4. Hari Kedua

Matahari mulai meninggi di ufuk timur langit Pulau Rintis. Sebuah pagi hari yang indah membuka hari baru bagi seluruh penghuni pulau kecil yang terletak di perairan Malaysia itu.

Sayangnya tidak semuanya indah ....

"Huaaahh." Gempa menguap lebar-lebar. Ia menggulingkan tubuhnya yang terasa kaku dalam sebuah sleeping bag berwarna merah tua. "Aduuuh ...," keluhnya lagi ketika ia membuka retsleting sleeping bag milik Halilintar yang ia gunakan untuk tidur malam yang lalu.

Seluruh tulang punggung Gempa berderak menggeretak ketika ia bangkit dari tidurnya yang jauh dari kata nyaman. Dalam hatinya Gempa juga bersumpah tidak akan mengucap kata "Berdikari" lagi di hadapan Halilintar.

Gempa duduk bersila dengan bersandarkan tembok rumahnya. Sejenak ia berdiam diri untuk mengumpulkan nyawanya dan merancang jadwal yang akan dikerjakannya pada hari itu.

Pintu belakang rumah yang mendadak dibuka membuat Gempa terkejut. "Ah! Ha-Halilintar." Dia meneguk ludahnya ketika netra cokelat madunya menatap orang yang telah menguncinya di luar rumah.

Pembawaan diri Gempa memang banyak berubah, apalagi sejak ia merasakan sendiri betapa tidak enaknya terkena hukuman yang dirancangnya sendiri (Fanfic BERDIKARI). Ia menyadari bahwa hukuman yang ia rancang itu sungguh menyakitkan dan tiada seorang pun yang aman dari ancaman hukuman pasung. Tidak terkecuali Gempa sendiri karena itulah ia tidak lagi merupakan figur otoriter di rumah itu.

"Pagi Gem," sapa Halilintar dengan ekspresi wajah yang datar. Pagi itu ia tetlihat mengenakkan kaus armless hitam dan celana pendek putih. Dua buah gelas kopi hangat juga terlihat dalam genggaman kedua tangannya.

"Pagi, Hali. Maaf soal semalam, aku ngga akan sebut kata itu lagi," ucap Gempa seraya mendorong tubuhnya berdiri dengan menggunakan tangan.

Halilintar menghela napas panjang sebelum menyodorkan segelas kopi hangat kepada adiknya itu. "Kumaafkan. Aku juga minta maaf. Kemarin aku sedang lelah dan moodku buruk."

Gempa terlihat jauh lebih lega setelah permintaan maafnya diterima oleh Halilintar dengan ikhlas. "Bagaimana Pipi semalam?" tanya Gempa yang mengalihkan topik pembicaraan.

"Dia tidur bersama Taufan di kamarku semalam," jawab Halilintar sebelum menyeruput segelas kopi miliknya.

"Ah iya! Aku harus masak sarapan!" ujar Gempa. "Kasihan nanti Pipi kelapa-"

Halilintar terkekeh kecil dan mengibaskan tangannya. "Ice sudah duluan memasak sarapan buat semuanya. Sekali-kali santailah Gem," ucap Halilintar sebelum duduk bersila di atas lantai teras halaman belakang rumahnya. Ia mengisyaratkan Gempa untuk duduk di sebelahnya.

"Aduuuhh ...." Kembali tulang-tulang punggung Gempa berderak menggeretak ketika ia berjongkok. Setelah berjongkok barulah Gempa mendaratkan bokongnya di atas lantai.

Mentari pagi yang disertai hembusan kencang angin sejuk dari arah pantai Pulau Rintis menemani kedua kakak beradik yang tengah menikmati kopi hangat di awal hari itu.

Halilintar mengangkat kedua lengannya yang tidak tertutup kaus armlessnya dan meregangkan tubuhnya. Seluruh persendian tulang- belulang bagian atas tubuhnya pun menggeretak. "Pagi yang cerah," komentar Halilintar seraya menurunkan kedua tangan dan lengannya.

"Ya ... hari yang pas untuk bermalas-malasan," ujar Gempa sebelum ia menyeruput kopinya lagi. "Yang lainnya masih pada tidur ya?"

"Thorn dan Solar sudah berangkat ke kedai sih. Tinggal Blaze dan Taufan yang masih tidur," jawab Halilintar dan menyeruput kopi miliknya. "Biarkan mereka tidur lebih lama, hampir seharian mereka menemani Pipi."

