2. Blaze dan Thorn

Matahari mendaki semakin tinggi di atas langit Pulau Rintis. Seiring dengan naiknya meningginya matahari, bergulir pula jarum pendek jam dinding mendekati angka sebelas pada sebuah jam dinding di dalam kamar, dimana Thorn sedang terlelap.

Malam yang lalu, Thorn menghabiskan waktu bergadang bersama Solar hanya karena ia penasaran dengan cerpen yang tengah diketik oleh adiknya itu. Thorn tidak pernah menyangka bahwa adiknya yang terkecil itu mempunyai bakat juga di bidang sastra dan tengah menggarap sebuah cerpen bertemakan drama. Pada awalnya, Thorn tidak terlalu tertarik dengan hobi Solar mengetik cerpen itu, namun ketika ia mengetahui bahwa Solar memakai kakak-kakaknya sebagai karakter di dalam cerpennya, jadilah Thorn tertarik dengan hasil karya Solar. Terutama jika si adik terkecil itu memakainya sebagai salah satu karakter dalam cerpennya.

Selain mengetik cerpen, Solar juga mengajak Thorn bermain game di laptopnya. Memang bukan game-game yang kekinian, namun game jaman dahulu itu lebih dari cukup untuk membuat Thorn penasaran dan akhirnya bergadang sampai matahari terbit.

Beruntung Thorn atau Solar tidak berubah menjadi debu ketika tubuh mereka diterpa sinar matahari pagi sewaktu Gempa menyibakkan seluruh tirai jendela rumah.

Menghindar dari sinar matahari pagi, Thorn malahan mendekatkan dirinya sampai menempel pada Solar. Bukannya naik ke lantai dua dan masuk kamar untuk tidur, Thorn malahan tertidur dengan bersandar pada lengan Solar yang sebetulnya tidak terasa nyaman karena rasio tulang dan daging yang tidak seimbang.

Bagaimana Thorn yang tertidur pada lengan Solar bisa sampai ke kamarnya? Gempalah yang menggendongnya sebelum dioper ke Taufan, yang melanjutkan menggotong Thorn sampai ke kamar.

".... Thorn ...."

"Ngh ...," lenguh Thorn ketika secara samar-samar ia mendengar namanya dipanggil. Alih-alih bangun, Thorn malah membalik posisi tubuhnya dari kiri ke kanan.

"Abang Thorn!"

"Ngrh ... apa, eh ...?" Kedua kelopak mata Thorn membuka ketika ia menyadari bahwa suara yang memanggil namanya itu berbeda dari semua saudara-saudaranya. Lebih terkejut lagi Thorn karena suara yang memanggil itu adalah suara perempuan. Nyaris secepat kilat Thorn langsung bangkit terduduk dari tidurnya. "Apa? Hah? Pipi Zola?" Thorn mengucek kedua matanya ketika ia melihat puteri dari gurunya itu berada di dalam kamarnya dan membangunkannya dari tidur.

"Sudah pagi Abang Thorn!" sapa Pipi Zola dengan senyum cerianya.

"Ah, eh .... Selamat pagi, Pipi." Thorn menyapa balik sambil memaksakan sebuah senyuman.

"Ish abang nih. Sekarang jam sebelas siang."

Kedua netra hijau tua Thorn langsung mengedip dengan cepat. "Jam sebelas siang?" Thorn langsung menyambar ponselnya yang berada di atas sebuah meja kecil di sisi ranjangnya. "Wah iya jam sebelas siang," gumam Thorn setelah ia memeriksa jam pada layar ponselnya itu.

"Abang Thorn bergadang ya? Tidur kemalaman?" tanya Pipi Zola sembari menarik-narik selimut yang digunakan Thorn.

Thorn membiarkan selimutnya ditarik oleh Pipi Zola. "Iya, Pipi, abang ngga tidur semalam," keluh Thorn sembari menggeser posisi duduknya sampai ke tepi ranjangnya.

"Harus lapor papa nih! Anak murid kebenaran bergadang!" ketus Pipi dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

"Ah jangan!" Thorn langsung panik ketika gurunya itu disebut oleh Pipi. Hal yang terakhir adalah ia menjadi bulan-bulanan ocehan Papa Zola karena gurunya itu sangat tidak suka dengan murid yang bergadang."Uh ... Pipi keluar dulu ya? Abang Thorn mau mandi dulu," ucap Thorn sembari terkekeh gugup.

