6. Mama Gempa

Setelah membeli keperluan untuk memasak dan membuat komitmen supaya Ice mau makan sayur, Gempa, Pipi dan Ice sebdiri melanjutkan acara belanja mereka. Lorong demi lorong yang terbentuk oleh barisan rak yang penuh dengan pasar swalayan yang penuh dengan barang dagangan dilewati oleh Gempa, Ice dan Pipi. Ketiganya berhenti ketika sampai pada lorong rak yang berisikan produk kebersihan.

"Nah, Ice ambil pelembut pakaian, Pipi ambil deterjen baju, aku mau beli hanger baru." Gempa membagi tugas kepada dua orang pengikutnya.

"Oke kak," jawab Ice datar. Dia masih tidak terima didakwa harus makan sayur nanti di rumah. Bayangan akan rasa pahit sayur brokoli atau wortel yang akan melewati indera pengecap dan kerongkongannya membuat Ice sesekali bergidik dan berwajah muram.

Tentu saja gerak-gerik dan perubahan drastis air muka Ice itu tidak luput dari perhatian Gempa. Namun untuk saat itu Gempa memilih untuk diam saja dan tidak berbuat apa-apa. Memang ada baiknya jika Ice mengkonsumsi lebih banyak sayur-sayuran, terutama wortel.

Kebiasaan Ice menonton channel Youtube bersama Solar dalam gelap dengan jarak antara mata dan layar laptop yang dekat membuat Ice mulai memiliki masalah yang sama dengan Solar. Tidak jarang Ice mengeluhkan kedua bola matanya yang sering berair atau pengelihatannya yang mulai bermasalah.

Kebetulan sekali ada Pipi yang bisa diberdayakan oleh Gempa untuk membujuk, maka jadilah Ice didesak sampai mau untuk mulai makan sayur.

"Ice," gumam Gempa ketika melihat adiknya yang ia sebut namanya itu kembali dengan membawa sebuah bungkusan plastik. "Yang kamu bawa itu deterjen cair dan pelembut kombinasi, bukan pelembut biasa."

"Memang," jawab Ice seraya memasukkan kantung kemasan plastik yang dibawanya ke dalam troli belanjaan. "Lebih praktis daripada deterjen bubuk dan pelembut yang terpisah."

"Tapi lebih mahal, Ice. Ngga lebih bersih juga," ucap Gempa yang tidak terkesan dengan pilihan adiknya itu. "Lebih bersih deterjen bubuk juga. Sana ambil pelembut biasa." Gempa mengeluarkan Kantung kemasan kombinasi deterjen cair dan pelembut yang sudah berada di dalam troli belanja yang kemudian dikembalikan kepada Ice.

"Ini lebih gampang dipakai kak. Lembut di tangan pula. Deterjen bubuk Kak Gempa bikin kulit tangan jadi pecah-pecah," protes Ice sambil kembali memasukkan kemasan deterjan cair berpelembut itu kembali ke dalam troli belanjaan.

Tepat pada saat yang bersamaan, Pipi kembali dengan membawa sekantung besar deterjen bubuk. Dengan susah payah bocah kecil itu mengangkat dan menyerahkan kemasan berisi deterjen bubuk itu kepada Gempa. "Beratnyaaaa," keluh Pipi setelah deterjen bubuk yang dibawanya itu diambil alih oleh Gempa.

"Nah coba tanya Pipi." Gempa menengok ke arah Pipi. "Kalau di rumah, mama atau papa mencuci baju pakai sabun apa Pipi? bubuk atau cair?"

"Pipi ngga tahu," jawab Pipi sembari menggelengkan kepala.

"Ah sudahlah, pakai deterjen bubuk saja Ice," ucap Gempa seraya memasukkan kemasan deterjen bubuk yang dipegangnya ke dalam troli belanjaan.

"Bagusan deterjen cair kak," protes Ice sembari mengeluarkan kemasan deterjen bubuk yang ditaruh Gempa dari troli belanjaan. Sebagai gantinya, kembali Ice memasukkan deterjen cair berpelembut ke dalam troli belanjaan.

"Ish!" Gempa sembari mendecih kesal sambil bertolak pinggang. "Deterjen bubuk!" ketusnya lagi yang langsung meraih kemasan deterjen bubuk kesukaannya dari tangan Ice dan langsung memasukannya ke dalam troli belanjaan.

"Solar setuju denganku masalah deterjen ini," ucap Ice. Dibawanya nama adiknya yang terkecil dan yang paling encer otaknya untuk menambah bobot argumennya.

