HER ROLE PLAY
Leo yang sibuk berhitung dalam Bahasa Spanyol, tidak menyadari bahwa ada pistol yang sudah diarahkan Slo pada tempurung belakang kepalanya.
Dave menggeleng pucat pasi ketika Leo sampai pada hitungan kelima. Dengan suara lirih, ia berkata, "Aku akan mengatakannya."
"Bagus." Slo mengembalikan senjatanya ke balik mantel tanpa memutuskan pandangan tajam pada pria itu. Ia sudah menebak, Dave tidak akan bisa mengorbankan salah satu keluarganya.
"Mengatakan apa, Daddy?" tanya Leo lalu menoleh pada Slo ketika dua orang dewasa yang menemaninya hanya diam dan saling adu pandang.
"Tidak ada apa-apa." Dave bangkit dan mengusap lembut kepala Leo. "Lanjutkan makanmu! Ayah dan Anne akan bicara sebentar. Kau bisa mencariku di ruang kerja kalau ada yang dibutuhkan, oke?"
"Oke," jawabnya santai.
"Habiskan, Leo!" perintah Slo ringan sambil mengikuti Dave menuju ruang kerjanya.
Setelah Slo masuk dan menutup pintu ruang kerja, Dave sudah membuka laptopnya. Wajahnya terlihat serius mengetikkan sesuatu. Setelah keheningan yang berlangsung beberapa menit, akhirnya ia menggeser laptopnya dan memperlihatkan layarnya pada Slo.
"Cuma ini yang aku tahu," ucapnya lirih. "Kau tahu sendiri, klien kita hanya bisa menghubungi lewat email demi menjaga rahasia identitas masing-masing."
Slo membaca email yang hanya di tutup dengan salam singkat. Pesan itu berisi perintah untuk membunuh Jett di pesta tahun baru waktu itu. Satu-satunya petunjuk adalah alamat email yang tertera, bertuliskan eve underscore tujuh.
"Apa ada petunjuk lagi?" tanya Slo kemudian.
"Itu tadi adalah email pertama, dan ini adalah email kedua yang menawarkan pembayaran lebih untuk melenyapkanmu," jawab Dave muram. Lagi-lagi ia menunjuk pada layar.
"Pesan yang ditujukan untukmu," gumam Slo. Alisnya terangkat ketika melihat nominal uang yang ditawarkan oleh klien misterius itu untuk melenyapkannya. "Hanya sepuluh ribu dollar?" protesnya kesal.
"Di sini ia mengatakan akan membayar kontan untuk menghindari jejak rekam rekening bank. Aku hanya harus menghubunginya lewat email, kalau berhasil membunuhmu."
Slo diam. Otaknya mulai berputar mengatur strategi untuk menangkap klien misterius itu. "Jadi, maksudmu dia akan menemuimu langsung setelah misimu beres?"
"Ya, kurasa begitu," jawab Dave lemah. "Dan aku memang menyanggupinya."
Slo tidak menanggapi. Alih-alih ia malah menemukan ide lain, "Kenapa tidak kita pancing saja supaya dia muncul? Palsukan kematianku, dan dia pasti muncul untuk membayarmu."
Mata Dave langsung berbinar. "Itu ide yang bagus."
Mereka kemudian mengatur skenario untuk membuatnya lebih meyakinkan. Dave membawa sebotol anggur merah dan akan menyiramkannya ke baju depan Slo ketika wanita itu langsung menahan tangannya dengan sigap.
"Hei, apa yang akan kau lakukan?! Jangan coba-coba mengotori bajuku!"
"Tapi kita perlu membuatmu terlihat bersimbah darah," sanggah pria itu.
Slo mendengkus pendek, menyadari cara itu memang diperlukan agar terlihat lebih meyakinkan. "Baiklah, mari kita lakukan."
Beberapa saat kemudian, Dave memotret dirinya yang sedang tergeletak di lantai dengan bersimbah darah. Kemeja putihnya terpaksa harus dikotori dan Dave menukarkannya dengan baju Jess, istrinya.
