Bab 37

Elena membuka matanya perlahan ketika bau khas obat-obatan menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya. Matanya masih mencoba untuk beradaptasi dengan cahaya lampu dalam ruangan tersebut. Menoleh ke kanan dan kiri dengan keadaan masih gamang.

"Ah," dia mendesah ketika mendapati nyeri pada punggung tangannya. Matanya menunduk menatap tangan kirinya yang telah tertanam dua buah jarum. Jarum itu terhubung dengan cairan berwarna bening dan merah.

Sekali lagi Elena mendesah. Menatap kembali ke sekeliling ruangan bercat putih tersebut. Pikirannya masih belum fokus sepenuhnya, tapi dia sudah bisa menyadari bahwa sekarang dirinya tengah berada di salah satu ruangan di rumah sakit. Tergolek di sebuah ranjang dengan tubuhnya yang lemah.

Lambat laun ingatannya mulai tersadar sepenuhnya. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi Elena masih ingat terakhir jatuh lemas di sebuah kamar setelah disekap oleh Scott dan seorang wanita. Wanita hamil itu menolak semua makanan yang diberikan oleh laki-laki itu. Dia hanya akan meminum air dari kran kamar mandi. Elena takut jika makanan yang diberikan oleh Scott beracun. Oleh karena itu, Elena mulai kehilangan tenaga dan kewarasannya. Hingga tak sadarkan diri dan terbangun di ranjang rumah sakit seperti sekarang ini.

Sesaat kemudian dia mencoba untuk duduk, tapi nyeri di kepalanya tiba-tiba menghantam. Sakit, hingga tubuhnya rebah kembali di ranjang.

Elena menatap nanar plafon rumah sakit. Dia kemudian menunduk untuk memegangi perutnya, mengelus lembut. Setidaknya dia sekarang bersyukur karena masih bisa melihat perut buncitnya. Itu artinya bayinya masih ada. Masih selamat dan tidak apa-apa. Namun, ada sesuatu yang muncul untuk mengusiknya. Elena mulai bertanya siapa orang yang datang untuk membawanya ke rumah sakit?

Apakah Scott? Atau wanita yang bersamanya? Ah, apakah mungkin mereka masih punya hati untuk membawanya ke rumah sakit setelah menyekapnya selama beberapa hari. Itu tidak mungkin. Laki-laki itu ingin membuat hidupnya menderita bukan menyelamatkannya. Elena segera menggeleng keras. Lalu...?

Ketika Elena sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, menebak-nebak apa yang terjadi dan siapa yang membawanya ke rumah sakit, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Menampakkan seorang laki-laki yang Elena kenal betul. Jefferson Campbell.

Mata Elena langsung menatap waspada. Dia langsung beringsut. Entah kenapa aura laki-laki itu sedikit membuatnya tidak nyaman.

"Kau sudah bangun rupanya. Syukurlah,"  ucap Jeff berdiri di samping ranjang Elena.

Mata laki-laki itu terlihat sendu. Wajahnya menampilkan suatu kekhawatiran yang masih tersisa.

Elena tidak menjawab. Dia hanya terus menatap laki-laki di sampingnya ini. Laki-laki yang terlihat berantakan sekali dan wajah yang sedikit pucat. Elena dapat mendengar helaan napas panjang dari Jeff. Entah apa artinya itu, tapi dia bisa merasakan ada suatu kelegaan di sana.

Sedetik kemudian tangan kanan Elena yang bebas dari jarum suntik sudah digenggam oleh Jeff. Dia tidak menolak walaupun awalnya terkejut. Wanita itu hanya diam sambil menunggu apa yang akan dilakukan oleh laki-laki ini. Elena sudah lelah berlari. Berontak. Namun, bukan berarti dia menyerah, hanya saja ada sesuatu dalam hatinya yang tidak ingin menolak sentuhan laki-laki ini.

"Aku khawatir sekali karena kau tidak sadarkan diri kemarin." Jeff mengeratkan genggaman tangannya dan Elena dapat merasakan ada gelenyar aneh dalam hatinya.

