Buket Bunga

Aku berkali-kali menguap mengikuti pelajaran Ekonomi. Dulu aku masuk kelas bahasa jadi tidak paham sama sekali dengan pelajaran ini. Lagipula aku paling tidak tertarik pada hal-hal yang berhubungan dengan angka.

Kuperhatikan Alvaro tampak menikmati penjelasan dari Pak Haryono, Guru Ekonomi. Raut mukanya serius, rahangnya kuat, hidungnya terlihat mancung dari samping, dahinya berkerut, sesekali dia mengangguk. Jujur saja, Alvaro sangat ganteng!

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Kenapa aku malah memerhatikan dia?

Pintu kelas tiba-tiba diketuk dan seseorang muncul dari balik pintunya. “Maaf Pak, ini ada kiriman bunga untuk Alisa Natasa kelas 12 IPS 3.”

Kiriman bunga? Untuk aku?

“Sebentar, untuk Alisa Natasa?” tanya Pak Haryono.

“Iya Pak,” jawab pria itu.

Pak Haryono mengambil buket bunga tersebut kemudian dia melihat seisi kelas dan matanya berhenti tepat padaku. “Alisa Natasa,” panggilnya, “ini ada buket bunga buat kamu.”

Aku langsung menuju ke depan kelas untuk mengambilnya. Murid-murid sudah berisik sedari tadi. Mereka berbisik-bisik sambil menatapku tidak percaya. Pastinya, siapa yang tidak percaya dapat kiriman sebuket bunga ke kelas?

Pak Haryono menggeleng. “Ada-ada saja.”

Aku hanya menyengir lalu permisi untuk duduk kembali. Kuperhatikan bunga tersebut. Kumpulan bunga mawar berwarna putih dan merah muda. Kuhirup wanginya lalu aku buka kartunya.

“For special woman who always be my special woman.”
•  Your Alvaro  •

What? Alvaro? Aku langsung melirik ke arahnya. Benar saja, dia sedang menungguku untuk menyadari bahwa yang mengirim bunga itu adalah dirinya.

Alvaro tersenyum kepadaku kemudian mengedipkan sebelah matanya. Aku langsung memalingkan muka!

“Romantis banget Alvaro kirim bunga buat lo Tan,” goda Bagas, Ternyata dia diam-diam membaca kartunya.

“Romantis apanya? Yang ada gue malu!” Aku melirik Alvaro kembali dengan jutek. Dia masih saja memperhatikanku.

“Jarang-jarang loh ada cowok yang mau kirim bunga ke kelas.”

“Itu yang bikin gue malu! Kirim bunga tuh ke rumah, bukannya ke kelas pas jam pelajaran!” omelku. Masih tidak habis pikir! Bisa-bisanya si Alvaro kirim bunga ke kelas atas namaku! Untung saja enggak ada yang tahu kalau dia yang kirim!

“Kan pacarnya ada di kelas, masa kirimnya ke rumah? Lagian kalau ke rumah nanti Mami curiga sama lo.”

Benar juga! Kalau Alvaro kirim ke rumah, aku pasti ditanyai macam-macam sama Kak Rara.

“Baiklah anak-anak, Bapak akan memberikan kalian tugas kelompok, satu kelompok terdiri dari tiga orang dan Bapak sudah membagi-bagikan kelompoknya sesuai absen.” Pak Haryono kemudian membagikan beberapa kertas dengan nama murid di dalamnya. “Tugasnya kalian mencari tahu daya beli masyarakat Indonesia saat ini, jadi kalian membuat laporan dengan memberikan kuisioner kepada orang-orang. Cukup dipahami kan? Ada pertanyaan?”

“TIDAK PAK!” jawab murid satu kelas.

“Tan, kita satu kelompok sama Alvaro.” bisik Bagas.

“Lo serius?”

“Iya Tan, kan kelompoknya sesuai absen. Nama lo dulu terus nama Alvaro baru nama gue.”

