7. Memori

"Habislah." Gempa yang pucat pasi berlari mondar-mandir menelusuri lorong-lorong rak pasar swalayan di tempat ia berbelanja. Keringat dingin pun terlihat menitik di wajah Gempa yang kaku dan tegang.

Bagaimana tidak? Orang yang seharusnya ia jaga bersama dengan Ice kini telah hilang. Pipi Zola, anak dari salah satu gurunya yang seharusnya berada dibawah penjagaan Gempa hilang entah kemana di dalam pasar swalayan.

Luasnya pasar swalayan franchise asing dari Perancis itu mempersulit pencarian Gempa. Dengan tangan yang terkepal erat memegangi ponselnya, Gempa menelusuri barisan-barisan rak yang membentuk lorong dalam pasar swalayan itu.

Dalam alam pemikirannya yang kalut bagaikan benang kusut, Gempa membayangkan dirinya akan harus mempertanggung-jawabkan hilangnya Pipi kepada sang kakak tertua yang pasti mengamuk. Namun hal itu belum seberapa jika dibandingkan dengan amukan kedua orangtua Pipi, Mama Zila dan Papa Zola.

Tiba-tiba ponsel Gempa berbunyi pertanda adanya panggilan yang masuk. Sebelum menjawab panggilan itu, Gempa lebih dahulu melihat nama orang yang memanggil nomer ponselnya.

Nama yang terlihat di layar ponsel miliknya itu membuat Gempa meneguk ludah. Butir-butir Keringat dingin sebesar biji jagung pun menitik di wajah Gempa yang pucat dan tegang.

Dengan jari yang gemetaran Gempa menggeser ikon untuk menjawab panggilan yang masuk itu. "I-iya, Hali? A-ada apa?"

"Gem ...." Suara Halilintar terdengar jelas dari ponsel Gempa. "Kamu masih di pasar swalayan?"

"Ah, masih, masih. A-ada apa?" tanya Gempa sembari berharap dalam hati bahwa Halilintar tidak menyadari perkataannya yang gugup.

"Titip gelas tiga buah," ucap Halilintar yang terdengar diantara keramaian kedai. "Taufan menjatuhkan gelas barusan."

Gempa langsung menghela napas lega. Halilintar belum tahu mengenai hilangnya Pipi, yang artinya Ice tidak menelepon ataupun ditelepon oleh Halilintar. "Syukurlah, nanti kubelikan yang baru."

"Hah?"

Gempa terdiam dan baru saja sadar bahwa ia telah salah berujar.

"Taufan memecahkan gelas kok syukur?" Kebingungan jelas sekali tersirat dibalik ucapan Halilintar.

"Ahahahahah." Gempa tertawa gugup sambil menggaruki kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal. Keringat dingin yang tadinya hanya menitik di wajahnya kini membanjiri sekujur tubuhnya.

"Oke Gem. Ada yang ngga beres ...." Suara Halilintar dengan nada datar terdengar dari ponsel Gempa. "Kamu kenapa? Ice hilang di toilet lagi?"

"Ah! Ngga! Pipi ngga hilang! Cuma ngga ketemu saja!" cicit Gempa yang panik. 'Habislah .... Aku salah ngomong!' batin Gempa di dalam hatinya yang pilu.

Tidak ada jawaban balik dari Halilintar. Hanya suara keramaian kedai saja yang terdengar oleh Gempa melalui ponselnya.

"Ha-Hali?" Gempa memberanikan diri untuk memanggil Halilintar. Walaupun tidak melihat langsung, Gempa bisa membayangkan wajah murka Halilintar. Gempa memang terkenal galak, namun Halilintar yang murka jauh lebih menakutkan lagi, bahkan bagi Gempa sendiri.

"Hali ....?" panggil Gempa lagi dengan sangat hati-hati.

"Hey Gem, ini Taufan. Hali lagi ganti baju." Alih-alih mendengar suara Halilintar, Gempa malah mendengar suara Taufan yang menjawab. "Ada apa sih? Kenapa Hali menggerutu sambil ngomong, mati kau Gempa?"

Gempa meneguk ludahnya. "Ah... itu ... anu ... ehm. Jangan marah ya, Taufan?" ucap Gempa sembari terkekeh gugup.