"Lah?" Kedua netra cokelat madu Gempa membelalak. "Kamu ngapain masih disini kalau begitu? Bukannya kamu jaga kedai juga?"

Halilintar mengedikkan bahunya dan lanjut menikmati kopi hangatnya. "Ngga akan telat kok Gem. Aku sudah mandi, tinggal pakai baju lalu berangkat."

"Hey, sana berangkat!" ketus Gempa sembari berdiri. Dicolek-coleknya pundak Halilintar supaya kakaknya itu segera berdiri dan berangkat menuju kedai. "Ayo Hali! Nanti kamu telat! Kalau ditiru yang lain bagaimana? Mau kamu kalau mereka ikutan malas-malasan?"

Bisingnya Gempa yang mendadak merepet itu membuat Halilintar akhirnya berdiri. "Astaga Gem, aku seperti punya istri bawel ...," gerutu Halilintar ketika ia melangkah masuk ke dalam rumah. "Amit-amit aku punya istri bawel nanti ...."

"Biarlah kamu sebut aku istri bawel!" dengus Gempa sembari mendorong kakaknya itu untuk berjalan lebih cepat lagi. "Bawelku untuk kebaikan kalian semua."

"Tapi ngga baik untuk telingaku," gumam Halilintar dengan suara lembut seraya menyambar sebuah kemeja dan celana panjang yang telah ia siapkan.

"Apa kamu bilang tadi?"

Halilintar meneguk ludahnya. Wajahnya memucat dan tubuhnya mendadak kaku karena jari jempol dan telunjuk Gempa menjepit daun telinganya.

"Ah! Ngga ada apa-apa," cicit Halilintar yang merasakan aura gelap Gempa menghampiri tubuhnya dan membuatnya merinding. "Aku berangkat dulu!" ujar Halilintar dengan terkekeh kecil.

"Hmpf," dengkus Gempa seraya melepaskan jepitan jari telunjuk dan jempolnya dari daun telinga Halilintar. "Ya sudah sana berangkat. Hati-hati di jalan."

Setelah Halilintar berlalu meninggalkan rumah, Gempa langsung naik ke lantai dua rumahnya. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kamarnya.

"Aw ... Taufan," gumam Gempa ketika ia melihat kakaknya yang satu lagi itu masih tertidur pulas di atas ranjangnya. Bersama dengan Taufan adalah Pipi yang menggunakan lengan Taufan sebagai bantal gulingnya.

Gempa mengambil handuk miliknya yang dijemur pada sebuah rak kecil. Tak lupa ia mengambil peralatan mandinya dan baju ganti sebelum ia keluar dari kamarnya. Daripada mengganggu Taufan dan Pipi yang masih tidur pulas, Gempa memilih untuk memakai kamar mandi yang lain. Toh jumlah kamar mandi di rumah itu cukup banyak. Ada tiga kamar mandi lain yang masih bisa dipakai oleh Gempa.

Kamar mandi yang berada di dalam kamar milik Solar dan Ice menjadi pilihan Gempa pagi itu. Walaupun saluran air hangat di kamar mandi itu agak bermasalah, namun kamar mandi Solar dan Ice itu adalah yang paling bersih diantara tiga kamar mandi yang tersisa.

"Ice, numpang kamar mandi ya!" sahut Gempa sebelum ia masuk ke dalam kamar milik Solar dan Ice. Memang Gempa termasuk yang dituakan setelah Halilintar dan Taufan, namun bukan berarti ia bebas begitu saja masuk ke kamar adik-adiknya. Bagaimana pun, kamar tidur adalah privasi penghuninya masing-masing. Akan sangat tidak sopan bagi Gempa apabila ia menerobos masuk ke kamar milik Solar dan Ice begitu saja.

"Ya kak! Pakai saja!" Ice terdengar menyahut dari arah tangga rumah.

"Terima kasih!" balas Gempa sebelum ia memutar gagang pintu kamar milik kedua adiknya yang terkecil itu. "Hargailah orang lain jika kamu ingin dihargai. Respect to be respected, kalau kata orang barat," ucap Gempa dengan senyuman manis khasnya kepada kamu yang sedang membaca fanfic ini.

