3. Nyanyian Merdu

Sang surya mulai mulai tenggelam di tepi barat langit dan hari pun bergulir berganti menjadi malam. Binatang-binatang malam pun mulai keluar dari rumah sarang mereka masing-masing. Suara nyanyian mereka silih berganti terdengar memecah keheningan malam yang damai itu.

"Ahhhh! Gatal!"

"Huaaa! Leherkuuuu!"

Tidak seluruhnya damai ....

Terdengar suara teriakan nista dari dalam salah satu kamar di sebuah rumah yang dihuni tujuh bersaudara kembar bermarga BoBoiBoy. Lebih teparnya, suara teriakan yang terdengar itu bersumber dari sebuah kamar yang dihuni sepasang kakak beradik kembar. Lebih tepatnya lagi Thorn dan Blaze.

Solar yang mendengar jeritan-jeritan nista kedua kakaknya itu berinisiatif untuk memantau keadaan mereka. Terutama Blaze yang membuat Solar paling penasaran, bukan karena prihatin namun karena Blaze adalah si kakak yang paling sering menjahilinya

Tanpa permisi lagi Solar membuka pintu kamar yang dihuni oleh Blaze dan Thorn. "Thorn, Blaze? Bagaimana gatalnya?" tanya Solar seraya melangkah masuk ke dalam kamar kedua kakaknya itu.

Blaze dan Thorn terlihat duduk di atas ranjang mereka masing-masing. Wajah keduanya muram bercampur masam tanpa senyum.

Obat anti alergi yang diberikan Gempa untuk Blaze dan Thorn sore tadi sudah mulai hilang khasiat dan efek sampingnya. Rasa ngantuk akibat obat anti alergi itu pun perlahan menghilang.

Akibatnya, kesadaran Blaze dan Thorn kembali, dan rasa gatal juga kembali menyerang mereka. Thorn mulai menggaruki bagian tubuhnya yang gatal yaitu leher dan hidungnya. Sementara blaze mulai menggaruki hidung dan ketiaknya.

Yang menjadi masalah adalah bagian tubuh mereka yang lain mulai ikutan merasa gatal seperti lengan, tangan dan pipi.

"Parahhh!" ketus Blaze sambil menggaruki lengan dan ketiaknya. Bahkan kulit yang digaruknya terlihat sudah memerah akibat abrasi dengan kuku-kuku jarinya.

"Ini gara-gara kamu, Blaze!" dengkus Thorn sembari menggaruki lehernya seperti seekor kucing yang kutuan.

"Mana aku tahu itu mangga bacang!" Blaze menyahut balik dengan wajah cemberut. Dia mengangkat lengan kirinya dan meletakkan tangan kirinya di belakang kepala. Jelas sekali terlihat bahwa kulit lengan dan ketiaknya sudah sangat memerah.

"Jangan digaruk!" Solar langsung menangkap tangan kanan Blaze yang bergerak menuju lengan kirinya.

"Aahh! Solar! Gatal!" teriak Blaze. Dia mengibaskan tangannya yang dipegangi Solar. Walaupun kulit pada ketiak, lengan, dan pinggang Blaze sudah memerah tapi tetap saja rasa gatalnya tidak kunjung reda.

"Ish!" dengkus Solar lagi yang mulai hilang sabar. "Mau kupanggil Kak Hali biar kamu dipasung? Biar ngga garuk-garuk terus?" ancam si adik terkecil.

"Ah jangan," ucap Blaze dengan wajah memelas. "Jangan, Solar. Jangan bilang Kak Hali."

Solar menghela napas lega, ancamannya berhasil membuat Blaze berhenti menggaruki bagian tubuhnya yang gatal-gatal. "Nah, makanya jangan digaruk. Nanti kalau kulitmu korengan gimana?" tanya Solar seraya melepaskan tangan kanan Blaze yang dipegangnya. "Mau ketekmu korengan? Bakal lebih sakit lagi daripada gatal begitu."

Blaze langsung menggelengkan kepalanya. "Kayaknya aku bakal trauma dengan buah mangga," keluh Blaze sembari merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya.

