1. Tugas Dadakan
Babysitter
Pada awal liburan sekolah, ketujuh kembar bersaudara kita ini kedapatan tugas dari guru sekolah mereka. Kali ini tugas mereka adalah menjaga Pipi Zola.
Author note:
-Boboiboy dan seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam karakter-karakternya. Tidak ada keuntungan materi yang didapat dari fanfic ini
-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI. Slice of life, Elemental Siblings, AU. tanpa super power, OOC (mungkin?)
-Special thanks untuk kolega-kolega author di group Whatsapp Fanfiction Addict untuk idenya.
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut dari yang tertua:
-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun
-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.
-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.
-BoBoiBoy Blaze: 16 tahun.
-Boboiboy Thorn/Duri: 16 tahun.
-Boboiboy Ice/Ais: 15 tahun.
-Boboiboy Solar: 15 tahun
-Pipi Zola: 5 tahun.
.
Selamat membaca.
.
Chapter 1. Tugas Dadakan
"Hoooaaahhhmmm." Taufan menguap selebar-lebarnya setelah ia membuka kedua kelopak matanya.
Seperti biasa, Taufan meregangkan seluruh otot-otot tubuhnya ketika bangun pagi dengan cara mengangkat kedua tangannya selurus mungkin melewati kepala. Sedangkan untuk bagian kaki, Taufan memutar-mutarkan persendian tumitnya saja.
Hal terakhir yang Taufan inginkan untuk terjadi di pagi hari adalah keram menyerang otot betisnya.
"Selamat pagi duniaaaa!" ucap Taufan seraya menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Bagaikan pegas yang terlepas, Taufan langsung terduduk di atas ranjangnya. Digosok-gosoknya kedua lengannya yang langsing dan tidak tertutup kaus singlet putih yang ia pakai untuk tidur semalam.
"Ngrrrhh ...." Terdengar suara geraman dari sebuah ranjang lagi yang berada berseberangan dengan ranjang Taufan.
"Pagi Hali!" sapa Taufan dengan cerianya.
"Ngh. Taufan, ini baru jam enam pagi. Tidur lagi sana," ketus Halilintar dengan nada yang jauh dari kata antusias menyambut pagi hari.
"Dasar pemalas," bisik Taufan selagi ia menjejakkan kakinya di atas lantai yang terasa dingin karena efek dari AC dan kipas angin yang dipasang olehnya.
Dengan cekatan Taufan langsung merapikan ranjangnya. Selimut berbahan handuk miliknya dilipat sekecil mungkin dan diletakkan pada tepi kaki ranjang. Tiga buah bantal dan tiga buah guling miliknya ditata rapi pada tepi kepala ranjangnya.
Setelah ranjangnya sudah rapi, Taufan melepaskan kaus singlet yang melekat pada tubuhnya yang langsing. Kemudian ia menyambar handuk miliknya yang langsung digantungkan pada lehernya.
Sembari bersiul-siul riang, Taufan melangkah masuk ke dalam kamar mandi guna menuntaskan ritual paginya.
"Dasar happy virus," dengkus Halilintar sembari membalikkan tubuhnya yang tertutup bedcover yang merangkap selimut. Dibawah bedcover itu tubuh Halintar yang terbungkus kaus lengan pendek meringkuk seperti fetus. Tidak seperti adiknya, Halilintar tidak terlalu tahan dengan hawa dingin.
Dan Halilintar bukanlah morning person. Dia mampu bangun awal di pagi hari tanpa masalah, namun moodnya biasanya akan buruk. Si kakak tertua lebih suka jika ia bisa tidur sedikit lebih lama daripada biasanya.
Baru saja Halilintar memejamkan kedua netra merah rubinya ketika ....
"Sakitnya tuh disini, di dalam hatikuuu!" Terdengarlah suara nyanyian cempreng nan kampret Taufan dari balik pintu kamar mandi ditengah iringan suara gemerecik pancuran shower.
"Astaga Taufan!" ketus Halilintar yang langsung tengkurap di atas ranjangnya dan menyelipkan kepala ke bawah bantal.
"Abang jarang pulaaaang, aku jarang dibelaiiii!" Semakin keras suara cempreng Taufan terdengar dari balik pintu kamar mandi.
Hilang sudah selera Halilintar untuk tidur lagi, apalagi setelah disuguhi konser dadakan tak diundang dari Taufan. Dengan ogah-ogahan Halilintar menyibakkan bedcover yang ia jadikan selimut. Tanpa merapikan ranjangnya, Halilintar langsung menyambar handuk miliknya yang dijemur di dekat pintu kamar mandi.
