Age Just A Number

Alvaro menghentikan motornya di sebuah halte karena hujan turun semakin deras. Kami berdua memutuskan berteduh. “Mana yang katanya mau jadi payung buat gue?” tanyaku kesal melirik sinis ke arahnya.

Aku mulai menggigil kedinginan. Biarpun sudah memakai jaket, tapi tetap kedinginan karena basah kuyup dan akhirnya ‘Hatchiiiii’.  Sial! Jangan sampai aku terkena demam.

“Kamu kedinginan, Sa?” tanya Alvaro dan aku tidak menggubrisnya.

Seharusnya Alvaro paham, aku sedang kesal. Memang sih dia tidak tahu kalau aku alergi hujan, maksudku, tubuhku langsung kedinginan dan terkena demam jika kehujanan. Tetapi nggak penting juga memberitahunya hal beginian, menurutku.

“Sa?” Aku masih diam saja tidak menanggapi. Tiba-tiba Alvaro memelukku dari belakang, aku kaget bukan main. “Al! Ngapain sih? Lepasin nggak?” Alvaro semakin erat memelukku dan kurasakan embusan napasnya di puncak kepalaku. “Kamu kedinginan, Memeluk kamu adalah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan,” bisiknya. Aku terdiam mendengar kata-katanya. “Maaf aku tidak bisa menjadi payungmu,” lanjutnya dengan nada yang kudengar penuh perasaan bersalah.

Aku terus menunduk di dalam pelukan Alvaro. Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Entah ini karena Alvaro memelukku atau aku yang mulai terkena demam? Kuhirup dalam-dalam aroma tubuh Alvaro yang seketika membuatku tenang dan nyaman.

Kuangkat sedikit kepalaku dan melihat sekeliling. Untungnya halte cukup sepi, hanya beberapa pengendara motor saja yang berhenti untuk berteduh. Mereka melihat ke arahku dan Alvaro. Saat itu egoku ingin sekali melepas pelukan Alvaro, tapi hatiku menginginkan pelukannya menghangatkan tubuhku.

Kubiarkan diriku hanyut dalam suasana hujan sore itu. Jujur saja, pelukan Alvaro sungguh membuatku nyaman. Tubuhku yang tadinya kedinginan mulai terasa hangat meski pusing semakin menghantam kepalaku. Beberapa kali aku bersin dan kurasakan demam mulai menyerang tubuhku.

“Al, kita pulang sekarang. Hujan sudah tinggal gerimis,” ajakku.

“Tapi kamu kedinginan Sa, nanti kamu sakit.”

“Tapi gue mau pulang sekarang, Al! Kepala gue pusing banget! Hatchiiiii!”

“Yauda, tunggu sebentar.” Alvaro melepas jaketnya dan memakaikan kepadaku. Kini dia hanya mengenakan kaos.

“Nggak usah, Al! Nanti lo malah kedinginan.”

Nggak habis pikir sama Alvaro! Dalam keadaan hujan gerimis begini dia malah nggak pakai jaket.

“Biar aku saja yang kedinginan, asal jangan kamu.”

“Al….”

“Nggak ada pembantahan.”

Aku yang memang sudah tidak berdaya karena pusing yang semakin menjad-jadi, akhirnya menurut dan tidak membantah.

Begitu sampai di depan kediaman Dharmawangsa, aku segera turun dari motor ninja Alvaro. Tubuhku hampir saja ambruk ketika kakiku berdiri di atas tanah. Alvaro dengan sigap memegang lenganku agar tidak terjatuh.

“Sa? Kamu baik-baik saja?” tanya Alvaro khawatir, dia kemudian menyentuh dahiku. “Kamu panas Sa, kamu demam,” lanjutnya dengan nada cemas.

Aku menatap Alvaro berusaha tersenyum dan menggeleng, tapi pandanganku kabur dan sedetik kemudian semuanya gelap.

ᴥ ᴥ ᴥ

Kubuka mataku perlahan, kulihat kini aku sudah ada di kamarku. Kudengar percakapan seseorang tidak jauh dari tempat tidur.

“Maaf Tante, saya enggak tahu Sasa bisa demam kalau kehujanan.”

“Iya, enggak apa-apa. Bagas juga enggak kasih tahu jadi enggak apa-apa. Sasa pasti baik-baik saja setelah istirahat beberapa hari.”