Solar memaksakan sebuah senyuman tipis untuk menghibur kakaknya yang sedang merutuki nasib. Dari dalam saku celananya, Solar mengeluarkan sebuah tube plastik besar. "Nih salep buat mengurangi gatalnya." ucap si adik seraya memberikan tube berisikan obat salep itu kepada Blaze.

Sejenak Blaze memandangi obat yang diberikan Solar. "Terima kasih ...," gumam Blaze seraya meraih salep pemberian Solar. Dengan hati-hati Blaze langsung mengurapkan salep itu pada bagian tubuhnya yang terasa gatal.

"Bagi dong," pinta Thorn dari atas ranjang yang berseberangan.

Blaze melambungkan salep itu ke arah Thorn yang dengan sigap menangkapnya. Sama seperti Blaze, Thorn langsung mengusapkan salep milik Solar itu pada bagian tubuhnya yang terasa gatal.

"Oleskan lagi saja kalau gatalnya kembali," ucap Solar. "Semoga cukup sampai besok pagi."

Alangkah leganya Blaze yang merasakan bahwa gatal yang membara pada bagian ketiak, lengan dan sebagian pinggangnya mulai mereda. Untuk pertama kalinya Blaze bisa menurunkan lengan kirinya yang sedari tadi terpaksa diangkat karena rasa gatalnya.

"Manjur juga ... obat apa ini?" tanya Blaze yang memandang Solar dengan penuh rasa syukur. Terkadang ada baiknya juga punya adik yang otaknya setengah jenius seperti Solar.

"Campuran salep-salep yang kuracik sendiri. Aku buat waktu Kak Gem bilang kalian kegatalan karena kulit mangga bacang."

"Racikanmu sendiri?" Kali ini Thorn yang bertanya. Dipandanginya salep buatan Solar yang telah dioleskan pada lehernya. "Apa efek sampingnya nih?"

Solar mengedikkan bahunya sembari berjalan menuju pintu kamar kedua kakaknya itu. "Harusnya sih ngga ada. Kalaupun ada, minimal berbekas kuning permanen atau amputasi." jawab Solar sekenanya saja.

Thorn dan Blaze serempak meneguk ludahnya. "Hey! Jangan bercanda! Aku ngga mau leherku diamputasi! Bagaimana gantinya nanti?" ketus Thorn dengan wajah cemberut, ditambah pipi gempalnya yang menggembung.

"Ngga perlu diganti lagi kalau leher yang diamputasi, Thorn," sahut Blaze. "Aku yang paling rugi! Bagaimana kalau lenganku diamputasi? Hilang ketek indahku nanti!"

"Ketekmu ngga ada bagus-bagusnya, Blaze. Punyaku lebih indah," ledek Solar yang tertawa ringan selagi ia melenggang keluar dari kamar Blaze dan Thorn.

"Kutukarpet!" Melayanglah bantal milik Blaze ke arah Solar yang dengan cepat langsung menutup pintu kamar. Alhasil bantal itu hanya mengenai daun pintu kamar.

"Bertuah punya adik," ketus Blaze lagi seraya berdiri. Sembari merengut sebal ia mengambil bantal yang tadi digunakan untuk menimpuk Solar. Walaupun kesal, tetap saja dalam batinnya ia berterima kasih pada Solar yang sudah mengobati penyakit gatalnya. "Semoga habis ini ketek aku ngga berubah warna," gumam Blaze seraya mengangkat lengan kirinya dan melirik ketiaknya yang berlumuran salep buatan Solar.

"Blaze si ketek belang." Mulailah Thorn bernyanyi-nyanyi kecil meledek kakaknya.

"Awas kau ya!" geram Blaze. Ia langsung melompat dan menerkam Thorn yang tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak.

Bahkan suara tawa Thorn dan Blaze terdengar sampai ke lantai bawah rumah mereka, dimana Taufan dan Halilintar sedang menemani PiPi Zola.

"Pipi mau punya kakak juga ...," komentar Pipi seraya menengok ke arah tangga rumah keluarga BoBoiBoy yang tengah disinggahinya.

"Kami semua 'kan kakak Pipi," ucap Taufan dengan senyuman lebar khasnya. Remaja yang bernetra biru safir itu tengah mengotak-ngatik sebuah DVD player yang berada di samping televisi.