"Oke, jangan lama-lama ya Abang Thorn. Nanti Pipi mau jalan-jalan dengan Abang Blaze dan Abang Thorn," ujar Pipi sembari melangkah keluar dari kamar milik Thorn dan Blaze.

Thorn tersenyum sembari memperhatikan Pipi yang melangkah, hampir meloncat-loncat keluar dari kamarnya. Namun senyum remaja bernetra hijau tua itu langsung lenyap begitu puteri dari Papa Zola itu menghilang di balik daun pintu kamarnya. "Alamak ... mimpi apa tadi aku," keluh Thorn yang dengan ogah-ogahan melangkahkan kedua kakinya menuju kamar mandi.

Sementara menunggu Thorn selesai mandi, Pipi sudah kembali berada di ruang tengah bersama dengan kakak kembar dari Thorn yang tidak lain adalah Blaze. Seperti biasa, siang itu Blaze berpakaian kaus armless merah berhiaskan corak lidah api dan celana pendek hitam yang sedikit melebihi lututnya.

"Abang Blaze, kita mau kemana nih?" tanya Pipi dengan antusias.

"Hm ...." Blaze berdehem panjang sementara otaknya berpikir mencari jalan untuk menghibur puteri gurunya itu supaya tidak bosan. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke taman kota?"

Pipi langsung mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias, persis seperti boneka pajangan dashboard mobil berpegas. "Waaah! Pipi mau!"

"Nanti kita cari buah mangga sekalian yuk?" Blaze menawarkan. "Katanya lagi musim nih."

"Wuaaah. Buah mangga?! Ayo!" sambut Pipi dengan semangat.

"Nah, kalau begitu kita tunggu Abang Thorn selesai mandi, nanti kita jalan-jalan bertiga."

"Jalan-jalan kemana, Blaze?" Terdengarlah suara Thorn bertanya. Dia baru saja selesai mandi dan sedang menuruni tangga rumah ketika ia mendengar percakapan antara kakak kembarnya dengan Pipi.

Blaze langsung menengok ke arah adik kembarnya. Thorn yang sudah selesai mandi kini berpakain kaus lengan pendek hitam dengan celana pendek hitam juga yang berhiaskan corak tribal berwarna hijau. "Nah, selesai juga mandinya." ucap Blaze sembari berdiri dari duduknya. "Ayo kita jalan-jalan ke taman kota sama Pipi."

"Tumben?" Thorn menatap kakak kembarnya sembari memiringkan kepalanya sedikit, ciri khasnya jika ia kebingungan.

"Sudah, ayo ikut saja lah."

Thorn mengedikkan bahunya dan mengikuti saja kemauan Blaze itu.

Jarak menuju taman kota Pulau Rintis itu tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Beruntunglah langit siang itu berawan cukup tebal dengan disertai hembusan angin yang cukup kencang. Cuaca siang itu begitu sejuk dan bersahabat sehingga berjalan kaki pun menjadi lebih nyaman. Barisan pohon-pohon yang rindang pun cukup melindungi Blaze, Pipi dan Thorn yang berjalan saling bergandengan dari sinar matahari yang sesekali muncul dibalik awan tebal.

"Abang Blaze?" panggil Pipi sambil menengok ke arah remaja bernetra merah terang yang menggandeng tangan kanannya.

"Iya Pipi?"

"Memang ada yang jual mangga di taman kota?" tanya Pipi Zola lagi ketika ia dan kedua pengawalnya berjalan semakin dekat dengan taman kota Pulau Rintis.

"Ah, gampang. Pasti ada kok Pip," jawab Blaze sembari menebar senyum termanisnya yang ekstra lebar.

Pipi langsung merengut ketika Blaze menyingkat namanya. "Pip? Nama Pipi kok disingkat sih?" ketus sang puteri kebenaran dengan kedua pipi gempanya yang menggembung.

"Hssshhh ... comelnya," desis Thorn yang secara reflek mencubit kedua pipi sang puteri kebenaran dengan gemasnya.

"Ihhh! Abang Thorn!" Tangan mungil Pipi langsung mengibas, mengusir tangan Thorn yang melanggar pipinya.

Alih-alih diam, Thorn malah semakin gemas. "Awh ... coba aku punya adik perempuan semanis kamu, Pip."