Sial! Kenapa juga aku harus sekelompok sama Alvaro! Ingin rasanya komplain ke Pak Haryono saat itu juga. Namun sayangnya bel istirahat berbunyi. Langsung saja aku buru-buru ke loker. Kusimpan bunga pemberian Alvaro beserta kartunya di dalam lemari penyimpanan itu kemudian menuju toilet. Begitu keluar, Alvaro langsung menarikku masuk ke ruangan lab komputer yang tidak ada penghuninya.

“Alvaro! Ngapain sih?”

“Nggak boleh ya berduaan sama pacar?”

“Bukannya gitu, nanti ketahuan sama anak-anak satu sekolah!” Kenapa juga aku malah merasa bersalah?

Alvaro kemudian melihat sekeliling. “Nggak ada orang di sini.”

Aku mendecak. Susah bicara sama anak SMA! Apalagi cowok kayak Alvaro yang pemaksa!

“Al! lain kali nggak usah kirim bunga segala! Mana kirimnya ke kelas, gue malu!”

“Kata Bagas jangan kirim ke rumah, nanti kamu kena masalah sama maminya.”

Oh jadi biang keroknya si Bagas? Lihat saja nanti aku kasih pelajaran tuh anak!

Alvaro kemudian menatap intens mataku, tangannya menyentuh pipiku. Lagi dan lagi, jantungku mulai melompat ke sana dan ke mari.

“Kamu itu berbeda. Kamu spesial dan aku enggak bisa berhenti mikirin kamu.”

Mendengar perkataan Alvaro membuatku refleks mendorongnya menjauh. “Ih apaan sih! Udah ah, gue mau keluar!”

Namun, Alvaro langsung menarikku ke dalam pelukannya. “Sebentar aja Sa, aku ingin memeluk kamu seperti ini. Karena saat kamu ingin menjauhiku, aku kesulitan untuk menggapai kamu.”

Anehnya, aku sama sekali tidak berontak dan membiarkan diriku dipeluknya. Lebih anehnya lagi, dalam keadaan jantungku yang berdebar-debar, aku merasa nyaman sekali dalam dekapannya.

Apa aku mulai jatuh cinta kepada Alvaro? Atau memang aku sudah jatuh cinta kepadanya?

ᴥ ᴥ ᴥ

Sepulang sekolah aku ikut geng cantiks melakukan kegiatan rutin mereka, Shopping! Dan sepanjang perjalanan aku mencoba mengorek informasi untuk bahan artikelku nanti.

“Ca, kata lo ‘kan merundung itu menunjukkan status sosial?”

“Iya, emang kenapa Sa?”

“Memang status sosial itu penting ya?”

Bukan apa-apa sih aku menanyakan hal itu. I mean, ini sudah 2021! zaman sudah berbeda, tapi kenapa masih saja mempersoalkan status sosial? Mana yang katanya tidak ada lagi sistem perbedaan kelas sosial?

Caca tertawa. “Sasa, Sasa, jelas status sosial itu penting untuk koneksi kita di masa depan.”

“Koneksi?”

“Relasi, Sa. Begitu kita lulus sekolah dan masuk kehidupan kampus apalagi dunia kerja. Relasilah yang paling penting dan status sosial kita memengaruhi seberapa penting kita nanti.”

Aku manggut-manggut. Benar juga sih, lihat saja Laura? Dulu dia susah payah membangun relasi dengan kelas sosial seperti keluarga Richand. Hasilnya? Kini dia tunangan dari salah satu pewaris Raichand Grup, tapi Laura tidak pernah merundung siapapun!

“Tapi harus ya sampai merundung untuk menunjukkan status sosial kita?”

“Sebenarnya enggak harus sih, tapi nikmatin aja, Sa. Mumpung kita masih SMA. Kalau sudah kuliah dan kerja nanti, meskipun sistem perundungan tetap ada, tapi kita enggak akan sempat merundung siapapun karena harus fokus pada koneksi dan status sosial kita.”

Aku masih bingung dengan penjelasan Caca. Jadi, merundung itu keharusan?

“Maksudnya si Caca, kalau sudah kuliah dan kerja kita masuk kehidupan realitas.” Karin menjelaskan.

Penjelasan Karin membuatku paham. Merundung mungkin akan tetap ada di sistem kelas sosial, tapi bagaimanapun juga orang-orang di status sosial atas harus menjaga citra mereka tetap terlihat baik.

