Confessions
“Sa! Sasa!” Ega mengguncang bahuku membuatku tersadar dari lamunan.
“Hah? Apa?”
“Lo baik-baik aja? Muka lo kenapa pucat pasi gitu?”
Refleks aku memegang kedua pipiku. “Eng-enggak apa-apa kok, gue cabut duluan ya?” Aku hendak kabur secepat mungkin sebelum Alvaro keluar dari ruangan Pak Arya.
“Sa, tunggu!” Ega menahanku.
“Kenapa Ga?”
“Bisa kita bicara sebentar? Ada yang mau gue bicarain, penting.” Ega menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti.
Aku mengkerutkan dahiku kemudian mengangguk.
Ega mengajakku ke kafe di seberang gedung kantor. Aku mengikutinya tanpa bertanya apapun. Tapi jujur aku penasaran, hal penting apa yang ingin dia bicarakan?
“Kita pesan minuman dulu ya?” tanya Ega.
“Hmm.” Aku mengangguk.
Setelah memesan minuman, Ega akhirnya memulai pembicaraan.
“Sa, gue mau jujur sama lo dan gue enggak memaksa lo untuk jawab sekarang,” Ega berdehem. Aku merasa deg-degan sekali. “Gue suka sama lo Sa, gue serius, perasaan gue ini tulus suka sama lo, bukan sebagai teman tapi sebagai wanita. Gue berharap lo bisa balas perasaan gue, lo enggak harus jawab sekarang, gue akan menunggu sampai lo benar-benar bisa membalas perasaan gue.”
Belum habis rasa terkejutku mengetahui Alvaro adalah anak Pak Arya, Ega menambahnya dengan pernyataan cintanya. Aku tahu, cepat atau lambat Ega pasti menyatakan rasa sukanya kepadaku.
Tapi kenapa baru sekarang? Setelah aku menyadari sepenuhnya hatiku sudah jatuh kepada Alvaro. Kenapa tidak sejak awal? Sebelum Alvaro dengan tegasnya menyatakan aku adalah miliknya.
Kini aku paham. Hati tak bisa disembunyikan. Sekuat apapun aku mengelak, jatuh cinta kepada seseorang bernama Alvaro Handika Wijaya adalah satu-satunya hal nyata yang ada di hatiku saat ini.
Lalu, bagaimana dengan Ega? Haruskah aku membiarkannya menunggu? Karena aku yakin, hubunganku dengan Alvaro tak akan berlangsung lama. Aku berniat putus dengannya setelah kubongkar semua penyamaranku.
Tidak! Aku tidak bisa memberikan harapan kepada Ega. Karena jika pada akhirnya aku tak bisa membalas perasaannya, hal itu akan menyakiti dirinya.
“Ga, gue bakal jujur sama lo. Gue enggak punya perasaan apa-apa sama lo.”
“Gue tahu Sa, mangkanya gue akan menunggu.”
“Please, Ga. Jangan menunggu balasan perasaan gue, karena hati gue sepenuhnya sudah jadi milik seseorang.”
Ega menatapku intens. Ada luka tersirat di kedua bola matanya. Terlihat jelas meski dia berusaha tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan perasaan terluka. Ya! Terluka karena sudah menyakiti perasaannya.
“Maaf. Gue enggak tahu kalau hati lo sudah ada yang memiliki.” Ega justru meminta maaf.
Aku bukan lagi merasa terluka tapi menjadi sangat merasa bersalah.
“Ga, justru gue yang harusnya minta maaf.”
Ega menggeleng. “Gue minta maaf karena sudah seenaknya menyatakan perasaan gue tanpa mau tahu siapa yang sudah ada di dalam hati lo,” Ega tersenyum kepadaku. “Kita masih bisa temenan kan? Jangan canggung sama gue, tetap kayak biasanya aja ya?”
Aku membalas senyumannya kemudian mengangguk.
Dan Ega tetap terlihat biasa saja padaku, tak berubah. Aku berbincang dengannya cukup lama siang itu.
ᴥ ᴥ ᴥ
Aku langsung kembali ke rumah Kak Rara setelah dari kantor. Memikirkan kembali pengakuan Ega dan tentu saja Alvaro yang kini aku ketahui dia adalah anaknya Pak Arya, atasanku!
Kupejamkan mata, mengira-ngira apakah Pak Arya sudah mengetahui hubunganku dengan Alvaro? Karena yang aku tahu Alvaro selalu menceritakan apapun kepada Papanya atau mungkin Alvaro sudah tahu jati diriku yang sebenarnya?
Aku terduduk di atas kasur lalu memainkan ponselku. Aku harus bicara dengan Alvaro, kalau perlu aku harus mengakui semuanya malam ini.
Baru saja aku hendak membuka aplikasi whatssap, ada satu pesan dari Alvaro.
Alvaro Handika
Malam ini kamu sudah di rumah?
Aku mau ngajak kamu dinner.
Pucuk di cinta ulam tiba, Alvaro mengajakku dinner! Ini kesempatan yang bagus untuk mengakui semuanya.