"Mana pernah aku marah sih Gem?" Pertanyaan Taufan diantara tawa ringannya terdengar dari ponsel Gempa. "Ada apa sebenarnya? Kenapa Hali mendadak tegang?"

"Ah. Pipi ... hilang."

"GEMPA BIN AMATO! APA KAU BILANG?!" Bahkan dari balik ponsel pun teriakan Taufan bisa terdengar jelas. Tidak hanya terdengar jelas, Gempa bisa merasakan suara Taufan yang nyaring dan cempreng itu menusuk gendang telinganya.

"Blaze! Jaga kedai sebentar! Aku dan Hali menyusul Gempa! Pipi hilang!" Begitulah suara Taufan yang terakhir didengar Gempa sebelum sambungan teleponnya diputus sepihak oleh Taufan.

"Habislah ... mampuslah aku," lirih Gempa yang hanya bisa tertunduk lesu dan menunggu malaikat maut datang menjemput dalam wujud kedua kakak tertuanya.

Sepuluh menit kemudian ....

"GEMPA!" hardik Halilintar ketika ia melihat Gempa yang berdiri di lobby utama pasar swalayan tempat ia dan Ice belanja mingguan. Dengan sorotan mata tajam dan dengusan napas berat, Halilintar berjalan mendekati Gempa.

Di belakang Halilintar terlihat pula Taufan yang berwajah masam dan tanpa senyum sama sekali di wajahnya

Mimik muka Gempa yang menanti kedatangan Halilintar dan Taufan di lobby utama pasar swalayan itu terlihat kaku dan tegang. "Si-siang, Hali," ucap Gempa setenang mungkin walaupun ia tahu nyawanya kini berada di ujung tanduk.

"Bagus Gem, Bagus," desis Halilintar sembari mencengkeram pundak adiknya. "Mau bilang apa kamu nanti ke Mama Zila atau Papa Zola, hm?"

"Maaf Hali," lirih Gempa. Ia meringis-ringis kesakitan karena merasakan tangan Halilintar yang mencengkeram pundaknya. Cengkeraman tangan si kakak yang jago karate itu terasa bagaikan cakar besi yang seakan hendak meremuk tulang bahu Gempa.

"Bisa-bisanya kamu ceroboh begini, Gem?" ketus Taufan yang berwajah masam. "Lalu? Mana Ice?" Taufan lanjut bertanya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ice masih di dalam, mencari Pipi!" Gempa nyaris menjerit karena cengkeraman tangan Halilintar. "Hali! Stop! Sakit!"

Halilintar mendenguskan napas sembari melepas cengkeraman tangannya di bahu Gempa. " Ayo kita cari lagi," ketus Halilintar.

"Ngga usah." Tiba-tiba terdengarlah suara Ice. Si empunya suara tengah berjalan keluar dari pintu utama dengan mendorong troli belanjaan. Di samping Ice terlihat Pipi yang memegangi tangan Ice.

Betapa leganya Gempa setelah melihat Pipi yang bersama Ice. "Astaga Pipi! Kemana saja kamu?" Gempa langsung menghampiri Pipi dan Ice.

"Pipi ke toilet, tapi lupa bilang. Pipi kebelet," jawab Pipi dengan wajah tanpa dosa.

"Satu-satunya tempat yang ngga bisa kita cari dan aku ngga bisa masuk." Ice menambahkan penjelasan Pipi. "soalnya Pipi 'kan di toilet perempuan."

"Astaga," keluh Halilintar dan Taufan bersamaan. Air muka keduanya nampak jauh lebih lega setelah Pipi ditemukan.

Halilintar berdehem beberapa kali sebelum ia menatap pada Gempa. "Gem .... Maaf. Aku tadi khawatir dengan Pipi," ucap Halilintar dengan suara lembut yang senada dengan tatapan netra merah rubinya.

"Ya Gem," ucap Taufan yang menyusul Halilintar. "Maaf, aku tadi panik."

Gempa menghela napas panjang. Ia menatap balik pada kedua kakaknya yang baru saja menyatakan maaf kepadanya. "Sudahlah. Aku juga minta maaf, Hali, Taufan," ucap Gempa sembari tersenyum lembut. "Aku juga teledor."