"Dia pasti tidak akan percaya begitu saja," gumam Slo ketika Dave mengirimkan email balasan dengan tautan foto tadi.
"Pastinya. Dia pasti akan memintaku membawa mayatmu," sahut Dave dengan lirikan datar.
"Jadi, apa aku harus mencari korban pengganti?" sindir Slo.
Tawa Dave meloncat keluar, "Buat apa repot-repot? Aku operator yang juga harus bisa menjadi provider-mu. Mulai senjata, obat, identitas, sampai cadaver aku bisa mendapatkannya dengan cepat."
Slo telah mengganti bajunya, lalu menyerahkan kemejanya pada Dave. "Bagus. Beri dia baju ini! Jangan lupa juga pasang rambut palsu biar lebih mirip!" Slo menggelung rambut cokelatnya yang panjang lalu memasang scarf lebar menutupi kepalanya.
"Hei, Slo! Lihat!" seru Dave yang masih duduk di depan layar. "Cepat sekali dia membalas email ku!"
Slo menghampiri dan membungkuk di belakang Dave, mulai membaca pesan yang muncul. "Mirage Hotel, malam ini, pukul delapan. Bawa mayatnya," bacanya keras.
"Nah, sudah aku duga." Dave tersenyum.
"Jadi, apa kau masih ingin membunuhku agar dapat uangnya?" sindir Slo sambil duduk di pinggir meja.
"Aku benci pada perasaan setelah menghabisi nyawa orang. Itulah kenapa aku lebih memilih menjadi seorang operator, itupun aku memilih satu contract killer, yaitu dirimu. Jadi, sekarang kau paham, kan? Dengan menyuruhmu meninggalkan semua ini, setidaknya aku terhindar dari kewajiban untuk membunuhmu. Kita hanya akan bermain kejar-kejaran seperti kucing dan tikus."
Slo menggeleng tegas sambil berkata, "Kau tahu sendiri, aku bukan tipe wanita yang suka lari dari masalah. Kuselesaikan masalah ini sampai tuntas."
"Sampai-sampai kau tega akan menembak kepala anakku?" todong Dave sinis.
Slo menggeleng dengan ekspresi melembut. "Kau sudah paham latar belakangku, aku tidak mungkin membunuh anak kecil."
"Jadi kenapa kau memilih tinggal? Apa karena ini ada hubungannya dengan Jett Cleodore?" tanya Dave rendah. "Aku cukup terkejut kau menerima tugas itu dengan entengnya."
Slo membisu. Dia sendiri tidak bisa mengenali emosinya jika sudah berkaitan dengan Jett. Ia lebih memilih diam dan bergerak keluar ruangan. Sementara Dave mengikutinya dari belakang, seperti anjing yang mengharapkan tanggapan.
"Apa kau benar-benar akan membunuhnya, Slo? Membunuh pria yang pernah memberikan hatinya?"
"Tentu saja," jawab Slo datar sembari mengenakan mantelnya dengan gerakan tersendat-sendat.
"Waktu itu dia jelas jatuh hati padamu."
Slo terkejut mendengar kalimat itu, berbalik menatap rekannya lalu ia sadar itu hanya sebuah asumsi Dave.
"Tutup mulutmu! Jangan meracau!" desis Slo dengan sorot tajam. Ia berusaha melirihkan suara agar Leo yang berada di seberang ruangan tidak mendengar kalimatnya yang kasar, lalu kembali mempercepat langkah menuju pintu. Ia sudah tidak tahan menarik napas udara dingin di luar sana agar hatinya kembali tenang.
"Demi Tuhan ...," gumam Dave dengan tatapan tidak percaya dan senyuman mengejek, "Jadi kau tidak tahu? Kau pikir pria cuma punya nafsu? Berhubung aku ini laki-laki, aku bisa paham apa yang sudah dia alami."
