8. Bye Bye Pipi

Hawa dingin pada pagi keesokan harinya menerpa tubuh Gempa yang hanya terbalut kaus armless warna cokelat tua. Selimut tipis yang dipakai Gempa tidak sanggup membendung hawa sejuk di dalam kamar tidurnya.

"Brrr ...." Gempa yang baru saja terjaga dari tidurnya pun menggigil kedinginan. Apa yang dirasakan Gempa bisa disamakan sewaktu ia membuka freezer. Kamar tidurnya yang berbagi dengan Halilintar dan Taufan benar-benar sejuk sampai terasa ke tulang.

Netra cokelat Gempa menemukan sebuah kipas angin yang menyala tepat di bawah AC kamarnya. Hembusan angin dari AC kamar itu diperkuat dengan kipas angin berbahan logam yang menyala dengan kekuatan penuh.

Memang kipas angin itu mengarah pada sebuah ranjang bersprei biru gelap yang biasa dihuni oleh kakak kembarnya, Taufan. Namun tetap saja efek hembusan kipas angin itu terasa sampai ke ranjang Gempa.

"Astaga Taufan," keluh Gempa sembari mendorong tubuhnya untuk duduk di atas ranjang miliknya. "Hanya kamu di rumah ini yang ngga pernah masuk angin. Nama yang diberikan ayah memang cocok untukmu."

Sebelum dirinya tersiksa oleh hawa dingin yang terasa sampai ke tulang, Gempa langsung bangkit berdiri. Secepat mungkin ia merapikan ranjangnya dan melarikan diri dari kamarnya sendiri sebelum ia mati beku di dalam kamar yang sejuknya menandingi lemari es.

Bahkan hawa diluar kamar terasa hangat di kulit Gempa. Padahal kawasan Pulau Rintis termasuk daerah yang cukup sejuk karena hembusan angin dari laut. Waktu pada ponsel milik Gempa pun menunjukkan pukul empat pagi, yang artinya suhu udara sedang pada titik terendah.

"Ngga heran Halilintar sering mengeluh masuk angin," gumam Gempa seorang diri selagi ia berjalan menyusuri lorong kecil yang menghubungkan tiga buah kamar tidur di rumahnya itu.

Mendadak langkah Gempa terhenti. Indera pendengarannya menangkap suara-suara lembut yang berasal dari lantai bawah rumahnya. "Bukan suara siaran televisi ...." Gempa mengerenyitkan dahi. Ia memicingkan mata sembari menolehkan kepalanya untuk mendengar lebih jelas suara-suara yang mampir di telinganya.

Entah mengapa Gempa tidak merasa asing dengan suara-suara dari televisi yang mampir di indera pendengarannya. "Kayaknya aku pernah dengar ... tapi dimana ya ...?" gumam Gempa mencari jawaban sementara ia berjalan mendekati tangga rumah.

Dengan langkah perlahan dan hati-hati Gempa menuruni tangga rumahnya. Suara televisi yang didengar Gempa pun semakin jelas ketika dirinya berada di lantai pertama rumahnya.

Kilauan cahaya dari televisi yang menyala dan suara-suara adegan laga dari televisi menjadi penanda bahwa ada yang bangun lebih awal daripada Gempa. Antara bangun lebih awal atau malah belum tidur dari semalam.

Oleh karena itulah Gempa melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Gempa melihat salah satu dari keempat adiknya tengah terpaku di depan televisi. Dari belakang Gempa tidak bisa mengenali siapa yang tengah bermain Playstation2 pada pagi-pagi buta raya seperti itu. Dari belakang sofa pun Gempa tidak bisa mengetahui baju apa yang dipakai salah satu adiknya itu sehingga sulit bagi Gempa untuk mengenali secara pasti.

Gempa mendekati sofa di ruang tengah itu untuk memeriksa lebih dekat lagi.

Baju tanktop merah tua, celana pendek hitam dan manik netra oranye menjadi jawaban atas pertanyaan Gempa.