"Pastilah dia setuju. Kalian kan sekamar." Gempa menggerutu sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Jangan lupakan bibirnya yang sedikit monyong ketika ia komat-kamit tanpa jelas terdengar apa yang ia ucapkan.

Alih-alih takut atau khawatir, Ice malah tertawa melihat kakaknya yang tengah menggerutu. "Kamu persis seperti Blaze kalau begitu Kak," ledek Ice sembari menepuk-nepuk punggung Gempa. "Deterjen cair itu lebih baik, percayalah kak. Lebih irit juga."

"Busanya sedikit, Ice. Mana bisa baju jadi bersih kalau busanya sedikit?" tanya Gempa yang masih bersikeras bahwa deterjen bubuk pilihannya itu lebih baik daripada deterjen cair berpelembut yang lebih modern seperti pilihan Ice.

"Coba dulu saja kak," bujuk Ice. Ia mendekatkan bibirnya pada daun telinga Gempa dan berbisik, "Lagian kan Kak Gem dapat banyak uang dari Tante Zila."

"Sayang, Ice. Mendingan disimpan untuk kita semua nanti." Gempa balas berbisik pada adiknya. "Percayalah padaku."

"Kak ...," gumam Ice yang kini memasang tampang tidak terkesan dengan usaha Gempa meyakinkan dirinya. "Terakhir kali Kak Gem bicara begitu, hasilnya kakak dipasung okeh Kak Hali dan Kak Taufan 'kan?"

Gempa langsung meneguk ludah sementara sebuah sweatdrop langsung menitik di kepalanya. "Ahahahahah. Itu masa lalu, Ice. Janganlah dibahas lagi," jawab Gempa yang tertawa nervous. Masih jelas terpatri dalam ingatan Gempa bagaimana dirinya kepergok korupsi oleh Halilintar, Blaze dan Solar ketika sedang merenovasi rumah. Ujung-ujungnya Gempa merasakan sendiri seperti apa rasanya hukuman pasung yang sebetulnya ia rancang untuk membuat kapok dan menertibkan saudara-saudaranya yang berulah (Fanfic: BERDIKARI).

"Ayolah Kak Gem. Coba pakai deterjen cair. Lebih praktis." Kembali Ice berusaha membujuk kakaknya.

Gempa menatap Ice dan menghela napas panjang. "Oke, kita coba deterjen cairmu itu." Gempa akhirnya mengalah dan membiarkan Ice mencoba meyakinkan dirinya mengenai kelebihan deterjen cair berpelembut jika dibandingkan dengan deterjen bubuk biasa.

"Ayo kita lanjut belanja," ucap Gempa setelah Ice menaruh kemasan deterjen cari berpelembut yang ia sarankan ke dalam troli belanjaan.

"Biar Pipi yang dorong keranjangnya!" Dengan antusias Pipi menawarkan diri untuk membantu. Dengan riangnya Pipi mendorong-dorong belanjaan yang berisikan beberapa barang-barang yang akan dibeli oleh Gempa dan Ice.

Ice terkekeh melihat Pipi kesulitan mengemudikan troli belanjaan yang berukuran lebih besar daripada bocah berusia lima tahun itu. "Hati-hati, Pipi," ucap Ice sembari membantu mengarahkan bagian depan troli belanja yang didorong Pipi itu supaya troli itu tidak menyenggol barisan rak yang berada di dalam pasar swalayan itu.

"Stooop!" sahut Ice ketika melewati rak yang menjual berbagai merk susu untuk anak. Ia menahan troli belanjaan yang didorong Pipi supaya berhenti "Pipi biasanya susunya yang mana?" Ice lanjut bertanya.

Pipi langsung menunjuk sekotak susu cair yang letaknya jauh dari jangkauan tangannya. "Yang itu, Bang Ice," ucap Pipi yang mulai meloncat-loncat sembari mengacungkan jarinya kepada susu yang dimaksud.

Dengan mudahnya Ice menggendong Pipi supaya bocah itu bisa mengambil sendiri susu yang ia inginkan. Bobot tubuh bocah berusia lima tahun itu tidak terlalu berat dan dengan mudahnya Ice mendekatkan Pipi pada susu cair kotak yang diinginkan bocah itu.

"Nah! Terima kasih," ujar Pipi. Dengan digendong oleh Ice, Pipi menggapai susu cair kemasan kotak yang ia inginkan. Ia memberikan susu yang diambilnya itu kepada Gempa sebelum mengambil beberapa kotak lagi.

