Deadline!

Aku masih saja memasang tampang kesal padahal mobil Alvaro sudah terparkir di carport kediaman Dharmawangsa yang luas. Sepanjang perjalanan pulang tadi aku mendiamkannya.
Gimana aku enggak kesal? Hampir saja tadi Alvaro membuat Fabian babak belur! Aku langsung membayangkan kemurkaan Laura jika melihat adiknya terluka karena ulah dirinya.

Untung saja aku tadi bisa melerai mereka. Menenangkan Alvaro dan meyakinkan Fabian untuk tidak berkelahi.

“Sa, kamu marah ya?” Aku mendengar suara bergetar Alvaro. Dia ketakutan?

“Hmm.”

Alvaro langsung memegang tanganku. “Aku minta maaf, tadi aku cemburu lihat kamu sama Fabian.”

Aku menoleh. Malas rasanya harus menjelaskan dan capek rasanya kalau harus mengeluarkan emosi. Jadi kuputuskan untuk tak memperpanjang masalah.

“Enggak apa-apa Al,” Aku tersenyum. “Lain kali kalau mau cemburu bisa kan dipikir-pikir dulu? Jangan asal dikeluarin! Bisa kan dibicarakan secara baik-baik?”

“Omongan dia bikin aku naik pitam! Emosi jadinya!” Alvaro mulai emosi.

“Tapi lo enggak harus kan sampai terprovokasi!” Aku sedikit membentak.

Alvaro langsung menatapku tajam! Tatapan murka! Tak mau terintimidasi, aku balas tatapannya tajam! Niatan tak mau emosi malah aku tidak bisa mengendalikan emosiku.

Alvaro mendesah pelan, terlihat dia mencoba meredam emosinya. “Maaf, aku yang salah. Aku minta maaf”

“Hmm. Iya.” kataku singkat. Aku pun mencoba meredam emosiku.

Alvaro tersenyum kepadaku. “Terima kasih ya, kamu sudah maafin aku.”

“Gue masih marah!” Aku melepaskan genggamannya
.
Alvaro mengkerutkan dahinya. “Aku pikir kamu sudah enggak marah.”

“Gue marah bukan karena lo, Al! Gue marah karena kesal dan cemburu! Bukan hanya lo yang punya sahabat dari kecil! Gue juga punya! Fabian memang suka sama gue, tapi gue selalu menolak perasaan dia karena gue anggap dia seperti saudara! Berbeda sama lo, Indira sempat menjadi pacar lo kan? Biarpun lo bilang enggak punya perasaan apapun sama Indira, tapi kalian sempat memiliki perasaan yang lebih dari sahabat! Iya kan? Dan gue harap kita sama-sama memahami masalah ini!”

Aku langsung membuka pintu mobil, beranjak keluar kemudian membantingnya. Samar-samar kudengar Alvaro mengumpat di dalam mobil. Aku tak peduli!
Entah kenapa aku ingin menangis.

Memuntahkan semua isi hatiku yang berkecamuk.

ᴥ ᴥ ᴥ

Malamnya aku membereskan beberapa pakaianku dan keperluan lainnya. Aku berencana menginap di apertemen Laura. Hari Senin Deadline! Dan aku harus menyerahkan laporan artikelku. Enggak terasa sudah tiga bulan aku menyamar jadi murid SMA dan sudah sebulan aku berkencan dengan anak SMA!

Lebih tepatnya, berondong bernama Alvaro Handika!

“Tan, harus banget ya lo nginap di tempat si tante Laura?” Bagas tahu-tahu sudah di kamarku duduk di atas tempat tidur.

“Iya! Gue sama sekali belum ngerjain laporan buat Deadline hari Senin! Bisa-bisa gue diamuk sama Pak Arya.”

“Kenapa enggak ngerjain di sini aja sih Tan? Kan Bagas jadi kesepian.”

Aku mendengus. Kesepian apanya!

“Lo tuh ya bisanya gangguin gue aja tahu enggak? Apalagi sahabat lo yang namanya Alvaro! Yang ada gue enggak kelar-kelar ngerjain laporan!” Aku menjitak kepalanya.

