang bisa baca.”

Tiba-tiba ada seseorang yang menarik-narik bajuku. Dia, Mira! Adiknya Wiro. “Kakak yang waktu itu beli kue keranjangku ‘kan di pasar?”

Aku mengangguk. “Iya Dek.” Kemudian menatap Mutia. “Dia bukannya adiknya Wiro?” tanyaku.

“Iya Kak, tuh Wiro lagi sama anak-anak. Dia juga bantuin aku mengajar di sini. Sekalian adiknya juga belajar. Kasihan, adiknya Wiro nggak bisa sekolah karena tidak mampu.”

Sekali lagi, kedua sudut bibirku terangkat naik. Kisah seperti ini yang seharusnya dijadikan cerita di artikel bukannya perundungan! Tapi ini sangat berhubungan, karena Mutia dan Wiro adalah korban perundungan, sedangkan aku termasuk cewek populer yang dengan mudah saja bisa merundung siapapun di sekolah. Kini aku memiliki gambaran cerita artikelku nanti. Tinggal bagaimana saja aku meyakinkan Pak Arya untuk menyetujuinya.

“Ayo Sa, gabung sama mereka,” ajak Alvaro.

“Lo ternyata berbeda ya. Gue pikir cowok ganteng populer kayak lo bisanya hanya jadi sampah aja di sekolah kayak si Bagas, tuh!” Aku menyindir keponakanku sendiri.

Alvaro tertawa. “Maksudnya berbeda gimana?”

“Yah, siapa sangka ternyata lo pemilik tempat ini.”

“Oh itu, bukan aku kok pemiliknya. Tapi papaku, aku hanya numpang nama aja.”

“Maksudnya?”

“Papa yang beli dan modalin tempat ini, tapi atas namaku. Kata papa, aku berhutang dan dia bilang dibayarnya nanti saja kalau aku sudah siap menggantikan dia di perusahaan.”

Aku manggut-manggut. Kuingatkan diriku sekali lagi kalau Alvaro anak konglomerat dan salah satu pewaris kekayaan ayahnya kelak. Ini kenapa aku malah memikirkan harta warisan?

“Kak, diminum nih.” Mutia menyodorkan sebotol minuman.

“Terima kasih.” Aku membuka botol minuman tersebut dan meneguknya. “Mut, gue enggak nyangka kalau lo bisa jadi guru buat anak-anak tidak mampu di sini. Maksud gue, lo ‘kan langganan dirundung, biasanya korban perundungan cenderung tertutup, tidak mudah bergaul dan rentan bunuh diri. Tapi yang gue lihat, lo justru tetap positif dan semangat untuk menjalani hidup.”

Mutia menatapku. “Kita ‘kan enggak tahu ya Kak, kapan kita akan meninggal. Jadi jalani saja hidup sebaik mungkin. Biarlah orang bersikap buruk pada kita, tapi jangan kita balas juga dengan keburukan. Lebih baik ‘kan kita maafkan dan balas dengan kebaikan. Pasti ada alasan kenapa orang bisa bersikap buruk. Aku selalu berdoa, siapapun yang bersikap buruk kepadaku, semoga saja Allah membalasnya dengan kebaikan tidak dengan keburukan. Mungkin di mata orang-orang yang bersikap buruk kepadaku, aku ini hanyalah sampah, tapi di mata Allah? Semua ciptaannya bukanlah sampah. Intinya….” Mutia meletakkan tangan kanannya di dadanya. “Keimanan. Orang yang percaya Tuhan, pasti akan tetap menjalani hidupnya dengan semangat yang positif, seburuk apapun kehidupannya,” lanjutnya tersenyum kepadaku.

Aku termenung mendengar kata-kata Mutia. Gadis berusia 16 tahun tapi kata-katanya sangat bijak sekali. Sial! Seharusnya aku merekam semua kata-katanya! Aku merasa seperti orang yang tidak bersyukur, selama ini aku tak peduli dengan keluargaku bahkan dengan orang-orang yang menyayangiku hanya karena mereka terlalu overprotektif kepadaku. Tapi Mutia? Terlihat sekali dia sangat mensyukuri hidupnya padahal hidupnya tak lebih baik dariku.

“Sa, yuk? Aku mau ngajak kamu ke rumah.” Alvaro tiba-tiba mengajakku pergi.

“Ke rumah? Ke rumah siapa?” tanyaku gelagapan.

“Ya ke rumahku. Aku mau kenalin kamu ke mama sama papa.”

Deg! Alvaro ngajak ke rumah? Kenalan sama orangtuanya? Apa kata Laura kemarin? Tiba-tiba aku panik sekaligus senang. Panik karena aku tidak ada persiapan sama sekali. Senang, ini juga aku enggak paham kenapa bisa merasa senang. Tuhan, tolong Sasa!

