17 Agustus 2021
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Widih, tumben nih main ke Mantra," ucap Dirga pada Frinza yang baru saja datang. Dirga beranjak dari duduknya, dan mengambil menu untuk Kakaknya. Frinza duduk semeja dengan Bayu.
"Bay."
"Eh, Bang. Libur, kerja?" tanya Bayu.
"Iyalah, tanggal merah kan, tujuh belas agustus. Lu ngapain? Tumben pagi-pagi udah maen."
"Hahaha lagi ada projek, bang, sama Dirga."
"Projek apaan?"
"Ini kan hari kemerdekaan, bang. Pasti banyak lomba dong. Nah, gua sama Dirga lagi ngerancang lomba, disuruh sama Dewa Erzullie."
"Yang lomba siapa?" tanya Frinza.
"Ya kita-kita aja, bang. Pemain Mantra."
"Gua ikut dong!"
Dirga tiba-tiba duduk bersama mereka. Kini tiga Martawangsa itu sibuk berdiskusi perihal lomba semarak kemerdekaan.
***
Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, hampir semua peserta berkumpul di Mantra Coffee. Dirga mulai berdiri di depan mereka semua.
"Jadi gini ...."
"Yaudah yok, gas. Lomba, kan? Kelamaan pidato kek tikus negara kekeke," celetuk Uchul.
Dirga menatap Uchul. "Yaudah." Ia membaca selembaran kertas yang berisi daftar kelompok dan juga lomba. "Kelompok pertama, Mantra. Gua, Andis, Ajay, Tama, sama--Tirta."
"No!" Tirta tak setuju. "Gua berlima sama anggota Dharma! Gua, Uchul, Septa, Tara, Kei."
"Tara masuk Peti Hitam, Bos!" celetuk Emil. "Gua, Bayu, Tara, Suro, sama Bang Mika."
"Jengjot ini kelompoknya, jir, kalo lima," sambung Andis.
"Dibuat jadi empat aja." Kei mulai membuka suara. "Mantra. Dirga, Andis, Ajay, Tama. Peti Hitam. Emil, Bayu, Wengi, Tara. Dharma. Gua, Septa, Tirta, Tomo."
"Eh, gua gimana?" tanya Frinza.
"Musafir. Frinza, Abet, Mas Mikail, sama Mas Gemma," lanjut Kei.
Mikail berdiri. "Aku cuma nonton. Ini aja nih dia yang ikutan lomba." Ia menunjuk Arka, kembaran Andis yang dalam cerita Mantra Coffee diceritakan sudah mati sejak Andis kecil.
"Nah. Udah pas tuh! Cewek-cewek jadi panitia!" ucap Mila. Arka menjadi pemain keempat dari tim musafir.
Di sana ada Karmila, Aqilla, Senja, Sarah dan juga Ronggeng. Mereka adalah panitia perlombaan.
"Aqilla jangan mihak ke Tama!"
Aqilla menatap Mila. "Enggak dipihak juga menang kok."
***
Hari semakin siang. Lomba pembuka pada ajang kompetisi ini adalah balap karung. Emil, Uchul, Ajay, dan Abet yang akan turun pada kesempatan pembuka ini, menentukan poin dari tim mereka.
Pemenang akan mendapatkan 3 poin, juara dua akan mendapat 2 poin, juara tiga menadapat 1 point, dan juara terakhir tidak menadapatkan poin.
Keempat peserta sudah berdiri sejajar dan mengenakan karung. Aqilla memberikan aba-aba. "Tiga, dua, satu! Go!"
Mereka semua mulai melompat. Ajay berada di urutan pertama, Abet kedua, Emil ketiga, dan Uchul terakhir.
"Kekeke." Seringai itu terpampang di wajahnya. "Ketika posisinya sejajar dengan Emil, Uchul menyenggol perwakilan dari Peti Hitam itu."
"Anak setan!" Emil tersungkur di tanah. Semua orang menertawakannya. Tentu saja selain Peti Hitam. Bayu melakukan protes keras pada wasit, tetapi Aqilla tak melihat itu adalah pelanggaran. Baginya, cowok selalu kasar, dan memang begitulah mereka. Berbeda jika Tama yang tersungkur di posisi Emil. Mungkin itu adalah sebuah pelanggaran untuk tim Dharma.
