Bab 22
Sudah dua hari Elena tidak masuk kerja dan tidak ada kabar apa-apa. Robert merasa sedikit khawatir. Terakhir kali dia melihat wajah Elena sedikit pucat karena kelelahan. Mungkinkah wanita itu jatuh sakit?
Pertanyaan tersebut sedikit mengusik pikiran Robert. Wanita itu hanya tinggal sendiri di New York. Jadi, kalau dia jatuh sakit dan tidak ada mengurusnya bukankah itu akan menjadi lebih buruk. Apalagi ini adalah musim dingin. Banyak orang yang tiba-tiba jatuh sakit karena cuaca dingin yang begitu ekstrim.
Sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi ponsel Elena tapi tidak ada jawaban dan tidak aktif. Dia takut jika terjadi sesuatu yang buruk padanya.
"Apakah kau mencemaskannya?" tanya Chaterine yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Robert.
Chaterine tidak terkejut karena tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Dia tahu persis bagaimana sifat Robert. Anak laki-lakimya terlalu tertutup untuk urusan wanita. Namun, Chaterine bisa melihat ada rasa kekhawatiran yang terpancar jelas dalam wajah anaknya.
"Jika kau khawatir, pergilah ke rumahnya. Kau tahu alamatnya, bukan?" tambah Chaterine sambil menepuk pundak Robert.
"Apa kau tahu banyak tentang Elena?" tanya Robert kemudian. Laki-laki itu hanya tahu kalau Elena adalah anak dari sahabat Peter dan tinggal sendirian di New York.
"Tidak banyak. Hanya saja aku merasa wanita itu menyembunyikan sesuatu. Aku tak yakin, tapi naluri seorang wanita tidak pernah salah." Chaterine tersenyum kecil.
Robert mengangguk. Dia juga merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Elena. Namun, dia tidak bisa bertanya secara langsung karena itu mungkin akan melukai perasaannya. Sebagai seorang laki-laki dia hanya bisa mendekat dengan cara berteman dan sebagai seorang teman tidak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing kecuali sudah saling terbuka.
Chaterine mengamati wajah Robert untuk beberapa saat. Dia tidak bisa tidak tersenyum. Anaknya mungkin telah jatuh hati pada wanita itu.
"Pergilah sebelum rasa cemasmu itu membunuhmu," ujar Chaterine mendorong tubuh Robert.
Robert yang tiba-tiba didorong merasa tidak bisa menolak. Apalagi setelah melihat kode yang diberikan oleh Chaterine membuat dia memutuskan untuk pergi. Menyambar mantel dan bergegas menuju apartemen wanita itu.
****
Setelah beberapa menit dia telah sampai di apartemen kecil yang ditempati oleh Elena. Sebelum masuk untuk naik ke lantai tiga, dia merapatkan kembali mantel yang dikenakannya. Cuaca akhir-akhir lebih dingin dari pada tahun lalu. Dia segera naik ke lantai tiga dan tiba depan sebuah pintu tempat di mana Elena tinggal.
Robert pernah beberapa kali mengantarkan Elena pulang dan mampir sesekali untuk minum kopi. Itulah sebabnya dia tahu di mana Elena tinggal.
Untuk beberapa saat dia mencoba mengatur napasnya dan mulai mengetuk pintu.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Tidak ada jawaban dari dalam. Membuat Robert semakin merasa cemas. Dia mulai memutar otak untuk berpikir. Mungkinkah Elena tiba-tiba meninggalkan New York dan kembali ke Virginia. Namun, itu tidak mungkin karena penerbangan ditutup beberapa hari ini akibat dari badai salju.
Robert mulai mengetuk kembali, tapi masih tidak ada jawaban. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi Elena. Hanya suara operator yang menjawab panggilan teleponnya.
Pikiran aneh mulai muncul dalam kepala Robert.
Ke mana perginya Elena? Kenapa dia tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar?
Mungkinkah sesuatu terjadi?
Tidak. Tidak. Itu tidak mungkin. Robert mencoba mengenyahkan pikiran negatif yang ada dalam otaknya. Dia harus tetap berpikir positif untuk saat ini.
Robert kembali mengetuk pintu di depannya dengan lebih keras, sambil memanggil nama Elena berulang kali.
Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada balasan dari dalam apartemen Elena, akhirnya Robert memutuskan untuk pergi. Namun, sebelum pergi, dia sempat menoleh kembali, kalau-kalau pintu tersebut akan terbuka, tapi ternyata tidak.
****
Elena sudah tidak merasa nyaman berada di rumah sakit walaupun masih dua hari. Dia tidak bisa bergerak dengan leluasa. Apalagi rasa nyeri pada perutnya masih sesekali terjadi. Kegiatannya hanya berbaring, makan dan minum obat. Kadang menyalakan televisi untuk mengusir rasa bosan.
