Geng Cantiks

Jam istirahat siang pun tiba. Perutku sudah kelaparan karena aku lupa sarapan tadi pagi. Bagas langsung mengajakku ke kantin.

"Sa, ke kantin yuk! Gue kenalin ke anak-anak populer."

"Oke." jawabku mengangguk.

Saat hendak keluar kelas tak sengaja aku melihat Alvaro masih duduk di bangkunya sedang mengobrol dengan siswi cantik, yang aku tahu namanya Airin. Dia tampak tersenyum menggoda siswi tersebut.

"Cih! Dasar cowok ganteng emang udah kelakuan dari lahir playboy!" kataku dalam hati.

Alvaro untuk beberapa detik melihatku yang memperhatikannya. Dia tersenyum menggodaku namun buru-buru aku palingkan muka mengacuhkannya. Sial! Hampir saja!

Aku mengikuti Bagas menuju kantin yang sangat luas. Kalau sekolahku dulu meja kantinnya panjang dan tempat duduknya kayu yang panjang, berbeda di SMA Dharmawangsa ini.

Kantin SMA Dharmawangsa tampak seperti foodcourt yang mewah. Meja makanan sudah diatur sedemikian rupa di tengah-tengah kantin dan mejanya bertebaran dengan sekitar 5 kursi mengelilinginya. Lalu kasir berada tepat di ujung meja makanan. Di samping kanan kiri kasir ada stand menjual aneka minuman dan jus.

Aku berdecak ketika melihat makanan yang disajikan di kantin SMA Dharmawangsa ini. Memang sih sangat higienis tapi juga sangat mahal. Jika sekolah pada umumnya menjual ketoprak, batagor, mie ayam. Berbeda dengan SMA Dharmawangsa yang menjual steak, pizza, spaghetti, zupa soup, burger dengan perkiraan harga yang paling murah tiga puluh ribu hingga lima puluh ribu rupiah, bahkan harga minumannya saja paling murah lima belas ribu rupiah! Dan lebih gilanya, harga jus hingga dua puluh lima ribu rupiah!

Aku menelan ludah. "Gila! Ini sekolahan atau apa? Masa mau isi perut saja bisa habis sampai seratus ribu? Setara nongkrong gak jelas di Starbucks!"

Tapi seharusnya aku tidak heran, anak-anak yang bersekolah di SMA Dharmawangsa ini memang bukan anak-anak dari keluarga sembarangan.

Mereka dari kalangan keluarga konglomerat dan pejabat. Meskipun ada beberapa anak tidak mampu yang bersekolah di sana karena beasiswa. Bagi mereka, menghabiskan seratus ribu hanya untuk isi perut seperti hanya menghabiskan tiga ribu lima ratus saja untuk membeli Pop Ice.

"Oh jadi hari ini temanya Eropa ya?" Alvaro tiba-tiba ada di sampingku.

"Tema?" tanyaku bingung.

Alvaro mengangguk. "Tuh steak, pizza, spaghetti."

Aku melihat makanan yang disajikan dan baru saja paham apa yang dimaksud Alvaro. Ternyata makanan yang disajikan kantin ini bertema.

"Kenalin Alvaro Handika." Alvaro mengulurkan tangannya kepadaku.

Aku agak risih ketika Alvaro mengulurkan tangannya mengajakku berkenalan dan terus saja menatapku, kulihat anak-anak di kantin memperhatikan kami.

"Gue Sasa, pasti lo udah tahu kan? Tadi pagi gue memperkenalkan diri di kelas." jawabku agak jutek tanpa membalas uluran tangannya.

Bukan maksudku bersikap agak jutek, tapi aku disini sedang dalam misi penyamaran dan aku tidak mau terganggu dengan perkenalan seseorang yang tak ada hubungannya dengan misi penyamaranku.

Alvaro hanya tersenyum. "Paling enak makanannya kalau temanya Indonesia, selalu ada rendang dan sate."

Aku mengangguk. Alvaro sepertinya masih berusaha mengobrol denganku padahal aku yakin, dia pasti paham dengan jawaban jutekku tadi aku sedang malas meladeninya.

Dalam situasi seperti ini ingin rasanya aku berteriak memanggil Bagas. Kemana sih itu anak!

"Tante, udah ngambil makanannya?" tanya Bagas keceplosan lagi.

Reflek aku langsung mencubit perutnya.

"Awww... sakit!" Bagas meringis memegang perutnya.

Aku memelototinya dan memberi kode melalui kedua bola mataku bahwa disitu ada Alvaro.

Bagas sepertinya paham. "Eh iya Sa, udah ambil makanannya belum?"

"Sebentar," Aku langsung mengambil burger dan zupa soup. "udah nih, dibayar dulu kan?" tanyaku.

Bagas mengangguk. "yauda bayar dulu gih, oya Al! Duduk tempat biasa ya."