Uchul mulai menunjukkan taringnya, ia membalap semua orang sampai berada di posisi satu.
"Woy! Itu kagak dipake dah karungnya!" Ajay protes melihat Uchul yang berlari dengan kedua kakinya. Sebenarnya waktu menjatuhnya Emil, Uchul menendangnya, bukan menyenggol.
"Bangsat! Anak dajjal!" Emil melepaskan karung miliknya juga dan berlari mengejar ketertinggalan.
"Lagi juga--ini balap karung apaan dah? Jaraknya enggak masuk akal!" protes Abet.
Memang, pada lomba ini jarak dari garis awal ke garis akhir sekitar tiga ratus meter. Pada akhirnya Emil membalap Abet dan Ajay yang masih sibuk melompat-lompat mempertahankan harga diri mereka terhadap lomba balap karung ini. Emil menatap lurus ke arah punggung Uchul.
"Kekeke kabur! Dikejar macan." Uchul meledek Emil.
Emil yang emosi, melepaskan wujud Cindaku. Dengan keempat kakinya, ia berlari sangat cepat. "Curang!" Uchul terlihat panik.
Ketika Emil dekat dengan posisi Uchul. Ia menatap wajah Uchul yang menadadak berubah. Dari panik, menjadi menyeringai. Penutup matanya sudah terlepas. "Bercanda," ucapnya dengan nada yang menyebalkan. "Suratma total." Ia menyentuh Emil dan membuangnya ke Alam Suratma.
Lomba balap karung. Intinya, peserta harus membawa karung milik mereka menuju finish. Tak masalah dengan cara apa pun. Uchul berada di posisi 1, Ajay di posisi 2, Abet di posisi 3, dan Emil di posisi terakhir, ia tak pernah menginjak garis akhir.
"Curang!" Bayu melakukan protes pada Aqilla, tetapi Tara melerainya. "Udah, Bay. Keputusan wasit itu mutlak. Kita masih bisa curi poin lain." Tara menenangkan Bayu sambil menatap mata Aqilla yang membuatnya merasa tenang. "Maafin, Bayu, ya," ucap Tara pada Aqilla. Aqilla hanya menganggukkan kepala.
Tara berjalan kembali pada timnya. Wajahnya berubah menjadi wajah seorang pembunuh. "Kalo si Tama yang turun--serahin ke gua," ucap Tara memberikan tekanan yang membuat Bayu dan Wengi merinding.
Lomba selanjutnya adalah lomba menggigit koin di semangka yang berlumuran balsem.
"Yang bener aja! Balsem?" ucap Tara. "Orang bodoh mana yang mau jilatin balsem?"
Dharma melempar Septa sebagai utusan. Musafir membawa Gemma. Sementara Mantra dan Peti Hitam belum memberikan perwakilan.
"Lu aja, Bay." Tara melirik Bayu.
"Ah ogah!"
Wengi akhirnya berdiri. "Gua deh." Ia berjalan bersamaan dengan Andis dari Mantra. Kini keempat orang itu sudah berdiri pada semangka yang tergantung di hadapannya.
"Giliran yang begini dikasih gua," gerutu Andis.
Mila menjadi wasit pertandingan ini. "Ready ... go!"
Belum juga kering mulut Mila. Gemma berdiri di hadapannya menggenggam seluruh koin. Semua mata menatap Kakak tertua Martawangsa milik Broto itu degan raut wajah yang bingung.
Sebelumnya, Gemma mengenakan topeng Panji ketika Mila memberikan aba-aba, ia memperlambat waktu di sekitarnya. Ketika semua orang bergerak lambat, Gemma menyelesaikan lomba itu bertepatan dengan berakhirnya ucapan Mila.
"Cu-curang!" ucap Mila. "Pasti pakai tangan, kan?"
Gemma memicingkan matanya. "Mau mencobanya sendiri, nona?" Kini Mila menatap bibir sexy milik Gemma sambil meneguk ludah, ia menerawang jauh.