"Hey, hey, sudah Thorn. Kamu membuat Pipi takut," ketus Blaze sembari menarik Pipi lebih dekat lagi kepadanya.

"Tuh 'kan! Nama Pipi disingkat lagi!" ketus Pipi, tidak terima kalau nama yang dianugerahkan oleh ayahnya itu diubah-ubah secara semena-mena.

"Ah, maaf Pipi. Kita kebiasaan begitu." Blaze memasang senyum lembut terbaiknya untuk Pipi yang tampaknya berhasil mengusir raut cemberut wajah sang puteri kebenaran. "Seperti Abang Hali, Abang Ufan, Abang Gem, Abang Sol atau Abang Lar."

"Ooh begitu." Pipi menganggukkan kepalanya, mulai memahami seperti apa cara menegur ketujuh bersaudara kembar yang akan menjaganya itu. "Kalau Abang Thorn? Abang Ice? dan Abang Blaze sendiri?"

"Pfftt. Panggil saja dia Abang Lez, Pip," celetuk Thorn sembari menutup mulutnya dan menahan tawa.

"Abang B-L-A-Z-E. Blaze!" Blaze langsung mengoreksi celetukan Thorn sebelum ditiru oleh Pipi

"Abang L-E-Z, Lez!" sahut Thorn. Kali ini ditambah dengan menjulurkan lidah.

Sementara Pipi yang terjepit ditengah-tengah antara kedua kakak beradik kembar itu menengok kebingungan pada mereka berdua secara bergantian. "Kok abang berantem?"

Kata-kata Pipi membuat Blaze dan Thorn terdiam.

"Ah, maaf. Namanya juga kakak adik, sudah biasa begitu," ucap Blaze yang berusaha memperbaiki keadaan.

"Baikan dulu dong!" sahut sang puteri kebenaran sambil mendekatkan tangan Blaze pada tangan Thorn.

Yang terjadi berikutnya membuat kedua kakak beradik kembar itu tercengang. Jari kelingking mereka berdua saling dikaitkan oleh Pipi.

"Hahahahaha." Thorn tertawa melihat jarinya kelingking bertautan dengan kelingking Blaze. "Astaga, Blaze. Aku jadi ingat masa-masa kita waktu masih TK dulu."

"Eh buset!" ujar Blaze yang tidak menyangka Thorn masih ingat masa kecilnya. "Kamu masih ingat? Aku saja sudah lupa."

"Abang Blaze, Abang Thorn pernah TK juga kah?"

"Ya pernah lah Pipiiii," ucap Thorn yang gemas seraya mengacak-ngacak rambut putri gurunya itu.

"Iiihh! Abang Thorn!" ketus Pipi yang langsung bersembunyi dibalik kaki Blaze.

"Sini, sini sama Abang Blaze." Blaze langsung melindungi Pipi dari serangan gemas Thorn. "Abang Thorn ngga tahan karena kamu itu imut, Pipi." ucapnya lagi setengah memuji.

"Pastilah!" sahut Pipi dengan bangganya. "Pipi 'kan anak kebenaran, saudara kecomelan." tambahnya sembari berpose legendaris ala Papa Zola.

Blaze dan Thorn tertawa melihat kelakuan Pipi yang memang mirip dengan ayahnya. Tanpa ada insiden, mereka berdua dan Pipi pun tiba di Taman Kota yang relatif agak sepi.

Memang mendung dan hujan yang kerap terjadi di Pulau Rintis srmasa musim penghujan itu menyurutkan minat sebagian orang untuk berjalan-jalan menikmati alam terbuka. Walaupun begitu ada saja yang tetap memanfaatkan cuaca sejuk karena mendung itu untuk bersantai.

Pipi pun terlihat bersemangat ketika ia dan dua pengawalnya tiba di taman kota Pulau Rintis yang luas itu. Ia langsung berlari mendekati tepian sebuah danau buatan besar yang fungsi aslinya adalah untuk penampungan air hujan. Yang menarik dari danau buatan itu adalah airnya yang relatif jernih dan tenang. Belum lagi terdapat ratusan ikan-ikan besar berenang kian kemari di danau itu yang menjadi daya tarik tersendiri. Danau buatan itu pun mengundang ratusan burung-burung untuk singgah dan meramaikan suasana.

