Bab 6
Bulan Oktober akan segera berakhir. Musim dingin akan segera tiba. Daun-daun pohon ek telah berhenti berguguran meninggalkan ranting kering dan terlihat rapuh. Malam yang dingin dan panjang akan segera tiba. Jalanan akan segera ditutupi dengan salju putih. Orang-orang akan memilih tinggal di dalam rumah dengan perapian yang menyala sambil menyeruput minuman yang bisa menghangatkan badan.
Malam ini Elena sedang duduk di sebuah sofa kecil sambil menyeruput teh daun mint. Dia mencari di berbagai situs yang membahas tentang kehamilan pertama. Teh daun mint bisa sedikit meredakan rasa mualnya dan itu berhasil.
Gadis itu duduk di tepi jendela sambil menyaksikan keramaian jalanan kota New York dari lantai tiga apartemennya yang sederhana. Tadi pagi Elena baru saja mendapatkan sebuah apartemen kecil untuk dia sewa. Setelah tiga hari berturut-turut dia hanya bisa menginap di hotel. Malam itu dia memutuskan untuk segera meninggalkan rumah sakit. Dia ingin menghilang secepat mungkin.
Rasanya lega bisa menyewa sebuah apartemen yang lebih tepat disebut flat. Karena hanya ada sebuah kamar tidur dan kamar mandi. Ruang dapur dan ruang makan yang jadi satu. Lalu satu ruang tamu yang merangkap ruang menonton televisi. Dia bersyukur karena tidak perlu membeli barang yang banyak. Di dalam flat kecil tersebut sudah tersedia televisi, lemari es, sofa, ranjang dan juga lemari. Elena hanya perlu membeli keperluan untuk sehari-hari saja. Harga sewanya pun tidak terlalu mahal. Uang tabungannya masih cukup untuk membayar uang sewa selama lima bulan.
Elena masih setia duduk di sana. Sesekali dia menarik napas dan mengembuskannya. Dia sebenarnya ingin pulang. Dia rindu masakan Teresa-ibunya. Kekonyolan Berry dan juga tawa keras Sebastian. Ah, dia benar-benar merindukan mereka.
Namun, Elena tidak bisa langsung pulang sekarang. Dokter mengatakan jika dia tidak boleh bepergian jauh selama masa timester awal kehamilan. Jika dia tetap melakukannya, maka nyawa janin dalam perutnya yang akan dalam bahaya. Gadis itu tidak ingin mengambil resiko. Dia memilih tinggal di New York untuk sementara waktu. Itu artinya sampai janinnya berusia lima bulan; minimal.
Tangan Elena mengusap-usap perutnya yang masih rata. Dia ingat perlakuan laki-laki itu padanya beberapa hari yang lalu. Emosinya naik jika mengingat apa saja yang telah laki-laki itu ucapkan padanya.
Jefferson Campbell, cinta satu malamnya. Laki-laki bajingan dan brengsek yang sayangnya tampan.
Elena menyesal telah datang jauh-jauh ke New York hanya untuk disakiti. Harusnya dia tetap berada di Purcellville. Menanam anggur dan meraciknya untuk dijadikan minuman yang nikmat. Keluarganya pun pasti tidak akan menyalahkan atas apa yang telah dia lakukan. Mereka pasti mau menerima dia dan bayinya.
Penolakan laki-laki itu telah menyakiti harga dirinya. Dia tidak akan meminta atau bahkan sampai mengemis untuk mendapatkan pengakuan sialan itu. Dia bersumpah akan merawat bayinya sendirian. Bayinya tidak perlu pengakuan atau sosok seorang ayah. Bayinya hanya memerlukan dirinya untuk menjadi wanita kuat dan seorang ibu yang baik.
"Aku berjanji akan merawat dan membesarkanmu sendirian. Kita tidak perlu laki-laki itu. Cukup kau dan aku," gumamnya pada janin yang masih berusia dua bulan itu.