"Ah, yang benar saja .... Itu, kan cuma pandanganmu." Slo menggulirkan bola matanya ke atas dengan frustrasi. "Untuk pria seperti dia, tidak akan cukup dengan satu wanita."
"Mungkin, tapi bukan berarti dia tidak bisa jatuh cinta, bukan? Pria yang cuma bergairah dengan tubuhmu tidak akan membelikan kura-kura."
Slo berbalik tepat di depan pintu keluar rumah Dave. Ditatapnya laki-laki itu dengan sorot amarah karena telah terlalu dalam membahas batas privasinya. "Dave ..., hidupku sudah penuh dengan hal-hal berbau kematian, tidak cukup ruang untuk cinta yang pada akhirnya akan padam juga. Untuk apa?"
Dave terbahak, "Apa kau tidak sadar? Kau terdengar sedang meyakinkan dirimu sendiri. Aku punya Jess dan Leo, itu sudah cukup untuk membuatku bersemangat hidup karena aku punya misiku sendiri, melindungi wanita yang kucintai dan pewarisku. Aku punya misi suci meski saat ini Jess sedang sakit dan aku kewalahan mengurus Leo. Tapi setidaknya aku tahu, aku tidak lagi mengambang di dunia abu-abu."
Slo terhenyak. Jiwanya tergetar, seolah kalimat tadi berusaha menggedor pintu pertahanannya. Ia belum siap menghadapi sisi lemah Sloanne Riggs. Ada sesuatu yang masih membuatnya takut dan ragu.
"Aku harus pergi. Kita akan bertemu di lokasi," ucapnya datar, kemudian melambai sambil lalu pada Leo.
***
Eva memasuki ruang kerja Max dengan langkah sigap, seolah membawa kabar yang akan mengubah permainan. Rambut pirangnya bergoyang seiring dengan suara langkahnya yang teredam karpet beige.
Max, yang duduk di belakang meja besar berhias ukiran gelap, mengangkat alisnya dengan sedikit ketertarikan ketika wanita itu datang mendekatinya dengan tatapan puas dan senyum yang terkulum.
"Dave sudah menuntaskan tugasnya," ujar Eva dengan nada datar, namun matanya berbinar tajam. "Babydoll berhasil dilenyapkan. Aku akan menemuinya di bangunan hotel yang sedang direnovasi untuk memastikan dan membayar jasanya."
Max langsung menegakkan punggung dengan waspada. Ia berkata, "Jangan katakan hotel Mirage, karena satu-satunya bangunan hotel yang sedang direnovasi di kota ini cuma hotelku."
"Tentu saja itu hotelmu. Memangnya ada apa?"
"Tidak, tidak bisa. Jangan di sana! Akan terlihat jelas kalau aku terlibat dalam masalah ini!"
Eva berkacak pinggang dengan raut sebal. "Ayolah, Max. Kau tinggal bilang tidak tahu apa-apa soal pertemuan ini. Toh, bangunan itu terlihat terbengkalai tanpa penjagaan ketat. Aku lebih menguasai medan di sana, apalagi penjaga baru datang setelah jam sembilan malam, 'kan? Pada saat itu semua sudah terselesaikan."
Max menatap Eva dalam-dalam, tangannya bermain-main dengan pena perak di antara jarinya, memutar perlahan. "Baiklah, tapi ingat satu hal, Eva." Suaranya serak, diwarnai nada kewaspadaan. "Jika Dave ternyata berbohong, bersiaplah. Bisa jadi itu jebakan." Mata Max bersinar tajam, dingin seperti es. "Tidak ada yang bisa dipercaya dari seorang pembunuh bayaran."
Eva mengangguk, paham akan risiko yang harus dihadapinya. Jari-jarinya menyentuh paha tempat pistol kecilnya terselip, pengingat bahwa ia tidak akan gentar untuk menarik pelatuk jika situasi memaksa. Dengan napas yang tetap stabil, ia berkata, "Tenang saja, Max. Dia tidak akan lolos jika berani bermain-main denganku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top