"Blaze?" panggil Gempa seraya menepuk pundak adiknya.

"Wuaa! Zombie!" Si adik yang ternyata adalah Blaze tersentak kaget. Joystick PS2 yang tengah berada dalam genggamannya pun terlepas. "Astaga Kak Gem bikin kaget. Mana aku lagi main Resident Evil pula!" ketus Blaze sembari mengelus dadanya. Degup jantungnya kencang dan tak beraturan.

Blaze tidak sendirian di atas sofa. Di sebelah kirinya terlihat Solar yang meringkuk, tertidur pulas. Namun yang membuat Gempa berwajah masam adalah Pipi yang tertidur di sebelah kanan Blaze.

"Blaze, kamu ngajak Pipi begadang?" desis Gempa sambil melirik ke arah Pipi yang tertidur pulas.

"Ngga!" jawab Blaze dengan cepat. "Aku ngga ngajak Pipi bergadang, cuma lupa membawa Pipi ke kamar!"

Gempa menggelengkan kepalanya. "Bagus sekali alasan ngga masuk akalmu itu, Blaze," gerutu Gempa. Ia berniat membawa Pipi yang tertidur ke kamarnya namun Gempa juga enggan mengusik si bocah yang tengah lelap dengan menggunakan paha Blaze sebagai bantal. "Ah ya sudahlah, biarkan dia tidur tenang," ucap Gempa yang lanjut berjalan menuju dapur.

"Kamu mau sarapan apa Blaze?" tanya Gempa dari dalam dapur. Ia meraih celemek pink kebanggaannya yang tergantung pada tembok dapur dan memasang celemek itu pada tubuhnya.

"Bubur saja Kak." Jawaban Blaze terdengar dari ruang tengah.

"Okee." Mulailah Gempa memasak sarapan untuk kedua kakaknya, adik-adiknya dan tentunya Pipi.

Nasi sisa makan malam kemarin dimasukkan ke dalam sebuah panci yang berukuran besar. Ke dalam panci itu Gempa juga memasukkan beras yang dirasanya cukup untuk mengisi perut semua penghuni rumah itu.

Nasi bercampur beras di dalam panci itu kemudian dicampur dengan air sebelum direbus oleh Gempa. Untuk memperkuat rasa bubur yang dimasaknya, Gempa memasukkan tiga sendok bumbu kaldu ayam, sesendok penyedap rasa, dan sedikit garam.

Sembari menunggu nasi yang direbusnya berubah menjadi bubur, Gempa menonton karakter game yang tengah dimainkan Blaze beraksi di televisi.

"Tumben kamu main di ruang tengah. TV di kamarmu rusak, Blaze?" tanya Gempa.

"Semalam Thorn nonton film DVD, makanya aku main di sini." Blaze menjawab tanpa menoleh ke arah Gempa.

"Lalu Pipi?"

"Kalau ngga salah dia tidur jam satu pagi."

Gempa mendengus kesal. Ingin rasanya ia menjitak adiknya yang satu itu, namun Gempa memutuskan untuk tidak membuat keributan dengan Blaze. Masih terlalu pagi untuk membuat saudara-saudara Gempa yang lain dan Pipi terbangun.

"Kamu ngajak Pipi main Resident Evil?" Gempa lanjut bertanya.

"Oh ngga kok. Cuma main Tekken saja," jawab Blaze, "Ngga sangka Pipi jago juga mainnya."

Gempa menggelengkan kepalanya. "Kamu yang tanggung jawab kalau Pipi minta Playstation2 atau Playsyation3 ke bapaknya ya," komentar Gempa sebelum ia melanjutkan acara memasaknya.

"Alamak." Blaze menepuk dahinya. Barulah Blaze sadar bahwa ia telah membuka pintu gerbang menuju dunia game untuk Pipi. "Aduuuh. Kalau dia betulan minta Playstation gimana nih kak?"