Aku menoleh ke Alvaro yang mengangguk menjawab perkataan Bagas. Kemudian aku menuju kasir lalu mengikuti Bagas ke tempat biasa dia duduk.

Kulihat ada beberapa anak berkumpul yang dari tempatku berdiri cukup paham bahwa mereka kumpulan anak-anak populer.

"Guys, kenalin nih sepupu gue, Alisa Natasa. Panggil saja dia Sasa" ujar Bagas memperkenalkanku.

"Sepupu lo Gas? Cantik juga, kenalin gue Rangga." Aku menyalaminya dan tersenyum padanya tepat di depan Alvaro yang tak sengaja kulihat raut mukanya berubah menjadi masam.

Oke, ini salah! Saat Alvaro ingin berkenalan denganku tadi aku agak jutek bahkan tak mau menyalaminya. Wajar saja sih mukanya jadi masam begitu. Aku ketawa dalam hati.

"Gas, serius ini sepupu lo? Gue pikir lo gak punya sepupu." sahut seorang cewek dan aku tak tahu namanya.

"Iya Ca, sepupu gue."

"Kenalin gue Candrica Ghianina, panggil aja gue Caca." Aku menyalaminya. "dan mereka berdua sahabat gue, ini Tiara Nadhifa dan yang ini Karina Adella. Kita bertiga adalah GENK CANTIK yang terkenal banget di sekolah ini. CANTIK bukan hanya kita bertiga cantik-cantik tapi juga itu singkatan dari nama kita bertiga CAN-CANdrica, TI-Tiara dan K-Karina." cewek yang dipanggil Caca itu menjelaskan dan memperkenalkan kedua sahabatnya kepadaku.

Aku manggut-manggut, berpikir keras bagaimana caranya bisa masuk ke dalam genk cantik. Karena aku paling tidak paham dengan geng-gengan seperti ini. Entah apa faedahnya, buatku berteman ya berteman saja tanpa harus memakai status geng.

Tiba-tiba Caca naik ke atas bangku. Aku tidak tahu dia mau ngapain.

"Guys, mohon perhatiannya! GENK CANTIK ada pengumuman! Dan ini mendadak! Mulai hari ini genk cantik menambah anggota baru, dia Alisa Natasa, sepupunya Bagas Dharmawangsa! Kalian pasti tahu kan Bagas Dharmawangsa? Dan genk cantik akan berganti nama menjadi CANTIKS dengan penambahan S dibelakangnya sebagai singkatan nama Sasa. Kalian paham? Jangan sampai salah sebut nama CANTIKS! Kalau enggak mau berurusan sama gue! Juga jangan macam-macam sama Sasa kalau enggak mau berurusan sama anak pemilik sekolah ini!"

Aku melongo sambil menganga dengan burger yang tidak jadi masuk ke mulut. Apa-apaan ini! Tanpa bertanya, diskusi dan permisi si Caca main masukkin aku menjadi anggota genk cantik. Tapi dalam hati aku bersyukur, setidaknya aku tak perlu repot-repot lagi putar otak bagaimana caranya masuk ke dalam geng yang katanya populer banget di sekolah ini.

"Lo sekarang anggota genk cantik Sa!" ujar Caca senang. Aku memandang Caca takjub, gila ya secepat itu dia menjadikan aku temannya? Kualihkan pandanganku ke Tiara dan Karin yang juga terlihat tampak senang.

"Ca, lo serius jadiin gue anggota genk cantik?" tanyaku hati-hati.

"Serius lah! Lo kan sepupunya Bagas, anak pemilik sekolah ini. Rugi Bandar kalau enggak masukin lo ke genk cantik."

Well, well, well, sekali lagi koneksi itu penting. Thank You, Bagas!

Aku melanjutkan makanku. Tak jauh dari tempatku duduk, kulihat Alvaro memperhatikanku. Duh! Tuh cowok kenapa sih? Tapi senyum dan wajahnya serasa familiar!

"Heh! Lo Inem sini!" Aku mendongak ketika Caca memanggil seseorang dengan panggilan Inem. Seriusan tuh namanya Inem?

"I-iya Kak." jawab Inem ketakutan.

"Lo tadi denger pengumuman genk cantiks kan?"

"I-iya de-denger."

Caca kemudian menoleh kepadaku.

"Sa, lo mau minum apaan? Kayaknya lo belum beli minuman." tanya Caca.

Aku baru tersadar kalau belum membeli minuman.

"Mm, jus jeruk aja deh."

"Oke," Caca kemudian menatap Inem. "Lo, beliin jus jeruk sana buat anggota baru genk cantiks. Buruan!" Caca memberi perintah.

Inem masih terdiam di tempatnya berdiri, terlihat sekali dia ketakutan. Kedua jemarinya meremas kuat roknya dan matanya mulai menangis.

"Lo kenapa diem aja! Sana beli!" hardik Caca.

Inem terkejut. Jangankan Inem, aku juga terkejut mendengar hardikannya walaupun bukan ditujukan kepadaku. Ini si Caca ngapain sih? Bikin kaget aja!