Gempa melangkah masuk ke dalam kamar milik Solar dan Ice setelah ia membuka pintunya. "Umur paling kecil, tapi kamarnya paling rapi," gumam Gempa seorang diri ketika ia sudah berada di dalam kamar kedua adiknya itu. Semua barang yang berada di dalam kamar itu terlihat tersusun rapi. Mulai dari buku-buku milik Solar yang ditata sesuai urutan besar-kecilnya, buku-buku milik Ice yang ditata sesuai warna, ranjang yang sudah ditata rapi, sampai pada letak karpet yang diatur sedemikan rupa berada di tengah-tengah kamar dengan jarak yang sama pada keempat sisinya dengan tembok kamar.

Dengan penuh rasa segan kepada kedua adiknya pemilik kamar yang ia singgahi, Gempa melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Wangi semerbak sabun mandi mint milik Ice bercampur dan lavender milik Solar langsung menghampiri indera penciuman Gempa ketika ia membuka pintu kamar mandi itu.

"Aku jadi ngga enak sendiri pakai kamar mandi mereka," komentar Gempa pada dirinya sendiri ketika ia menutup dan mengunci pintu kamar mandinya. Setelah semua pakaian yang menempel di tubuhnya dilepaskan, mulailah Gempa menjalankan ritual paginya.

Sementara itu di kamar lain ....

Perlahan-lahan Taufan membuka kedua kelopak matanya. Ia menolehkan kepalanya dan melihat Pipi yang masih tertidur pulas. Dengan hati-hati Taufan mengambil sebuah bantal guling miliknya. Bantal guling itu diselipkan dalam dekapan Pipi sebagai pengganti lengannya.

"Lucu juga kalau kita punya adik perempuan ...." Taufan tersenyum-senyum sendiri melihat Pipi yang memeluk bantal gulingnya. Dengan hati-hati Taufan bergeser ke tepi kaki ranjangnya. Sebisa mungkin Taufan bergerak tanpa bersuara supaya tidak membangunkan malaikat kecil yang masih tertidur pulas.

"Huh. Kenapa ngga ada dari adik-adikku yang perempuan, semua laki-laki," keluh Taufan yang kini duduk di tepi kaki ranjangnya. Coba kalau aku punya adik perempuan, 'kan aku bisa minta produk skincarenya," gumam Taufan sebelum ia bangkit dari duduknya.

Seperti biasa, Taufan langsung menyambar handuk miliknya. Kali ini ia dengan bijaknya lebih dulu mengambil pakaian ganti. Setelah membawa handuk dan baju ganti yang bersih, barulah Taufan masuk ke dalam kamar mandi untuk menuntaskan ritual pagi harinya.

"Together! we will fly so high!" Suara nyanyian Taufan terdengar dari balik pintu kamar mandinya. "Go weeeest, life is peaceful there!" Memang sudah jadi kebiasaan Taufan untuk bernyanyi sambil mandi dan menyabuni tubuhnya. Bagi Taufan, suaranya cemprengnya itu adalah yang paling merdu sedunia walaupun kakak dan adik-adiknya berpendapat lain.

"Abang Taufaaaaan! Berisik!"

Teriakan Pipi cukup untuk menghentikan konser dadakan Taufan pada pagi hari itu. Acara mandi Taufan pagi itu berakhir dengan cepat tanpa adanya konser dadakan.

"Ahahahahah. Maaf Pipi," ucap Taufan ketika ia keluar dari kamar mandi. Penampilannya sudah terlihat lebih segar dan bersih daripada sebelum mandi. Bahkan ia sudah mengenakan baju bersih yang tadi ia bawa ketika akan mandi.

Tak lama kembalilah Gempa ke kamarnya. "Makanya jangan konser pagi-pagi, Fan," ucap Gempa sembari menggelengkan kepalanya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk mengembalikan peralatan mandinya yang ia bawa ketika menumpang ke kamar mandi adiknya tadi.

"Pipi mandi dulu sana. Biar Abang Taufan dan aku tunggu diluar," ucap Gempa lagi yang mempersilahkan tamu istimewa mereka itu untuk memakai kamar mandi.

Taufan dan Gempa pun menunggu Pipi selesai mandi di luar kamar mereka. "Hey, Gem?" panggil Taufan yang bersandar pada tembok lorong lantai atas rumahnya.

"Ya Fan?"

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Taufan.