"Urusanmu lah Blaze. Kamu yang ngajak dia main game, 'kan?" Gempa bertanya balik sembari mengaduk-aduk nasi yang sedang direbusnya. Untuk mencegah nasi yang sesang dimasak menjadi bubur itu gosong, Gempa menambahkan air ke dalam masakannya itu.

"Ehm. Mungkin juga ngga sih. Ah sudahlah. Mending aku cari mesin tik lalu save game ini," gumam Blaze sembari melanjutkan bermain game.

Seperti apa yang ia ucapkan, Blaze segera menyelesaikan permainannya. Dengan hati-hati ia menggeser posisi kepala Pipi dari paha kanannya dan meletakkan kepala bocah itu di atas sofa. Tanpa membuang waktu, Blaze langsung mencabut semua kabel yang menghubungkan Playstation2nya dengan televisi dan merapikan konsol gamenya itu.

Dengan membawa konsol Playstation2nya, Blaze berjalan menuju tangga rumah. Ia berpapasan dengan seorang kakaknya ketika menaiki tangga rumah. "Pagi Kak Hali," tegur Blaze.

"Hmh ... pagi Blaze," balas Halilintar tanpa menghentikan langkahnya. Jangankan menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Blaze pun tidak. Halilintar berjalan menuruni tangga dan melewati adiknya begitu saja.

Seperti biasanya, Halilintar bukanlah tipe morning person. Si kakak tertua cenderung uring-uringan di pagi hari apalagi jika ia terbangun pada pagi-pagi buta raya seperti sekarang ini.

Karena itulah Blaze yang memaklumi kebiasaan Halilintar memilih untuk tidak mencari perkara dengan si kakak tertua. Memang Blaze adalah yang terjahil di rumah itu, tapi mencari perkara pagi-pagi buta raya dengan Halilintar adalah salah satu yang pantang dikerjakan di dalam agenda hidupnya.

Suara langkah Halilintar terdengar berdebum lembut menuruni tangga rumah yang beralaskan parket kayu. Bahkan Gempa yang berada di dalam dapur dapat mendengar suara langkah Halilintar.

Sampailah Halilintar pada anak tangga terakhir. Seusai menuruni tangga, ia langsung melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mendapatkan asupan kafein yang sangat ia butuhkan pada awal pagi hari itu.

Dari sudut netra merah rubinya Halilintar melihat ada sesuatu berbentuk bulatan berwarna hitam mendadak menyembul dari balik sofa yang ia lalui. "WUAAH! HANTU!" jerit Halilintar yang terkejut melihat bayangan hitam di tengah remang-remang kegelapan pagi itu.

"Kak, ini aku, Solar!" ketus Solar yang baru saja bangun dan kini duduk di sofa. "Orang seganteng aku dibilang hantu," gerutu si adik terkecil sembari menggaruki kepalanya yang berambut acak-acakan.

"Astaga!" Halilintar mengelus-elus dadanya. Jantungnya terasa berdegup kencang dan tidak beraturan. "Bertuah punya adik!" geram Halilintar yang kesal karena dibuat sport jantung pagi-pagi buta raya oleh Solar.

Keributan kecil itu membuat seorang lagi terjaga dari tidurnya.

"Huaaahm. Pagi Bang Solar. Eh ada Abang Hali juga," gumam Pipi yang terbangun dan duduk di atas sofa.

"Lho?" Halilintar menatap heran pada bocah yang baru saja terbangun dari tidurnya. "Pipi bergadang?"

"Diajak Abang Blaze main Playstation."

"Oh begituuu." Halilintar mengangguk-anggukkan kepalanya laksana orang bijak. "Pipi mandi dulu di kamar mandi Abang Hali. Air panasnya masih banyak," saran Halilintar sembari menunjuk ke arah tangga rumah.

Tanpa protes dan bahkan dengan antusias Pipi langsung meloncat turun dari sofa yang tengah ia duduki. "Terima kasih Abang Hali," ujar bocah itu dengan riangnya sembari berjalan menuju tangga rumah.