"Iya sih. Abang Pipi ada banyak." Pipi mendekati Taufan yang tengah memasukkan sebuah DVD ke dalam playernya. "Abang Taufan lagi apa?"

Taufan menoleh ke arah Pipi dengan sebuah senyuman ekstra lebar. "Pipi pernah karaoke?"

Pipi menggelengkan kepalanya. "Apa itu, Bang Taufan?"

"Kita menyanyi sepuas hati." Taufan mengacungkan dua buah microphone yang tergenggam di tangan kanannya sembari berpose bagaikan John Travolta dalam film Saturday Night Fever.

Sementara Halilintar yang tengah memasak makan malam di dapur langsung menggeram dan menepuk dahi. "Aduuuh Taufan. Kenapa harus karaoke sih." bisik Halilintar pada dirinya sendiri. Sudah cukup ia disuguhi konser dadakan Taufan pada pagi hari, rasanya tidak perlu ditambah encore atau konser susulan di malam hari.

"Setuju .... Aku juga ngga mau telingaku dinista," keluh Solar yang tengah memasak bersama Halilintar.

Kedua kelopak mata Pipi langsung membuka lebar dan berbinar-binar setelah melihat microphone di tangan Taufan. "Waaaah. Mau! Pipi mau nyanyi sama Abang Taufan," sahut si putri kebenaran sembari meloncat-loncat kegirangan. "Tapi ... bagaimana caranya?"

"Gampang kok, Pip, ikuti-"

"Pipi lah!" ketus Pipi yang tidak suka namanya disingkat oleh Taufan.

"Iya, Pipi." Taufan lanjut menjelaskan. "Ikuti saja syair lagunya yang terlihat di televisi." Sebuah microphone langsung diberikan kepada Pipi

"Ooh. Gampang kalau begitu." Pipi mengangguk-anggukan kepalanya sembari menerima microphone yang diberikan Taufan.

Mulailah Taufan mencari lagu pertama yang bisa ia nyanyikan untuk menghibur Pipi dan mungkin menghibur penghuni rumah yang lainnya. Kecuali mungkin bagi Halilintar yang sangat paham seperri apa suara cempreng Taufan kalau menyanyi asal-asalan.

Sebuah lagu pun dipilih oleh Taufan. Dengan loudspeaker yang cukup mumpuni, mulailah terdengar intro lagu itu yang berdebum di seantero penjuru rumah.

"Siaaap?" tanya Taufan ketika lagu yang ia pilih mendekati bagian syairnya.

Dan ....

Mulailah Taufan bernyanyi. "Baby shark du du du du. Baby shark du du du du. Baby shark du du du du, baby shark!"

Gantian Pipi menyanyikan lirik bait kedua dari lagu yang dipilih Taufan "Mommy shark du du du du. Mommy shark du du du du. Mommy shark du du du du, mommy shark."

Sementara bagian Pipi menyanyi, Taufan bergoyang sembari mengatup-ngatupkan kedua tangannya. Pinggulnya bergoyang ke kanan dan ke kiri sementara kepalanya naik-turun mengikuti irama lagu Baby Shark itu.

"Bwa ha ha ha ha ha ha!" Terdengarlah suara tawa yang meledak dari arah tangga rumah. Blaze dan Thorn terlihat berada di tangga rumah. Keduanya memegangi rel pegangan tangan dari tangga rumah mereka. Keduanya juga terlihat memegangi perut dan dada mereka yang sesak akibat tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi Taufan dan Pipi Zola.

"Daddy shark du du du du. Daddy shark du du du du. Daddy shark du du du du, daddy shark." Blaze ikutan menyanyi dan memeriahkan suasana, walaupun dengan suaranya yang sengau dan jauh dibawah Taufan merdunya.

Sementara di dalam dapur, Halilintar dan Solar yang tengah memasak makan malam mulai merasakan sulit berkonsentrasi. Ketimun yang sedang dipotong-potong Solar untuk nasi goreng yang tengah dimasak Halilintar terlihat tidak sama tebalnya. Ada yang satu sentimeter tebalnya, ada juga yang hanya beberapa milimeter, bahkan ada pula yang miring-miring potongannya.