Bagi Caca, Karin dan Tiara. Status sosial sudah mereka perhitungkan sejak SMA. Perundungan hanyalah satu agenda untuk menunjukkan status sosial mereka meski tidak diharuskan. Namun, mereka menikmatinya!

“Tunggu dulu guys, babu kita belum datang,” ujar Caca ketika kami berempat sampai di sebuah Mall.

“Babu?”

“Iya Sa, babu yang bawain barang-barang belanjaan kita nanti.”

“Tuh, tuh, si inem datang.” Tiara menunjuk ke arah pintu masuk. Aku melihat Mutia berlari ke arah kami.

“M-maaf Kak, aku telat.” Mutia menunduk takut-takut.

“Udah lo ikutin kita-kita ya! Inget lo bawain barang-barang kita dan jalannya di belakang.” Caca memberi perintah.

Aku hanya menggeleng pelan. Kulihat Mutia yang masih menunduk dan membiarkan kami jalan duluan. Aku jadi tidak tega!

“Eh Ca, dress-nya bagus ya? Beli yuk! samaan kita berempat!” pekik Karin.

“Terlalu imut dan polos, gue suka yang glamour dan seksi.” Caca menolak.

“Sa, sini!” Tiara menarikku ke tempat aksesoris. “Ih Sasa lucu dan makin cantik pakai jepitan.”
Aku hanya tersenyum tipis. Apalah aku paling anti pakai segala jenis aksesoris.

Guys, gue mau beli maskara.” ujar Caca mengajak kami berempat ke toko Maybelline.
Kulihat Mutia kewalahan membawa barang-barang belanjaan, dia bahkan disuruh menunggu di luar toko karena tidak dizinkan masuk oleh Caca. Aku jadi ingin membantunya.

Wait, wait, itu bukannya Alvaro?” Karin menghentikan langkah kami berempat.

“Eh bener itu Alvaro! Dia sama siapa?” tanya Tiara penasaran.

Aku langsung melihat ke arah yang ditunjukkan dan benar itu adalah Alvaro! Dia sedang menemani seorang cewek yang sedang memilih-milih make up.

Cih! Dasar playboy! Apalah dia bilang kalau gue spesial!

Entah kenapa hatiku jadi memanas. Kutatap sinis Alvaro yang masih belum menyadari kehadiranku di toko tersebut.

“Ceweknya cantik banget Sa, kayaknya lo cuma dijadiin mainan,” sindir Caca sambil tertawa sarkastik.

Ingin rasanya aku memaki Caca saat itu juga. Apa maksudnya dia berbicara seperti itu?

“Gue enggak peduli Ca! Kan udah gue bilang dari awal kalau gue nggak tertarik sama Alvaro.”

Caca hanya tersenyum sinis. Dia kemudian mendekati Alvaro. Mau ngapain sih?  

“Hey Al! Sama cewek lo?” tanya Caca.

Alvaro dan cewek itu menoleh. Kulihat si cewek tampak bingung dan Alvaro kaget, matanya melihat sekeliling lalu berhenti ketika melihatku. Aku tidak mengacuhkannya, kupalingkan muka dan bergerak menjauhinya.
Dari ekor mata, kulihat Alvaro berjalan mendekatiku. Aku pura-pura sibuk melihat-lihat make up.

“Sasa.”

Aku tidakk menggubrisnya.

“Mau beli make up? Kamu nggak perlu di make up juga sudah cantik kok.”

“Aku lagi pilih-pilih make up buat cewek kamu tuh, nih warna lipstiknya cocok buat dia.” Aku menyerahkan sebuah lipstik kepada Alvaro dengan kedua sudut bibirku terangkat naik kemudian berlalu meninggalkannya.

Guys, kita ke foodcourt yuk! Istirahat sebentar.” ajak Caca.

Aku mengangguk, kami berempat kemudian meninggalkan toko Maybelline. Aku tidak tahu apa Alvaro masih ada di sana bersama cewek itu yang entah aku tidak tahu siapa tapi aku merasa familiar dengan wajahnya.