Blaze dan Thorn membiarkan Pipi berlari di depan mereka. Keduanya memberi kebebasan bagi Pipi untuk bermain dan berlarian sepuasnya tanpa menghalangi. Hanya dari kejauhan saja Blaze dan Thorn mengawasi Pipi.

"Aku jadi ingat waktu kita kecil," gumam Blaze. Diperhatikannya Pipi yang tengah bermain-main dengan anak-anak lain seusianya yang kebetulan sedang berada di taman itu.

"Ya .... Aku, kamu, Solar, Ice ...." Thorn tersenyum-senyum sendiri, mengingat masa kanak-kanaknya. "Kita semua bermain bersama di taman ini. Waktu itu danaunya masih belum diperbesar seperti sekarang. "

"Danau?" tanya Blaze sebelum mendadak tertawa geli.

"Eh? Ke-Kenapa?" Thorn langsung menengok ke arah kakak kembarnya yang tengah cekikikan tanpa alasan.

"Kamu lupa? Dulu belum ada danau disini. Cuma saluran air seperti selokan. Aku masih ingat kamu suka nyemplung mencari kecebong."

"Waaah, iya! Kamu masih ingat!" Thorn pun ikutan cekikikan. Masa lalunya seakan terputar kembali dalam ingatannya. Bahkan Thorn merasa ingatan masa kanak-kanaknya yang dibangkitkan oleh Blaze belum lama berlalu. "Duuuh. Kalau ngga ingat umur aku mau nyemplung ke danau itu lagi," keluh Thorn seakan meratapi usianya selagi ia memandang danau yang terbentang.

"Makanya Pipi aku ajak kesini," ucap Blaze. "Sekalian mengenang masa lalu kita," tambahnya lagi sebelum ia melangkah mendekati Pipi.

"Hah?" Thorn mengerenyitkan dahi. Dicobanya untuk mengingat-ingat apa yang biasa dikerjakan Blaze semasa kanak-kanak. Hanya ada satu jawaban yang Thorn temukan dalam ingatannya dan jawaban itu membuatnya menggelengkan kepala. "Blaze, Blaze. Masih saja kamu ini ...."

Barulah Thorn mengerti kenapa Blaze menyebut-nyebut mencari buah mangga di Taman Kota karena kini kakak kembarnya itu merangkul Pipi dan menunjuk-nunjuk pada pohon mangga yang berbuah ranum.

".... Jadi Pipi tunggu di bawah. Abang Blaze nanti naik ke atas pohon lalu memetik buah mangganya. Pipi sama Abang Thorn tangkap buahnya." Baru saja Blaze menjelaskan isi rencananya kepada Pipi.

"Boleh ya memanjat pohon Taman Kota?" tanya Pipi yang terlihat tidak nyaman dengan rencana Blaze itu. Apalagi ketika ia melihat Blaze mulai melepaskan sandalnya dan mengambil ancang-ancang untuk memanjat sebuah pohon mangga yang terletak agak tersembunyi di tepi danau. "Atau mengambil buahnya?" Pipi lanjut bertanya.

Blaze menarik napas panjang sebelum ia menapakkan kakinya pada batang pohon mangga yang hendak dipanjatnya. "Boleh kok!" sahut Blaze sambil mendorong tubuhnya ke atas. "Selama ngga ketahuan," tambahnya lagi.

"Iihh! Abang Blaze!" ketus Pipi sembari bertolak pinggang. "Itu namanya mencuri!"

"Membebaskan buah dari pohonnya!" sahut Blaze sambil memanjat pohon mangga itu semakin tinggi.

"Abang Thorn kok diam saja?!" Pipi menengok ke arah Thorn yang memandangi kakak kembarnya, yang sedang memanjat pohon mangga.

"Percuma melarang Abang Blaze itu, Pipi," jawab Thorn dengan raut wajah yang terlihat senang. "Lagipula, aku juga mau mangga."

"Ah Abang Thorn mah sama saja dengan Abang Blaze." Pipi langsung cemberut.

Tidak lama mulailah beberapa buah mangga jatuh dari atas pohon yang dipanjat Blaze. Dengan sigap Thorn menangkap buang mangga yang berjatuhan, walaupun ada yang tidak tertangkap dan jatuh ke tanah.

"Hey! Dilarang memanjat pohon taman ini!" Terdengarlah suara seorang petugas kebersihan taman yang berteriak dari kejauhan.