Begitu pula dengan Halilintar dengan perempatan urat yang berdenyut-denyut pada pelipisnya. Ia sudah tidak ingat lagi bumbu apa saja yang sudah ia masukkan ke dalam nasi goreng buatannya.

"Solar ...," panggil Halilintar seraya menggodok nasi goreng buatannya diatas kompor yang berapi kecil. "Tenda campingmu masih bagus, 'kan?"

"Masih," jawab Solar. Wajah si adik terkecil itu terlihat bertekuk-tekuk karena suara Taufan dan Blaze yang terasa menusuk-nusuk gendang telinga. "Buat apa?"

"Siapkan saja," dengkus Halilintar. "Jangan lupa sleeping bag. Nanti malam kita berkemah diluar rumah."

"Oohhh. Ya, mending kita tidur di luar rumah daripada sakit kepala gara-gara suara Kak Taufan," jawab Solar sambil menempelkan daun telinganya pada pundaknya. Setelah selesai mengiris-iris ketimun, Solar langsung pergi ke gudang kecil yang terletak di bawah tangga rumah. Dari dalam gudang itu Solar mengambil sebuah tenda dome yang siap rakit dan dua buah sleeping bag.

Tentu saja kakak-kakak Solar yang tengah asyik berkaraoke ria tidak melihat ataupun memperhatikan Solar yang mengambil tenda dan sleeping bag.

"What shall we do with a drunken sailor. What shall we do with a drunken sailor. What shall we do with a drunken sailor early in the morning!" Mulailah Taufan dan Pipi menyanyikan lagu yang lain lagi.

"Way hey and up she rises, way hey and up she rises. Way hey an up she rises early in the morning!" Blaze dan Thorn berpaduan suara menyambung bait kedua lagu yang dinyanyikan Taufan dan Pipi sementara mereka yang tadinya menyanyikan bait pertama bertepuk tangan seirama ketukan lagu Drunken Sailor yang sering terdengar dalam serial Spongebob Squarepants.

Paduan suara antara Taufan-Pipi dengan Blaze-Thorn terdengar mengalun tanpa henti, bahkan terdengar sampai keluar rumah. Keempatnya bernyanyi dengan nada yang dirasanya pas saja, tidak ada kesepakatan not apa yang harus mereka pakai.

"Sudaaah!" teriak Halilintar ketika lagu yang mereka nyanyikan berakhir.

Suara teriakan itu membuat Taufan, Pipi, Blaze, dan Thorn menengok ke arah Halilintar yang tengah memijit-mijit keningnya. "Eh Abang Halilintar sudah selesai masak nasi gorengnya ya?" tanya Pipi, seakan tidak terjadi apa-apa.

"Sudah," ucap Halilintar. Sebisa mungkin ia tetap bersabar di depan Pipi Zola. Tuan putri kebenaran yang menangis adalah hal terakhir yang Halilintar inginkan adalah si putri kebenaran menangis jika ia mengamuk. "Kalian makan dulu deh, sudah malam ...."

Benar saja, di atas meja makan sudah terhidang nasi goreng yang dimasak Halilintar bersama Solar. Karena jumlah yang cukup banyak, Halilintar tidak menaruh nasi goreng itu ke dalam piring atau mangkuk. Melainkan langsung di dalam kuali yang beralaskan kain lap tebal.

"Abang Hali niih!" ketus Pipi Zola yang melihat perbuatan Halilintar. "Rusak nanti mejanya! Ngga sopan taruh kuali di atas meja begitu!" kritik Pipi dengan sewotnya.

"Yang penting jadilah bisa makan malam, Pipi ...." Halilintar menjelaskan dengan wajahnya yang ogah-ogahan. Setelah mendengar konser dadakan Taufan di pagi hari, ditambah konser kedua yang naru saja selesai, sekarang harus pula ia mendengarkan celotehan Pipi.

"Betul kata Kak Hali. Yang penting bisa dimakan." Solar yang tengah mengeluarkan piring makan beserta sendok dan garpu ikutan menimpali. "Ayo yang lagi sakit makan duluan," ucap Solar sembari menengok pada Blaze dan Thorn.