“Sorry Al, harusnya gue kasih tahu keadaan Sasa.”

“Nggak apa-apa, Gas. Lain kali gue bawa mobil kalau mau keluar sama Sasa.”

“Yauda Alvaro, sebaiknya kamu pulang ya? Sudah malam, Sasa biar Tante yang urus.”

“Enggak Tan, Alvaro mau jagain Sasa malam ini. Aku bakalan merasa bersalah kalau ninggalin dia dalam keadaan demam seperti ini.”

“Kalau gitu, Tante ambil kompresan dulu. Nanti kamu kompres Sasa ya? Dan kalau kamu mau istirahat, di sana ada sofa.”

“Iya Tante.”

Aku berusaha untuk terus membuka mataku, tapi berat rasanya karena pusing masih menghantam kepalaku. Mataku pun terpejam lagi.

Entah sudah berapa lama aku tertidur, kurasakan sesuatu di dahiku dan tanganku terasa hangat sekali. Ternyata Alvaro sedang mengusap-usap kedua tanganku.

“Alvaro?” gumamku.

“Sasa, kebangun ya? Kamu butuh sesuatu?”

Aku menggeleng perlahan. Seperti bayangan dan mimpi, Melihat Alvaro tersenyum kepadaku. Dia mengambil sesuatu dari dahiku kemudian mengecup lembut puncak kepalaku.

“Alvaro…”

Kurasakan sesuatu di dahiku, terasa hangat. Lalu Alvaro menggenggam kedua tanganku dan mengusap-usapnya, sangat nyaman sekali. Aku pun mulai tertidur kembali.

ᴥ ᴥ ᴥ

Sinar matahari terasa hangat menyentuh wajahku. Kubuka mata dan kepalaku sudah tidak pusing lagi. Tubuhku juga terasa lebih baik. Tercium aroma yang membangkitkan selera makanku. Di atas meja kecil di samping tempat tidur, ada semangkuk bubur dan segelas susu.

“Pasti Kak Rara yang siapin bubur ini.” Jarang-jarang Kak Rara sebaik ini mau siapin bubur.

Ketika hendak mengambil mangkuk bubur, aku berpikir sejenak mengingat kejadian semalam. Apa benar Alvaro merawatku semalaman? Ah, sepertinya tidak mungkin! Pasti itu hanya mimpi! Aku menggelengkan kepalaku. Bisa-bisanya aku berharap sesuatu yang tidak mungkin! Itu hanya mimpi, Sa! Mimpi!

Kulihat sekeliling kamar, tidak ada tanda-tanda Alvaro ada di sini. Apa yang aku harapkan, sih? Kenapa aku malah berharap Alvaro ada di sini? Apa aku sudah jatuh cinta sama Alvaro? Aku memejamkan mata dan menggeleng. Nggak! Jangan sampai, Sa! Jangan sampai!

Kuambil mangkuk bubur di atas meja kemudian melahapnya. Mending sarapan dulu deh! Biar pikiran jernih, bukannya malah mikirin bocah dibawah umur! Apa-apaan!

Pintu tiba-tiba terbuka dan Kak Rara masuk ke dalam kamar.
“Kak, terima kasih ya buburnya.”

Kak Rara mengerutkan dahinya. “Lo harusnya terima kasih sama Alvaro, dia yang masakin buburnya dan merawat lo semalaman.”

Hampir saja aku tersedak. “Lo nggak serius ‘kan Kak?”

“Gue serius. Semalam Alvaro sudah gue suruh pulang, tapi dia maksa mau jagain lo. Alvaro kelihatan banget cemas dan khawatir.”

Aku terdiam dan merenung. Berarti yang semalam bukan mimpi?

“Sa….”

“Hah?”

“Lo sama Alvaro pacaran?”

“Astaga, Kak! Enggak!”

Kak Rara memicingkan matanya kepadaku. “Tapi yang gue lihat kok sebaliknya ya? Alvaro terlihat jelas banget jatuh cinta sama lo.”

“Memang kalau Alvaro jatuh cinta sama gue sudah pasti pacaran?”

“Tergantung, lo jatuh cinta juga nggak sama dia?”