"Rasanya enam kotak cukup untuk sampai besok," ucap Gempa setelah menghitung jumlah keseluruhan susu yang diambil oleh Pipi.

"Harusnya lebih dari cukup," tambah Ice seraya menurunkan Pipi dari gendongannya.

"Pipi minum susunya ngga banyak kok, Bang Ice," ucap Pipi, "Pipi 'kan sudah bisa makan sendiri. Kata mama susunya ngga usah terlalu banyak."

"Iya sih, Pipi juga makannya lahap kalau kata Abang Taufan," puji Gempa sembari mengelus-elus kepala bocah yang dikawalnya itu. "Pipi hebat."

"Ya dong!" Mulailah Pipi berpose seperti ayahnya dan berujar. "Sebab kebenaran tidak pernah tidak hebat!"

Ice terkekeh melihat kelakuan Pipi. "Persis seperti papamu," puji Ice sembari memeluk gemas Pipi.

"Abang Aiiisss!" teriak Pipi ketika Ice memeluknya erat-erat. Antara ia tidak suka dipeluk-peluk oleh Ice atau memang pelukan Ice terlalu kuat.

"Hey, hey, sudah. Mati nanti anak orang kamu gencet, Ice," sahut Gempa sembari menyentil keoala adiknya supaya melepaskan Pipi yang tengah dipeluknya.

"Kenapa sih kak?" ketus Ice yang cemberut sembari menatap Gempa. "Kapan lagi kita punya adik perempuan?" tanya Ice seraya melepaskan Pipi yang dipeluknya

"Nanti kalau aku, Taufan atau Halilintar menikah. Kalau kita punya anak, pasti kalian juga yang akan kutitipi."

"Aku pass kalau anak kalian cowok." Ice mengedikkan bahunya dan mengalihkan perhatiannya pada rak pasar swalayan yang tengah ia kunjungi itu. "Silahkan cari babysitter sendiri kalau anak kalian cowok."

Gempa memutar bola matanya ke atas namun memilih untuk tidak meladeni Ice. Belum sempat Gempa mendorong troli belanjannya ketika beberapa minuman manis kemasan kotak ikutan dimasukkan ke dalam troli belanjaan oleh Ice.

"Astaga, Ice?" Kedua netra cokelat madu Gempa membelalak ketika si empunya menyaksikan selusin minuman teh manis kemasan kotak sudah berada di dalam troli belanjaan yang akan didorongnya. "Buat apa sebanyak ini?"

"Titipan Thorn," jawab Ice sebelum ia terkekeh ringan. "Dan untukku juga ...."

Gempa memutar bola matanya ke atas. "Ngga heran Thorn sakit gigi. Cari yang tawar saja, atau yang sugar free," geram Gempa sembari mengembalikan minuman manis yang diambil Ice tadi pada raknya.

"Banyak amat?" gumam Gempa yang melihat jumlah minuman yang ia keluarkan sudah melebihi jumlah yang dihitung. Padahal di dalam troli itu masih ada beberapa kotak minuman manis lagi

Gempa mengedikkan bahunya dan lanjut mengembalikan minuman manis yang diambil Ice tadi itu pada rak asalnya. Namun secara tiba-tiba Gempa menolehkan kepalanya dan menengok ke arah troli belanjaanya.

"Hoo, begitu ya Ice?" desis Gempa diantara kedua bibirnya yang membentuk senyuman manis yang tidak sinkron dengan perempatan urat di keningnya.

"Ahahahahaha." Ice terkekeh gugup sembari menggaruki pipinya yang tidak gatal. Gempa memang mengeluarkan minuman manis dari dalam troli belanjaan namun Ice kembali menaruh yang baru ke dalam troli secara diam-diam. Jika Gempa mengeluarkan satu kotak minuman dari dalam troli, Ice memasukkan satu kotak lagi atau terkadang dua kotak.

"Nanti malam sampai besok kamu makan brokoli kukus saja ya?" ucap Gempa diantara senyum manis yang masih terukir di wajahnya.

Wajah Ice langsung pucat pasi setelah mendengar kata-kata Gempa. "Alamak! Jangan Kaaak," rengek Ice dengan memasang tampang memelas. "Aku ngga suka brokoli!" pintanya lagi sembari mencolek-colek pinggang kakaknya itu.

"Biar kamu sehat Ice," balas Gempa dengan singkat sebelum mendorong troli belanjaan yang sudah hampir penuh.