Bagas meringis dan terkekeh. “Kan gue sama Alvaro bisa bantuin lo ngerjain laporan.”

“Enggak deh enggak, makasih! Bunuh diri namanya.”

Bagas tertawa. “Alvaro tahu lo nginap di tempat tante Laura?”

“Ya enggak lah! Lo gila apa? Pokoknya kalau dia nanya, bilang aja gue ke Bandung ada acara keluarga.”

“Jahat banget sih lo Tan? Padahal enggak ada keluarga di Bandung.”

“Mau lo apa sih?”

“Gue kasihan sama Alvaro, lo udah bikin dia uring-uringan beberapa hari ini,” Bagas mendesah. “Belum selesai masalah Ega, muncul lagi masalah Fabian. Kalau gue jadi Alvaro mah gue udah nyerah ngadepin lo Tan.”

Aku terdiam. Apa benar Alvaro sampai uring-uringan? Bukannya dia santai-santai aja? Aku kepikiran bagaimana dia senang sekali bertemu Indira.

“Gas, lo kenal sama Indira?”

“Indira? Maksud lo sahabat sekaligus mantannya Alvaro?”

“Iya! Alvaro tuh senang banget ketemu si Indira! Mangkanya gue enggak yakin dia uring-uringan!” ujarku sarkastik.

“Yaelah Tan, di kasih tahu enggak percayaan amat.”

Aku memutar bola mataku malas. “Bodo.”

Bagas menghembuskan napas kasar kemudian beranjak dari tempat tidur. “Lo mau gue anterin enggak Tan?”

Aku menggeleng. “Gue bawa mobil, lagian gue enggak mau lo tahu tempat Laura dimana, bisa-bisa lo ngadu ke Alvaro.”

Cih! Bagas mendengus. “Gue bisa sih nanya Fabian, enggak mungkin kan dia enggak tahu apartemen kakaknya?”

Sialan! Aku lupa kalau Bagas juga bersahabat dengan Fabian.

“Gas! Awas lo ya kalau sampai kasih tahu Alvaro!” Aku mengancam dan menyeretnya keluar.

Selepas makan malam aku pamit dan langsung menuju aparteman Laura.

Namun, betapa kaget aku begitu sampai di sana, aku melihat Fabian sedang duduk santai di ruang tengah sambil menonton TV.

“Eh ada Kak Sasa.” Fabian tersenyum menggodaku.

“Lau, Fabian mau nginap di sini?” tanyaku.

“Enggak, dia udah mau pulang kok.” jawab Laura santai.

“Tunggu,” Fabian bangkit dari duduknya. “Kak, Kayaknya gue nginap malam ini deh, soalnya ada Kak Sasa.”

Aku memicingkan mata ke Fabian. Sial!

“Fabby, mending lo pulang aja deh! Sasa tuh nginap sini ada kerjaan.” omel Laura.

Aku menahan tawa. Bukan! Bukan karena Laura mengomeli Fabian, tapi karena Laura memanggilnya Fabby. Aku tahu betul Fabian paling enggak suka panggilan itu!

“Kak Laura, jangan panggil gue Fabby!”

“Gue Kakak lo! Suka suka gue mau manggil lo apa!”

Aku akhirnya tertawa. “Udah, udah, udah! Eh Laura, lo udah hubungin Nadya? Suruh dia nginap juga!”

“Udah Sa, dia lagi on the way ke sini.”

“Eh, Kak Nadya juga mau nginap?” tanya Fabian.

Aku dan Laura menggangguk barengan.

“Kalau gitu gue pulang aja deh ya? Bye.” Fabian bergegas pulang.

“Kenapa Fab? Takut digerayangin Nadya?” tanyaku geli.

Fabian menyengir. “Gue lebih baik digerayangin lo deh! Daripada digerayangin Kak Nadya! Ngebayanginnya aja udah horror.”

Aku menggelengkan kepalaku. “Udah lo pulang sana!”