Halilintar yang degup jantungnya masih belum normal melanjutkan berjalan ke dapur. Dengan sedikit tergesa-gesa ia membuat tiga gelas kopi susu instan. Segelas kopi untuk dirinya sendiri, segelas lagi untuk Gempa dan segelas kopi terakhir untuk adiknya yang baru saja bangun. "Solar, ini kopi buatmu," panggil Halilintar dari dalam dapur.

"Waah. Terima kasih kak!" ucap Solar. Menunjukkan bakat kelincahan yang dipelajarinya dari Blaze, Solar langsung melompati sandaran sofa dan berlari menuju dapur.

"Jangan sering-sering begitu, Sol. Nanti-"

"S, O, L, A, R. Solar, Kak Gem. Namaku jangan disingkat," ketus Solar sembari meraih segelas kopi susu yang masih mengepulkan uap dengan hati-hari.

"Ya, Solar. Kalau tadi kamu tersandung bagaimana? Rusak nanti lantai rumah dicium mukamu." Gempa berkomentar sembari memasukkan bahan-bahan pelengkap bubur yang sedang dimasaknya.

Solar memutar bola matanya ke atas dan menyeruput kopi susu buatan Halilintar. "Aku memang tebal muka, tapi bukan berarti mukaku keras," gerutu Solar seusai menyeruput kopi susunya.

Gempa membalas dengan mengedikkan bahunya dan melanjutkan memasak sarapan untuk semua saudara-saudaranya.

Tidak lama berselang ketika terdengar suara langkah kaki yang berdebum-debum dari lantai atas rumah. Pertanda bahwa seisi rumah telah terbangun dari tidurnya.

Yang pertama tiba di lantai bawah untuk sarapan adalah Taufan, disusul oleh Thorn, Blaze, Ice dan Pipi. Tanpa disuruh pun mereka semua mengambil bangku masing-masing mengelilingi meja makan.

"A-apa ini Gem?" tanya Taufan. Kedua kelopak matanya mengedip cepat selagi ia memperhatikan bubur yang disajikan oleh Gempa. Bukan buburnya yang membuat Taufan kebingungan, namun bahan pelengkap bubur itu yang membuat Taufan bingung.

Alih-alih serpihan daging ayam, bubur buatan Gempa itu dipenuhi potongan-potongan benda berwarna putih kehijauan.

Ice yang melihat bubur buatan kakaknya itu langsung meringis dan memijit-mijit kepalanya yang terasa berdenyut-denyut.

"Nah. Ini bubur brokoli hasil eksperimenku," ujar Gempa dengan penuh kebanggaan sembari bertolak pinggang.

Reaksi yang diterima Gempa pun beragam. Ice, dan Taufan mendadak muram. Thorn dan Pipi tersenyum lebar. Halilintar, Blaze, dan Solar tidak menunjukkan respon apa pun kecuali langsung menyendokkan bubur brokoli buatan Gempa itu ke dalam piring masing-masing.

"Waaah. Bubur brokolinya enak," komentar Pipi setelah mencicipi masakan baru buatan Gempa.

"Ya, enak kalau sudah ngga makan berhari-hari," gumam Ice setelah mencicipi bubur buatan Gempa. Setelah menelan sesendok bubur brokoli, Ice langsung meminum seteguk air untuk mendorong bubur yang dianggapnya tidak layak dimakan itu masuk ke dalam perutnya. "Matilah aku kalau tiap hari makan beginian ...."

"Ice," panggil Gempa sambil melirik pada Ice. "Nanti malam kamu makan sate wortel."

Ice kontan membelalak horor. "Tidaaaaaak," rengeknya dengan berlinang air mata.

"Sabar Ice." Taufan menepuk-nepuk pundak adiknya yang tengah muram. "Toh bagus buat kesehatanmu," ucap Taufan sebelum dengan berat hati menyantap bubur brokoli buatan Gempa.