“Al, harus ya ke rumah lo? Kenalan sama orangtua lo?”

“Iya Sa, aku sudah janji sama mereka mau bawa kamu ke rumah hari ini.”

“Ya ampun Al, nggak bisa lain kali aja? Maksud gue, ngapain juga sih lo bawa gue ke rumah buat dikenalin ke orangtua lo?”

Alvaro tertawa. “Sa, tenang aja kali. Aku hanya mau mengajak kamu main ke rumah, kenalan sama orangtuaku. Bukan mau melamar kamu.”

Dammit! Alvaro sialan! Siapa juga yang berpikir mau dilamar!

“Yauda iya, iya.” Aku beranjak. Berpamitan kepada Mutia dan Wiro. Kulirik Alvaro yang masih saja menertawaiku.

“Kamu kenapa sih takut banget aku ajak ke rumah?”

“Bukannya gue takut diajak ke rumah, gue hanya takut ketemu orangtua lo.”

“Enggak apa-apa kali Sa, mereka enggak bakalan makan kamu.”

“Bukannya gitu, gue enggak ada persiapan!”

“Kenapa harus persiapan sih? Diseriusin amat?”

“Enggak tahu ah!”

Jadi maksudnya apa? Alvaro serius apa enggak sih? Loh, ini kenapa aku jadi kepengen banget diajak serius ya? Inget Sa, Alvaro masih SMA!

Mobil Alvaro akhirnya berhenti di depan pintu gerbang rumahnya kemudian masuk ke dalam. Aku melihat ada mobil Honda Jazz warna pink terparkir di garasi. Yang pasti ini mobil cewek!

Lalu tiba-tiba seorang cewek cantik, putih, tingginya kira-kira sepantaran dengan Alvaro berdiri di teras menyambut kedatangan Alvaro.

“Alvaro!”

“Kak Indira?”

“Iya Al, ini gue Dira.”

“Lo bukannya di Jerman?”

“Gue balik ke Jakarta, kuliah di Jerman buang-buang waktu aja. Lagian gue enggak betah soalnya enggak ada lo di sana bikin gue homesick.”

Kuperhatikan raut muka Alvaro yang tampak senang sekali dan sepertinya dia melupakanku yang berada di antara mereka. Yah, aku ini apa dibandingkan si Indira yang kulihat-lihat cantiknya bak model? Aku hanya remahan roti busuk!

“Ehem.”

Kontan Alvaro dan Dira menatapku. Kemudian Alvaro menghampiriku lalu mengenggam tanganku hendak mengenalkanku ke Dira.

“Al, gue pulang aja ya? Kayaknya lo lagi kedatangan tamu penting, gue takut ganggu.”

“Eh enggak kok, enggak ganggu. Kenalin gue Indira Paramitha, mantannya Alvaro. Panggil aja gue Dira.”

Apa maksudnya memberitahuku kalau dia mantannya Alvaro? Kulirik Alvaro yang diam saja mendengar pengakuan si Indira! Aku yakin sekali si Indira ini sangat berkesan di hatinya. Ternyata, Alvaro seleranya memang wanita yang lebih tua!

“Gue Sasa, teman sekolahnya Alvaro,” jawabku singkat bersalaman dengannya.

Suasana menjadi canggung dan sepertinya Dira menyadari hal itu
“Al, orangtua lo ada di dalam, tadi gue udah ketemu,” Dira mencoba mencairkan suasana. “Bokap lo masih kayak dulu ya? Tua-tua ganteng, tapi keceh,” bisiknya sambil terkekeh, tapi terdengar jelas olehku.

Alvaro tertawa mendengar perkataan Dira. Kenapa hatiku jadi memanas gini ya? Dira bahkan sudah kenal dekat dengan orangtua Alvaro. Aku merasa orang asing di antara mereka, seperti orang yang nggak penting. Tapi ‘kan memang aku ini nggak penting? Kenapa aku harus merasa penting di kehidupan Alvaro?

Aku melepaskan genggaman tangan Alvaro. “Al, kayaknya gue balik aja ya? Gue nggak mau ganggu lo yang lagi kedatangan tamu spesial. Lain kali aja ya gue main ke rumah lo.”

“Enggak apa-apa kok, Sa.” Alvaro berusaha mengenggam tanganku kembali, tapi aku menepisnya.

“Iya lo yang enggak apa-apa, Al! Tapi gue yang enggak nyaman!” Aku menatap tajam mata Alvaro. Keterlaluan kalau dia enggak paham! Eh tunggu dulu, aku cemburu?

ᴥ ᴥ ᴥ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top