"A-anu Kak, a-aku.. g-gak punya duit."

"Trus urusan gue? Sana beli!"

"Ta-tapi.."

"Lo mau ngebantah?"

"Eng-enggak."

"Jangan sampai bikin anggota genk cantiks marah. Lo tahu kan akibatnya?"

Inem hanya mengangguk sambil menyeka airmatanya yang sudah menetes.

"Gak usah nangis! Kayak baru kali ini aja gue bully!" sindir Caca.

Kini aku paham, Caca sedang membully di depan mataku. Aku melihatnya secara langsung dan secara tidak langsung juga aku membully siswi yang bernama Inem itu, karena aku hanya diam saja ketika Caca menyuruhnya membeli jus jeruk untukku.

Aku jadi iba dan kasihan pada Inem. Seumur-umur aku sekolah, tak pernah aku di bully, tak pernah juga aku jadi si pembully. Statusku sebagai putri dari pengusaha Hadinata cukup membuat anak-anak di sekolah tak macam-macam denganku.

Inem kemudian membeli jus jeruk untukku, aku tak tahu bagaimana dia membayarnya karena jelas sekali tadi dia bilang tidak punya uang.

"I-ini jus jeruknya." Inem memberikan jus jeruknya kepadaku, aku mencoba menahan diri untuk tak tersenyum ramah kepadanya. Inem bahkan tak berani melihatku.

"Ini salah satu privileged menjadi anggota genk cantiks, gak ada yang berani membantah kita," ujar Caca. "nanti pulang sekolah lo ikut kita ke rumah gue ya Sa, gak ada pembantahan."

Aku mengangguk, baru beberapa menit yang lalu aku mengenal seorang Candrica Ghianina dan sekarang aku dalam posisi tidak bisa membantahnya. Damn! Aku bahkan lebih tua darinya!

Tapi aku dalam misi penyamaran dimana salah satu misinya adalah bergabung dengan komunitas anak populer dan melihat bagaimana cara si pembully bekerja. So, I just should shut up my mouth and take to down my emotion. Just for six months! Be patient!

Kriiinggg. Jam istirahat pun berakhir.

"Yuk balik ke kelas." ajak Caca.

"Mm, kalian duluan aja deh, gue mau nyamperin Bagas dulu bentar. Lagian kita kan gak sekelas." Aku beralasan sambil menunjuk Bagas yang masih berkumpul dengan Alvaro dan Rangga.

"Oh, oke kalau gitu kita duluan ya Sa." balas Caca dan kedua sahabatnya ber-say Good Bye kepadaku.

Aku tersenyum lalu dengan gerak cepat aku menuju stand yang menjual aneka minuman jus.

"Anu Mbak, saya mau bayar jus jeruk yang dibeli sama anak yang namanya Inem tadi." kataku.

"Oalah, terima kasih loh Dek udah mau bayarin. Mbak kasihan sama Mutia, dia di bully terus sama genk cantik cantik itu."

"Mutia?"

"Iya Dek, yang dipanggil Inem itu namanya Mutia Nahdan. Dia salah satu siswi yang di bully di sekolah ini. Sering banget disuruh beli ini itu pakai duit dia padahal dia anak tidak mampu, jadinya hutang mulu."

Oh jadi namanya Mutia Nahdan? Kupikir memang namanya Inem.

"Kok Mutia dipanggil Inem ya Mbak?"

"Kalau itu awalnya karena anak-anak sering suruh-suruh dia kayak pembantu, mangkanya dipanggil Inem."

Aku manggut-manggut. "Oya Mbak, kalau boleh tahu hutang Mutia berapa ya?"

"Kalau di saya sekitar dua ratus ribu, tapi kalau digabung semuanya mungkin sekitar lima ratus ribu. Kasihan, bagaimana nanti dia membayarnya."

Astaga, gak habis pikir Mutia sampai harus mengutang gara-gara di bully!

Aku mengeluarkan dua lembar seratus ribu dari dompet dan memberikan ke mbak penjual jus.

"Mbak, saya cuma bawa dua ratus ribu, besok sisanya saya kasih. Buat bayar hutangnya Mutia."

"Eh? Seriusan ini Dek?"

"Iya Mbak. Jangan bilang siapa-siapa ya? Apalagi Mutia."

"Iya Dek, saya akan tutup mulut."

Aku tersenyum lega, walau bagaimana juga aku punya hati nurani. Perasaanku jadi sangat bersalah mengingat Mutia tadi membeli jus jeruk untukku sampai harus mengutang.

"Tante, balik kelas yuk!" ajak Bagas.

Aku memelototinya dan Bagas hanya terkekeh melihatku melotot kepadanya, sepertinya kali ini dia memang sengaja bukannya keceplosan.

Untungnya kantin sudah sepi. Aku pun mengikuti Bagas kembali ke kelas.

ᴥ ᴥ ᴥ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top