Gempa tersenyum lebar. "Betul itu, Taufan. Nanti malam kamu temani Ice ya, makan sate wortel."

"Ohokk!" Taufan terbatuk-batuk. "A-apa? Aku makan sate wortel juga?"

"Yap. Nanti malam kubuatkan spesial untuk kalian berdua." Senyuman lebar Gempa tidak bisa meyakinkan Taufan atau Ice yang malah terlihat semakin muram.

Setelah sarapan, Taufan bersama Halilintar membereskan dan mengemas barang-barang milik Pipi yang masih ada di kamar mereka. Semua baju kotor Pipi yang sudah dilipat rapi dimasukkan kedalam kantung plastik. Begitu juga dengan peralatan mandi yang dibawa Pipi ketika ia menginap di rumah itu.

"Menyenangkan juga ada Pipi di rumah ini ya, Hali?" tanya Taufan selagi ia memeriksa kamarnya dan mencari barang-barang milik Pipi yang mungkin tertinggal. Begitu telitinya Taufan sampai ia memeriksa bagian bawah ranjang milik Halilintar, Gempa, dan miliknya sendiri.

"Ya, aku bosan melihat adikku cowok semua." Halilintar berkomentar selagi memperhatikan Taufan yang tengah memeriksa bagian bawah ranjangnya.

Taufan tercengang dramatis mendengar kata-kata Halilintar. Mulut remaja bernetra biru safir itu membuka dan kelopak matanya membuka lebar pula. "Kamu bosan dengan adik-adikmu?"

"Aku bosan dengan adik cowok."

"Hali, memang adikmu cowok semua. Apa perlu Blaze atau Solar kudandani jadi cewek supaya kamu ngga bosan?" ujar Taufan sekenanya tanpa berpikir panjang.

Halilintar terdiam. Ia memikirkan apa Taufan baru saja ucapkan.

"Alamak aku salah ngomong." Taufan buru-buru mengkoreksi kata-katanya. "Jangan dengar kara-kataku yang tadi!"

"Yah rencana buat lain kali." Halilintar tersenyum tipis. Ia mengangkat semua barang-barang milik Pipi yang dudah dikemasi dan berjalan menuju pintu kamar. "Ayo Fan. Sebentar lagi Pipi pasti dijemput."

"Jangan! Hapus rencana itu dari otakmu!" seru Taufan sembari berlari mengejar Halilintar. "Haliiii! Tungguuuu!"
.

.

.
"Terima kasih wahai anak-anak murid kebenaran. Terima kasih sudah mau menjaga anak Cikgu Papa ini," ucap Papa Zola ketika ia dan Mama Zila menjemput Pipi pagi itu setelah sarapan.

Pipi sendiri sudah berada di antara kedua orangtuanya. Bocah itu terlihat sedikit murung harus berpisah dengan ketujuh abang angkatnya selama dua hari itu.

"Sama-sama Cikgu," balas Gempa mewakili semua saudara-saudaranya. Dari dalam sakunya Gempa mengeluarkan sebuah amplop yang ia serahkan kepada Mama Zila. "Ini sisa uang belanja Pipi kemarin."

Mama Zila terdiam ketika ia menerima amplop dari Gempa. Secara spontan ibunda Pipi membuka amplop itu dan melihat isinya. Alangkah terkejutnya Mama Zila ketika melihat isinya relatif masih utuh, yang artinya Gempa dan saudara-saudaranya betul-betul hanya mengambil seperlunya saja untuk keperluan Pipi.

"Nak Gempa ...." Mama Zila menghela napas panjang. Sebuah senyuman lembut mengulas di wajah ibunda Pipi yang terlihat sangat senang. "Kamu dan saudaramu ini jujur sekali."

Ketujuh kembar bersaudara bermarga BoBoiBoy itu tersenyum bangga mendengar pujian dari Mama Zila. "Berkat didikan ayah dan kakek kami," ucap Gempa yang disusul anggukkan kepala oleh kedua kakak-kakak dan keempat adik-adiknya.

