Cemburu

Kurebahkan tubuh di atas sofa ruang tamu yang besar di kediaman Dharmawangsa. Masih terpikirkan olehku kenapa harus pergi meninggalkan Alvaro bersama mantannya? Cih, Alvaro bahkan tak menghentikan kepergianku padahal sudah jelas tadi aku marah padanya.

Tunggu dulu, kenapa aku harus marah kepadanya?

Tidak, aku tidak cemburu!

Masih saja menolak kenyataan bahwa aku cemburu dan hatiku sudah mulai terbuka untuk menerima perasaan Alvaro. Faktanya, baru saja aku ingin mengakuinya, seseorang dari masa lalu hadir seakan memberi tanda bahwa aku harus mengubur dalam-dalam pengakuan itu.

Aku memejamkan mata, mencoba mengingat kembali ekspresi Alvaro yang sangat senang sekali bertemu cewek itu, yang dia panggil Kak Indira. Iya! Kakak! Aku masih tidak tahu bagaimana kisah mereka, tapi yang pasti Indira lebih tua darinya. Tentu saja, aku masih lebih tua dari Indira.

Aku dengan bodohnya meninggalkan mereka berdua dan berharap Alvaro menghentikan kepergianku. Namun yang aku lihat, Alvaro hanya menatapku lalu tersenyum kepada Indira! Aku berharap terlalu tinggi! Aku berpikir menjadikan ini sebagai alasan putus dengan Alvaro sebelum dia mengetahui rahasiaku.

Entah bagaimana ide ini muncul tiba-tiba. Bukankah ini yang aku mau? Mengakhiri hubungan dengan Alvaro secepat mungkin? Walaupun rasanya menyakitkan dan nggak rela harus melepaskan di saat bersamaan aku mulai mengakui perasaanku kepadanya.
Kuembuskan napas kasar dan terduduk di sofa. Kenapa aku harus terlibat asmara anak remaja? Aku tertunduk, selama 25 tahun hidupku tak pernah tersentuh dengan masalah percintaan. Aku tak pernah jatuh cinta sebelumnya. Salahkah jika aku ingin menikmati perasaan ini?

Pertama kalinya, aku menanyakan ini.

Membuatku gila!

Aku memutuskan beranjak dari sofa dan menuju kamar. Ingin rasanya membuang jauh-jauh semua pikiran gila yang berkecamuk di kepalaku ini. Juga perasaan yang kini sangat kupahami dengan hati yang memanas karena cemburu.

Iya, cemburu! Akhirnya aku mengakuinya!

Kuputuskan membersihkan diri, menyiram diriku dengan shower air dingin berharap pikiranku jernih dan hatiku mendingin. Namun, semakin lama aku menghujani diriku dengan shower justru semakin membuat pikiranku kalut dan hatiku tak keruan.

Tak mau berlama-lama aku mengakhiri mandi air dingin. Kusadari pikiran dan hatiku masih berkecamuk namun aku mencoba mengalihkan itu semua. Selepas mandi aku memutuskan langsung beristirahat, lagipula sudah malam dan aku sedang tak napsu makan.

Dalam terlelapnya tidur, samar-samar aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku dan aku pun terbangun.

“Sa! Ada Alvaro, tuh, katanya mau ngomong sama lo, penting.” Kak Rara berbisik.

Masih dalam keadaan mengantuk aku mencoba membuka mataku. “Alvaro?”

“Hmm.”

“Sekarang jam berapa Kak?” Aku bertanya karena kupikir sudah pagi.

“Jam sepuluh malam. Buru gih samperin Alvaro, dia keliatan gelisah. Lo bertengkar sama dia?”

Aku membangunkan diriku. “Dia di mana Kak?” tanyaku tak menjawab pertanyaannya. Bukan apa-apa, aku tidak mau Kak Rara ikut campur urusanku dengan Alvaro.

“Dia ada di ruang tamu, sudah sana temui dia!”

Aku langsung bergegas ke ruang tamu, kulihat Alvaro yang memang tampak gelisah. Tapi kenapa? Masa iya karena aku meninggalkannya berdua dengan mantannya?