"Alamak!" Thorn menengok ke arah sumber suara itu. Kedua netra hijau tuanya langsung membuka lebar sementara pupilnya mengecil. "Blaze! Turun! Kita ketahuan!" teriaknya pada Blaze yang masih berada di atas pohon mangga.

"Alamak!" Tanpa membuang waktu, Blaze langsung berusaha turun dari pohon mangga yang tengah dipanjatnya.

"Turun! Kamu mau dikurung di gudang sapu dia lagi? Cepat!" desis Thorn yang semakin panik ketika ia melihat petugas kebersihan taman berlari menghampiri.

Menyadari bahwa jaraknya dari atas pohon ke tanah sudah tidak terlalu tinggi, Blaze memutuskan untuk melompat turun. Ia langsung menggendong Pipi di atas pundaknya sebelum melarikan diri bersama Thorn keluar dari taman kota. Di belakang Blaze berlarilah Thorn dengan membawa mangga hasil akuisisi mereka.

Beruntung bagi Blaze dan Thorn karena petugas kebersihan taman kota itu tidak mengejar terlalu jauh. Keduanya berhenti berlari ketika jarak mereka dengan taman kota sudah cukup jauh.

"Ish, Abang Blaze nih!" gerutu Pipi ketika ia diturunkan dari pundak Blaze. "Mencuri itu dilarang, tahu!" ketus Pipi sembari bertolak pinggang. Tidak seperti biasanya, tatapan mata bocah perempuan kecil itu cukup tajam bahkan sampai membuat Blaze dan Thorn meneguk ludah.

"Persis seperti emaknya ...," komentar Blaze dengan berbisik kepada Thorn.

"Yap, persis seperti Mama Zila...," balas Thorn dengan menganggukkan kepalanya. "Sudahlah, Pip. Kita dapat mangga gratis, 'kan?" ucap Thorn sembari terkekeh gugup dan tersenyum lebar yang jauh dari kata meyakinkan.

Blaze meraih sebuah mangga yang dipegang oleh Thorn. Secara refleks Blaze mendekatkan mangga itu pada hidungnya. "Hmm ... wangi. Pasti manis nih," ucap Blaze dengan riang dan bangganya.

Thorn pun langsung meniru Blaze dan ia mengendus bau mangga itu. "Iya baunya wangi sekali." Bahkan si adik kembar yang bernetra hijau tua itu terlihat puas dengan mangga yang diakuisisi oleh kakak kembarnya.

Karena hari sudah menjelang sore maka Blaze dan Thorn mengajak Pipi pulang ke rumah. Di sepanjang perjalan si tuan putri kebenaran merengut tak henti-henti. Bocah perempuan itu jelas sekali tidak suka dengan cara kedua abang penjaganya itu mendapatkan buah mangga. "Tuhan ngga suka anak yang mencuri ...," ketus Pipi yang masih saja merengut kesal.

"Bukan mencuri," sahut Blaze sembari menggosok-gosok hidungnya yang terasa gatal. "Hanya membebaskan buah dari pohonnya."

"Ada yang aneh." Thorn mulai ikutan menggosok-gosok hidungnya. "Kenapa hidungku mendadak gatal-gatal?" gumamnya yang kini mulai menggaruki kulit bagian hidungnya.

"Ahhh!" pekik Blaze yang merasakan hidungnya semakin gatal. Digaruk pun tidak menghilangkan rasa gatal, bahkan malah memperburuk situasi. "Alamaaaak! Lari! Pulang!" jerit Blaze yang panik karena rasa gatal di hidungnya semakin menjadi.

Thorn yang mengalami masalah sama berlari mengikuti Blaze. Tak lupa Thorn mengantungi semua buah mangga yang dibawanya dari taman kota, dan kali ini ia berinisiatif menggendong Pipi sampai ke rumah.

Bahkan kedua kakak beradik itu langsung menerobos masuk ke dalam rumah mereka tanpa permisi lebih dahulu.

"Huaaaa! Kak Gem! Tolong!" Menjeritlah Blaze setibanya ia di rumah bersama Pipi Zola dan Thorn.

"Kak Taufaaaaaan! Tolong! Hidung Thorn!" Bagaikan paduan suara yang tidak kompak, Thorn ikutan menjerit.

Terdengarlah suara langkah berdebum pertanda ada orang yang berlarian di lantai dua. Tak lama berselang, muncullah Gempa menuruni tangga rumah sementara Taufan meluncur turun dengan menggunakan rel pegangan tangan tangga rumah sebagai perosotan.