"Hm .... Yang pasti aku dan Ice harus belanja mingguan. Sekalian kuajak Pipi deh, dia kan perlu susu juga," jawab Gempa sembari ia mengeluarkan ponsel miliknya. Ia membuka sebuah notes dalam ponselnya yang berisikan daftar belanjaan. "Susu Pipi, lalu apalagi yang kurang ya?"

"Titip sabun mandiku." Taufan menyerahkan beberapa lembar uang Ringgit kepada Gempa.

Gempa yang menerima uang dari Taufan itu langsung mengerenyitkan dahi. "Fan, mana cukup," protesnya setelah menghitung uang pemberian Taufan.

"Cukup dong. Memang harga sabunnya berapa?" tanya Taufan keheranan. Menurut perhitungannya uang yang ia berikan cukup untuk membeli sabun mandinya.

"Kamu ngga hitung ongkos jalannya?" Sebuah senyuman manis pun langsung mengulas pada wajah Gempa. "Lumayan jauh lho."

Taufan kontan menepuk dahinya. "Dasar mata duitan," keluh Taufan sembari menyerahkan lagi selembar uang ringgit kepada Gempa sebagai ongkos jalan.

Dengan senang hati Gempa menerima uang pemberian Taufan itu. "Nah gitu dong, 'kan kakak harus baik sama adik," ucap Gempa diantara kekehan penuh kepuasan.

"Gem, kita ini saudara kembar tiga. Keluarnya juga cuma selisih hitungan menit," gerutu Taufan yang menatap sebal pada adiknya yang satu itu.

"Taufan ... kamu mau makan capcay tanpa sayur malam ini? Bagaimana kalau fuyunghai tanpa telur? Sepertinya enak deh." Kembali Gempa melempar senyuman termanisnya kepada Taufan.

Setitik sweatdrop langsung turun dari kepala Taufan. "I-iya, jadi kakak harus baik sama adik," jawab Taufan dengan nada sangat terpaksa.

Tepat pada saat yang bersamaan, pintu kamar terbuka dan Pipi yang sudah mandi dan berpakaian rapi melangkah keluar dari dalam kamar.

"Nah Pipi, mau ikut aku ke pasar swalayan?" tanya Gempa. "Aku mau belanja mingguan."

Kedua kelopak mata Pipi langsung membuka lebar dan senyumnya mengembang penuh dari telinga kanan ke kiri. "Mauuuu!" sahut Pipi dengan antusias.

"Ayolah kalau begitu." Gempa mengulurkan tangan kanannya pada sang tamu istinewanya. "Nanti aku traktir es krim deh kalau Pipi mau bantuin bawa barang belanjaan."

"Pipi mau! Ayo Bang Gempa!" Bahkan Pipi langsung menarik-narik Gempa menuju tangga rumah.

"Ayo kita sarapan dulu. Kita harus selalu mengawali hari dengan sarapan."

"Iya Bang Gempa." Pipi menganggukkan kepalanya. Tangan kiri bocah kecil itu langsung mengamit tangan Taufan. "Abang Taufan juga harus sarapan."

"Ah. Aku sarapannya nanti, Pip-"

"Pipiiiii!" protes Pipi yang tidak suka namanya disingkat-singkat.

"Iya, Pipi," koreksi Taufan. "Aku sarapan merangkap makan siang nanti."

Mendengar jawaban Taufan itu, Pipi langsung mendelik dan melotot ke arah Taufan yang langsung terkekeh gugup. "Ngga boleh! Abang Taufan harus sarapan!" ujar Pipi lagi, kali ini ia melepaskan tangan Gempa dan menarik-narik Taufan dengan kedua tangannya.

Gempa tertawa ketika kakaknya itu ditarik-tarik oleh Pipi. "Nah bagus, ayo tarik Abang Taufan sampai mau sarapan, Pipi," ujarnya menyemangati Pipi yang seperti terlibat permainan tarik tambang dengan Taufan.

Dengan bergandengan tangan Gempa dan Pipi menuruni tangga rumah. Taufan mengikuti dari belakang karena tangga rumahnya itu tidak cukup lebar untuk dilalui tiga orang bersaf sekaligus. Di lantai pertama telah menunggu Ice yang sudah selesai memasak sarapan.

"Kak Gem sama Kak Ufan sarapan dulu deh, Pipi juga," ucap Ice sembari menunjuk ke arah meja makan, dimana sudah tersedia sarapan bubur ayam buatannya. Di atas meja makan juga sudah tersedia beberapa mangkuk dan sendok.