Alvaro langsung beranjak dari sofa begitu melihatku di ruang tamu.

“Sasa.”

“Ada apa sih malam-malam ke sini?”

“Kamu enggak marah ‘kan sama aku?”

Alvaro balik bertanya dengan nada yang sangat terdengar ketakutan. Kok aku pengen ketawa ya?

“Kenapa gue harus marah? Emang lo buat salah?”

“Hmm,” Alvaro menghela napas kemudian menggenggam jemariku. “Aku enggak mau kamu salah paham. Kak Indira itu sahabatku dari kecil, keluargaku dan keluarganya bersahabat. Kami sempat memutuskan berpacaran, tapi itu nggak lama karena kami merasa lebih nyaman bersahabat. Aku benar-benar enggak ada perasaan apapun sama Kak Indira.”

Aku menatap mata Alvaro yang menyiratkan ketulusan dan kali ini yang kudengar bukanlah penjelasan anak remaja melainkan penjelasan seorang laki-laki yang tidak mau kehilangan wanitanya.

Masih dalam keadaan jemariku digenggam olehnya aku membalas penjelasannya itu dengan sarkastik. “Yakin enggak ada perasaan apapun? Tapi yang aku lihat kamu senang banget ketemu Indira.”

Entah kenapa aku jadi ngeselin! Shit! Aku bertingkah seperti anak kecil!

Alvaro memicingkan matanya kepadaku. “Kamu cemburu?”

Refleks aku melepaskan genggamannya. “Enggak!”

Alvaro semakin tersenyum semringah. “Aku senang deh kamu cemburu.”

“Apaan sih! Gue enggak cem–”

Dengan secepat kilat Alvaro memeluk tubuhku, aku pun membeku di pelukannya. “Cukup Sa, jangan mengelak lagi. Aku tahu kamu cemburu dan aku senang mengetahuinya.”

Untuk beberapa lama aku terhanyut dalam pelukannya sambil mencerna kata-katanya. Damn! Aku akui aku cemburu dan Alvaro mengetahuinya!

Perlahan aku melepaskan pelukan Alvaro dan mendorongnya menjauh.

“Kenapa?” tanya Alvaro bingung.

“Gue capek, Al. Mau istirahat. Lagian mau sampai pagi kita pelukan?”

“Aku sih enggak masalah.”

“Alvaro! Udah deh mending sekarang lo pulang, udah malam.” Aku langsung menuju pintu dan mempersilahkan Alvaro pulang.

Tepat di depan pintu, Alvaro berhenti lalu menatapku, kemudian dia mengusap lembut pipiku. “Jangan kepikiran Kak Indira, pikirin saja aku. Tidur yang nyenyak ya,” ujarnya diakhiri dengan senyuman maut seperti biasanya.

Sialan! Siapa juga yang kepikiran si Indira!

Dan aku pun langsung bergegas tidur kembali begitu Alvaro sudah pulang. Hatiku kini terasa lega sekali setelah mendengar penjelasan Alvaro. Aku tertidur dengan tersenyum-senyum.
Tanpa sadar dalam tidurku, aku berdoa, Ya Tuhan… Jika aku bisa menikmati perasaan ini walau hanya sebentar saja, aku rela.
Dan untuk pertama kalinya, aku yakin seyakin-yakinnya, aku sedang jatuh cinta.

ᴥ ᴥ ᴥ

“Tumbenan banget lo Tan, pagi-pagi sudah semangat?” tanya Bagas ketika sarapan.

Aku baru sadar sedari tadi aku bersenandung. Ada apa dengan diriku? “Apaan sih Gas! Enggak suka banget kayaknya liat gue senang.”

“Bukannya enggak suka, aneh aja. Mana ini hari minggu, biasanya jam enam sore lo baru bangun.”

“Sialan! Lo kata gue kebo betina apa!”

“Bukan lagi Tan, lo mah serigala betina!” Bagas tertawa. Aku langsung menendang kakinya. “Aww… aww… Sakit Tan!”

