Bab 38
Sudah tiga hari Elena berada di rumah sakit, ah salah harusnya empat hari kalau dihitung saat dia tidak sadarkan diri. Tubuhnya sudah tidak lemah lagi. Transfusi darah pun sudah dihentikan sejak dua hari yang lalu, bahkan hari ini jarum infus pun sudah dilepas. Ya, hari ini Elena sudah diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat di rumah saja. Kandungannya tidak apa-apa karena sudah memasuki trimester ketiga, itu artinya sudah tujuh bulan. Dan janinnya juga sudah sangat kuat sekarang. Itulah yang Elena dengar dari ucapan dokter pagi tadi. Tentu saja dia sangat senang dan bersyukur. Ternyata efek penyekapan itu tidak terlalu berbahaya bagi calon anaknya.
"Kau sudah siap?" tanya Jeff ketika memasuki ruangan rawat Elena.
Wanita itu hanya mengangguk sekilas. Dia kemudian bangun dari duduknya. Namun, gerakannya terhenti ketika tangan Jeff memegang pinggang dan lengannya. Membantunya untuk berdiri. Elena tentu saja terkejut dengan tindakan Jeff. Wanita itu buru-buru menjauh dan Jeff juga dengan refleks langsung menjauhkan tangannya. Elena dengan canggung langsung berjalan keluar meninggalkan Jeff. Laki-laki itu terpaku untuk beberapa saat. Dia tidak tahu apa yang baru saja dilakukannya, tapi sebuah senyuman kecil terbit dari bibirnya.
Jefferson membuka pintu penumpang untuk Elena. Wanita itu hanya menurut saja. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan yang muncul. Jeff sibuk dengan jalanan di depannya sedangkan Elena sibuk dengan pikirannya sendiri.
Wanita itu mengingat kembali beberapa hari di rumah sakit. Jeff selalu datang untuk menjenguknya walaupun hanya sebentar. Laki-laki itu pun tidak banyak bertanya, hanya sebatas sudah makan atau minum obat lalu menyuruhnya untuk istirahat. Elena juga tidak ingin berbicara banyak atau bertanya sesuatu. Padahal ada banyak pertanyaan yang bergejolak dalam pikirannya, tapi entah kenapa lidahnya seolah kaku.
Matanya melirik laki-laki di sampingnya sebentar.
"Ada apa?" tanya Jeff tetap fokus pada jalanan.
"Aku ingin pulang ke apartemenku sendiri."
Jeff menghela napas panjang. Mereka sudah sepakat kalau Elena akan berada di rumahnya setelah keluar dari rumah sakit. Setidaknya setelah wanita itu benar-benar pulih sepenuhnya. Namun, Jeff berpikir lagi jika wanita di sampingnya ini telah berubah pikiran.
"Kenapa?"
"Aku hanya ingin sendiri."
"Elena, kita sudah sepakat untuk tinggal di rumahku. Setidaknya ada orang yang akan merawatmu sampai kau benar-benar pulih."
Sebenarnya Jeff benci jika harus memaksa, tapi ini semua demi keselamatan Elena dan tentu saja anaknya. Laki-laki itu sadar jika semua ini terjadi karena dirinya.
Elena tidak menjawab. Dia kemudian memalingkan wajahnya ke samping. Melihat pemandangan dari balik jendela. Sebenarnya hal yang paling diinginkannya bukan pulang ke apartemennya tapi ke Virginia. Sekarang juga. Namun, dia tentu saja tidak ingin Jeff tahu tentang rencananya.
Laki-laki itu menghela napas panjang. Kediaman Elena sudah cukup sebagai jawaban bahwa wanita itu tidak mau berdebat dan membiarkan Jeff membawanya ke mana saja.
Kebisuan kembali melanda sampai mobil mereka memasuki sebuah gerbang depan dengan halaman rumput hijau yang luas. Mata Elena menatap sekeliling ketika mobil telah berhenti di depan sebuah rumah mewah. Ah, lebih tepatnya sebuah mansion.
Jefferson segera turun kemudian membukakan pintu untuk Elena. Wanita itu menatap takjub pada bangunan rumah mewah dengan pilar-pilar besar di depannya.
"Masuk. Aku akan mengantarmu istirahat."
Jeff berjalan di samping Elena untuk memasuki rumah besar tersebut. Mata Elena terbelalak kaget ketika mendapati seorang wanita setengah baya sedang menuju ke arahnya dan juga Jeff. Wanita itu memakai kursi roda.