“Iya ini gue juga mau pulang!” Fabian langsung keluar dari apartemen.

Aku dan Laura tertawa melihat tingkahnya. Kalau berurusan sama Nadya aja Fabian langsung melarikan diri.

Dan beberapa menit kemudian Nadya tiba di apartemen Laura.
“Hello girls! Nadya here!” teriaknya dengan suara cempreng.

Khas dirinya sekali!

ᴥ ᴥ ᴥ

Aku membereskan semua laporanku. Hari ini hari Senin dan tepat tiga bulan penyamaranku! Aku harus menyerahkan laporan artikelku, karena tentu saja Deadline! Dan Pak Arya pasti sudah menungguku di kantor.

Aku mengecek ponselku, ternyata ada satu pesan whatssap dari Alvaro.

Alvaro Handika

Kamu masih di Bandung?

Enggak masuk sekolah hari ini?

Alisa Natasa

Iya.

Kujawab singkat pesan dari Alvaro. Entahlah, aku masih marah padanya. Dua hari aku menginap di tempat Laura, selama dua hari itu juga Alvaro tidak menghubungiku. Aku pun mencoba untuk tidak peduli. Kalau dia ingin perang dingin, oke, kita lihat siapa yang tahan! Dan ternyata…..

Alvaro Handika

Miss you

Aku tersenyum penuh kemenangan. Sepertinya, bukan hanya wanita selalu benar tapi wanita juga selalu menang atas hati lelakinya. Bicara apa sih aku ini?

Baru saja aku ingin membalas pesannya, tidak! Lebih baik jangan dibalas!

Aku senyum-senyum enggak jelas.
Berbunga-bunga.

Oke, sadar Sa! Waktunya ke kantor! Persiapkan diri menyerahkan laporan! Berdoa saja Pak Arya menerima laporanku dan menyetujuinya.

Namun, nahas! Aku terlambat tiga puluh menit! Langsung saja aku menuju kantor Pak Arya.

Ceklek.

“Selamat pagi, Pak.” sapaku.
Pak Arya yang sedang sibuk dengan beberapa dokumen melihatku, dia kemudian melihat jam tangannya. “Oh Sasa, tepat waktu sekali!” ujarnya membalas sapaanku sambil tersenyum menggodaku.

Damn! Aku tahu betul Pak Arya menyindirku tapi senyumannya sungguh menggoda iman!

“Maaf, saya terlambat.”

“Tidak apa-apa, silahkan duduk! Kamu bawa laporannya kan?” Pak Arya mempersilahkanku duduk sambil tersenyum yang membuat ketampanan ala George Clooney-nya berlipat ganda.

“Oh Gosh! Mr. Arya Wijaya, you are the man who always full of charismatic in every way i saw you!” jeritku dalam hati.

Aku kemudian menyerahkan laporan artikelku. Pak Arya langsung memeriksanya dengan seksama.

Rasanya ingin mati saja aku! Kenapa jadi tegang begini? Aku perhatikan wajah Pak Arya, kok tiba-tiba aku teringat Alvaro?

Aku mengkerutkan dahiku, tanpa sadar memiringkan kepalaku.
Alisnya, hidungnya, bibirnya.
Kok mirip?

“Jadi Sasa, yang saya baca disini, kamu mengambil dua sisi cerita? Benar?”

Aku terkesiap! “I-iya Pak! Dari sisi pembully dan korban bully.” Aku merutuk diriku sendiri karena suaraku bergetar.

Pak Arya melirikku. “Kamu kenapa tegang sekali? Seperti baru pertama kali saja ketemu sama saya?” tanyanya sambil mengedip kepadaku.

Astaga! Cukup Pak! Saya ini bawahan bukan istri Bapak! Eh.

Aku menyengir. “Saya takut Bapak tidak puas dengan hasil laporan saya.”

“Oh begitu,” Pak Arya kemudian menutup laporanku. “Saya cukup puas dengan laporan kamu dan saya rasa laporannya sudah siap untuk menjadi sebuah artikel. Itu juga kalau menurut kamu masih ingin menambah beberapa cerita tapi buat saya itu sudah cukup.”