Tunggu, tadi Jeff mengatakan sudah dari kemarin dia tidak sadarkan diri. Apa itu artinya Jeff yang telah menyelamatkannya?

"Aku akan menyesal seumur hidup jika terjadi sesuatu dengan kau dan anak ini." Jeff melepaskan genggaman tangannya kemudian beralih mengusap perut Elena. Tentu saja hal itu membuat Elena terkejut. Dia pernah diperlakukan seperti itu ketika di apartemennya dulu, tapi saat itu Elena pura-pura tidur. Sekarang, dia merasakan sensasi aneh yang menjalar pada hatinya. Hangat dan menyenangkan. Ah, Elena tidak boleh terlena sekarang. Ada sesuatu yang mendesak untuk dikatakannya.

"Apa kau yang telah menyelamatkanku?" tanya Elena lirih. Suaranya serak, mungkin karena dia baru saja sadar.

Jeff tidak menjawab tapi Elena dapat melihat anggukan kecil. Wanita itu kemudian mendesah. Tiba-tiba saja ingatannya satu per satu kembali pada saat penyekapan itu. Laki-laki itu, Scotter Bradley, pernah mengatakan sesuatu padanya. Tepatnya bercerita tentang alasannya menculik dan menyekap Elena. Itu semua karena Jefferson. Namun, Elena tidak bisa menceritakan atau menanyakan hal itu sekarang. Tepatnya Elena belum siap.

"Terima kasih." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Elena.

Ah, Jeff tersentak. Dia ingat sesuatu. "Maaf seharusnya aku memanggil perawat atau dokter untuk memeriksa keadaanmu."

Setelah itu Jeff meninggalkan Elena untuk keluar mencari dokter. Mengabarkan jika wanita itu sudah sadar. Namun, dia tadi terlalu bahagia sehingga melupakan hal itu. Melihat wanita yang tengah mengandung anaknya itu bangun membuat hatinya bahagia.

Elena memandang nanar punggung Jeff sampai menghilang di balik pintu.
Ada perasaan kehilangan yang tiba-tiba muncul dari dalam hatinya. Masih bolehkah dia mendambakan laki-laki itu setelah semua yang terjadi? Dia tahu sudah terluka, tapi laki-laki itu juga mempunyai luka sendiri.

Jefferson menyandarkan punggungnya di tembok setelah keluar dari ruangan Elena. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba menghantam tulang rusuknya.

"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya Alex. Laki-laki itu menatap iba bosnya yang sedang menahan sakit akibat luka tembak di sekitar dadanya. Untung saja tidak sampai melukai bagian organ vitalnya.

Jefferson menggeleng. "Panggil dokter, Elena sudah sadar."

Alex pun langsung menuju ke ruangan dokter meninggalkan Jefferson yang masih meringis memegangi dadanya. Dia akhirnya menyerah dan memilih duduk di salah satu kursi tunggu. Keringat dingin muncul dari keningnya. Matanya nyalang mengingat kejadian kemarin.

****

Jefferson sudah siap ketika Scott menarik pelatuk pistolnya. Dia sudah bertekad untuk melindungi Elena apa pun yang terjadi. Bahkan jika dia harus mengorbankan nyawanya sendiri. Dia tidak peduli yang penting nyawa Elena dan calon anaknya harus selamat.

Saat Jeff melihat bagaimana peluru mengarah padanya, tubuh Jeff refleks berbalik dan naas, peluru tersebut menembus punggungnya. Jeff, tersungkur ke lantai masih dengan Elena di gendongannya. Dia menunduk sambil memeluk tubuh Elena dengan erat. Laki-laki itu meringis dan mengumpat pada Scotter yang tidak main-main. Bajingan.

Lalu, kemudian ada suara tembakan lagi terdengar, tapi Jeff tidak merasakan apa-apa. Tubuhnya tidak merasakan ada benda yang menembus dagingnya lagi. Setelah itu dia berbalik dan mendapati Scotter sudah ambruk di lantai dengan darah mengucur dari dadanya.

