Be A Popular
Pagi-pagi begitu terbangun, aku mengecek ponselku. Ada satu panggilan tak terjawab dari nomor yang tak kukenali.
"Mungkin salah sambung." pikirku tak peduli.
Aku langsung bersiap-siap untuk melanjutkan misi penyamaranku.
Begitu sampai di parkiran SMA Dharmawangsa suasana sudah ramai, hari ini memang aku dan Bagas sedikit kesiangan.
Aku melihat murid-murid yang hendak masuk ke dalam gedung sekolah ternyata sedang memperhatikanku. Beberapa adik kelas bahkan dengan sopan mengucap "selamat pagi" kepadaku bahkan terlihat agak takut.
Murid laki-laki yang sedang berkumpul di parkiran sekolah terlihat menggodaku dengan ucapan selamat pagi yang aku tahu itu hanya modus.
"Anak-anak sekolahan ini pada kenapa Gas? Kok aneh banget sama gue? Perasaan kemarin enggak begini." tanyaku bingung.
"Masa lo gak sadar sih? Sekarang kan lo salah satu murid populer di SMA Dharmawangsa." jawab Bagas.
"Yakali Gas! Baru kemarin gue masuk sekolah ini sebagai anak baru, masa secepat ini gue populer."
"Yaiyalah cepet populernya, kan lo langsung masuk jadi anggota baru Genk Cantiks."
Ya ampun! Aku lupa! Kalau aku kini sudah resmi menjadi anggota Genk Cantiks.
"Sasaaaaaa!" teriak Karin menghampiriku. "ke kantin yuk! Caca sama Tiara udah nungguin di sana."
"Eh bukannya kita harus masuk kelas ya?"
"Yaelah Sa, masih ada lima menit lagi," Karin merangkul lenganku. "Gas, gue culik sepupu lo ya!" lanjutnya menarikku ke kantin.
Aku mengikuti Karin tanpa membantah.
Entah apa yang aku lakukan di kantin pagi-pagi. Inginnya sarapan tapi aku sudah sarapan tadi. Caca, Tiara dan Karin terlihat asik bergosip. Aku hanya diam saja mendengarkan sambil memainkan ponselku.
Tiba-tiba seseorang mengambil ponselku dari arah belakang. Dengan kaget aku memutar tubuhku ingin mengambil ponselku namun aku jadi tak bergeming saat mengetahui siapa yang di belakangku.
"Alvaro!" batinku.
"Kamu gak simpan nomor aku Sa? Semalam aku telepon kamu gak diangkat, sudah tidur ya?" ujar Alvaro.
Aku mengerutkan alisku. "Alvaro memakai aku-kamu? Dia memang begini atau sama gue aja?"
"Sa?"
"Hah? Apa?"
Alvaro mengembalikan ponselku. "Itu sudah aku simpan nomorku, nanti aku telepon diangkat ya?" ujarnya tersenyum padaku.
Lagi dan lagi, aku merasa familiar dengan senyumannya itu!
Aku mengecek kontak di ponselku dan tertera nama Alvaro Ganteng.
"Astaga! Memang ganteng sih! Tapi aku gak selera, dia masih bau kencur, anak SMA!" Aku berdecak dalam hati.
Alvaro kemudian berlalu berkumpul dengan Bagas dan Rangga di sudut kantin.
"Bahkan Alvaro pake aku-kamu ke lo Sa!" celetuk Karin.
"Memang biasanya dia gue lo?" tanyaku.
"Biasanya justru dia tidak berbicara dengan cewek manapun di sekolah ini." jawab Tiara.
Aku melongo, ini pasti gak serius! Masa cowok ganteng gak pernah berbicara dengan cewek manapun?
"Alvaro pernah sekali berbicara," Caca melirikku. "lo mau tahu alasan kenapa Inem di bully? Itu karena dia satu-satunya cewek yang pernah Alvaro ajak bicara di sekolah ini."
"Gue baru inget Ca! yang pas MOS kan? Si Inem disuruh-suruh sama kakak OSIS sampai mau nangis trus Alvaro nenangin dia. Itu pertama dan terakhirnya kita lihat Alvaro bicara sama cewek." ujar Tiara.