Alisa Natasa
Iya. Gue sudah di rumah.
Alvaro Handika.
Oke.
Aku jemput kamu jam 7 malam.
Miss you 😘
Alisa Natasa
Oke. Gue tunggu.
Aku menghembuskan napas. “Persiapkan diri lo Sa!”
Tepat jam 7 malam Alvaro menjemputku. Tak ada yang istimewa, aku hanya mengenakan dress selutut dan flat shoes sedangkan Alvaro memakai kaos stripe lengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans hitam dan sepatu kets. Memangnya aku mau berharap apa? Ini hanya dinner biasa!
Alvaro mengajakku ke sebuah restoran di atap gedung, bisa kutaksir makan di restoran ini pasti mahal!
“Al, gue mau ngomong sesuatu, penting.” kataku begitu kami selesai memesan makanan.
“Bentar Sa.” Alvaro memainkan ponselnya.
“Halo? Papa di mana?”
“……………..”
“Oh langsung aja naik ke atas ya Pah, Alvaro sudah di sini sama Sasa.”
Tunggu dulu, Papa? Shit!
“Lo ngundang bokap lo?” tanyaku panik begitu Alvaro menutup sambungan telepon.
“Hmm,” Alvaro mengangguk. “Aku mau kenalin kamu ke Papa," lanjutnya.
Ya Tuhan! Rasanya aku ingin lompat dari atap gedung sekarang juga!
Aku menjadi gelisah! Kalau papanya bukan Pak Arya, aku tak akan segelisah ini! Tapi ini Pak Arya, atasanku! Dan aku mengencani anaknya! Tanganku mulai berkeringat dingin, aku panik sepanik paniknya.
Saat ini juga, aku rela menukar nyawaku demi kabur dari sini!
“Sa, kamu kok jadi tegang gitu sih?”
“Eng-enggak apa-apa kok, enggak apa-apa.” suaraku bergetar.
“Tenang aja Sa, Papaku orangnya asyik kok. Kamu pasti nyaman sama dia.” Alvaro tertawa geli.
“Tenang, tenang pala lo peyang! Bokap lo tuh atasan gue!”
“Selamat malam, maaf papa terlambat.” Suara yang sangat aku kenali itu tiba-tiba ada di belakangku.
“Eh Papa, silahkan duduk Pah.” Alvaro mempersilahkan Pak Arya duduk di hadapannya.
Pak Arya melirikku dan mataku tanpa sengaja bertemu dengan matanya. Kulihat dia tersenyum. Aku langsung mengalihkan pandanganku. Salah tingkah!
“Ini pasti Sasa yang selalu kamu certain itu?” Alvaro mengangguk. “Cantik ya calon menantu papa.”
Pak Arya apa-apaan sih! Enggak mungkin kan dia tidak menyadari kalau aku ini bawahannya? Bunuh aja gue sekarang, please!
“Sa, kenalin ini papaku.” ujar Alvaro.
Refleks dengan canggungnya aku memperkenalkan diri. “Selamat malam om, saya Alisa Natasa, temannya Alvaro.”
“Kok teman sih Sa? Kita udah resmi pacaran.”
“Al….” Aku berbisik.
Pak Arya tertawa. “Sasa sepertinya masih malu-malu ya? Tapi papa suka, menggemaskan.”
Aku menundukkan kepalaku, sekilas aku melirik Pak Arya yang mengedip kepadaku sambil tersenyum. Ya Tuhan! Pak Arya maunya apa sih?
Dan makan malam pun berlangsung cukup hening. Aku tak berbicara apapun. Sesekali aku menjawab pertanyaan Pak Arya yang sebenarnya Pak Arya sendiri sudah tahu jawabannya.
Sungguh, Pak Arya patut mendapatkan piala Oscar sebagai pemeran utama! Oh begitu juga aku, kategori pemeran pembantu!
“Papa kenapa sih daritadi melirik Sasa terus? Jangan bilang papa tertarik sama pacar aku?”
Heh? Apa pula Alvaro bicara seperti itu ke papanya!
Pak Arya terkekeh. “Alvaro, kamu itu anak papa, selera kita sama, jadi wajar kalau papa sedikit tertarik sama pacar kamu.”
Aku hampir tersedak mendengar ucapan Pak Arya.
“Papa ingat ya, Papa tuh sudah punya Nyonya Dewi Sagita Wijaya. Papa enggak takut apa sama dia?” Alvaro mengingatkan dengan nada mengancam.
Pak Arya tertawa lepas. “Alvaro, Alvaro, baiklah papa akan mundur perlahan daripada papa diceraikan sama mama kamu karena tertarik sama calon menantu.”
Aku menganga sampai-sampai tak sadar menggelangkan kepalaku. Obrolan macam apa ini?
Acara makan malam pun akhirnya berakhir. Pak Arya memutuskan pamit duluan dan membiarkanku bersama Alvaro menghabiskan sisa malam.