"Mom," panggil Jeff kemudian mencium pipi wanita yang dipanggil Mom tersebut.
Elena seperti mendapatkan kejutan. Wanita di depannya ini pastilah ibu Jeff. Namun, kenapa ibu Jeff duduk di kursi roda. Ah, dia tidak boleh sampai menanyakan hal tersebut.
"Dia?" tanya wanita itu pada Jeff tapi matanya menatap lurus ke arah Elena.
"Elena, dan dia akan tinggal di sini untuk beberapa hari, Mom."
"Hai Sweetie, aku ibunya Jeff. Sarah Campbell." Wanita itu menuju arah Elena yang masih mematung kemudian meraih tangan Elena. Tubuh Elena sedikit menegang diperlakukan seperti itu.
"Hai Mrs. Campbell," sapa Elena canggung.
Sarah menatap perut buncit Elena, dan itu membuat wanita hamil itu mencoba untuk menutupi perutnya dengan kedua tangan, tapi percuma karena akan sia-sia saja. Perutnya akan tetap terlihat.
"Kau hamil?" tanya Sarah. Dia menatap Jeff dan Elena bergantian.
Jeff menghela napas panjang. Ibunya belum tahu kalau dia telah menghamili seorang gadis dan gadis itu kini ada di depannya. Dia belum menceritakan apa-apa pada ibunya. Setidaknya tidak untuk sekarang.
"Ceritanya panjang, Mom. Tidak sekarang, Elena butuh istirahat." Jeff tahu ibunya butuh penjelasan.
"Baiklah. Antarkan saja dia ke kamar."
Jeff tidak berkata apa-apa lagi kemudian menuntun Elena untuk naik ke lantai dua. Laki-laki itu kemudian menunjukkan sebuah kamar untuk Elena.
"Istirahatlah. Itu kamarku kalau kau memerlukan sesuatu." Jeff menunjuk sebuah kamar tepat di samping kamar Elena.
Wanita itu mengangguk kemudian masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya.
Jeff menatap nanar pintu yang baru saja tertutup. Dia tahu, Elena mencoba menjaga jarak darinya. Wanita itu pasti tambah membencinya sekarang. Namun, Jeff merasa ada yang aneh dengan Elena. Wanita itu tidak pernah meledak-ledak lagi. Sangat irit dalam berbicara dan tidak pernah menolaknya secara terang-terangan. Apakah mungkin Elena masih terguncang hingga menyebabkan mentalnya mengalami gangguan, tapi kata dokter tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kondisi kejiwaannya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
****
Elena sudah ingin turun untuk makan malam setelah pelayan memberitahukan jika makan malam sudah siap. Sebenarnya pelayan itu menawarkan untuk membawa makan malam tersebut ke kamarnya, tapi dia tolak. Dia tidak ingin merepotkan orang lain. Wanita itu juga butuh untuk bergerak. Dia masih bisa kalau untuk naik turun tangga.
Ketika Elena keluar dari kamar dan harus melewati kamar Jefferson. Dia melihat pintu kamar laki-laki sedikit terbuka. Dengan gerakan pelan dia berjalan, tapi sudut matanya melihat siluet laki-laki itu di kamarnya. Elena berhenti sejenak. Manik matanya terfokus pada laki-laki yang sedang duduk di ranjangnya dengan bertelanjang dada. Tangannya sibuk mengaitkan perban di sekitar dada menuju pundak dengan kesusahan.
Tubuh Elena membeku. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi laki-laki itu sedang terluka. Tanpa berpikir panjang lagi, Elena membuka pintu lebih lebar kemudian masuk dan menutupnya kembali.
Jeff terkejut ketika sudah mendapati Elena yang berjalan masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya menegang untuk beberapa saat, hingga tangan halus Elena menyentuh permukaan kulit Jeff. Tanpa berbicara wanita itu membantu Jeff untuk melilitkan perban pada dada menuju pundak hingga selesai.
"Terima kasih," ucap Jeff.
Elena sebenarnya tidak ingin berbicara atau bertanya, tapi hati kecilnya menolak. "Apa kau terluka karena menyelamatkanku?" Matanya melihat ada bekas jahitan tadi di punggung Jeff.
