He Got Me
Sudah setengah jam aku menunggu kedua sahabatku, Nadya dan Laura di KFC Kemang. Hari ini aku dan mereka janjian untuk kumpul, karena aku juga ingin menceritakan misi penyamaranku seminggu ini.
Sialnya, aku lupa kalau mereka itu suka sekali terlambat kalau diajak kumpul, apalagi Nadya! Untungnya hari ini hari sabtu dan tidak ada kegiatan sekolah, di seberang KFC ini ada SMA Al-Azhar Kemang namun karena libur jadi tidak ada anak-anak SMA yang terlihat.
Semalam aku sudah mengabari Genk Cantiks, aku beralasan ada urusan keluarga jadi tidak bisa ikut mereka bermalam minggu. Lagipula aku malas sekali jika harus hang out bersama mereka, bisa keriput dompetku! Dan aku sudah mengingatkan Bagas untuk tidak keceplosan kalau saja Genk Cantiks menanyaiku. Jadi hari ini, aku bebas sebebas-bebasnya menjadi Alisa Natasa!
"Tahu begini mending gue gak usah buru-buru kesini tadi!" gerutuku kesal sambil menyeruput lemon tea yang sudah tinggal setengah.
"Sasaaaaa!!!" teriak Nadya lalu memelukku.
"Astaga Nad! Biasa aja kali!"
"Gue kangen sama lo."
"Kangen tapi telat datangnya."
"Ih gara-gara Laura tuh yang bikin telat."
"Sorry Sa. tadi ada urusan sebentar sama Julian." Laura beralasan.
"Kenapa si Julian?" tanyaku.
"Biasa lah, nyuruh gue ke apartemennya ternyata minta dibikinin sarapan."
"Romantis banget ya pagi-pagi bikin sarapan."
"Belajar kali Sa, sebelum ke pelaminan."
"Tahu deh tahu yang mau married." cibir Nadya.
"Mangkanya kalian jangan jomblo terus." ledek Laura.
Aku dan Nadya hanya mendengus mendengar perkataan Laura.
"Udah deh kalian pesen apa dulu kek, makanan atau minuman." ujarku.
"Eh iya gue belum sarapan, gara-gara si Laura nih!" omel Nadya.
"Kok gue sih?"
"Lo sih dadakan banget ada urusan, gue udah siap-siap dari pagi jadi gak sempet sarapan."
"Maaf deh maaf."
"Gak terima maaf, kecuali lo beliin gue sarapan." Nadya tersenyum iblis sambil merangkul lengan Laura.
"Cih! Yauda gue beliin sarapan!"
"Asyik!"
"Lo gak sarapan Sa?" tanya Laura.
Aku melirik Laura. "Sarapan gue udah habis duluan waktu nungguin kalian." kataku sinis.
Laura tertawa. "Maaf ya sayang, yauda kalau gitu gue sama Nadya pesan makanan dulu."
Aku mengangguk sambil menyeruput kembali lemon tea.
Menjelang siang KFC mulai ramai. Kulihat ada beberapa anak-anak muda baru saja keluar dari SMA Al-Azhar, mereka berpakaian bebas dan menuju KFC.
"Semoga aja Nadya gak pecicilan." kataku dalam hati.
Nadya dan Laura kembali duduk dengan membawa nampan makanan.
"Sa, jadi gimana misi penyamaran lo?" tanya Laura.
"Gak gimana-gimana sih." jawabku santai.
Aku pun mulai menceritakan bagaimana misi penyamaranku seminggu ini. kuceritakan bagaimana akhirnya aku bisa masuk geng paling populer di sekolah dan membully anak-anak kurang beruntung. Kuceritakan juga alasan dibalik anak-anak populer membully, hanya karena status sosial!
"Ih gila ya? Kayaknya dulu kita sekolah gak begitu amat." Laura tidak menyangka dengan apa yang kuceritakan.
"Dulu kan kita anak baik-baik Lau! Kita tuh anak teladan!" ucap Nadya.
"Teladan banget ya hampir tiap hari terlambat ke sekolah." cibir Laura.
"Yeee, itu kan ada alasan kuat kenapa terlambat ke sekolah."
"Emang apa alasannya?"
"Belajar sampai subuh! Tuh alasannya!"
"Cih! Yakali Nad! Otak kayak lo belajar sampai subuh!"
"Sindir aja gue terus Lau! Sindir aja terus!" Nadya mendengus kesal.