"Ah penyakit mereka mah dibuat-buat." Taufan mendahului antrian dan langsung mengambil sebuah piring. "Aku sudah lapar dari tadi," ucapnya lagi sambil menyendok nasi goreng dari dalam kuali itu ke atas piringnya.

"Nanti kak Taufan coba kalau ketek atau leher gatal rasanya seperti apa," kutuk Blaze yang sedang mengambilkan jatah nasi goreng untuk Pipi.

"Buat aku mana?" Thorn yang mengantri paling akhir mencolek-colek leher Blaze. "Ambilin sekalian dong ...," pinta Thorn dengan kedua netra hijau taunya membulat lebar dan dengan bibir yang gemetaran.

Blaze baru saja akan menolak, namun wajah Thorn yang memelas polos itu membuatnya mengurungkan niat untuk menolak permintaan si adik kembar.

"Huuh. Kamu dan jurus pamungkasmu itu, Thorn," keluh Blaze sambil mengambil jatah porsi nasi goreng untuk Thorn.

"Yay!" pekik Thorn dengan girang dan langsung memeluk kakak kembarnya itu. "Terbaiklah Blaze, terima kasih!" serunya sembari mengambil piring yang berisikan nasi goreng.

Blaze yang jadi paling terakhir mengambil jatah porsi nasi gorengnya mendapat paling sedikit. Bahkan ia mengeruki dasar kuali itu demi beberapa butir nasi goreng setengah gosong yang melekat di dasar kuali.

Halilintar dan Solar sendiri sudah memisahkan jatah porsi mereka lebih dahulu. Keduanya langsung bergabung di meja makan bersama saudara-saudaranya.

"Ittadakimasu!" ucap Taufan dengan riangnya. Aroma gurih nasi goreng buatan Halilintar dan Solar itu benar-benar menggelitiki aroma penciumannya. Bahkan Taufan kesulitan untuk menahan air liurnya.

Demikian pula dengan Thorn dan Blaze. Aroma nasi goreng buatan Halilintar itu benar-benar membuat air liur mereka terbit.

Serempak mereka semua menyendokkan nasi goreng porsi masing-masing ....

Serempak pula mereka semua terdiam, bahkan Halilintar sekalipun. Kelopak mata mereka semua membuka selebar-lebarnya dan ....

"Hey .... Rasanya ternyata enak." Halilintarlah yang pertama kali berkomentar. Waut wajahnya menunjukkan campuran antara kebingungan dengan kekaguman. "Masakanku lumayan juga rasanya."

"Iya, nasi goreng buatan Abang Halilintar enak lho." Bahkan Pipi menyantap nasi goreng buatan Halilintar dengan lahapnya.

"A-Aku bisa memasak?" ucap Halilintar dengan tatapan netra merah rubinya yang hampa.

"Iya .... Masakan Kak Hali enak juga," puji Thorn yang menikmati nasi goreng buatan Halilintar itu sampai netra hijau tuanya terpejam-pejam.

Blaze hanya mengedikkan bahunya sembari menyendokkan nasi goreng buatan Halilintar ke dalam mulutnya. "Wasanwa wenag whuga," gumamnya sembari mengunyah nasi goreng yang berada di dalam mulutnya.

"Telan dulu, baru bicara bang!" ketus Pipi yang tidak suka melihat Blaze mengunyah makanan sembari berbicara. "Ngga sopan, tahu."

Taufan yang melihat adiknya ditegur Pipi langsung terbatuk-batuk sembari tertawa. Ia tengah mengunyah nasi goreng di dalam mulutnya ketika Pipi menegur Blaze.

"Abang Taufan juga! Telan dulu!" Pipi menepuk-nepuk punggung Taufan, khawatir bahwa si abang yang bernetra biru safir itu tersedak nasi goreng karena tertawa di waktu yang salah.

Dengan bijaknya Solar memutuskan untuk menelan nasi goreng yang tengah dikunyahnya sebelum ia berkomentar. "Maklum, Pipi ... mereka biasanya makan secepat mungkin, seperti takut ketinggalan kereta."

"Aku ngga lho ya," ucap Thorn sebelum Solar menyindir dirinya. "Kata Kak Gempa ngga bagus makan cepat-cepat begitu."