Ice yang memperhatikan interaksi ketiga kakak kembarnya langsung berjongkok dan mendekatkan diri pada Pipi. "Nah, begitulah kalau punya kakak atau adik, Pip. Harus-"

"Ih! Abang Ice ini!" ketus Pipi. "Nama Pipi jangan disingkat dong."

Kontan Ice berdehem dan mengulangi penjelasannya. "Ya, Pipi .... Begitulah kalau punya kakak atau adik. Harus saling memaafkan. Ngga boleh menganggap diri paling benar."

"Begitu ya Abang Ice?" tanya Pipi sambil melihat Halilintar, Gempa, Taufan, lalu pada Ice secara bergantian.

"Ya. Kita harus berani mengakui kesalahan kita dan berani pula meminta maaf. Begitu juga kalau orang lain yang bersalah pada kita." Ice menambahkan pelajaran moralnya kepada Pipi yang terlihat mendengarkan wejangan Ice dengan seksama. "Kita juga harus berani memaafkan dan ngga menyimpan dendam. Kita sendiri nanti yang capek dan lelah kalau mendendam."

"Ooh," gumam Pipi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi kalau kita maafkan masih marah bagaimana?"

"Ngga apa-apa. Intinya kita sudah memaafkan dia. Kalau dia masih marah, ya biarkan saja. Nanti juga baikan lagi."

"Seperti mama dan papa yaaa? Kalau Papa pulang malam." ucap Pipi dengan wajah tanpa dosanya.

Komentar Pipi membuat sebuah sweatdrop menitik di kepala Ice. "Ah ... Itu ...." Bahkan Ice tidak yakin harus seperti apa ia menanggapi komentar Pipi yang polos dan sangat to the point itu. "Bisa jadi, bisa jadi, bisa jadi," komentar Ice sembari menganggukkan kepalanya.

Halilintar, Taufan dan Gempa saling berbincang sebelum pada akhirnya Halilintar terdengar berujar, "Kalau begitu aku dan Taufan kembali ke kedai ya?"

"Ya kak. Maaf sudah merepotkan," balas Ice sembari tersenyum.

"Kita duluan ya Ice. Pipi, Abang Taufan jaga kedai lagi yaaa," ujar Taufan sembari melambaikan tangannya pada Ice dan Pipi.

"Iya Abang Ufan! Hati-hati!" seru Pipi dengan riangnya sambil membalas lambaian tangan Taufan dengan lambaian tangannya sendiri.

Gempa memperhatikan kedua kakaknya yang berjalan menjauh dari pasar swalayan tempatnya berbelanja. Kedua netra cokelatnya terpaku menatap Taufan dan Halilintar sampai kedua kakaknya itu menaiki sebuah bus yang akan membawa mereka kembali ke kedai.

"Fiuhh," ucap Gempa sembari menghela napas lega. Mimik mukanya yang tegang dan kaku segera melemas dan rileks kembali. "Selamat, aku ngga jadi dihajar Hali," gumam Gempa sambil mengusap-usap dadanya.

"Ya, selamat." Di samping Gempa, Ice pun melakukkan hal yang sama. Ia menghela napas lega sambil mengusap dada. "Kupikir bakal habis kita dipasung Kak Hali dan Kak Taufan."

"Ngga cuma mereka Ice." Gempa mengaitkan tangannya di pundak Ice. "Bakal habis kita berdua dipasung ... diganyang orang serumah."

Gempa menolehkan kepala ke arah Pipi yang kebingungan mendengar percakapannya dengan Ice. "Pipi, jangan bilang-bilang Abang Thorn, Blaze, dan Solar ya kalau kamu tadi hilang. Nanti Abang Gempa kena marah sama mereka."

"Oke bang," jawab Pipi dengan antusias. "Sekarang kita pulang?" Tuan putri kebenaran lanjut bertanya.

"Iya. Nanti sore 'kan Abang Gempa harus gantian jaga kedai," ucap Gempa seraya mengulurkan tangan kanannya kepada Pipi. "Ayo kita pulang."

"Iya!" Pipi langsung mengamit tangan Gempa.