“Jangan macem-macem sama serigala!” kataku mengancam, “lo tuh ya Gas,  cari kegiatan yang bermanfaat kek! Jangan bisanya jadi sampah masyarakat! Liat tuh sahabat lo Alvaro dan Mutia, mereka punya kegiatan untuk anak-anak yang tidak mampu.” Aku berhenti sejenak. “Lo tahu enggak? Alvaro ternyata jadi owner sebuah rumah baca dan Mutia jadi guru di sana. Enggak nyangka, kan? Seorang Alvaro dan gadis yang selalu dirundung ternyata punya kegiatan bersama yang bermanfaat?” Aku melirik Bagas yang tiba-tiba terdiam seribu bahasa.

“Gas? Lo dengerin gue enggak sih?”

“Alvaro sama Mutia?” tanya Bagas dan aku menggangguk mantap. “Maksud lo Tan, Alvaro Handika dan Mutia Nahdan? Mereka emang saling kenal? Mereka dekat?” tanya Bagas lagi dengan raut muka tak percaya.

“Iya, Gas. Di luar sekolah ternyata mereka dekat banget. Lo sama sekali enggak tahu?”

Bagas bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah langsung beranjak dari meja makan menuju kamarnya. Apa-apaan deh! Kelakuannya sama persis kayak Kak Rara! Ya iyalah anaknya!

Tinggg! Satu notifikasi LINE dari Ega.

Regha Ardhana

Sasa, hari ini ada acara enggak?

Gue mau ajak lo jalan 😊

Astaga! Aku harus jawab apa?

Kuperiksa whatssap yang ternyata tidak ada pesan dari siapapun bahkan Alvaro. Tumben!

Alisa Natasa

Jalan? Jalan kaki?

Capek dong

Aku mencoba bercanda. Kali aja enggak diseriusin!

Regha Ardhana

Hmm

Nanti gue gendong kalau capek.

Tunggu, 30 menit lagi gue jemput!

Anjir. Anjir. Aku belum iya-in nih cowok malah langsung jemput aja!

Alisa Natasa

Eh?

Ega serius?

Gue belum siap-siap.

Regha Ardhana

Iya serius.

Yauda siap-siap.

Gue udah jalan.

Dammit! Dengan secepat kilat aku berlari ke kamarku dan bergegas mempersiapkan diriku.

ᴥ ᴥ ᴥ

Ega mengajakku ke sebuah Mall, dia hendak mengajakku nonton. Ya ampun, kok kesannya ala ala remaja banget! Jujur, aku lebih senang jika diajak ke suatu tempat yang berfaedah.

Tiba-tiba aku teringat rumah baca milik Alvaro.

Kok aku jadi kangen ya?

“Ga, lo bisa enggak sih kalau mau ngajak jalan jangan dadakan! Gue paling enggak suka deh dadakan gini,” kataku menggerutu.

“Hehe, maaf Sa. Iya besok besok enggak dadakan lagi deh.”

“Oya Ga, kita ke Chatime dulu yuk? Gue haus.”

“Oke.”

Dan ketika aku dan Ega sedang mengantri, tanpa sengaja aku menangkap sosok yang sangat kukenali. Dia tidak sendiri melainkan bersama seorang wanita yang menganggu pikiranku sejak kemarin. Alvaro dan Indira!

Mereka berdua hendak memasuki sebuah toko aksesoris, pastinya Indira ingin membeli sesuatu atau bisa jadi dia meminta Alvaro membelikannya?

Hatiku kembali memanas. Pantas saja Alvaro tidak ada kabar dari pagi, ternyata dia berencana pergi dengan Indira tanpa memberitahuku.

Aku menggigit bibir bawahku.
Mataku mulai menangis.
Kulihat Alvaro tidak sengaja menangkap diriku dari kejauhan sebelum memasuki toko, aku langsung memalingkan muka. Tepat pada saat itu air mataku menetes dan Ega berdiri di hadapanku sambil membawa Chatime yang tadi kupesan.

“Sa? Lo kenapa? Kok nangis?”

“Eng-enggak apa-apa, gue kelilipan.” Aku langsung mengucek mataku. Hatiku perih. Dadaku sesak.