Aku mendesah lega. “Baguslah kalau Bapak puas dengan hasil laporan saya,” Aku terdiam sejenak. “Saya juga berencana untuk tidak melanjutkan penyamaran saya, maksud saya, karena bahan ceritanya sudah cukup untuk artikel nanti. Itu juga kalau Bapak tidak keberatan?”

“Oh tidak! Tentu saja tidak! Kamu boleh menghentikan penyamaranmu dan mulai membuat artikelnya. Karena tentu saja saya harus mengecek kembali untuk kamu revisi sebelum dicetak.”

“Hmm,” Aku mengangguk. “Tapi Pak, gaji saya tidak dipotong kan? Maksud saya, karena saya tidak sampai enam bulan penyamaran?” tanyaku polos.

Pak Arya lalu tertawa. “Tidak! Tentu saja tidak! Gaji kamu tergantung artikelnya bukan penyamarannya. Jika artikel kamu tak memuaskan, tentu saja gaji kamu saya potong.”

Aku tahu Pak Arya hanya bercanda mengatakan akan memotong gajiku jika artikelnya tidak memuaskan. Syukurlah, aku bernapas lega.

“Maaf Pak, apakah tidak masalah jika saya minta waktu seminggu lagi menyamar?” Aku bertanya dengan hati-hati.

“Tentu saja tidak masalah, bukankah saya beri waktu enam bulan? Bahkan ini baru tiga bulan.”

Aku tersenyum. “Terima kasih Pak!”

Pak Arya mengangguk dan mempersilahkanku keluar dari ruangannya.

Fiuh! Aku lega sekali Pak Arya puas dengan laporanku dan setuju dengan permintaanku menambah seminggu lagi penyamaran.

Yah! Waktu seminggu itu akan aku gunakan untuk jujur kepada Alvaro tentang siapa jati diriku sebenarnya dan aku juga sudah siap menerima resikonya. Aku siap untuk mengakhiri hubungan dengannya.

Aku membereskan meja kerjaku di kantor lalu bergegas keluar, namun belum sampai di pintu keluar aku terkejut dengan kedatangan seseorang dari pintu tersebut. Alvaro!

Astaga! Apa yang dia lakukan disini? Ada urusan apa?

Aku langsung berlari ke ruang fotocopy bersembunyi di balik mesin fotocopy. Kulihat Alvaro menuju ke ruangan Pak Arya dan masuk ke dalamnya. Alvaro? Pak Arya?

“Sasa? Lo ngapain disitu?”

Demi setan genderuwo! Aku kaget bukan main!

“Ega! Bikin kaget aja lo!” Aku mengelus dadaku.

Ega terkekeh. “Lo ngapain sembunyi disitu? Jangan bilang lo melarikan diri dari Pak Arya?”

“Ih siapa juga yang melarikan diri!” Aku keluar dari persembunyian. “Ga, lo tahu enggak siapa cowok yang baru masuk kantor Pak Arya?” tanyaku penasaran.

“Baru masuk kantor Pak Arya?” Ega mengkerutkan dahinya. “Oh maksud lo Alvaro? Anaknya Pak Arya?”

What? Wait! Alvaro?

“Siapa tadi lo bilang? Alvaro? Anaknya Pak Arya?” Aku masih tidak percaya.

“Hmm, ALVARO HANDIKA WIJAYA.” Ega menyebutkan namanya dengan lantang.
Seketika pikiranku berputar kembali ke pertama kalinya aku bertemu Pak Arya, ketampanannya dan senyumannya! Oh senyumannya! Aku mengingat bagaimana senyuman Alvaro begitu familiar, tentu saja! Aku baru menyadarinya, senyuman Alvaro sangat mirip dengan senyuman Pak Arya! Bahkan bukan hanya senyuman, sketsa wajah mereka juga terlihat mirip! Bedanya, yang satu sudah tua sedangkan yang satu lagi masih muda!

What the hell! Aku mengencani anak bos!

Mati aku!

ᴥ ᴥ ᴥ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top