Aku tidak peduli. Biarkan saja Alvaro senang-senang. Lagipula aku tidak menganggap serius dirinya! Inget Sa, dia masih SMA! Lo udah 25 tahun!

“Oya, Nem. Nih buat lo.” Caca mengeluarkan uang sepuluh ribu. “Lo makan apa kek di luar, mie ayam, batagor atau apa. Gue lihat di depan Mall banyak yang jualan tuh! Sepuluh ribu cukup, kan?”

“I-iya Kak.” Mutia terlihat pasrah, dia pun berlalu.

Sungguh keterlaluan si Caca! Mutia sudah capek-capek bawain barang. Setidaknya ajak makan di foodcourt! Ini malah cuma dikasih sepuluh ribu buat makan di luar! Ya ampun! Memang sepuluh ribu cukup?

“Ca, gue ke toilet sebentar yak?”

“Oke Sa, jangan lama-lama.”

Buru-buru aku mengejar Mutia yang sudah keluar dari Mall. Kulihat dia sedang membeli gorengan di pinggir jalan.

“Mutia!”

“K-kak Sasa?”

“Ini buat lo.” Aku menyodorkan uang seratus ribu. “Makan di dalam aja ya? Makanan pinggir jalan enggak sehat.”

“T-tapi Kak.” Mutia hendak mengembalikan uang seratus ribunya.

“Udah ambil aja, jangan bilang siapa-siapa ya,” ucapku tersenyum lalu meninggalkannya dalam keadaan bingung, Di tengah jalan aku berpapasan dengan Alvaro yang langsung menarikku untuk mengikutinya.

Aku sekuat tenaga berontak melepaskan tangannya, tapi karena terlalu keras aku menghentak, tubuhku pun oleng ke jalanan karena kehilangan keseimbangan. Tepat pada saat itu ada sepeda motor yang melaju kencang ke arahku.

“Sasa!” teriak Alvaro. Dia dengan sigap menangkap tanganku lagi dan menarikku ke trotoar. “Lo bisa nggak sih kalau jalan hati-hati!? Hampir saja lo ketabrak motor!” bentaknya.

Aku kaget bukan main. Pertama kalinya aku dibentak sama cowok selain Ayahku! Dia bahkan lebih muda dariku! Berani-beraninya dia bentak aku? Baru saja aku akan memakinya, Alvaro terlihat mengecek tubuhku.

“Kamu enggak apa, kan? Enggak ada yang terluka, kan? Maaf tadi aku bentak kamu.” Nada ucapannya terdengar khawatir. Baru aku sadari tadi Alvaro membentakku memakai ‘gue-elo’ dan sedetik kemudian dia minta maaf memakai ‘aku-kamu’.

Aku salah tingkah. Alvaro khawatir? Kenapa juga aku tidak jadi memakinya? Sial! “Gue enggak apa-apa.”

“Bisa ‘kan jangan bikin aku khawatir?” Dia kemudian memintaku untuk mengikutinya.

“Mau kemana sih Al?”

“Aku enggak mau kamu salah paham.”

“Salah paham kenapa?”

Alvaro diam saja, dia kemudian memperkenalkan cewek yang bersamanya tadi kepadaku.

“Kenalin Sa, dia Kakak sepupu aku.”

“Adinda Arsyad.”

“Alisa Natasa.”

“Jadi ini pacar lo?” Alvaro mengangguk. “Maaf ya, jangan salah paham. Gue cuma minta Alvaro nemenin gue aja kok. Lagian kita ini sepupuan.”

“Iya, nggak apa-apa,” kataku datar.

“Yaudah kalau gitu gue cabut dulu ya, Al! Cowok gue udah jemput, tuh.” Dinda menunjuk ke seorang cowok yang baru saja tiba.

Aku terbelalak! Langsung saja aku memalingkan muka menghindari tatapannya. Dia, Revan! Mantannya Nadya! Pantas saja aku merasa familiar dengan cewek ini! setelah diingat-ingat, dulu aku pernah ikutan melabraknya karena berselingkuh dengan Revan!