"Padahal masih pagi ...," gerutu Halilintar sembari berjalan keluar dari kamarnya. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu yang menuju kamar kedua adiknya, barangkali ia bisa meminjam kamar mandi milik Thorn dan Blaze.
"Thorn, Blaze?" panggil Halilintar seraya mengetuk pintu kamar kedua adiknya.
Tanpa menunggu jawaban, Halilintar langsung membuka pintu kamar itu. Tidak biasanya ia berbuat seperti itu, biasanya Halilintar akan menunggu jawaban balik dari si empunya kamar. Namun pagi itu fungsi tubuh Halilintar sudah bekerja karena ia terbangun dari tidurnya. Sebagai bagian dari ritual pagi, Halilintar merasakan kantung kemihnya sudah mendesak untuk dikosongkan sesegera mungkin.
Bahkan Halilintar tidak menghiraukan adiknya masih meringkuk di balik selimut berwarna merah. "Pinjam kamar mandimu, Blaze. Kamar mandiku dipakai Taufan," ucap Halilintar sembari berlalu masuk ke dalam kamar mandi.
"Ya, ya, ya. Pakai sana," gumam Blaze tanpa membuka kedua kelopak matanya. Ia hanya sedikit menggeser posisi tubuhnya di atas ranjang sebelum kembali masuk ke dalam alam mimpinya.
Nampaknya hampir semua orang di rumah tidak ada yang berminat untuk bangun pagi. Siapa juga yang mau bangun pagi-pagi di waktu libur? Kecuali Taufan yang mungkin moodnya sedang luar biasa baik, atau Gempa yang memang terbiasa bangun pagi, atau Solar yang memang belum tidur sejak semalam dan sedang menemani Gempa.
Seperti biasa, Solar tengah menghadapi laptopnya yang diletakkan di atas meja makan. Si adik terkecil duduk meringkuk bersila di atas sebuah bangku. Sehelai kain sarung menutupi tubuhnya yang berpakaian kaus singlet abu-abu dan bercelana pendek saja.
Sesekali Solar melepas kacamata visornya untuk mengucek-ngucek bola matanya yang sudah memerah. Bahkan kantung hitam dibawah matanya sudah terlihat dengan jelas.
Bersandar pada Solar dan nampak terlelap adalah Thorn. Si kakak yang bernetra hijau tua itu dari semalam menemani Solar bergadang karena terdorong rasa penasaran dengan cerpen yang tengah diketik oleh adiknya.
Namun karena tidak biasa bergadang, Thorn dengan cepat tewas dengan bersandar pada lengan adiknya. Jadilah ia menjepit Solar diantara tubuhnya sendiri dan tembok rumah.
"Bukannya tadi aku suruh kamu tidur, Sol?" tanya Gempa yang melihat Solar dari ambang pintu dapurnya.
Solar mengangkat kepalanya dan melihat kakaknya yang tengah memasak. "S ,O, L, A, R. Solar! Jangan disingkat begitu namaku," dengkus si adik dengan muka cemberut. "Lagipula gimana aku bisa bangun?" tanya Solar dan menunjuk pada Thorn yang tengah terlelap.
Gempa menghela napas panjang selagi ia melihat Thorn yang berbaju kaus armless hitam itu tertidur pada lengan Solar. "Ini lagi satu malah ikutan bergadang ...."
Gempa menoleh ke arah kompornya dan kemudian ke arah Thorn lagi. "Ada-ada saja ...," keluhnya sebelum mematikan api kompornya itu. Setelah memastikan kompornya sudah aman, Gempa melepaskan celemek pink yang menutup tubuhnya. Kemudian ia berjalan mendekati Thorn dan Solar.
"Thorn ...," tegur Gempa dengan suara selembut mungkin. "Ayo bangun, pindah ke kamar."
"Mhhh ... Kak Gem," gumam Thorn tanpa membuka kedua kelopak matanya. Alih-alih bangun, Thorn malah menyandar semakin nyaman pada lengan Solar.
"Kak Geeem. Tolong," desis Solar yang terjepit diantara Thorn dan tembok rumah. "Thorn berat!"
Sebuah pemandangan langka. Thorn yang begitu damainya terlelap bertumpukan Solar sebagai sandaran. Dengan cepat Gempa mengeluarkan ponsel miliknya. Ia mengarahkan kamera ponselnya pada kedua adiknya itu.