"Bedebah gila!" teriak Dirga dari kejauhan.
"Ah, jadi itu--penyebab semua masalah di keluarga Martawangsa?" tanya Tara pada Bayu. "Bermula dari kecemburuan."
"Mana gua tau. Keluarga gua aja beda sama mereka. Cuma Marganya aja yang sama."
Di sisi lain. Perlombaan masih terus berlangsung. Seluruh peserta terlihat kepanasan, dan memegangi bibir mereka, kecuali Wengi. Orang itu--tidak merasakan sakit.
Pada akhirnya, Wengi keluar sebagai juara dua, disusul Septa di posisi ketiga, dan Andis posisi terakhir. Total perolehan poin sementara adalah, 4 poin untuk Dharma dan juga Musafir. Sementara 2 poin untuk Mantra dan Peti Hitam.
Lomba selanjutnya adalah siapa cepat dia dapat. Peserta harus menduduki kursi setelah lagu selesai berputar. Setiap ronde akan ada satu pemain yang tidak akan mendapatkan jatah kursi. Orang yang tidak mendapatkan jatah kursi, akan keluar dari arena.
Tama, Kei, Tara, dan Arka berdiri membuat lingkaran. Sarah memainkan piano, dan keempat pemain saling memutari tiga kursi yang terpampang di tengah lingkaran mereka. Tak ada yang kehilangan fokus, semua memasang telinga dan mata mereka tajam-tajam. Begitu lagu berhenti, seluruh pemain berlari menuju kursi terdekat.
"Berhenti."
Namun, tiba-tiba gerakan mereka semua terhenti. Kei Yudistira, pria itu telah menatap seluruh mata peserta lainnya. Ia memberikan titah dengan matanya yang kini beriris biru muda. Kei duduk sambil menatap ketiga peserta yang diam mematung menatapnya. Sang Raja menggerakkan tangan kanannya, ia tersenyum sembari menjentikkan jarinya. Kini ketiga peserta mampu bergerak kembali, dan saling memperebutkan kursi yang tersisa.
"Ah elah!" pekik Arka. "Baru juga dapet giliran tampil. Langsung kalah aja. Males. Bau beli trek aja." Ia berjalan keluar arena.
Putaran kedua berlanjut dengan dua kursi di tengah lingkaran. Tama dan juga Tara menutup telinga mereka agar tak terpengaruh dengan Kei. Lagu mulai dimainkan oleh Sarah, mereka mulai berputar mengitari kursi. Kei tiba-tiba saja bergerak maju. Sejujurnya Tama dan Tara tak mendengar musik yang dimainkan oleh Sarah. Pergerakan lambat Kei menjadi acuan mereka untuk mengambil tindakan. Kini mereka berdua duduk, menyisakan Kei yang terlambat mendapatkan kursi kosong.
Tara dan Tama membuka telinga mereka. Lagu itu masih berputar. "Selamat, kepada kalian berdua," ucap Kei sambil bertepuk tangan. "Dan--terimakasih." Dilanjutkan dengan senyumnya.
Kei menjebak kedua orang bodoh itu dengan sedikit tipuan. Sejatinya, Tama dan Tara hanya memiliki dua pilihan saat itu. Diam dan dilucuti oleh Kei sampai habis tak tersisa, atau melawan balik, tetapi membuang indera pendengaran mereka, dan berpacu pada gerak-gerik Kei. Namun, pria ngantuk itu berhasil menjebak Tara dan Tama dengan sangat mudah, membuat kedua lawannya didiskualifikasi.
Kini Dharma unggul dengan 7 poin, disusul Musafir dengan perolehan 4 poin. Terakhir Peti Hitam dan Mantra yang sama-sama memperoleh 3 poin saja. Tara dan Tama hanya mampu membawa masing-masing 1 poin saja untuk tim mereka.
Dilanjutkan dengan lomba terakhir, yaitu adu panco. Kini kandidat yang tersisa tinggal Tirta, Dirga, Bayu, dan Frinza. Pertandingan antar Martawangsa.