Tapi aneh, baik Adinda maupun Revan tidak terlalu curiga melihatku. Mereka terlihat biasa saja seperti tidak mengenalku. Mungkin mereka tidak ingat kalau aku sahabatnya Nadya?

Alvaro menggenggam jemariku. “Kamu sudah nggak salah paham lagi, kan? Dia bukan cewek aku.”

Aku memutar bola mataku. “Alvaro, gue enggak peduli lo mau jalan sama siapapun itu. Gue-enggak-peduli! Lepasin nggak!?”

“Nggak!” Alvaro semakin erat menggenggam tanganku. “Kita lagi enggak di sekolah, jadi kita pacaran lewat jalur depan.”

“Alvaro! Gue harus balik ke foodcourt! Geng cantiks nungguin gue!” Tapi Alvaro tidak menggubris. Dia memaksaku masuk ke mobilnya.

“Aku antar kamu pulang, kabarin aja geng cantiks kalau kamu harus pulang duluan ada urusan mendadak.” Aku mengembuskan napas kasar. Namun sial, malah menuruti perkataannya.

Mobil Alvaro akhirnya memasuki kediaman Dharmawangsa. Aku bergegas turun begitu sudah terparkirkan.

“Lo ngapain ikut gue masuk?” tanyaku pada Alvaro yang terus saja mengikuti masuk ke dalam rumah.

“Aku mau ketemu Bagas, enggak boleh?”

Bisa banget alasannya Alvaro! Begitu di ruang tamu, aku melihat sebuket bunga di meja. Kuambil buket bunga tersebut.

“Tuh ada kiriman bunga buat lo.”

“Dari siapa?”

“Mana gue tahu?’ Bagas mengendikkan bahunya. “Nggak ada nama pengirimnya.”

Aku langsung melirik Alvaro. Kulihat muka dia serius, tidak, bukan serius. Lebih tepatnya wajah marah dengan rahang mengeras. Sepertinya bukan dari dia. Lagian buket bunga pemberian Alvaro kusimpan di loker.

Tiba-tiba ponselku berdering, Ega meneleponku.

“Halo, Ega?”

“Halo Sa, udah sampai kiriman bunganya?”

“Oh jadi kiriman bunganya dari lo?”

“Iya Sa, tadi lewat toko bunga tiba-tiba keinget lo.”

Aku tersenyum, jelas sekali Ega sedang modus.

“Terima kasih ya Ga.”

“Disimpan ya bunganya, kalau bisa dirawat juga sekalian.”

Aku terkekeh. Apaan sih si Ega!   
    
“Sekali lagi terima kasih ya, Ga, bunganya.”

“Yauda, gue tutup dulu ya Sa.”

Aku mengakhiri panggilan telepon dari Ega. Astaga, dalam sehari aku dapat kiriman dua buket bunga!

“Kamu bahkan tidak bilang terima kasih ke aku.”Alvaro berbicara dengan nada datar yang terdengar sangat tidak suka.

Aku mendesah pelan. “Terima kasih.”

Tiba-tiba Alvaro mengambil buket bunganya. “Ini buat aku saja, mau aku taruh di atas kuburan.”

“Apaan sih, Al! Balikin nggak?”

“Nggak!”

“Alvaro! Itu bunga dari Ega!”

Alvaro langsung menatapku tajam. Terlihat jelas sekali dia marah. “Aku cemburu kamu sebut nama dia, aku gak suka kamu dapat bunga dari pria selain aku. Kamu milik aku! Jadi hanya nama aku yang boleh kamu sebut dan hanya aku yang boleh memberikan kamu bunga.”

Aku bergeming mendengar kata-katanya yang terdengar sangat posesif! Aku jadi merinding.

Alvaro masih dengan tatapan tajamnya dan aku merasa terintimidasi. Ya Tuhan! Hatiku berkecamuk tidak keruan. Pertama kalinya seorang laki-laki bersikap seperti ini kepadaku!

“Ehem.” Bagas berdeham. “Kalian silakan lanjutkan pertengkarannya, gue ke kamar dulu.”

Sial! Kenapa juga kejadiannya harus di depan Bagas? Aku malu setengah mati!

ᴥ ᴥ ᴥ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top