"Ish Kak Gem sempat-sempatnya," gerutu Solar.
"Kalian begitu imut tahu?" ujar Gempa sambil tersenyum-senyum. Setelah menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celana, barulah Gempa menolong Solar.
"Ayo Thorn, bangun." Kembali Gempa menepuk-nepuk tubuh adiknya itu dengan lembut.
"Mmmhhh ...." Dengan gontainya Thorn berusaha untuk duduk tegak, yang malah berakhir dengan dirinya yang bersandar pada tubuh Gempa. "Gendong ...."
"Astaga anak ini," keluh Gempa. Merasa tidak pumya pilihan lain, Gempa mengencangkan otot-otot lengan dan pundaknya. Selembut mungkin ia mengangkat dan menggendong tubuh Thorn yang terkulai seperti boneka marionet yang putus tali.
Betapa leganya Solar ketika beban tubuh Thorn tidak lagi menjepitnya. "Terima kasih Kak," ucap Solar sebelum ia mematikan laptopnya. Setelah laptopnya itu selamat melalui proses shut down, Solar mencabut kabel-kabelnya.
Jadilah Gempa mendaki tangga rumah dengan menggendong Thorn sementara di belakangnya mengekor Solar yang menggendong laptopnya.
"Ini anak makan apa sih? Kecil-kecil tapi berat," dengkus Gempa diantara napas yang tersengal-sengal. Tak disangkanya bahwa tubuh Thorn itu cukup berat padahal adiknya itu bukan tukang makan atau tukang tidur.
"Anggap aja persiapan nanti kalau Kak Gempa nikah lalu punya anak," celetuk Solar.
"Amit-amit jabang bayi, jangan sampai anakku nanti begini ...."
Tepat ketika berada di tengah-tengah tangga, Gempa dan Solar berpapasan dengan Taufan yang baru saja selesai mandi.
Walaupun sudah mandi, Taufan tetap saja tidak mengganti bajunya. Ia masih mengenakan kaus singlet yang sama sewaktu ia tidur. Yang berubah hanyalah celana yang ia pakai. Waktu tidur semalam Taufan hanya mengenakan celana boxer, pagi ini ia mengenakan celana panjang training berwarna biru tua.
"Gotong karung pupuk, Gem?" sindir Taufan yang melihat Gempa menggendong Thorn.
"Ha ha ha, lucu sekali," ketus Gempa tanpa tertawa. Wajahnya sudah memerah karena harus menopang berat tubuh Thorn. Gempa melirik kepada Taufan kemudian kepada Thorn yang tengah digendongnya.
"Nih tangkap. Yeet!" Tanpa peringatan Gempa melepaskan Thorn yang tengah digendongnya dan mengaitkan kedua lengan adiknya itu pada pundak Taufan.
"Hoee! Gempa! Berat!" protes Taufan yang terhuyung dan nyaris jatuh karena mendadak ditumpangkan Thorn.
"Adik favoritmu, 'kan?" Gempa mengedikkan bahunya sebelum berbalik badan. "Aku mau lanjut memasak sarapan buat kalian semua," ujar Gempa seraya menuruni tangga rumahnya.
"Alamak!" Taufan terlihat mulai limbung karena beban tubuh Thorn. "Solar! Bantu!" desis Taufan. Dia terpaksa berbalik kembali menaiki anak tangga rumahnya untuk menggendong Thorn ke kamarnya.
Solar hanya mengedikkan bahunya saja. "Aku bawa laptop kak," sahut si adik terkecil sembari mendahului Taufan mendaki anak tangga.
"Astaga! Hoi! Bertuah punya adik!" ketus Taufan ketika ia melihat Solar menghilang masuk ke dalam kamar tidurnya.
Tidak punya pilihan lain, Taufan terpaksa menggendong Thorn ke kamarnya. Selangkah demi selangkah dengan beratnya Taufan menaiki anak tangga rumahnya satu per satu. Menaiki tangga saja belum cukup, karena Taufan masih harus menggendong adiknya itu sampai ke kamar. "Thorn, kamu harus mulai diet," desah Taufan diantara napasnya yang berat.
Gempa tersenyum-senyum saja melihat Taufan yang kelimpungan menggendong Thorn. Setelah kembali berada di dalam dapur, Gempa pun memasang celemek pink andalannya dan melanjutkan acara memasaknya.