Sistem adu panco sendiri menggunakan sistem gugur. Di mana dua orang yang menang di ronde awal, akan memperebutkan juara 1 dan 2. Sementara dua pemain yang kalah akan bertanding kembali memperebutkan posisi 3. Frinza mengadapi Bayu, dan Dirga melawan kembarannya.
'Harapan Peti Hitam cuma tinggal gua'
Bayu memfokuskan dirinya. Ia menghela napas dan mulai menjabat tangan Frinza di atas sebuah meja. Begitu Senja memberikan aba-aba dimulainya pertandingan. Bayu terbelalak. Punggung tangannya sudah menyentuh meja.
"Pe-pemenangnya adalah, Kak Frinza," ucap Senja.
"T-tunggu! Belom siap." Bayu melakukan protes.
"Kasih dia kesempatan." Frinza menatap ke arah Senja dan tak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
Pertandingan akhirnya diulang, tetapi hasilnya sama. Bayu kalah saat baru memulai pertandingan. Dirga dan Tirta meneguk ludah, mereka menatap Kakaknya yang seperti monster.
'Bayu itu kuat, tapi ....' Dirga tak dapat mencerna itu semua.
"Enggak usah dipikirin," ucap Tirta membaca isi pikiran Dirga. "Toh, nanti lu lawan Bayu. Bukan Frinza."
"Hahaha keras juga itu mulut." Kini mereka saling menjabat tangannya di atas meja. Begitu aba-aba dimulai, Dirga dan Tirta mati-matian saling menjatuhkan. Tak seperti pertandingan sebelumnya yang berat sebelah. Kali ini benar-benar pertandingan yang tak bisa diprediksi hasilnya.
Dirga diam-diam menggunakan Braja untuk membuat Tirta terkejut sepersekian detik, tetapi bukannya menjadi sebuah keunggulan, justru membuat Tirta tersenyum. "Klasik," ucap Tirta.
Tirta merupakan pengendali atma terbaik sejauh ini. Memang ia tak kuat dan menonjol seperti karakter lain, tetapi dalam kontrolnya, Tirta lebih unggul dari siapa pun. Braja, teknik itu tak bisa menembus atma yang menyelimuti Tirta.
Kini pengendali atma terbaik itu memusatkan atma pada tangan kanannya. Ia membanting tangan Dirga ke meja, membuat sedikit retakkan pada meja kayu milik Mantra Coffee yang menjadi arena panco. Dirga harus puas dengan hasil itu, kini ia dan Bayu akan saling memperebutkan gelar pecundang sejati, mengingat Mantra dan Peti Hitam berada pada posisi terbawah, dan juga memiliki jumlah poin yang sama.
Pertandingan memperebutkan juara tiga akhirnya dimulai. Dirga dan Bayu saling berhadapan. Mereka seakan menjadi pemeran utama dalam pertandingan terakhir ini. Bagaimana tidak? Yang kalah akan benar-benar menjadi pecundang sejati.
Dirga dan Bayu akhirnya memulai adu panconya. Mereka tak ada yang mau mengalah, tak ada pergerakan di antara mereka, dari segi kekuatan, mereka imbang. Hingga pada satu momen, tangan kiri Bayu bergerak, ia menampar wajah Dirga. Tentu saja semua orang kaget melihat itu, terutama Dirga.
"Bajingan." Dirga membalasnya. Ia memukul wajah Bayu.
"Berengsek." Bayu menampar wajah Dirga lagi. Kini mereka sedang melakukan adu panco sekaligus adu tampar.
Saking sengitnya, panitia yang bosan, memutuskan untuk langsung menggelar partai final adu panco. Namun, itu juga terlalu membosankan. Karena lagi-lagi, Frinza menang dengan mudah. Sehingga mereka semua kembali pada pertandingan tampar-tamparan Dirga dan Bayu.
Skor akhir dimenangkan oleh Dharma dengan torehan 9 poin, lalu di bawah mereka ada Musafir, dengan torehan 7 poin. Diikuti oleh mantra dengan 5 poin. Terakhir 4 poin untuk Peti Hitam sebagai posisi terakhir karena Bayu didiskualifikasi.