“Apaan deh Kak! Alvaro masih 17 tahun! Sedangkan gue sudah 25 tahun! Ya kali gue jatuh cinta sama dia?”

Kak Rara tertawa terbahak-bahak. Sial! Aku malah diketawain!

“Sasa, Sasa, akhirnya lo jatuh cinta juga!”

“Apaan sih, Kak! Enggak!”

“Sa, gue kasih tahu ya. Age just a number! Yang gue lihat di sini lo masih mempermasalahkan umur. Kalau sudah jatuh cinta, jujur saja! Lo enggak mau ‘kan kejadian kayak gue? Menikah tanpa rasa cinta?”

“Memang lo belum bisa jatuh cinta juga sama Kak Adit?”

Kak Rara hanya mengendikkan bahu. “Intinya. Umur hanyalah angka, cinta nggak akan datang dua kali. Saat rasa itu tumbuh, biarkan perasaan itu tumbuh.”

“Bahasa lo, Kak! Yakin banget cinta nggak akan datang dua kali?”

“Itu kata-kata Adit. Lagian emang lo masih bisa cinta kepada orang yang sama, yang bikin lo sakit hati? Enggak, kan?”

“Tapi Kak, gue 8 tahun lebih tua dari Alvaro!”

“Menurut gue sih enggak masalah.”

“Ya menurut lo Kak, gimana sama ayah dan bunda?”

Kak Rara lagi-lagi tertawa. “Lo lupa? Bunda ‘kan lebih tua 5 tahun dari ayah.”

Lah iya! Aku memutar bola mataku ke atas. “Tapi gimana sama keluarga Alvaro?”

“Astaga Sa, udah jalanin saja dulu! Memang lo mau langsung nikah sama Alvaro?”

Aku menggertakkan gigiku. “Kak! Umur gue udah 25 tahun! Mangkanya gue mau cari yang serius, yang lebih tua usianya, karena gue sendiri sudah cukup umur buat menikah!”

“Sasa! Menikah itu bukan perkara umur! Tapi lebih siap atau enggaknya lo menikah? Karena menikah tidak sesederhana itu!” Kak Rara diam sejenak. “Gue ngomong gini karena gue sudah mengalami harus menikah di saat gue sendiri belum siap dan gue enggak mau lo mengalaminya juga,” lanjutnya.

Aku mencoba mencerna kata-kata Kak Rara. Benar juga, aku sendiri belum siap untuk menikah. Aku baru saja memulai pekerjaanku. Masih menikmati kesendirianku. Apa sebaiknya mengikuti saran Kak Rara?

“Sudah enggak usah dipikirin, Sa. Lebih baik lo fokus sama pekerjaan menyamar lo.” Kak Rara bangkit dari tempat tidur lalu menepuk bahuku. “Kalau lo jatuh cinta sama Alvaro mending lo jujur sama dia,” lanjutnya kemudian keluar dari kamarku.

Aku masih mematung di atas tempat tidur dengan mangkuk bubur di atas paha yang beralaskan selimut. Kupandangi sisa bubur yang ternyata dibuatkan Alvaro. Apa harus jujur? Tunggu dulu, berarti aku sudah jatuh cinta sama Alvaro? Refleks aku menggeleng sambil memejamkan mata. Lagi dan lagi, mencoba menepis perasaan itu. Fokus saja Sa! Fokus sama pekerjaan!

ᴥ ᴥ ᴥ

Sepulang sekolah, Caca, Tiara dan Karin datang menjengukku. Dengan kehebohan khas geng cantiks, membawa sekeranjang buah-buahan dan camilan, tidak lupa gosip-gosip ala SMA Dharmawangsa.

“Sasa! Ya ampun sehari lo nggak masuk bikin kangen!” pekik Karin dengan nada berlebihan sambil memelukku.

“Iya Sa, lo kenapa bisa sakit, sih?” tanya Tiara.

“Si Alvaro uring-uringan di sekolah.” Caca menambahkan dengan nada sarkastik.

Ini aku pengen ketawa! Alvaro uring-uringan? Sudah seharusnya sih, karena gara-gara dia aku jadi sakit!

“Sa! Lo tahu enggak? Hari ini lo jadi berita terpanas di SMA Dharmawangsa!” Karin memulai gosipnya, tapi ternyata gosipnya tentang aku.

“Berita terpanas?”