Elena mengembuskan napas lagi. Sebenarnya ini semua bukan sepenuhnya salah Jeff. Dia juga punya andil dalam masalah ini. Gadis itu sadar setelah memikirkan perkataan laki-laki itu walaupun sedikit menyakitinya.
Dia sadar dan tidak sepenuhnya menyalahkan laki-laki itu jika tiba-tiba ada seorang gadis yang datang dan meminta pengakuan. Kalau Elena di posisi Jeff, pasti dia juga akan melakukan hal yang sama. Tidak akan percaya begitu saja pada gadis asing yang mengaku mengandung anaknya.
Elena hanya gadis lugu dan polos. Gadis naif yang menganggap semua akan berjalan sesuai dengan rencananya.
Sejak awal pertemuan dengan Jeff adalah sebuah kesalahan. Kesalahannya yang mengendap-endap datang ke pesta itu dengan beberapa teman wanitanya. Dia tergiur dengan tawaran teman wanitanya, ketika mengajaknya Elena pergi. Temannya berkata jika banyak laki-laki tampan yang akan datang. Elena tidak ingin dicap sebagai gadis cupu yang hanya tahu bertani dan meracik minuman. Dia akhirnya pergi tanpa sepengetahuan keluarganya.
Sebelumnya dia juga sudah mencuri undangan untuk pergi ke pesta tersebut dari laci meja kerja ayahnya. Dia tahu jika Sebastian telah mendapatkan undangan ke pesta pembukaan hotel tersebut. Tanpa undangan, maka tamu tidak akan diperbolehkan masuk. Itu artinya, jika Elena sudah memegang undangan tersebut maka keluarganya tidak akan bisa datang dan dia akan bebas berada di sana semalaman.
Dalam pesta itu Elena benar-benar merasa takjub. Ini adalah pertama kali baginya. Dia selalu dikurung dan diawasi oleh kakak dan juga ayahnya.
Elena seperti seekor burung yang baru saja bebas dari sangkarnya.
Elena bersenang-senang malam itu. Dia melihat beberapa laki-laki tampan dengan setelan jasnya yang rapi. Tentu saja dia melihat Jefferson. Salah satu temannya memberi tahu jika laki-laki itu adalah pemilik hotel ini dan dia tahu namanya saat itu juga.
Untuk beberapa saat mata Elena tidak bisa berpaling dari wajah tampan Jeff. Laki-laki yang begitu sempurna. Rambut hitam yang disisir rapi ke belakang. Tubuhnya yang tinggi. Mata birunya yang indah tapi juga terkesan dingin dan juga senyumannya yang menawan. Ah, Elena menyukai semua pada diri Jeff saat itu.
Ketika malam semakin larut, Elena memutuskan untuk segera pulang, sebelum kakak atau keluarganya yang lain memergoki dia tidak tidur di dalam kamarnya. Dia bergegas keluar dari pintu darurat. Namun, tiba-tiba langkah kakinya berhenti ketika melihat seorang laki-laki berjalan sempoyongan di sebuah lorong.
Dengan lugunya dia berjalan mendekat dan betapa terkejutnya ketika laki-laki itu adalah Jefferson Campbell.
"Apakah Anda baik-baik saja, Sir?" tanya Elena ragu-ragu.
Laki-laki itu hanya menatap sekilas. Tubuhnya terlihat sudah tidak mampu berdiri. Dia terlihat benar-benar mabuk.
Karena tidak mendapat jawaban dari laki-laki itu, Elena berinisiatif untuk membantunya.
"Aku akan membantumu."
Elena memapah Jeff sampai di depan lift. Sayangnya lift itu harus menggunakan kartu kunci khusus untuk naik.
"Apa Anda punya kartu kunci?" tanya Elena. Tubuh kecilnya sedikit tidak kuat memegangi tubuh besar Jeff.
Elena segera mencari kartu tersebut karena tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Merogoh di mana saja dan akhirnya menemukannya di dalam saku jas. Dia segera meletakkan kartu tersebut di depan mesin, segera setelah itu pintu lift terbuka. Mereka segera masuk.