Di atas api berukuran sedang, Gempa memanaskan sebuah panci. Beberapa potong kecil mentega dimasukkan ke dalam panci itu dan dipanaskan hingga meleleh. Setelah itu barulah Gempa memecahkan sepuluh butir telur ayam yang isinya dimasukkan kedalam panci.
Gempa mengecilkan api kompornya sembari terus mengaduk telur yang tengah dimasaknya tanpa henti. Hanya sekali ia berhenti untuk menambahkan merica. "Jangan masukan garam selagi telur dimasak, kata Chef Ramsay," gumam Gempa seorang diri.
Sesekali Gempa mengangkat panci berisikan telur yang tengah dimasaknya menjauh dari api kompor. Tanpa henti ia mengocok telur itu. Panasnya panci yang tidak langsung terkena api itulah yang dipakai Gempa untuk mematangkan telur omelette buatannya. Beberapa kali prosedur seperti itu diulang ulang oleh Gempa sebelum akhirnya ia puas dengan konsistensi omelettenya. Tidak terlalu matang, namun juga tidak mentah.
Setelah puas dengan omelettenya, Gempa melanjutkan dengan memanggang roti untuk semua saudara-saudaranya. Mengingat banyaknya mulut yang harus diberi makan, ia tidak menggunakan panggangan roti, melainkan langsung memanggang roti itu menggunakan wajan berlapis teflon.
Omelette dan roti panggang yang sudah selesai dimasak langsung dihidangkan di atas meja makan oleh Gempa sebelum ia kembali ke kamarnya. Setelah selesai dengan rutinitas memasak, barulah ia melaksanakan ritual paginya.
Sesampainya di kamar, Gempa disambut pemandangan yang baginya adalah sudah biasa. Sang kakak tertua, Halilintar yang sudah mandi berada meringkuk di atas ranjang dan dibalik bedcover. "Bangun, Hali, sarapan dulu," ujar Gempa selagi ia menyibakkan baju kaus lengan pendek yang menempel di tubuhnya.
Halilintar menggelengkan kepalanya yang tersembul dari bedcover yang ia gunakan sebagai selimut. "Ngga ah. Aku mau berlagak jadi Ice, mumpung libur," balas Halilintar. Dari bentuk tubuhnya yang tercetak pada bedcovernya, jelas sekali bahwa ia memeluk gulingnya semakin erat.
"Hmmhhh." Gempa menggeram dan menarik paksa bedcover yang digunakan sebagai selimut oleh Halilintar.
"Hoee! Gempa!" protes Halilintar ketika bedcovernya ditarik paksa.
"Turun! Sarapan!" tegas Gempa sambil bertolak pinggang seperti sebuah ceret air.
"Ogah!" Halilintar berusaha menggapai bedcovernya yang ditarik oleh Gempa.
Gempa hanya diam saja. Ia menatap sendu pada Halilintar yang tengah meraih kembali bedcovernya. Tak terasa, bibir Gempa mulai berkedut dan gemetar. "Hali ...," lirih Gempa. "Hiks ... kamu tega ...."
"Hah?" Kedua netra merah rubi Halilintar membelalak ketika adiknya itu mulai sesegukan.
"Aku ... masak ... hiks ... ngga dihargain."
"Alamak! Iya! Aku sarapan!" Tanpa membuang waktu, Halilintar langsung bangkit dari ranjangnya. "Sudah, Gem, jangan nangis. Aku ajak yang lain juga deh!" ucap Halilintar sebelum berlari keluar dari kamar.
Sesegukan Gempa langsung berhenti dan sebuah senyuman langsung melintas di wajahnya. "Sukses ...," gumamnya sembari terkekeh dan masuk ke dalam kamar mandi.
.
Setengah jam tambah lima belas menit kemudian ....
.
Berkumpulah kelima bersaudara favorit kita ini untuk mengawali hari mereka dengan sarapan bergizi buatan Gempa. Solar dan Thorn yang habis bergadang dan masih tidur tidak ikutan sarapan pagi itu.
Beberapa dari mereka ada yang menambahkan bumbu khusus pada roti panggang dan omelette mereka supaya lebih terasa nikmatnya. Seperti Blaze yang menambahkan saus tomat, atau Ice yang menambahkan keju lembaran, atau Halilintar yang menambahkan sambal.
Sesekali terdengar perbincangan ringan diantara kelima bersaudara yang tengah menikmati sarapan mereka. Rencana libur semesteran dan jadwal giliran menjaga kedai adalah topik yang paling sering dibahas. Bagaimana pun tidak mungkin kedai Tok Aba-BoBoiBoy Kokotiam ditutup selama libur semester sekolah.