"Apa yang ...?" Kedua kelopak mata Gempa mengedip-ngedip ketika dilihatnya Blaze dengan hidung yang merah hampir seperti menyala.

Taufan pun terkejut melihat Thorn yang menggosok-gosok hidungnya. "Kalian kenapa?" tanya Taufan sembari menghampiri kedua adiknya yang sedang sibuk dengan urusan hidung mereka masing-masing.

"Gataaaal!" sahut Thorn sambil menggaruki hidungnya. "Ahhh! Tolong Kak Ufaaan!" rengek Thorn.

"Abang Blaze, Abang Thorn curi-curi mangga di taman kota tadi," ucap Pipi sambil menunjuk saku celana Thorn dan Blaze yang menggembung.

Gempa memutar bola matanya ke atas setelah mendengar jawaban Pipi. "Coba keluarkan," ujar Gempa sambil menunjuk saku celana Blaze.

Blaze dan Thorn segera mengeluarkan semua mangga hasil akuisisi mereka. Total seluruhnya ada lima buah mangga yang diletakkan di atas meja makan. "Ini kak," lirih Blaze sembari menutupi hidungnya yang benar-benar merah menyala.

Gempa dan Taufan mengamati kelima buah mangga yang dibawa oleh Blaze dan Thorn sementara kedua adiknya itu meringis-ringis sambil menggosok dan menggaruk hidung mereka.

Sebuah senyum mengulas di wajah Gempa ketika ia menengok ke arah Taufan. "Fan?"

Taufan sendiri terllihat bibirnya berkedut-kedut. "Ya Gem?"

"Kamu tahu ini apa, 'kan?" tanya Gempa seraya menunjuk pada lima buah mangga yang berada di atas meja.

"Pffftt ... yap!" Taufan melirik ke arah Thorn dan Blaze sebelum tawa cempreng nan kampretnya pecah membahana.

Tidak hanya Taufan. Bahkan Gempa pun tertawa terpingkal-pingkal. "Ooh ... hahahahaha! Astaga!" ucapnya ditengah tawa yang membuat perutnya sakit. "Wahahahahaha! Kalian! Pffftttt!"

"Bahahahahahah! Kalian tahu ini apa?!" Taufan menunjuk pada kelima buah mangga yang berada di atas meja. "Astaga! Ini bukan mangga biasa!"

"Hah?" Blaze dan Thorn menatap aneh pada Taufan dan Gempa yang tertawa terbahak-bahak.

"Ini mangga bacang! Pasti kalian cium baunya!" sahut Gempa seraya mengusap air matanya yang menitik di tengah tawanya. "Kulit mangga bacang ini memang bikin gatal!"

"Wuahahahahahaha! Habislah kalian! Pffftttt! Blaze dan Thorn, rusa kecil berhidung merah! Wahahahaha!" Bahkan Taufan jatuh terduduk karena sesak napas dan sakit perut di tengah tawanya.

"KAK UFAAAAAAN!" ketus Blaze dan Thorn berbarengan. Dengan sewotnya Blaze dan Thorn memukuli lengan Taufan. Wajah keduanya merah padam karena malu, namun hidung mereka jauh lebih merah lagi.

"Makanya, kan Pipi bilang ngga boleh mencuri mangga!" tambah Pipi yang memperburuk situasi Blaze dan Thorn.

"Hueeee! Kak Ufan jahat!" rengek Thorn dengan berlinang air mata. "Hiks ... hiks .... Huaaaaaa! Ini semua gara-gara mangga Blaze!"

"Hey! Kamu juga mau, 'kan?!" ketus Blaze yang mati-matian berusaha untuk tidak ikutan menangis walaupun bibirnya berkedut-kedut.

"Pffff! Su-sudah ... hmph ... si-sini kita ... obati ... pffftt. Hahahahahahaha ...." Alih-alih berhenti, Gempa malah kembali tertawa.

"Ini semua kau punya perkara, Blaze!" ketus Thorn sembari menunjuk Blaze dengan jari yang gemetaran.

"Biar kubuang mangga bacang ini." Secara sukarela Taufan mengambil sebuah kantung plastik bekas dari dapur. Dengan hati-hati ia memasukkan semua mangga yang dibawa oleh kedua adiknya itu ke dalam kantung plastik. "Sebaiknya makanan hasil curian begini ngga dimakan. Yang ada nanti malah apes," sambung Taufan seraya membuang mangga yang sudah dibungkus plastik itu ke dalam tempat sampah.