Entah kenapa aku menjadi penasaran pada Alvaro.
"Inget Sa! Inget! Lo disini lagi menyamar, untuk tuntutan pekerjaan!" Aku mengingatkan diri.
"Yauda yuk ke kelas, bentar lagi bel masuk." ajak Caca.
Aku beranjak hendak mengikutinya, tiba-tiba teringat kemarin aku masih kurang tiga ratus ribu untuk membayar hutang Mutia.
Dengan terburu-buru aku hendak menuju stand menjual minuman namun tak sengaja aku menabrak seseorang. Bocah laki-laki berkacamata. Alhasil karena tabrakan tak sengaja itu dia menumpahkan sebagian jus alpukatnya mengenai sepatuku.
"Eh ma-maaf, ma-maaf ka-kak." ujarnya gelagapan dan ketakutan.
Aku baru saja hendak mengatakan tidak apa-apa tapi Caca langsung menghardik anak laki-laki itu.
"Heh! Wiro Sableng! Lo sadar gak udah cari masalah sama siapa?"
"Ma-maaf Ka-kak. A-aku g-gak se-sengaja."
"Sengaja gak sengaja lo bersihin tuh sepatunya Sasa!"
"I-iya Ka-kak." Wiro mengeluarkan tisu dan hendak membersihkan sepatuku namun Caca menghardiknya lagi.
"Siapa yang suruh ngebersihin pake tisu hah? Bersihin pake tangan lo sendiri!"
Wiro menatap Caca bingung.
"Apa Sableng? Buruan bersihin pake telapak tangan lo sendiri."
Wiro kemudian pelan-pelan berjongkok di hadapanku, telapak tangannya hendak menyentuh sepatuku yang terkena tumpahan jus alpukatnya.
Aku seperti penjahat yang baru saja membunuh orang di sini. Perasaanku tak enak kepada laki-laki itu yang dipanggil Wiro Sableng. Entah itu nama aslinya apa bukan.
Baru saja aku hendak memundurkan kakiku tapi aku teringat dengan misiku. Dalam misi ini aku menjadi tersangka, sudah seharusnya aku bersikap layaknya penjahat.
Akhirnya dengan terpaksa aku memajukan kakiku hampir mendekati muka si Wiro yang berjongkok di hadapanku. Dia kemudian mengelap sepatuku dengan telapak tangannya.
Sungguh aku tak tega melihatnya, bukan maksudku bersikap kejam seperti ini. Wiro hanya diam saja membersihkan sepatuku. Setelah selesai dia berkali-kali minta maaf sambil menunduk. Seperti Mutia kemarin, tak berani menatapku.
"Lo sekarang anggota Genk Cantiks Sa! Jadi lo bebas bully siapapun yang berurusan sama lo." Caca menegaskan.
"Tapi tadi dia kayaknya gak sengaja."
"Sengaja gak sengaja, dia sudah berurusan sama lo."
Aku menghembuskan napas dan menggeleng pelan. Tanpa sengaja mataku menangkap Alvaro sedang menatapku.
Ekspresinya terlihat sangat kecewa. Kemudian dia memalingkan muka, membuatku merasa bersalah dan hatiku menjadi sedih.
Aku bingung dengan apa yang terjadi pada hatiku. Memang kenapa kalau Alvaro kecewa padaku? Aku dan dia kan tidak memiliki hubungan apapun. Lagipula aku tak mau terlibat asmara dengan anak SMA!
Seharian di sekolah aku terus memikirkan ekspresi kecewa Alvaro yang jelas mengatakan. "Lo seharusnya tidak perlu bersikap seperti itu, Sa!"
Aku menjadi uring-uringan. Pada jam istirahat pun aku memilih berdiam diri di kelas. Dammit! Kenapa rasanya seperti sedang patah hati?
Dan selama di kelas, Alvaro tak ada sekali pun melihatku. Padahal kemarin hampir tiap kesempatan dia mencuri-curi pandang padaku. Aku merasakan sesuatu yang aneh, sakit dan sesak di dadaku, tapi kenapa juga aku harus merasakan itu semua?