Tiba-tiba Elena ingat telah melupakan sesuatu.
Restoran, Robert juga ponselnya. Ah, ponselnya.
Dia segera mencari di mana ponselnya berada dan sialnya Elena tidak menemukan benda tersebut di manapun. Jadi, dia berpikir bahwa benda itu masih berada di tasnya yang entah berada di mana. Mungkinkah masih tertinggal di apartemen laki-laki itu. Ya, itu mungkin saja. Mengingat dia yang telah menculik dan menyekap dirinya.
Laki-laki itu pasti masih menyimpan tasnya di sana. Benar. Dia hanya harus bertanya dan meminta tasnya itu kembali.
Ada perasaan cemas yang tiba-tiba hinggap dalam dirinya. Mungkinkah Robert mencari atau menghubunginya, karena tidak masuk kerja. Atau mungkin laki-laki itu sudah datang ke apartemennya. Dia harus segera menghubungi Robert, tapi sial ponselnya tidak ada. Jadi bagaimana Elena bisa menghubungi sahabatnya tersebut.
Elena mengerang untuk beberapa saat. Sialnya lagi, Jeff tidak datang setelah pagi itu. Laki-laki itu belum muncul kembali.
Memang Elena tidak ingin laki-laki itu muncul di hadapannya lagi, tapi ini mendesak. Dia butuh ponselnya. Dia butuh menghubungi Robert. Dia butuh sahabatnya itu tahu tentang keadaannya saat ini. Sialnya lagi, Elena tidak hafal nomor ponsel Robert jadi dia tidak bisa memakai telepon rumah sakit untuk menghubunginya.
Ah, dia merutuki kebodohannya sendiri. Dua hari ini dia hanya fokus memikirkan kondisi bayinya hingga melupakan beberapa hal. Termasuk Robert.
Elena berpikir sebentar. Tiba-tiba ada ide untuk menghubungi Jeff, tapi seketika ide itu dihapus dengan segera.
Bodoh.
Bagaimana bisa dia menghubungi Jeff jika tidak tahu nomor telepon laki-laki itu.
Aaahhh... Elena semakin mengerang frustrasi. Apakah dia harus meminta pada perawat? Mungkin saja Jeff meninggalkan kontak yang bisa dihubungi di rumah sakit ini.
Elena terdiam beberapa saat untuk menimbang idenya tersebut. Setelah dia memastikan untuk mengambil keputusan itu, kakinya mulai turun perlahan dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. Namun, ketika membuka pintu, dia dikegetkan oleh seorang laki-laki yang berdiri di sana. Laki-laki itu memakai setelan jas berwarna hitam dan juga celana dengan warna senada. Badannya tinggi besar dan wajahnya terlihat lebih sangar.
Jangan bilang kalau ini adalah pengawal yang diperintahkan oleh Jeff untuk menjaganya?
Elena terperangah untuk beberapa saat. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Laki-laki itu begitu tidak percaya padanya hingga menempatkan seorang pengawal. Gila.
"Anda mau ke mana?" tanya laki-laki itu yang kini sudah berdiri tepat di depan Elena.
Sosoknya tegas dan sedikit suram, membuat orang akan merasa tidak nyaman dan ketakutan.
Elena menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan tersebut, "Aku ingin bertemu perawat."
Pengawal laki-laki itu mengernyitkan dahi. Dia masih berdiri tegap dan tidak menggeser tubuhnya sama sekali.
Elena terdiam untuk beberapa saat. Oke, ini tidak benar. Mungkin pengawal di depannya ini merasa bahwa dia berbohong dan ingin kabur dari rumah sakit.
Elena kemudian menghembuskan napas panjang. "Oke, karena kau mungkin tidak menginginkanku untuk bertemu dengan perawat. Bolehkah aku meminta bantuanmu?" tanya Elena sedikit ragu.
Pengawal laki-laki itu tidak menjawab sebelum akhirnya mengangguk.
Elena mengembuskan napas lega kemudian berkata, "Bisakah kau menghubungi bosmu?"
****
Hallo - Hallo
Oh ya, ada yang nungguin cerita ini nggak?
Sekadar mengingatkan kalau alur cerita ini agak lambat jadi mungkin akan sedikit panjang partnya
Saya juga tidak tahu jadi berapa part...
Jadi yang tidak sabar dengan cerita ini bisa hengkang, saya tidak memaksa untuk membaca.
Happy reading ya...
Happy Weekend....
Vea Aprilia
Minggu, 28 Oktober 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top