"Memang, makan cepat begitu malah ngga bagus. Ngga nikmat juga makannya .... Ya 'kan, Kak Hali?" Solar menengokkan kepalanya ke arah Halilintar sembari tersenyum tipis.

Halilintar tidak menjawab. Kedua netra merah rubinya masih menatap lurus ke depan dengan tatapan hampa. "Bisa masak apa lagi aku ya?" gumam Halilintar yang larut dalam imajinasinya sendiri.

"Jangan." Solar langsung menepuk lengan Halilintar, yang membuyarkan lamunan si kakak tertua itu. "Enaknya masakan Kak Hali ngga bisa ditebak. Minggu lalu saja Kak Hali masak nasi goreng pakai gula, bukan pakai garam ...."

Halilintar menggeram kesal selepas mendengan komentar Solar. "Bukan salahku, Sol. Ada yang menukar tutup stoples garam dengan gula," gerutu Halilintar seraya melirik tajam ke arah Blaze.

Blaze yang dilirik Halilintar langsung menengok ke arah lain sambil bersiul-siul. Mungkin pura-pura tak tahu adalah jalan terbaik daripada diamuk Halilintar.

Taufan langsung berdehem dan menengahi sebelum Halilintar bertindak lebih jauh lagi atau Blaze mengeluarkan komentar balik yang dapat mencelakai dirinya sendiri. "Sudah, ayo habiskan nasi gorengnya," ucap Taufan sebelum menengok ke arah Halilintar. "Kamu sisakan untuk Gempa dan Ice, 'kan?"

Halilintar menganggukkan kepalanya. "Sudah. Mestinya dua jam lagi mereka pulang."

"Yap." Taufan menengok ke arah Pipi. "Habis ini kita karaoke lagi ya."

"Ayoooo!" Pipi, Blaze, dan Thorn serempak menjawab dengan sangat antusias. "Cari lagu yang lain lagi ya, Bang Taufan," pinta Pipi dengan senyuman ekstra lebar

"Ashiaaaap." Taufan menyambut dengan senyuman ekstra lebar pula sembari merangkul putri Papa Zola itu. "Coba saja abang betulan punya adik macam kamu, Pip."

Sementara Halilintar dan Solar tertunduk lesu setelah mendengar dan melihat interaksi antara Pipi dengan Taufan, Blaze, dan Thorn. "Sepertinya kita harus mengungsi malam ini, Kak ...," keluh Solar seraya melirik lesu pada sang kakak tertua.

Halilintar mendekatkan bibirnya pada daun telinga Solar. "Inilah kenapa aku ngga suka anak kecil ...," bisik Halilintar kepada adiknya yang terkecil itu.

.

Dua jam kemudian.

.

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Gempa dan Ice yang baru saja selesai menjaga kedai tiba di rumah.

"Assalamualaikum, kami pulang," ucap Gempa seraya membuka pintu depan rumahnya. Gempa terheran-heran melihat kondisi rumah yang masih terang benderang. Biasanya seluruh lampu di lantai pertama dimatikan jika para penghuninya tidur.

Ice yang mengekor di belakang Gempa pun heran dengan suara dari televisi yang masih menyala. Lebih mengherankan lagi, tidak ada suara percakapan para penghuni rumah. Hanya suara dengkuran lembut yang sesekali terdengar dari ruang tengah.

"Astaga ...." Gempa menggelengkan kepalanya ketika ia melihat apa yang terjadi dengan saudara-saudaranya di ruang tengah.

Taufan telah tertidur lelap sembari duduk di atas sofa bersama Thorn yang menggunakan paha Taufan sebagai bantalnya. Di sisi yang bersebelahan, Blaze nampak tertidur di atas lantai dengan bersandarkan sofa. Pipi sendiri tertidur di atas sofa yang disandari Blaze.

"Betapa damainya," gumam Gempa sembari tersenyum. "Kalau setiap hari begini pasti tensiku turun."

Tiba-tiba muncullah Solar bersama Halilintar dari dalam dapur. Dibawah himpitan lengan mereka terdapat sebuah tenda yang dilipat rapi dan sleeping bag. "Untung monster-monster ini cepat tidur," ucap Halilintar seraya menghela napas lega.