"Maaf Tuan, saya sedikit terlambat. Polisi akan segera datang," ucap Alex sambil menunduk untuk menjauhkan senjata milik Scotter dan memeriksa keadaan laki-laki itu.

Jeff menatap lega pada laki-laki yang berdiri di samping tubuh mengenaskan Scott. Dia kemudian bangkit masih dengan Elena di dekapannya.

"Kita harus cepat ke rumah sakit," ucapnya sambil berjalan keluar diikuti oleh laki-laki itu. Beberapa teman laki-laki itu sudah siaga di sana.

"Tuan, Anda terluka?" tanya Alex setelah menatap lebih dekat punggung Jeff yang mulai mengeluarkan darah segar.

"Aku tidak apa-apa. Dia lebih butuh pertolongan," ucapnya kemudian membaringkan tubuh Elena di kursi penumpang.

"Biar saya yang menyetir."

Alex mengemudikan mobil dengan cepat meninggalkan rumah Scott. Polisi akan segera datang dan laki-laki itu juga sudah tak sadarkan diri. Ada anak buahnya di sana. Jadi, dia bisa sedikit lega. Namun, Alex sedikit terlambat datang ketika sudah mendengar bunyi letusan. Dan sekarang dia harus melihat atasannya terluka oleh tembakan Scott. Walaupun Jeff mengatakan tidak apa-apa, tapi Alex dapat melihat bagaimana wajah pucat dan keringat dingin yang mulai keluar dari pelipis Jeff.

Jefferson menatap sendu pada wajah Elena yang pucat. Dia merasa sangat bersalah. Semua ini adalah karenanya. Jeff pantas dijuluki laki-laki bajingan dan brengsek. Dia sudah membuat Elena dan calon anaknya dalam bahaya. Sebagai seorang laki-laki yang akan menjadi ayah, seharusnya Jeff melindungi mereka bukan malah membuat celaka.

Laki-laki itu mengerang frustrasi. Diacaknya rambut dengan kasar. Luka di punggungnya terasa kebas, tapi dia dapat merasakan darah segar keluar dari bekas tembakan tersebut. Namun, ada organ lain dalam tubuhnya yang lebih sakit. Hatinya. Dia akan menyesal seumur hidup jika sampai terjadi sesuatu pada Elena atau calon anaknya. Jeff tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Bahkan luka tembak di punggungnya tidak setimpal dengan luka yang telah dia torehkan pada wanita di pangkuannya ini.

Jeff memejamkan mata sekejap. Dia kemudian menggenggam tangan  Elena dengan erat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

Tidak. Dia tidak akan membiarkan wanitanya celaka. Apalagi dengan calon anaknya. Mereka berdua harus selamat bagaimanapun caranya.

"Lebih cepat lagi, Al!" teriak Jeff.

Alex tidak menjawab tapi laki-laki itu langsung menginjak pedal gas dengan cepat. Dia tahu ada dua nyawa yang harus segera diselamatkan. Ah, bukan dua tapi tiga.

Jeff semakin erat menggenggam tangan Elena yang semakin dingin. Tangan yang satunya mengusap lembut perut Elena.

Wanitanya dan calon anaknya.

"Maaf membuat kalian menderita."

******

Hallo semuanya....

Jadi gini, aku waktu itu tiba-tiba sakit. Tapi, setelah baikan, aku malah kehabisan ide untuk cerita ini. Bingung mau nulis apa 😭😭

Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap menulis walaupun harus hapus lagi dan lagi. Sampai mentok, ah udahan aja nggak perlu diteruskan. Lagipula ceritanya juga makin nggak jelas.

Aku pikir ini adalah cerita saya yang paling kacau dan sempat mau tak unpublish aja. Tapi, ternyata saya masih ada ide lagi untuk melanjutkan. Doain aja bisa sampai tamat.

Terima kasih banyak untuk kalian semua yang telah sabar mengikuti cerita ini.

Happy reading
Vea Aprilia

Rabu, 05 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top