"Wuaaa.. Baunya sedaaap." Dengan sigap Taufan mengambil dua buah mangkuk. Ia menyendokkan bubur ayam buatan Ice itu untuk dirinya sendiri dan Pipi.

"Hati-hati, masih panas. Pelan-pelan saja makannya," ucap Taufan lagi sembari menaruh semangkuk bubur ayam untuk Pipi di atas meja makan.

Senyuman lebar Pipi pun mengembang ketika ia duduk menghadapi bubur ayam buatan Ice. Potongan-potongan kecil daging ayam bercampur irisan sosis ayam yang dilengkapi dengan taburan bawang goreng dan kerupuk itu menghiasi bubur ayam yang terhidang di depan Pipi.

"Hmmm!" gumam Pipi ketika ia mengendus aroma gurih dan wangi masakan yang terhidang di hadapannya. "Sedapnya bau bubur ayam buatan Abang Ice ini!"

"Pastinya." Sebuah senyum penuh kepuasan dan kebanggaan melintas di wajah Ice. "Ajaran Kak Gempa, gitu lho," ucapnya lagi sembari mengedikkan kedua alisnya.

Terlebih dahulu Pipi meniupi bubur yang telah berada di atas sendoknya. Setelah yakin bahwa bubur ayam itu sudah tidak terlalu panas barulah Pipi berani mencicipinya. "Hmmmm! Sedapnyaaa!" Dia nyaris menjerit girang ketika bubur buatan Ice itu menyelimuti indera pengecapnya.

Dengan lahapnya Pipi menyantap bubur ayam buatan Ice. Ia bahkan nyaris tidak berhenti meniupi dan menyuap bubur itu ke dalam mulutnya yang mungil.

Begitu pula dengan Taufan dan Gempa yang menikmati sarapan mereka. Nyaris tidak ada pembicaraan di antara keduanya, hanya terdengar suara dentingan sendok yang berbenturan dengan pinggiran dan dasar mangkuk.

"Biar aku yang cuci piring," ucap Taufan sebelum ia selesai menghabiskan bubur ayammya. "Taruh saja mangkukmu di meja Gem, Pipi. Biar aku yang cucikan."

"Oke, terima kasih ya, Fan," ucap Gempa ketika ia selesai sarapan.

"Nitip punyaku juga ya Kak Ufan." Ice ikutan menambahkan.

"Ya, nanti aku yang cucikan, tenang saja," jawab Taufan yang masih menikmati sarapan paginya. "Kalian berangkat sana, pasar swalayannya pasti sudah buka."

"Oke!" ujar pipi dengan riangnya. "Ayo Abang Ice, Abang Gempa. Kita berangkat!" tambahnya lagi sembari mengamit tangan Gempa dan Ice bersamaan.

"Ah iya, iya. Kita berangkat dulu, Fan." Gempa terkekeh melihat tingkah polah Pipi yang demikian antusias dan riangnya. Ia membiarkan dirinya diseret-seret oleh Pipi menuju pintu rumah.

Taufan tersenyum kecil melihat tingkah laku Pipi yang membawa suasana berbeda dirumah mereka. Walaupun baru sebentar, tetap saja keberadaan Pipi merupakan hiburan tersendiri.

Namun dibalik senyuman Taufan itu terbesit sebuah rasa hampa yang baru kali ini disadarinya. "Mungkin akan menyenangkan jika punya adik perempuan, ngga laki-laki semua," keluh Taufan sembari menghela napas panjang.

Seperti janjinya, mulailah Taufan mengumpulkan mangkuk-mangkuk kotor yang ada di meja makan. Dengan langkah santai, Taufan yang membawa tiga buah mangkuk kotor dan sendok kotor berjalan menuju dapur.

Langkah Taufan terhenti ketika ia berada di ambang dapur. Kedua netra biru safirnya membelalak lebar ketika ia menemui beberapa panci dan piring kotor yang menumpuk di dalam bak cucian dapur.

"Alamak ...." Taufan menggeram dengan kedua tangan terkepal. Jangan lupakan perempatan urat imajiner yang melintas pada kening Taufan. "AAIIISSS!!" teriak Taufan sekuat tenaga.

.

.

.

Bersambung.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.

Sampai jumpa lagi pada chapter berikutnya.

"Unleash your imagination"

Salam hangat, LightDP.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top