Ice mengeluarkan ponsrl miliknya dari dalam saku celananya. "Kalau begitu biar kupesan Grab saja. Belanjaan kita lumayan banyak," ujar Ice sembari membuka kunci layar ponselnya sebelum membuka aplikasi jasa transpotasi online yang dimaksud.

"Apa itu Grab?" tanya Pipi yang masih asing dengan istilah yang baru pertama kali didengarnya.

"Ah, Grab. Seperti taksi tapi kita pesan melalui ponsel," jawab Ice sambil memperlihatkan muka ponselnya kepada Pipi.

Sedikit kekecewaan terlihat di wajah Pipi. "Ngga naik bus lagi?" tanya bocah itu.

Ice menggelengkan kepalanya. "Ngga bisa naik bus, Pipi. Belanjaan kita lumayan banyak, berat juga kalau kita membawanya naik bus."

"Alaaah ...," keluh Pipi dengan pipi yang menggembung. "Pipi mau naik bus lagi."

"Nah begini saja," ujar Ice mengajukan usul, "Biar Kak Gempa naik Grab untuk bawa belanjaan. Aku dan Pipi naik bus."

Gempa mengangguk-anggukkan kepalanya. Usulan dari adiknya itu tidak buruk. Sebuah solusi dimana semua orang mendapatkan apa yang mereka inginkan. Gempa sendiri bisa pulang membawa belanjaan dengan nyaman dan Pipi bisa baik bus lagi.

"Oke kalau begitu. Aku saja yang pesan Grabnya," ucap Gempa sembari mengeluarkan ponselnya sementara Ice membatalkan pesanan Grab atas namanya. "Nah Pipi, kamu pulang dengan Abang Ice ya?"

Senyuman lebar pun mengulas di wajah Pipi. "Horee! Naik bus lagi!" sorak Pipi yang langsung memeluk tangan Ice.

Gempa terkekeh melihat kelakuan Pipi yang membuat Gempa terkenang akan masa lalunya. Walaupun belasan tahun telah berlalu, Gempa masih ingat seperti apa rasanya ketika almarhum kakeknya mengajaknya naik bus umum.

Dengan tatapan hampa Gempa memperhatikan Ice yang tengah menggandeng Pipi berjalan menuju halte bus yang berada di dekat pasar swalayan itu. "Atuk ...," gumam Gempa selagi alam pikiranya mengembara ke masa lalu. Ia menarik napas panjang ketika kenangan indah akan masa lalunya terputar kembali dalam benaknya.

"Ah .... Aku jadi kangen atuk." Sebuah senyuman tipis mengulas di wajah Gempa sementara kedua netra cokelatnya menatap langit yang sedikit kelabu. "Terima kasih Tuk," ucap Gempa dengan sebuah kebanggaan tersirat dibalik kata-katanya.

Walaupun hanya sebentar, keberadaan Pipi itu sudah cukup bagi Gempa untuk bernostalgia menggali ingatan masa lalunya. Bahkan Gempa yakin bahwa bukan hanya dirinya sendiri yang bernostalgia mengenang masa lalu.

Kedatangan sebuah mobil Grab yang dipesan Gempa membuyarkan perjalanan batin yang tengah ditelusurinya. Dengan cekatan Gempa memasukkan seluruh barang yang ia beli ke dalam bagasi mobil Grab yang terparkir.

Setelah seluruh barang belanja mingguan masuk ke dalam bagasi, barulah Gempa masuk ke dalam mobil Grab pesanannya dan pulang ke rumah. Selama perjalanan pulang itu Gempa kembali melanjutkan penelusuran memori dan ingatannya akan masa lalu yang nyaris terlupakan selama ini ....

.

.

.

Bersambung.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah.

Bertepatan dengan chapter ini, wattpad saya mencapai angka 1000 follower dalam waktu kurang dari satu tahun. Terima kasih banyak atas dukungan dan support kalian semua. Sebisa mungkin akan saya usahakan menulis sebaik-baiknya untuk para rekan author dan reader semuanya. Pepatah berkata, "Tiada gading yang tak retak." Tentu saya sebagai author tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila tulisan saya atau karya saya tidak sesuai dengan ekspektasi para pembaca.

Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.

Sampai jumpa lagi pada chapter berikutnya.

"Unleash your imagination"

Salam hangat, LightDP.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top