"Blaze, kamu yakin bisa jaga kedai berdua atau bertiga dengan Ice dan Solar?" tanya Gempa setelah mengunyah segigitan roti panggangnya.
"Bisa lah kak. Mengatur Solar atau Ice itu ngga susah," jawab Blaze dengan penuh percaya diri.
"Justru mengatur kamu itu yang susah, Blaze," celetuk Ice yang baru saja menghabiskan roti panggangnya. "Sebelum kamu protes, ingat waktu kamu lupa mengisolasi kabel mesin air panas kedai yang rusak digigit tikus?"
Blaze langsung cemberut dengan pipinya gempalnya yang menggembung dan bibirnya yang monyong. "Jangan ingatkan aku dengan listrik!"
"Salahmu sendiri lupa. Malah jadi makan korban lagi, 'kan? Kak Ufan yang mau menolong malah ikutan kesetrum."
"Yap, dan otaknya masih gesrek sampai hari ini," celetuk Halilintar dengan wajah tanpa dosa, kecuali netra merah rubinya yang melirik ke arah Taufan. "Pagi-pagi bukannya tidur malah konser di kamar mandi."
"Hey, suaraku bagus, 'kan?" Taufan tersenyum lebar sembari menyandarkan tubuhnya dengan manja pada Halilintar. "Akuilah, Hali, ayo. Suaraku merdu, 'kan?"
"Apa sih? Geli tahu!" ketus Halilintar sambil mendorong Taufan menjauh.
"Akuilah, suaraku indah!" Kembali Taufan merapatkan tubuhnya pada Halilintar dan memegangi lengan kakaknya itu.
"Hus, hus, sana!" ketus Halilintar yang mendorong Taufan menjauh. "Kau mau kupasung, hm?"
Ancaman Halilintar langsung menghentikan Taufan. "Hali jahat ih!" gerutu Taufan yang merengut sebal.
Baru saja Taufan membuka mulutnya untuk protes ketika pintu depan rumah diketuk.
"Biar aku." Ice yang sedari tadi diam saja langsung berdiri dan berjalan mendekati pintu depan rumahnya.
Dengan cepat Ice memutar kunci pintu rumahnya dan menarik daun pintunya.
Kedua netra biru terang Ice membelalak lebar ketika ia melihat siapa tamunya di pagi hari itu. "Cikgu Pa-Papa Zola?"
"Selamat pagi, wahai anak murid kebenaran!" sahut tamu yang datang berkunjung pada pagi hari itu. Tamu itu tidak lain adalah guru sekolah ketujuh kembar bersaudara itu, Papa Zola dan isterinya, Mama Zila
"Selamat pagi cikgu," balas Ice dengan senyum gugup yang dipaksakan. Tak lupa ia memberi salam dengan cara menyentuhkan keningnya pada punggung tangan kedua gurunya itu.
Suara Papa Zola yang mendadak terdengar sampai ke dalam rumah. Bahkan Gempa, Halilintar, Taufan, dan Blaze yang sedang sarapan langsung menyambut kedatangan guru sekolahnya di rumah mereka.
Satu persatu keempat bersaudara kembar yang tersisa itu memberikan salam kepada guru mereka. Bahkan Halilintar yang terkenal dingin dan mahal senyum pun masih berusaha untuk ramah didepan gurunya.
Halilintar berdehem. "Ada apa cikgu kemari?" tanya Halilintar dengan nada yang jauh lebih lembut daripada biasanya.
Kali ini Mama Zila yang menjawab. "Begini, Nak Halilintar ... Cikgu dan cikgu Papa akan-"
"Cikgu dan istri kebenaran akan mengawal outing kelas SD sekolah," ujar Papa Zola yang memotong kata-kata Mama Zila seperti biasanya. "Oleh karena itu, kebenaran perlukan bantuan kalian semua."
"Bantuan kami?" tanya Gempa yang dari tadi menyimak pembicaraan kedua bekas guru SMP nya. "Bantuan apa nih cikgu?"
Belum sempat Papa Zola atau Mama Zila menjawab ketika seorang anak perempuan mendadak muncul dari persembunyiannya dibalik kaki orang tuanya.
"Aku mau nginap di rumah Abang Gempa!" ujar anak perempuan itu drngan senyum lebar dan kedua bola mata yang berbinar-binar.
Gempa yang namanya disebut memekik terkejut. "Eeeh?! Kamu?!"