“Nih, Chatime-nya.” Ega menyodorkan kepadaku.

“Ga, bisa enggak kita pergi dari tempat ini? Batalin aja acara nontonnya.” Aku memelas sambil melirik ke arah toko yang dimasuki Alvaro. Kulihat samar-samar dia masih di dalam toko itu bersama Indira.

Ega mendesah pelan. “Oke, kita langsung makan siang aja deh ya? Gue mau ngajak lo makan siang bukan di sini.”

Aku mengangguk cepat. “Iya Ga, di mana aja asal jangan di sini.”

Ega kemudian mengajakku meluncur ke rumah makan di daerah Tebet. Aku bersyukur akhirnya bisa menghindar dari Alvaro.

“Sa, lo mau cerita kenapa tadi nangis?”

“Apaan? Gue enggak nangis, kok!”

“Hmm.”

“Maaf Ga, tapi gue enggak bisa cerita.”

“Oke enggak apa-apa. Kayaknya lo lagi badmood ya? Habis makan siang gue antar pulang aja gimana?”

Aku mendongak dan menatap Ega intens. “Gue… enggak mau pulang, Ga. Tolong, bawa gue ke mana aja asal jangan pulang. Ke mana aja, please?”

Ega menghela napas lalu mengangguk.

Selepas makan siang, Ega benar-benar mengajakku jalan-jalan keliling Jakarta. Dia berhasil membuatku sedikit lupa rasa sakit di hatiku karena melihat Alvaro bersama Indira di Mall.

Aku berani bertaruh Alvaro mengetahui aku sedang bersama Ega. Biasanya Alvaro akan posessif, tapi lihatlah? Ketika bersama Indira bahkan dia tidak berkutik. Ke mana sifat posessifnya?

Sudahlah apa yang mau aku harapkan? Indira sahabatnya dari kecil sedangkan aku baru dikenalnya beberapa bulan. Jelas sekali, Indira lebih istimewa dariku. Iya, aku cemburu!

Ega menghentikan mobilnya di depan gerbang kediaman Dharmawangsa, setelah seharian dia mengajakku jalan dan menghiburku. Aku sangat berterima kasih kepadanya.

Setelah berpamitan dan melihat mobil Ega menghilang di ujung jalan, aku berbalik dan hendak memasuki gerbang namun dalam keremangan lampu jalan ada sosok yang sedang bersandar di pintu gerbang.

Kalau saja aku tak mengenali sosok itu, mungkin aku akan berteriak. Tapi aku sangat mengenali sosok itu walau dalam kegelapan. Alvaro!

Aku berjalan mendekatinya, karena ingin membuka pintu gerbang. Alvaro mendekatiku. Refleks kupalingkan wajah mencoba mengacuhkannya. Tiba-tiba Alvaro menarik tanganku dan menyudutkanku di pintu gerbang.

“Al! Lepasin!”

Alvaro semakin kuat menahanku. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, bisa kulihat ekspresinya sangat marah! Dia menatap mataku dan aku tak mau terintimidasi, kubalas tatapannya tak kalah marah.

Kini aku perang tatapan dengan Alvaro. Marah, emosi dan cemburu! Alvaro semakin mendekatkan wajahnya hingga bibirku dan bibirnya hampir bersentuhan.

Aku memejamkan mata, kurasakan embusan napasnya di wajahku.

“Aku akan pastikan ini yang terakhir kalinya kamu pergi sama dia.”

Aku membuka mataku. Alvaro mengusap bibirku dengan ibu jarinya lalu mengeluarkan senyuman iblis. Kemudian dia beranjak pergi dengan motor ninjanya membiarkan diriku yang mematung di depan pintu gerbang.

Apa-apaan tadi? Sialan! Alvaro hampir saja mengeluarkan jantungku!

Aku memegang bibirku. Sejenak kupikir Alvaro akan menciumku. Baru kusadari selama 25 tahun hidupku, selain belum pernah mengalami masalah percintaan, aku juga belum pernah berciuman! What the fuck!

ᴥ ᴥ ᴥ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top