"Omong-omong .... Kalian memegang mangga itu dengan tangan, 'kan? Lalu kalian pegang apalagi?" tanya Gempa ketika ia membuka kotak obat yang disimpan di dalam kulkas.

"Ngga ada pegang apa-apa lagi, kecuali ...." Kata-kata Blaze terhenti mendadak. "Alamak... Habislah akul," lirihnya ketika ia mulai merasakan gatal-gatal pada bagian tubuhnya yang tidak tertutup kaus armlessnya.

"Ahhh! Leherku gatal!" desis Thorn yang kini mulai menggaruki lehernya yang mengeluarkan bintik-bintik merah.

"Ahhh! Ketek aku!" Mulailah Blaze menggaruki ketiaknya sendiri yang juga terlihat mengeluarkan bintik-bintik merah.

Melihat Blaze yang menggaruki ketiaknya dan Thorn yang menggaruki lehernya, Gempa langsung mengambil empat butir tablet dari dalam kotak obatnya. Tidak lupa ia mengambil air minum untuk kedua adik-adiknya.

"Minum obat anti alergi ini," ucap Gempa seraya menyodorkan dua butir tablet kepada Thorn dan Blaze masing-masing.

Tanpa pikir panjang, Blaze dan Thorn langsung mengambil tablet yang disodorkan Gempa dan menenggaknya.

"Aihhh. Kak Gem tolong!" lirih Blaze yang lanjut menggaruki ketiak dan hidungnya yang gatal.

"Apa? Aku ogah menggaruki ketekmu itu, Blaze," ketus Gempa sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Tunggu saja, nanti juga obatnya bereaksi."

Pipi sendiri terbengong-bengong ketika ia melihat interaksi antara Blaze, Thorn, Gempa, Taufan. Belum pernah bocah itu melihat seperti apa kelakuan BoBoiBoy bersaudara itu di rumah mereka sendiri.

Mendadak Blaze berhenti menggaruki ketiak dan hidungnya. Thorn pula berhenti menggaruki leher dan hidungnya. Bukan hanya berhenti menggaruk, keduanya terlihat mulai sempoyongan.

Gempa menengok ke arah Taufan sebelum melirik ke arah Thorn dan Blaze.  Mulailah Gempa menghitung mundur, "Tiga ... dua ... satu ... dan .... Tidurlah."

-Bruk-

Seperti mekanisme jarum jam, Blaze dan Thorn terkulai lemas tepat pada kata-kata terakhir Gempa. Blaze bersandar pada lengan Thorn sementara Thorn bersandar pada kepala Blaze. Dengkuran lembut terdengar dari tenggorokan keduanya yang lelap karena dosis ganda obat anti alergi yang diberika Gempa.

"Lain kali colong lagi tuh mangga bacang," ucap Gempa sambil menggelengkan kepalanya. Dari dalam kotak obatnya Gempa mengambil sebotol besar alkohol dan kapas.

Dengan menggunakan kapas yang dibasahi alkohol, Gempa membersihkan tangan kedua adiknya. Tidak lupa Gempa membersihkan leher Thorn dan ketiak Blaze menggunakan kapas beralkohol untuk menghilangkan sisa-sisa getah mangga bacang penyebab reaksi alergi pada kulit kedua adiknya itu.

"Fan, kamu gotong Thorn. Aku gotong Blaze ... bawa ke kamar mereka dan ganti bajunya ...," perintah Gempa seusai mengobati kedua adiknya itu.

"Huuuh. Ya deh.  Ada-ada saja pakai acara nyolong mangga," ucap Taufan sebelum. Dia pun menengok ke arah kamu yang sedang membaca fanfic ini. "Jangan mencuri ya? Nanti kena apesnya seperti Blaze dan Thorn ini."

"Kamu ngomong sama siapa, Fan? Ayo angkat mereka," ucap Gempa sembari meletakkan tubuh Blaze yang seakan tak bernyawa itu di atas pundaknya.

.

.

.

Bersambung.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi lewat PM (aplikasi FFN Mobile) atau di chapter berikutnya.

Sampai jumpa lagi pada chapter berikutnya.

"Unleash your imagination"

Salam hangat, LightDP.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top