Aku cukup bersyukur Pak Arya tidak membicarakan apapun yang bisa membongkar penyamaranku. Aku cukup yakin Pak Arya sudah tahu sebelumnya bahwa aku berpacaran dengan anaknya. Tapi Alvaro sepertinya masih belum mengetahui yang sebenarnya.
“Sa, tadi kamu mau bicara penting apa?” tanya Alvaro.
Aku terdiam sejenak, berpikir. Apa perlu aku katakan sekarang juga? Identitas sebenarnya diriku? Baru saja Alvaro begitu senangnya memperkenalkan aku dengan papanya dan baru saja Pak Arya mengetahui secara resmi bahwa aku adalah pacar anaknya. Lalu? Haruskah aku langsung merusaknya?
Aku menatap intens kedua mata Alvaro. “Gue rasa, gue harus mengakui ini sebelum terlambat,” Kuhembuskan napas perlahan. “Gue jatuh cinta sama lo, Alvaro Handika Wijaya.”
Tak ada reaksi dari Alvaro, dia bergeming.
Cup! Entah setan dari mana, aku mengecup pipinya.
Kulihat wajah Alvaro menegang, Aku terbelalak! Langsung saja aku memalingkan mukaku. Shit! Apa yang baru saja aku lakukan?
Aku malu sejadi-jadinya!
Tiba-tiba sesuatu yang hangat menyentuh tanganku kemudian menggenggamnya.
“Terima kasih ya goodnight kiss-nya,” Alvaro mengecup punggung tanganku. “Kita pulang sekarang yuk?”
Aku merasa pipiku memanas. Tanpa persetujuanku, Alvaro langsung menarikku keluar dari restoran.
Malam itu rasanya aku rela dibawa kemana pun olehnya.
ᴥ ᴥ ᴥ
Aku merebahkan diriku di sofa ruang tamu dengan senyum yang mengembang bagai bunga mawar yang merekah indah. Berjuta kupu-kupu terbang menghiasi kepalaku. Ribuan kembang api warna-warni meledak di hatiku.
Aku jatuh sejatuh-jatuhnya oleh perasaan cinta.
Alvaro, dia pria pertama yang membuatku merasakan jatuh cinta setelah 25 tahun hidupku tanpa pengalaman bercinta. Eh?
Seketika senyumku menghilang, 25 tahun! Itu adalah usiaku! Aku bukan lagi anak remaja, aku delapan tahun lebih tua dari Alvaro!
Ceklek. Kulihat Bagas baru saja memasuki ruang tamu.
“Bagas? Lo habis mangkal di mana jam segini baru pulang?” Aku melirik jam di dinding yang menunjukkan jam sepuluh malam.
Bagas terkekeh. “Lo sendiri abis mojok di mana sama Alvaro jam segini baru pulang?”
Sialan! Pintar banget membalas kata-kataku.
“Kak Rara enggak marah lo pulang selarut ini?”
“Tenang aja, bahkan kalau papa di rumah, enggak bakalan ada yang tahu gue pulang pagi.”
Aku menggelengkan kepalaku. “Dasar preman kalong! Lo dari mana sih?”
Bagas duduk di sampingku. “Lo inget enggak beberapa hari yang lalu nyuruh gue nyari kegiatan yang bermanfaat?” Aku mengangguk. “Gue baru dari rumah bacanya Alvaro,” bisiknya.
“Lo pasti enggak serius.”
“Ih gue serius!”
“Jangan bilang lo ngerusuh di sana?”
“Astaga Tan! Bagas justru bantuin Mutia, sekalian pacaran.” Bagas menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum licik kepadaku.
Bugh!
“Gas! Itu tempat untuk belajar buat anak-anak kurang mampu! Bukannya tempat buat pacaran! Lagian emang lo udah jadian sama Mutia? Lo udah apain dia? Hah?”
“Astaghfirullah! Sebegitu buruknya-kah gue di mata lo Tan?” Bagas meringis. “Gue emang belum jadian sama Mutia, tapi gue lagi pendekatan, doain kek bukan malah su’udzon!”
“Su’udzon! Su’udzon! Gimana gue enggak su’udzon, gue kan paham banget kelakuan lo!”
“Serius deh Tan, gue enggak apa-apain Mutia.”
“Buka itu maksud gue! Lo emang serius sama Mutia? Kalau lo cuma pengen mainin dia aja, mending lo ke segitiga bermuda sana! Jangan mainin perasaan wanita, Gas! Kualat nanti!”
“Yaelah Tan! Perasaan gue ini serius! Gue beneran jatuh cinta sama Mutia!”
Cih! Aku mendengus.
“Gue penasaran,” Aku bersidekap. “Memang sejak kapan lo jatuh cinta sama Mutia?”
Bagas menyengir. “Tante inget enggak waktu gue kecelakaan motor?” Aku mengangguk. “Mutia yang nolongin gue ke rumah sakit, semenjak itu gue jatuh cinta sama dia.”
“Ooo…” Aku membulatkan bibirku.
ᴥ ᴥ ᴥ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top