Barang-barang terakhir yang hendak dibeli oleh Gempa adalah berbagai keperluan mandi semua saudara-saudaranya. Yang terakhir ini adalah yang paling merepotkan bagi Gempa karena selain Halilintar, Ice dan dirinya sendiri tidak ada yang perlengkapan mandinya sama. Taufan, Blaze, Thorn dan Solar mempunyai pilihan perlengkapan mandi yang berbeda-beda.

"Taufan sabun mandi dengan whitening scrub." Gempa bergumam pada dirinya sendiri selagi ia mengambil sebuah sabun mandi cair kemasan refill.

Ice pun ikut membantu mengambilkan sabun mandi pesanan kakaknya. "Blaze selalu sabun batang antiseptik."

"Solar pakai sabun mandi aroma ocean breeze. Thorn aroma lavender." Gempa mengambil dua buah sabun cair kemasan refill yang berbeda untuk kedua adik-adiknya.

"Ah ya, pewarna rambut yang biru untuk Kak Taufan," gumam Ice. Ia masih ingat untuk membelikan Taufan sebotol pewarna rambut biru untuk membayar kakaknya yang sudah bersedia mencucikan piring dan panci. Bagaimana tidak ingat, teriakan kesal Taufan ketika Ice pergi meninggalkan rumah masih terngiang di telinganya.

Sementara Ice mencari pewarna rambut untuk Taufan, Gempa beralih menuju rak yang berbeda. Ia mengambil sepuluh tabung pasta gigi dan sepuluh buah sikat gigi yang baru untuk semua saudara-saudaranya karena memang kebetulan pasta gigi mereka hampir habis dan sikat gigi mereka kondisinya sudah tidak layak pakai lagi. "Nah ini yang Thorn perlukan." Tidak lupa Gempa mengambil dua buah botol berisikan obat kumur berwarna biru.

Segala peralatan dan perlengkapan mandi itu menjadi barang-barang terakhir yang harus dibeli Gempa dalam acara belanja mingguannya bersama Ice. Dengan cekatan dan teliti Gempa memilah sembari menghitung jumlah barang yang hendak dibayarnya. Dalam kepalanya Gempa pun melakukan perhitungan kasar mengenai jumlah uang yang harus ia keluarkan untuk membayar semua barang yang berada di dalam troli belanjaannya.

Sementara Gempa menghitung jumlah belanjaan dan uang yang harus ia keluarkan untuk membayar semua barang yang dibelinya, Ice mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku. Melalui grup aplikasi Whatsapp, Ice menanyakan kepada saudara-saudaranya yang lain kecuali Gempa apakah masih ada yang perlu dibeli selagi ia masih berada di pasar swalayan.

Jawaban yang diterima Ice pun beragam.

"Celana dalam baru." -Blaze.

"Deodoran untuk Blaze." -Solar.

"Mie instan Indonesia satu dus." -Taufan.

"Kornet lima kaleng." -Halilintar.

"Cokelat, tiga bungkus." -Thorn.

"Blaze, beli sendiri celana dalammu. Solar, kamu sendiri juga butuh deodoran. Taufan, Halilintar, Thorn, kalian bertiga bersama Ice malam ini makan sup brokoli untuk kesehatan kalian." -Gempa.

Ice meneguk ludahnya dan mengalihkan tatapannya dari layar ponselnya. Dia menengok ke arah Gempa yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mengetik sesuatu pada ponsel miliknya sendiri. "Kak Gempa tegaaaa," lirih Ice seraya meringis karena membayangkan harus memakan sup brokoli.

"Memangnya aku ini emak kalian apa?" ketus Gempa sembari menyimpan ponsel miliknya kembali ke dalam saku. "Ayo kita pulang, Ice ...."

Mendadak Ice mengerenyitkan dahinya. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang dan terasa sangat janggal. Berkali-kali netra aquamarinenya menatap Gempa, troli belanjaan dan dirinya sendiri sebelum Ice menarik sebuah kesimpulan. "Tunggu, mana Pipi?"

Gempa tersentak kaget. Barulah ia menyadari bahwa bocah yang dijaganya sudah tidak berada didekatnya. "Pipi?!"panggil Gempa setengah berteriak.

Namun Pipi tidak terlihat batang hidungnya. Jangankan terlihat, terdengar suaranya saja tidak.

"Alamak." Ice dan Gempa memucat berbarengan. "Pipi hilang?!"

.

.

.

Bersambung.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.

Sampai jumpa lagi pada chapter berikutnya.

"Unleash your imagination"

Salam hangat, LightDP.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top