"Lantai berapa?" tanya Elena lagi. Namun, lagi-lagi tidak ada balasan. Dia kemudian memeriksa kartu tersebut dan segera memencet tombol dan lift perlahan naik.
Elena melirik Jeff dari balik bulu mata lentiknya. Dia sangat tampan, batinnya. Mata Elena tidak bisa berpaling sebelum bunyi dari lift mengagetkannya. Dia segera keluar dan memapah kembali tubuh Jeff. Dengan sedikit kepayahan akhirnya dia sampai di depan sebuah kamar. Elena tidak perlu bertanya pada Jeff lagi karena nomor kamar tersebut sudah tertulis di atas kartu.
Sejenak Elena terpaku melihat dekorasi kamar tersebut. Matanya mengamati sekeliling kamar tersebut. Begitu mewah dan berkelas juga sangat luas. Terdapat sebuah piano Steinway di sudut ruangan. Sofa panjang lengkap dengan mejanya, bar mini, perpustakaan kecil, jacuzzi, bioskop mini, brankas dan juga kasur dengan ukuran king size. Dia tidak sadar hingga merasakan bobot pundaknya semakin berat.
Gadis berambut cokelat tersebut segera meletakkan Jeff di atas ranjang. Karena berat, tubuh Elena ikut terhuyung dan jatuh di atasnya.
Elena terkejut. Suara pekikan keluar dari mulutnya.
Dia berusaha bangun tapi gerakannya tiba-tiba terhenti. Matanya menatap lurus laki-laki itu. Hidungnya bisa mencium harum cologne bercampur dengan alkohol. Begitu memabukkan tapi entah kenapa dia menyukai perpaduan tersebut. Tatapannya tidak berpaling sedetik-pun. Namun, dia segera sadar dan bangkit.
Ketika hendak turun dari atas dada bidang Jeff, tiba-tiba tangan Elena dicekal. Tubuhnya ditarik hingga jatuh kembali di atas ranjang.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja," bisik Jeff parau.
Elena menelan ludah. Dadanya bergemuruh. Detak jantungnya tidak beraturan. Dia sedikit ketakutan. Laki-laki itu mulai meraba-raba dan menciuminya dengan kasar.
Dia berusaha menghindar tapi tidak berhasil.
Elena mulai merasakan desiran halus dari dalam tubuhnya. Otaknya menolak tapi tubuhnya merespon sebaliknya. Dengan dorongan keinginan kuat dia membiarkan laki-laki itu melakukannya. Mencecap inci demi inci tubuhnya yang belum pernah terjamah oleh siapapun. Dia mungkin setengah tidak sadar karena pengaruh alkohol tapi perlakuan Jeff lebih memabukkan hingga membuat Elena terlena dan menyerahkan segalanya.
Setelah beberapa jam tertidur, Elena kemudian terbangun. Dia merasakan lengan kokoh melingkari pinggangnya. Ada beberapa bagian tubuhnya yang terasa nyeri terutama bagian bawahnya.
Elena melepaskan lengan Jeff secara perlahan. Entah pukul berapa sekarang, yang pasti dia harus segera pulang. Dia segera mencari gaunnya yang berceceran di atas lantai dan memakainya. Sebelum pergi dia menatap wajah Jeff yang sedang tertidur tenang. Napasnya naik turun secara teratur. Ada keengganan meninggalkan tempat ini. Namun, dia harus sadar dan segera pergi sebelum laki-laki itu bangun dan menyadari keberadaannya saat ini. Elena tersenyum, dia tidak akan pernah melupakan malam ini seumur hidupnya. Malam yang panas dan menggairahkan.
****
Revisi belakangan yang penting update....
Jika ada adegan yang tidak masuk akal tolong kritik dan sarannya.
Untuk jawaban pertanyaan kemarin kita tunggu bab berikutnya saja ya 😁😁😁 terima kasih yang sudah ikut menjawab.
Karena yang jawab cuma sedikit jadi aku publish satu bab aja 😄😄
Happy reading
Vea Aprilia
Sabtu, 04 Agustus 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top