Laura tertawa. "Udah mana kata lo anak baik-baik, padahal lo langganan BK!"
Aku tertawa mendengar kata-kata Laura, jadi ingat dulu Nadya murid langganan BK soalnya ada saja yang dia lakukan sampai dipanggil guru BK.
"Ketawain aja terus! Dulu tuh pengorbanan buat kalian gue langganan BK, gue tuh temen yang setia!" Nadya cemberut.
"Iya deh iya." Aku dan Laura lanjut tertawa.
"Ngomong-ngomong Sa, ada berondong ganteng gak di sekolah?" tanya Nadya tiba-tiba.
Aku melirik Nadya. Berondong ganteng? Ada sih, tapi entah kenapa aku risih untuk menceritakan kepada mereka. Bukan apa-apa, masalahnya itu berondong mendekatiku dan tertarik padaku. Apa kata dunia? Jika seorang Alisa Natasa pacaran sama anak SMA? Aku pun bergidik.
"Banyak Nad, berondong ganteng mah, tapi gue males ngomonginnya."
"Yaaah Sasa, kenalin dong berondong gantengnya."
"Duh apaan sih Nad? Lo cari laki-laki mapan kek jangan anak SMA!"
"Ah Sasa, kalau laki-laki mapan kan bawaannya jadi pengen serius."
"Lah? Lo emang gak mau serius Nad?"
Nadya menggeleng dan raut mukanya menjadi sedih. "Lo kan tahu alasannya."
Aku dan Laura pun terdiam sambil menatap Nadya. Dulu dia pernah serius pada satu pria, tapi ditinggalkan begitu saja. Aku paham, jika trauma itu masih ada dihatinya.
Wanita manapun pasti ingin serius pada satu pria, tapi jika ditinggalkan begitu saja? Waktu mungkin bisa menyembuhkan luka namun tidak bisa menghapus bekas luka.
Tiba-tiba saja ponselku berdering. Kulihat layar ponselnya tertera nama 'Pak Arya Ganteng'
"Halo, Sasa?"
"Iya Pak, saya sendiri."
"Kamu bisa ke kantor hari ini setelah makan siang? Saya habis meeting dan teringat ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu."
Aku melirik jam tanganku menunjukkan pukul 11.
"Bisa Pak, bisa."
"Baiklah, kalau begitu saya tunggu kamu setelah makan siang."
"Baik Pak."
Aku menutup pembicaraan, kulihat sekali lagi nama kontak Pak Arya, Astaga, kenapa jadi teringat Alvaro? Nama kontaknya 'Alvaro Ganteng' aku pun jadi membandingkan senyuman Alvaro dengan senyuman Pak Arya. Tunggu dulu, senyuman mereka mirip!
Masa iya Alvaro anaknya Pak Arya?
"Sa, telepon dari siapa?" tanya Laura membuyarkan lamunanku.
"Hah? Ini dari Pak Arya, bos gue. Dia nyuruh gue ke kantor habis makan siang."
"Yah berarti kita gak bisa lama-lama dong?"
"Sorry ya, gak tahu ini dadakan banget."
Nadya dan Laura hanya mendesah. Mau bagaimana lagi? Bos sendiri yang menghubungiku.
ᴥ ᴥ ᴥ
Selepas makan siang aku bergegas ke kantor, setiba disana Pak Arya sudah menungguku di ruangannya.
"Silahkan duduk Sasa."
Aku mengangguk dan duduk berhadapan dengannya. Entah kenapa aku fokus dengan wajahnya Pak Arya, mencoba membandingkan dengan wajah Alvaro. Gak terlalu mirip sih, tapi gantengnya sama!
"Bagaimana dengan misi penyamaran kamu seminggu ini?"
"Alhamdulillah, lancar-lancar saja Pak."
"Tidak ada masalah?"
Aku menggeleng. "Tidak ada Pak." Ada sih satu masalah, Alvaro!
"Hmm, begini Sasa. Saya ingin tahu strategi apa yang kamu pakai dalam misi penyamaran ini?"
"Strategi?"
"Iya, strategi, maksud saya, bagaimana cara kamu mendapatkan bahan-bahan untuk artikel kamu nanti."
"Oh itu, saya memakai strategi menjadi pembully untuk mendapatkan cerita buat artikel saya nanti."
"Menjadi pembully?"
"Iya Pak, jadi saya berencana menceritakan tentang pembullyan ini dari sisi pembullynya bukan korbannya."