Tiara mengangguk dengan cepat. “Iya Sa, hanya karena lo nggak masuk hari ini terus Alvaro terlihat banget uring-uringan, jadi pada bikin gosip deh kalau lo diapa-apain sama Alvaro.”

Aku melongo. Kulihat Caca, Tiara dan Karin tertawa cekikikan.

“Astaga gosipnya! Gue enggak diapa-apain sama dia!”

“Tenang saja Sa, semua juga tahu lo enggak diapa-apain, tapi heboh aja. Lo sama Alvaro jadi bahan pembicaraan terpanas hari ini di sekolah.” Karin cekikikan, “dan lo tahu enggak? Hari ini si Inem dan Sableng dirundung habis-habisan sama anak-anak.”

Seketika air mukaku berubah jadi datar, perundungan! Entah kenapa ini jadi sangat menggangguku akhir-akhir ini.

“Si Inem sama Sableng itu cocok ya? Gue jadi pengen comblangin mereka deh,” celetuk Tiara.

“Ih Jangan! Nanti mereka punya buntut! Kan bisa berabe.” Caca tertawa sinis.

Aku mengernyitkan dahiku. “Buntut?”

“Maksud si Caca, nanti si Inem bisa-bisa punya anak di luar nikah sama Sableng.” Karin menjelaskan sambil cekikikan.

Aku menggelengkan kepalaku. Inem bukan gadis seperti itu kurasa, apalagi Sableng yang sangat bertanggung jawab kepada keluarganya. Aku sih setuju saja kalau mereka berjodoh, tapi tidak dengan hamil di luar nikah.

Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar oleh seseorang yang tanpa permisi masuk ke kamarku. Astaga, Alvaro! Ngapain sih dia ke sini?

“Kalian ngapain ada di sini?” tanya Alvaro dengan nada membentak dan menatap tajam Caca, Karin dan Tiara bergantian.

“Ngapain apanya? Kita lagi jenguk Sasa!” jawab Caca judes.

“Sasa butuh istirahat! Kalian hanya mengganggu saja! Mending kalian pulang sekarang!”

“Apaan sih Al! Kita juga baru sampai tahu nggak!” Karin tidak terima diusir.

Alvaro menatap tajam ke arah Karin dan mengintimidasinya. Raut wajahnya jelas mengatakan tidak menerima pembantahan.

“Al, mereka teman-teman gue dan gue enggak merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Justru gue merasa terganggu sama kehadiran lo.” Alvaro langsung melirikku, kualihkan pandanganku tidak membalas lirikannya. Aku tahu dia pasti akan mengintimidasiku.

“Tuh, dengar Al! Kita teman-temannya Sasa! Sedangkan lo siapa? Pacarnya?” hardik Karin.

Duh, Karin malah menyiram bensin dengan pertanyaan itu! Wajah Alvaro terlihat marah dan tidak sengaja kulihat dia mengepalkan kedua tangannya.

“Yauda deh, mending kita pamit pulang saja. Kayaknya pangeran lagi marah,” Tiara menarik tangan Caca dan Karin. “Yuk! Ca, Rin.”

Baik Caca, Tiara dan Karin menatap jutek ke arah Alvaro kemudian pamit pulang kepadaku.

“Akhirnya mereka pulang, tinggal kita berdua,” ucap Alvaro lembut dan tersenyum kepadaku.

Sedetik yang lalu dia terlihat murka dan sedetik kemudian dia bersikap lembut kepadaku! Alvaro hendak menyentuh dahiku, tapi dengan cepat kutepis tangannya. “Lo ngapain masih di sini? Lo juga menganggu tahu nggak? Mending lo pulang sana!” Secepat kilat aku menutup tubuh dan wajahku dengan selimut, berpura-pura tidur dan tidak peduli dengannya.

“Kamu istirahat ya Sa, kamu harus sehat lagi. Aku pulang dulu,” bisiknya lembut.

Dari balik selimut kurasakan hatiku berdesir. Setelah kudengar suara pintu tertutup, kutarik selimut yang menutupi wajahku lalu mengintip. Alvaro benar-benar pulang? Kenapa aku jadi sedih dan merasa kesepian? Kenapa juga aku berharap Alvaro tetap di sini meski sudah kuusir?


ᴥ ᴥ ᴥ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top