Gempa terkekeh karena melihat Halilintar dan Solar hendak berkemah untuk menghindari suara bising di dalam rumah. "Bisa kubayangkan seperti apa berisiknya."

"Bukan cuma berisik, Gem. Coba saja kau dengar lagu Baby Shark lima kali non stop. Kujamin tensi darahmu naik," gerutu Halilintar. Tidak ada senyum sama sekali pada wajah si kakak tertua yang lusuh dan cemberut.

Gempa melangkah menuju dapurnya. Langkahnya terhenti sejenak ketika ia berada di samping Halilintar. "Mau bagaimana lagi? Namanya juga mengurus bocah. Nanti kalau kamu menikah juga bakal merasakan," sindirnya senbari menepuk-nepuk pundak si kakak tertua.

"...," komentar Halilintar menanggapi ucapan Gempa.

"Ah sudahlah. Aku ngantuk ...," gumam Solar yang langsung menguap lebar-lebar. "Met tidur semuanya," ucapnya lagi sembari berjalan menuju tangga. Dengan langkah gontai Solar berlalu menuju kamarnya.

"Aku ngga mau tahu," dengkus Halilintar sembari berlalu menuju tangga rumahnya. "Besok pagi, Pipi jadi urusan Taufan, dan kamu Gem."

Gempa langsung membusungkan dadanya dengan penuh kebanggaan. "Tenaaaang. Apa sih yang aku ngga bisa?" ucapnya seakan menantang nasib. "Mengurus kalian berenam saja aku bisa kok. Kita 'kan ber-"

Dalam sekejap mata Halilintar langsung menjepit leher Gempa dibawah lengannya. "Bilang berdikari lagi, maka aku bersumpah akan membuatmu tidur diluar malam ini," desis Halilintar, lengkap dengan aura gelap mencekam. Masih jelas terbayang dalam benak Halilintar ketika dia diamuk oleh Gempa sampai digantung terbalik dari atas pohon gara-gara perkara berdikari cetusan sang ayah (Fanfic: Berdikari).

Gempa meneguk ludahnya. "Ah iya, maaf Hali" cicit si adik yang bernetra cokelat madu itu. "Heggh ... Hali! Aku gak bisa napas!"

Ice yang sedang menyerbu nasi goreng buatan Halilintar hanya berkomentar, "Kasihan Kak Gempa itu .... Mati nanti dia."

Halilintar pun melepaskan Gempa. "Jangan ucapkan kata itu lagi," ucap Halilintar selagi mendecih kesal.

Sebuah senyuman jahil mengulas di wajah Gempa yang mendadak kumat isengnya. Bagaimanapun seorang Gempa juga butuh hiburan setelah jenuh bekerja seharian. "Berdikari!" sahut Gempa sebelum melarikan diri mendahului Halilintar dan menuju kamarnya.

Halilintar langsung mendelik. Kedua kelopak matanya membuka lebar-lebar. "Awas ya! Sini kau Gempa!" pekiknya sembari mengejar si adik yang cekikikan.

"Tumben Kak Gem menggali kuburan sendiri. Dia 'kan sekamar dengan Kak Hali," komentar Ice yang melihat Halilintar mengejar Gempa. "Tiga ... dua ... satu ... dan ...."

"Wuaaaa! Haliii! Ampuuun!" Terdengarlah jeritan Gempa diantara suara berdebum dari lantai dua rumah yang dihuni oleh ketujuh kembar bersaudara itu.

Kurang dari satu menit kemudian, mendaratlah Gempa dengan mulus pada bokongnya di halaman belakang rumah. Menyusul sebuah sleeping bag yang dilemparkan oleh Halilintar melalui pintu belakang.

"Alamak! Haliiiii!" Secepat mungkin Gempa langsung berdiri dan berlari menuju pintu belakang rumahnya.

Sayangnya pintu itu keburu ditutup oleh Halilintar.

"Haliiii!"

"Berdikari!" ketus Halilintar dari balik pintu.

"Halilintar tegaaaaa!"

.

.

.

Bersambung.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi lewat PM (aplikasi FFN Mobile) atau di chapter berikutnya.

Sampai jumpa lagi pada chapter berikutnya.

"Unleash your imagination"

Salam hangat, LightDP.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top