Pak Arya manggut-manggut. "Jadi inti cerita artikelmu nanti seperti apa?"
"Intinya, saya akan menceritakan bagaimana si pembully itu bekerja? Kenapa mereka harus membully? Apakah membully itu sangat penting? Dan bagaimana sisi kehidupan dari si pembully itu sendiri."
"Kenapa menurut kamu harus menceritakan tentang pembullyan ini dari sisi pembullynya?"
"Karena menurut saya cerita pembullyan dari sisi korbannya itu sudah terlalu banyak."
"Tapi biasanya pembaca akan lebih tertarik dengan kisah yang sentimental, seperti kisah dari si korban bully. Apa menurut kamu cerita dari sisi pembully akan menarik pembaca?"
Benar juga kata Pak Arya! Duh aku harus jawab apa? Aku pun berpikir keras, tenang Sa, tenang!
"Saya tahu Pak, orang akan lebih tertarik dengan kisah korban daripada tersangka," Aku berhenti sejenak. "Tapi kisah korban kebanyakan akan sama saja, mereka dari kalangan murid yang tertindas. Sedangkan cerita saya nanti akan berbeda, saya pikir menceritakan dari sisi tersangkanya akan cukup menarik, lagipula korbannya juga akan masuk dalam cerita saya nanti. Jadi kemungkinan akan ada dua kisah."
Aku menatap lekat Pak Arya, semoga saja bisa dipahami dan diterima.
Pak Arya bersender dibangkunya, kepalanya terangkat menatap langit-langit. Raut mukanya serius, garis rahangnya semakin terlihat kuat. Pak Arya menjadi siluet yang sangat ganteng!
"Baiklah kalau begitu Sasa, cukup menarik dan saya tidak sabar untuk membaca artikelmu." Pak Arya tersenyum. "Saya ingatkan, tiga bulan sebelum deadline kamu harus melaporkan sebagian kepada saya, kamu paham Sasa?"
"Iya Pak, saya paham."
"Baiklah, kamu boleh keluar."
Aku bukannya keluar malah terdiam, mataku mencari-cari pigura yang menampilkan gambar Pak Arya bersama anaknya. Sial! Fotonya kemana? Sudah tidak ada lagi di lemari!
"Sasa?"
"Hah? Iya Pak?"
"Kamu ada pertanyaan atau...?" Pak Arya menoleh ke belakang, lebih tepatnya ke arah lemari yang sedari tadi kuperhatikan.
"Enggak Pak, Enggak. Kalau begitu saya permisi." Aku pamit keluar.
"Fotonya kemana sih? Padahal penasaran banget!" rutukku kesal
"Sasa?"
Aku menoleh. "Ega? Lo kok disini?"
"Gue habis meeting sama Pak Arya tadi."
"Oh."
"Lo sendiri ngapain disini?"
"Gue disuruh kesini tadi sama Pak Arya."
"Soal misi penyamaran? Gimana? Lancar?"
Aku mengangguk. "Alhamdulillah lancar."
"Udah kepincut berondong belum?"
"Ih apaan sih Ega!"
Ega hanya tertawa. "Sa. Hari ini kan malam minggu nih."
"Memang kenapa kalau malam minggu?"
"Lo mau jalan gak sama gue?"
Aku menatap Ega bingung. "Ega ngajak jalan? Serius?"
"Tenang aja Sa, gue cuma ngajak jalan bukan ngajak kencan."
Aku memutar bola mataku. "Iya gue tahu."
Ega terkekeh. "Jadi, mau gak?"
Aku berpikir sejenak. Nadya sama Laura pasti sudah pulang, kalau aku pulang sekarang rasanya malas banget di rumah Kak Rara, lagian hari ini kan aku jadi Alisa Natasa sebebas-bebasnya.
"Yauda gue mau, tapi mau jalan kemana?"
"Udah ikut aja."
Aku mengikuti Ega yang aku sendiri tidak tahu Ega hendak mengajakku kemana. Tapi begitu sampai tempat yang dituju, aku kaget!
Ega mengajakku ke sebuah Club. Demi Tuhan, seumur-umur aku enggak pernah ke Club. Aku sedikit bingung, masalahnya hari masih sore, biasanya Club buka sekitar jam sepuluh malam.
"Turun Sa, gue mau ketemu temen gue. Dia pemilik Club ini." ujar Ega.
"Oh, emang Club-nya udah buka ya?"