"Ya! Sayalah Pipi Zola, anak kebenaran, sahabat kecomelan!" Jadilah anak perempuan itu berpose seperti ayahnya, Papa Zola.
Kontan Halilintar, Taufan, Blaze dan Ice menengok ke arah Gempa. "Kenapa dia hafalnya dengan kamu, Gem?" tanya Halilintar.
"Sifat keibuanku? mungkin?"
"Pffttt!" Halilintar langsung menutup mulutnya, mencegah tawa dan celetukannya keluar dihadapan kedua gurunya. "Keibuan konon."
"Nah, Pipi menginap di rumah Abang Gempa dulu ya? Ibu dan papa ada tugas di sekolah," ucap Mama Zila dengan senyuman lembutnya.
"Oke, Mama." Pipi pun menjawab dengan senyumannya.
"Tu-tunggu dulu!" ujar Halilintar yang baru saja menyadari bahwa rumahnya akan ketambahan seorang penghuni baru. "Nanti jajannya Pipi bagaimana? Lalu kalau dia lapar bagaimana? Susunya bagaimana?" tanya si kakak tertua dengan nada yang sangat tidak nyaman. Jelas sekali Hallintar keberatan dengan adanya pendatang baru di rumah itu.
"Nah, ini tiga ratus Ringgit untuk dua hari." Mama Zila mengeluarkan beberapa lembar uang Ringgit yang langsung diserahkan kepada Gempa.
Hal itu membuat Halilintar menggeram dan terlihat kecewa. Sebaliknya, Gempa tersenyum lebar, bahkan sedikit menunduk-nunduk setelah menerima lembaran Ringgit dari Mama Zila. "Jangan khawatir, cikgu. Saya dan saudara saya pasti menjaga Pipi dengan baik."
"Tolong ya kalau begitu, Nak Gempa." ucap Mama Zila masih dengan senyumannya sebelum ia mengelus-elus kepala puterinya. "Pipi jangan nakal ya? Mama sama Papa harus kerja dulu."
"Jangan khawatir, dinda kebenaran," ujar Papa Zola dengan gaya khasnya.
"Sebab kebenaran tidak pernah nakal!" sahut si ayah dan puteri kebenaran secara berbarengan.
Tentu saja tingkah laku anak dan bapak itu membuat sweatdrop besar di kepala kelima BoBoiBoy bersaudara yang menyaksikannya. "Ah, i-iya." Gempa berdehem. "Pipi pasti kami jaga."
"Kalau begitu ...." Papa Zola memandangi kelima bersaudara itu satu per satu. "Tata titi tutu, kita pergi dulu!" Berlalulah Papa Zola dari rumah kediaman BoBoiBoy bersaudara itu.
"Haih ...." Mama Zila menggelengkan kepalanya selepas menyaksikan perilaku suaminya. "Permisi dulu kalau begitu ya Nak Gempa. Pipi jangan nakal ya."
Dengan riang Pipi Zola menganggukkan kepalanya sebelum menyentuhkan keningnya pada punggung tangan si ibunda.
"Ayo Pipi, main sama Abang Blaze sini." Blaze bersama Ice langsung mengajak Pipi masuk ke dalam rumah.
"Ayooo!" ujae Pipi dengan antusiasnya ketika ia digandeng berdampingan oleh Blaze dan Ice.
Sementara itu, Gempa menghitung kembali uang yang ia terima dari Mama Zila. "Lumayan tiga ratus Ringit."
"Jangan kamu korupsi lagi ya, Gem," desis Halilintar mengancam sambil melirik maut kepada Gempa.
"Ya Gem .... Bagi rata kalau ada sisanya nanti." Taufan menambahkan dengan lirikan yang sama tajamnya dengan Halilintar.
"Ahahahah." Gempa tertawa nervous ketika dihadiahi lirikan tajam tanpa berkedip dari kedua kakaknya. "Tenang, aku sudah kapok," ucapnya sembari bergidik ketika mengingat pengalamannya dipasung oleh Halilintar karena korupsi beberapa bulan lalu.
"Bagus ...," ucap Halilintar sebelum ia melihat ke arah Blaze dan Ice yang mengajak Pipi sarapan bersama. "Semoga ngga berakhir dengan bencana buat kita semua ...."
.
.
.
Bersambung.
Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi lewat PM (aplikasi FFN Mobile) atau di chapter berikutnya.
Sampai jumpa lagi pada chapter berikutnya.
"Unleash your imagination"
Salam hangat, LightDP.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top