Setelah pertandingan itu, semua orang pulang dengan wajah yang cukup puas. Lomba ini biar pun tak berbentuk lagi, tapi setidaknya cukup menggelitik mereka semua. Hanya tingga delapan orang tersisa di Mantra. Tentu saja empat penggawa kafe, ditambah Aqilla, Mila, Sarah, dan Senja.
"Terakhir yuk. Lomba berdua-berdua." Dirga ingin menutup hari ini dengan pertandingan pasangan. Ia naik ke lantai atas dan mengambil empat pasang sendal bakiak panjang.
"Balapan bakiak?" tanya Aqilla.
"Berani enggak?" ledek Dirga.
Aqilla mendekat pada Tama. "Berani!"
Sarah menatap Aqilla yang sedang menggandeng Tama. "Enggak usah galau. Kita sama-sama jomblo. Enggak ada salahnya, kan, kita bentuk tim?"
Sarah tersenyum getir sambil menyisir rambutnya yang menghalangi pandangan ke belakang telinga. "Ayok," balasnya sambil tersenyum pada Andis. Ia meletakkan syal birunya di atas meja.
Kini keempat pasangan itu berdiri sejajar. Pria berada di depan, dan wanitanya di belakang. "Satu, dua, tiga, mulai!" Dirga dan Mila mulai melangkah, mereka yang memberikan aba-aba. Jadi mereka mencuri strart.
"Curang!" Aqilla mulai mengikuti pergerakan Tama untuk mengejar Dirga.
Ajay dan Andis tak mau kalah. Kini mereka semua saling memainkan temponya. Hingga Dirga tersusul oleh semua orang, ia dan Mila kini tertinggal di belakang. "Dirga! Pelan-pelan atuh. Mila teh keserimpet mulu."
"Mila! Ini balapan. Pelan-pelan gimana si? Masa pelan-pelan."
Sementara pasangan lolipop itu berdebat. Ajay dan Senja mulai menurunkan temponya. "Jar, kamu enggak apa-apa?"
"Sesek napas."
"Duh kumat!" Senja menjadi was-was.
Ajay menghentikan langkahnya dan terkapar di lantai memegangi dadanya yang sesak.
Tersisa dua kandidat lagi. Andis dan Sarah, mereka memiliki moviasi untuk mengalahkan kedua orang yang memimpin. Andis, orang ini adalah titisan Uchul si anak Dajjal. Demi Sarah, ia menghalalkan segala cara untuk menang, termasuk melempar kecoa mainan hingga menyentuh leher Aqilla, dan berakhir masuk sebagian pada kerah belakang kaos wanita itu.
"Apaan nih?" Aqilla mengambil benda yang menyangkut di kerah belakang kaos putihnya.
"KECOA!" Ia menjambak rambut Tama hingga membuat pria tampan itu berwajah jelek karena menahan sakit yang mendadak.
"Permampusan!" Andis mulai membalap pasangan histeris yang wanitanya mendadak psikopat itu. Pada akhirnya, dua jomblo itu memenangkan pertandingan terakhir ini.
***
"Absurd," ucap Dirga.
"Parah," balas Andis.
"Gila sih," sambung Ajay.
"...," tutur Tama.
Keempat sahabat itu berbaring di halaman samping sambil menatap balik ke arah langit senja yang sedang memandang mereka.
"Orang-orang pada sakit anjir!" Dirga beranjak dari posisinya.
"Untung seru--dikit." Andis beranjak dari posisinya.
"Enggak jelas sih." Ajay beranjak dari posisinya.
"...." Tama beranjak dari posisinya.
Mereka berempat masuk ke dalam Mantra Coffee. Mungkin karena lelah, mereka berempat memutuskan untuk beristirahat.
.
.
.
.
.
.
"Woy!"
"WOY!"
"Ini di mana dah?!"
"UCHUL! GUA DI MANA INI!"
"CHUL TOLONG!"
*** END ***
Enggak jelas wkwkwkwk bodo amat. Cuma--kangen lomba 17 belasan aja :')
Thanks Covid - 19
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA.
Sekali merdeka tetap merdeka! Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh!
https://youtu.be/2NNHIgIZh6U
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top