"Astaga! Aku baru bertemu dan kenal Alvaro kemarin! Jangan kebawa perasaan!" batinku berusaha tak peduli.
ᴥ ᴥ ᴥ
Sepulang sekolah aku langsung menuju kantin untuk membayar hutang Mutia yang kurang tiga ratus ribu lalu aku buru-buru menghampiri Wiro untuk minta maaf.
Sebelumnya aku meminta izin kepada Genk Cantiks untuk pulang duluan dengan alasan tidak enak badan dan aku juga sudah memberitahu Bagas ada urusan mendesak.
Namun terlambat, begitu sampai di gerbang sekolah aku melihat Wiro sedang menaiki angkot. Dengan gerak cepat aku memanggil ojek dan mengikuti angkot tersebut.
Angkot tersebut berhenti tepat di sebuah Gang cukup besar, Wiro terlihat turun dari angkot dan masuk ke dalam Gang. Setelah membayar ojek buru-buru aku mengejar Wiro, untungnya dia masih terlihat tidak begitu jauh.
Aku mengikuti Wiro dan terus berpikir bagaimana aku meminta maaf? Wiro kemudian berbelok masuk ke Gang yang lebih kecil. Terlihat di dalam Gang tersebut kontrakan-kontrakan berjejer di kiri kanan jalanannya.
Wiro masih saja terus berjalan hingga sampai di ujung Gang. Kali ini terlihat jelas sebuah pemukiman yang tampak kumuh. Dia berhenti tepat di sebuah rumah sepetak yang terlihat tidak ada kamar mandi di dalam rumah tersebut dan aku baru menyadari kalau kamar mandinya ternyata di luar.
"Mas Wiro udah pulang sekolah?" tanya seorang gadis kecil kira-kira masih SD.
"Kamu mau kemana Dek?"
"Mira mau jualin jajanan kue ke pasar. Ibu ada di dalam Mas, masih sakit."
Aku melihat Wiro mendesah sambil mengusap puncak kepala adiknya. Dia berusaha tersenyum.
"Bapak belum pulang ya?"
"Belum Mas, kata Bapak kalau Mas sudah pulang disuruh nyusul Bapak mungut sampah di gudang pabrik."
Wiro mengangguk. "Yauda Mas mau siap-siap nyusul Bapak ya? Kamu hati-hati di pasar."
"Ibu gimana Mas? Kita belum punya uang buat beli obat."
"Nanti kita beli obat buat Ibu, Insha Allah."
Aku menjadi semakin bersalah melihat pemandangan Kakak Beradik tersebut. Menyesali kenapa harus bersikap kejam ke Wiro tadi pagi hanya karena tuntutan pekerjaan.
Aku memutuskan mengikuti Adiknya Wiro ke pasar. Kasihan sekali, dia masih kecil tapi harus membanting tulang membantu Bapak dan Kakaknya.
Seharusnya dia sedang menikmati masa kecilnya bukan malah ikut menanggung beban hidup yang berat.
Begitu tiba di pasar aku memutuskan untuk ke ATM di indomaret, mengambil uang satu juta. Tenang saja, meskipun sebelumnya aku pengangguran. Tapi aku punya simpanan yang bisa kupakai kalau kubutuhkan. Mama Papaku memang bukan orang yang pelit pada anaknya.
Aku kembali ke pasar dan melihat Adiknya Wiro berteriak menjajakan kue jajanannya. Kupercepat langkahku menghampiri gadis kecil itu.
"Dek, boleh beli kuenya?"
Mira mengangguk senang. Dia kemudian membuka keranjang kuenya.
"Kakak mau kue apa?"
"Kakak mau beli semuanya boleh?"
Mira terbelalak. "Semuanya Kak?"
"Iya Dek, soalnya Kakak ada acara di rumah trus disuruh beli kue gitu ke pasar, bingung deh mau beli kue apa," Aku berbohong. "Kalau beli semuanya berapa Dek?"