Jeff diam. Luka ini tidak ada apa-apanya. Dia bahkan rela jika nyawanya ditukar dengan Elena dan anaknya. Laki-laki itu tidak menjawab, dia kemudian bangkit dan mengenakan kemejanya.
Sadar jika tidak mendapatkan jawaban, Elena menghela napas. Dia kemudian berjalan untuk keluar kamar.
"Tolong, jangan beritahu ibuku," ucap Jeff ketika Elena sudah memegang knop pintu.
Elena menoleh. Dia merasa sedikit bersalah pada laki-laki itu. Setelah itu mengangguk. "Kau bisa minta tolong padaku untuk mengganti perban."
Jefferson mengacak rambutnya kasar. Sebenarnya dia tidak ingin orang di rumah ini tahu jika sedang terluka. Bahkan pelayan pun tidak tahu karena dia takut jika ibunya akan tahu dan menjadi khawatir. Oleh karena itu, dia mencoba untuk mengganti perbannya sendiri. Namun, sikap Elena tadi membuat hatinya menghangat. Dia tahu wanita itu marah dan benci padanya, tapi ternyata Elena masih sedikit peduli padanya dan itu membuat Jefferson senang. Setidaknya untuk saat ini.
Sarah menatap Elena dengan pandangan penuh tanda tanya. Bukannya Elena tidak menyadari hal itu, tapi dia mencoba untuk mengabaikannya saja.
"Apa itu anak Jeff?" tanya Sarah yang membuat mata Elena langsung menatap wanita setengah baya tersebut.
Sarah tersenyum kecil melihat reaksi Elena. Dia kemudian mendekat ke arah Elena. Meraih tangan Elena dan menggenggamnya dengan lembut.
"Terima kasih. Terima kasih telah mau menjaga anak ini." Bulir bening jatuh dari sudut mata Sarah. Sedangkan Elena terdiam dengan kaku. Dia tidak bisa mencerna perkataan Sarah dengan benar. Namun, hatinya bertanya, apakah Jeff sudah menceritakan semua pada ibunya.
"Aku tidak akan meminta anak ini. Kau bisa membawanya setelah lahir. Aku hanya meminta untuk melahirkan cucuku dengan selamat."
Lagi-lagi Elena tidak bisa mencerna semua kalimat Sarah, tapi kenapa hatinya terasa ngilu. Apakah Jeff juga tidak menginginkan anak ini?
Jefferson membeku di ujung ruang makan ketika mendengar ucapan ibunya. Laki-laki itu telah menceritakan semuanya kecuali tentang dirinya yang terluka. Dia juga mengatakan jika Elena sedang mengandung anaknya. Wanita itu tentu saja kaget.
Jefferson mengaku seberapa brengsek dirinya yang tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri. Namun, hasil tes DNA telah menamparnya.
"Dan satu lagi. Biarkan Jefferson untuk mengakui anak ini. Aku tidak akan memaksa dia untuk bertanggung jawab, tapi maukah kau menerimanya jika Jeff mau bertanggung jawab?" Suara Sarah sangat lembut dan keibuan. Membuat mata Elena terasa panas. Entah karena ucapan wanita itu atau karena hatinya yang terlalu rapuh.
"Aku tidak akan memaksa. Semua keputusan ada padamu. Aku tahu, Jeff sudah banyak membuatmu menderita. Aku minta maaf. Maafkan aku dan juga Jeff. " Suara Sarah tertelan oleh air mata yang jatuh membasahi pipinya.
Kali ini Elena membeku. Wanita di depannya ini adalah sosok ibu yang baik. Wanita lembut dengan penuh kasih sayang dan cinta. Elena mencondongkan tubuhnya kemudian memeluk Sarah. Bendungan air mata yang sudah lama ditahan akhirnya tumpah juga.
Jefferson menatap pemandangan di depannya tanpa berkedip sama sekali. Ada perasaan haru dan bahagia secara bersamaan. Ibunya adalah wanita pertama yang dicintainya. Lalu, Elena, apakah dia boleh mencintainya?
*****
Terima kasih banyak untuk dukungan agar cerita ini berlanjut. Saya tahu jika cerita saya yang satu ini banyak sekali kekurangan. Saya minta maaf.
Saya ingatkan sekali lagi. Jika, tidak suka dengan cerita ini silakan tinggalkan saja, saya tidak memaksa untuk membacanya.
Happy reading
Vea Aprilia
Kamis, 06 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top