"Kalau begitu ...." Mama Zila mengeluarkan dompetnya. Ia mengeluarkan tujuh lembar uang seratus Ringgit yang langsung dimasukkan ke dalam amplop yang diserahkan oleh Gempa. "Ambilah. Ini untuk kalian semua jajan," ucap Mama Zila seraya menyerahkan kembali amplop itu kepada Gempa.

Gempa tercengang ketika ia menerima amplop itu dari Mama Zila. "Ah ... te-terima kasih Cikgu," ucap Gempa dengan sedikit menunduk.

"Kalau begitu, saya, Pipi dan Cikgu Papa pamit dulu ya," ucap Mama Zila. "Ayo Pipi, kita pulang."

Pipi memaksakan sebuah senyum dan satu persatu secara bergantian mencium punggung tangan ketujuh abang angkat yang sudah menjaganya selama dua hari. "Pipi pulang dulu ya .... Kapan-kapan Pipi menginap lagi."

Satu persatu pun ketujuh kakak berdik kembar itu memberi wejangan kepada Pipi.

"Ya, Pipi hati-hati ya. Ajak ayah kalau mau naik bus lagi." -Ice.

"Jangan lupa makan sayur." -Gempa

"Jangan ngikutin Abang Taufan nyanyi di kamar mandi." -Halilintar.

"Bernyanyilah waktu mandi pagi, biar lebih semangat." -Taufan.

"Kapan-kapan kita karaoke lagi." -Thorn.

"Kalau menginap lagi, kita buat eksperimen bersama ya?" -Solar.

"Jangan minta Playstation ...." -Blaze.

Mendadak Papa Zola mendelik ke arah Blaze. "Kamu ajari apa anak kebenaran ini?"

Tatapan Papa Zola membuat Blaze meneguk ludah. "Ah. Hanya main game saja, Cikgu."

"Besok jumpa Cikgu di ruang guru, wahai anak muda ...," desis Papa Zola sebelum pergi membawa Pipi dan ibundanya pulang.

Blaze menghela napas panjang. "Habislah aku ...," keluhnya yang hanya bisa pasrah akan diceramahi oleh Papa Zola.

"Ah sudahlah Blaze. Yang penting kita semua dapat jajan ekstra." Gempa memberikan Blaze selembar pecahan seratus Ringgit dan beberapa lembar puluhan Ringgit.

"Terima kasih kak." Senyuman Blaze kembali merekah setelah ia menerima uang hasil dari menjaga Pipi Zola selama dua hari terakhir. "Lumayan aku bisa beli game baru."

Mendadak Ice menarik tangan Thorn dan membawa kakaknya itu pergi. "Ayo Thorn. Kita beli cokelat!" sorak Ice riang.

Kedua netra hijau tua Thorn membelalak berbinar-binar setelahbia mendengar makanan favoritnya. "Ayoooo!" pekik Thorn yang sama riangnya dengan Ice. "Kita beli cokelat dua kilo!"

"Hey! Ice! Thorn! Sini kaliaaan!" teriak Gempa yang langsung mengejar kedua adiknya yang berlari menjauh. "Jangan beli cokelat! Nanti gigi kalian bolong!"

.

.

.
Tamat.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah.

Bertepatan dengan fanfic ini, wattpad saya mencapai angka 1000 follower dalam waktu kurang dari satu tahun. Terima kasih banyak atas dukungan dan support kalian semua. Sebisa mungkin akan saya usahakan menulis sebaik-baiknya untuk para rekan author dan reader semuanya.

Pepatah berkata, "Tiada gading yang tak retak." Tentu saya sebagai author tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila tulisan saya atau karya saya ada yang tidak sesuai dengan ekspektasi para pembaca.

Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.

"Unleash your imagination"

Salam hangat, LightDP.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top