Ega mengkerutkan dahinya. "Maksudnya?"
"Bukannya biasanya Club buka jam sepuluh malam?"
Ega kemudian tertawa. "Gue bukan mau ngajak Clubbing Sa, tapi gue ada keperluan sebentar, mau ketemu sama temen gue. Lo mau disini aja apa mau masuk bareng gue?"
"Gue ikut masuk aja deh, yakali malas gue nunggu di mobil."
"Yauda yuk!"
Aku mengikuti Ega masuk ke dalam. Club itu cukup luas dan megah, Ega mengajakku masuk ke dalam suatu ruangan yang aku yakin itu ruangan dari pemiliknya.
"Hey Bro, akhirnya datang juga lo kesini."
"Iya dong, gue ada perlu sama lo."
Aku terpaku melihat siapa yang diajak bicara sama Ega, dia Julian! Tunangannya Laura!
"Ini, Sasa kan?"
"Julian?"
"Eh kalian saling kenal?" tanya Ega.
"Iya lah! Sasa ini sahabatnya tunangan gue."
"Oh shit! Gue sama sekali enggak tahu."
"Hahaha sekarang lo tahu." Julian menepuk pundak Ega. "Oya, Alvaro. Lo boleh keluar, malam ini lo boleh mulai nge-DJ disini. Ingat ya, jam sepuluh malam!"
What? Alvaro? Jangan bilang dia Alvaro Handika? Aku melirik kemudian aku lihat laki-laki itu berdiri dan mengangguk kepada Julian. Sesaat sebelum keluar, dia menatapku dan tersenyum. Senyuman yang membuatku bergidik! Dia Alvaro Handika!
"DJ baru?"
"Iya, sebenarnya sih dia udah dikenal di dunia Clubbing, banyak fansnya juga. Jadi gue tawarin aja buat kerja disini."
"Tapi dia enggak dibawah umur kan?"
"Ya enggak lah! Gila aja gue pake anak dibawah umur. Club gue ini ada aturan ketat soal anak dibawah umur! Bisa-bisa dituntut gue!"
"Halah, lo kan seorang Raichand, masalah tuntutan bukannya gampang diselesaikan pake dollar?"
"Bukan masalah itu, tapi gue bisa gak dipercaya lagi buka usaha Club sama bokap gue. Lo tahu sendiri kan, gue dapat izin buka usaha ini juga karean peraturan ketat itu dan menjamin Club gue bersih!"
Mereka baru saja akan memulai membahas keperluan si Ega tapi aku buru-buru minta izin ke toilet.
Sebenarnya aku penasaran sama Alvaro, Kalau Julian enggak tahu dia dibawah umur, bisa-bisa si Alvaro kena kasus penipuan dong? Eh kenapa juga aku peduli?
Aku keluar dari ruangan Julian, mencari-cari sosok Alvaro. Apa mungkin dia pulang? Hari masih sore, kan bisa dia kembali nanti?
Aku mendesah dan ketika hendak kembali tiba-tiba ada yang menarikku keluar dari Club, Alvaro!
Dia menyeretku ke mobilnya. "Alvaro! Lepasin ih!"
Tapi laki-laki itu tak menggubris, dia memaksaku masuk ke mobilnya. Ini kedua kalinya aku masuk mobil Alvaro, dia tak menyalakan mobilnya dan hanya terdiam dengan aku duduk disampingnya.
Kulihat dari ekor mataku Alvaro mendesah dan menatapku.
"Dia siapa?" tanya Alvaro datar namun terdengar tegas.
"Hah? Siapa maksud lo?" Aku panik.
Tapi kenapa juga aku panik? Aku merasa seperti berbuat kesalahan.
"Cowok yang datang sama kamu?"
Aku terdiam sejenak, harus kujawab apa? Teman? Pacar? Gebetan?
"Dia, gebetan gue." jawabku.
Aku enggak bohong, sebenarnya aku ada niatan menjadikan Ega gebetanku.
Kulihat Alvaro tersenyum tipis. Kok jantungku berdebar-debar?
"Baru gebetan kan? Belum jadi pacar kamu?"
Aku menyipitkan mataku. "Maksud lo?"
"Aku akan buat dia selamanya jadi gebetan kamu," Alvaro berhenti sejenak kemudian mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Karena mulai saat ini kamu adalah pacar aku." lanjutnya berbisik.
ᴥ ᴥ ᴥ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top