"Mm, lima ratus ribu Kak." jawabnya ragu-ragu.
Aku tersenyum, kukeluarkan satu juta yang baru kuambil di ATM lalu kuberikan kepadanya.
"Ini buat kamu, Kakak beli sama keranjangnya ya?"
Mira masih tidak percaya melihatku memberikan uang satu juta kepadanya.
"Ta-tapi Kak, ini kelebihan banyak."
"Gak apa-apa Dek, jangan lupa beli obat buat Ibu kamu ya?" Aku mengusap pelan puncak kepala Mira yang sedang mengangguk.
Aku pun berlalu dari hadapannya. Mira masih saja bingung dan menatapku yang menjauh dari tempatnya berdiri.
Begitu sampai di ujung Gang besar dimana Wiro tadi turun dari angkot. Aku mendesah pelan sambil memegang keranjang kue. Perasaan bersalah itu masih ada tapi aku sedikit lega setidaknya aku sudah mencoba meringankan beban Wiro.
Apalah arti uang satu juta kalau tidak bisa dimanfaatkan untuk membantu orang lain?
"Semoga Ibunya Wiro cepat sembuh." doaku dalam hati.
Aku menggeleng lalu tersenyum. Urusan pekerjaan menyamar jadi anak SMA, berpura-pura populer, bersikap seolah-olah adalah tersangka justru membuatku mendapatkan pengalaman berharga.
Di tengah maraknya pergaulan bebas, kasus bully membully dan tawuran di kalangan remaja ternyata masih ada anak seperti Wiro dan Adiknya yang harus membanting tulang membantu keluarganya.
Aku bahkan baru dua hari menyamar!
Aku memutuskan memberhentikan angkot. Namun, saat aku hendak naik tiba-tiba tanganku dicekal oleh seseorang. Baru saja aku akan teriak kalau saja tidak tahu siapa orang yang mencekal tanganku.
"Alvaro?" tanyaku tak percaya.
Alvaro hanya tersenyum lalu menarikku masuk ke mobilnya. What? Naik mobilnya? Aku ingat ada yang mengatakan kalau Alvaro tak pernah mengizinkan cewek manapun naik mobilnya.
"Lo ngikutin gue?" tanyaku begitu mobil sudah melaju.
"Emang gak boleh ngikutin gebetan?" tanya Alvaro balik.
Aku mengkerutkan dahiku. "Gebetan?"
Alvaro mengangguk. "Iya, kamu gebetan aku."
Aku salah tingkah. Kulirik Alvaro yang senang melihatku menjadi salah tingkah.
"Buatku kamu itu spesial, aku senang kamu tadi bantuin Wiro dan Adiknya."
Aku menoleh ke Alvaro. Shit! Aku jadi tersipu malu.
"Apa maksudnya dengan spesial? Jaga hati Sa! Jaga hati! Jangan sampai kebawa perasaan! Ingat umur delapan tahun lebih tua dari dia!" batinku seakan merapalkan mantra.
"Kamu tinggal sama Bagas kan? Aku antar pulang ya?"
Aku menggangguk. "Ngomong-ngomong bisa gak pakai lo-gue aja? Aku-kamu itu berasa kayak..."
"Spesial," Alvaro memotong kata-kataku. "aku sudah kubilang kamu itu spesial, jadi harus pakai aku-kamu."
Aku memutar bola mataku. Udah deh turutin saja apa kata bocah!
Alvaro benar-benar mengantarku pulang. Aku berpamitan dengannya, tepat sebelum aku membuka pagar ponselku berdering. Kulihat nama di layar ponselnya, Alvaro Ganteng.
Aku mengkerutkan dahiku kemudian menoleh ke arah mobil Alvaro.
"Ngapain nih anak nelpon?" Aku mengangkat panggilan tersebut.
"Sa, kalau tidur jangan sambil megang hape ya."
Baru saja aku hendak menjawab. Panggilan pun terputus.
Aku menatap mobil Alvaro yang bergerak menjauhiku dengan terheran-heran dan kebingungan. Apa-apaan tadi!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top