Bab 1
Elena kini telah berada di dalam taksi yang akan membawanya ke perusahaan milik Jefferson Campbell. Taksi berjalan melambat ketika melewati jembatan Bronklyn. Elena belum pernah menginjakkan kaki di New York. Ini pertama kalinya.
Jangan tanya dia bisa tahu alamat perusahaan Jeff dari mana. Dia mendapatkan alamat perusahaan tersebut dari internet tentu saja. Satu bulan terakhir ini, dia berusaha mencari tahu semua tentang laki-laki itu, setelah tahu dia tahu jika dirinya sedang mengandung. Kemudian dengan mengumpulkan keberanian yang ada dia pergi ke New York.
Sebenarnya, Elena hanya gadis desa biasa. Dia lahir dan besar di Purcellville, Virginia. Harinya hanya diisi dengan bagaimana menanam anggur yang baik dan menjadikannya minuman terbaik di seluruh dunia. Elena gadis mandiri dengan otak pintar dan wajah cantik memesona. Banyak laki-laki di tempat kelahirannya terpikat oleh kecantikan wajahnya. Namun, dia tidak begitu peduli dengan semua itu.
Elena menurunkan kaca jendela taksi tersebut. Meyorongkan kepalanya hingga keluar. Menghirup udara kota New York. Tidak buruk, walaupun tidak sesegar udara di perkebunan anggurnya.
Matanya menikmati keindahan jembatan Bronklyn dan air sungai Hudson yang mengalir di bawahnya. Gedung-gedung tinggi pencakar langit yang mendominasi sepanjang mata memandang. Deretan mobil-mobil yang berlalu lalang seolah memperlihatkan betapa sibuknya kota ini. Rasa khawatirnya sedikit lenyap dengan melihat pemandangan yang disuguhkan oleh kota New York. Tadinya dia gugup dan khawatir jika laki-laki itu akan mengabaikan atau bahkan menendangnya keluar sebelum Elena selesai bicara.
Jari-jari ramping Elena mengusap perutnya yang masih rata. Malam itu sungguh tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Bagaimana dia tidur dengan laki-laki itu. Laki-laki yang baru saja ditemuinya dalam sebuah pesta. Elena pasti suda gila. Dia tidak sungguh-sungguh menolak pada malam itu. Dalam dirinya, Elena menginginkannya juga.
Elena menjumput sebagian rambut kuning kecoklatannya yang terbang diterpa angin. Dia memasukkan kepalanya kembali dan menutup jendela.
Akhirnya dia sampai di depan sebuah bangunan yang menjulang tinggi di depannya. Blue Sky Hotels Groups.
Elena mengatur napasnya sebentar sebelum menginjakkan kaki di perusahaan besar tersebut. Pintu kaca besar sudah menyambutnya di depan. Langkah kakinya tidak goyah sedikitpun. Dia langsung menuju ke meja resepsionis. Terlihat tiga orang wanita yang cantik yang sedang berdiri dengan seragam blazer hitam lengkap dengan scraf yang dililit apik di leher mereka. Rambut mereka disanggul dengan sangat rapi.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya salah satu wanita yang ada di sana dengan sopan.
" I am Sorry, bisakah saya bertemu dengan Mr.Campbell?" tanya Elena sedikit ragu.
Wanita di depannya mengamati Elena dengan saksama. Seolah sedang menelanjangi tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu hanya bisa menelan saliva dengan susah payah. Dia gugup dan malu.
Memang tidak mudah untuk bertemu dengan laki-laki itu. Bahkan wanita di depannya ini seolah menatapnya dengan jijik. Elena memang hanya mengenakan pakaian ala kadarnya. Sebuah kemeja berlengan panjang yang sedikit kebesaran dan celana jeans sobek-sobek dan sepatu bott yang sedikit usang. Rambutnya pun hanya digerai begitu saja. Terlihat sedikit berantakan. Katakan kalau dia sudah tidak waras. Bagaimana bisa pegawai wanita itu tidak memandang aneh padanya.
Berry -kakaknya yang kedua- selalu mengkritik penampilannya. Laki-laki itu selalu membandingkan dirinya dengan Sarah -kekasihnya. Dan Elena baru sadar jika perkataan Berry benar. Dia terlihat konyol dengan pakaian lusuh datang menemui seorang pemilik perusahaan terkemuka di kota New York.
"Apakah Anda sudah membuat janji, Nona?" tanya resepsionis wanita yang bernama Lily dilihat dari tag name di blazernya.
"Em...,belum." Bibir Elena terasa kaku. Tenggorokannya kering.
Dia mungkin hanya khawatir apabila laki-laki itu menolaknya. Elena tidak pernah berpikir akan benar-benar ditolak sebelum bisa bertemu laki-laki itu. Katakan saja dia ceroboh dan nekat.
"Maaf, tapi sepertinya Anda harus membuat janji lebih dulu dan kembali lagi besok." Wanita bernama Lily itu tersenyum simpul padanya.
Dia ditolak.
Ah, Elena menggerutu dalam hati. Dia tidak pernah berpikir akan sangat sulit untuk menemui Jefferson Campbell. Tapi, semua sudah terlambat. Elena tidak bisa pulang ke tanah kelahirannya sebelum bertemu laki-laki itu. Terlepas laki-laki itu akan menolaknya atau tidak, tapi Jefferson harus tahu kalau dia sedang mengandung darah dagingnya.
Elena memutar otak pintarnya. Berusaha mencari cara agar bisa bertemu Jefferson. Mungkin karena penampilannya yang lusuh jadi dia ditolak.
"Em... tapi aku tidak bisa kembali besok," ujarnya belum beranjak dari tempatnya berdiri.
Wanita bernama Lily masih memandangnya dengan aneh. Mungkin dalam pikirannya, dia adalah gadis gila yang terobsesi dengan atasannya. Dia tentu berpikir bagaimana bisa seorang Jefferson Campbell mempunyai kenalan dengan wanita seperti Elena yang penampilannya sangat buruk.
"I am sorry."
Penolakan Lily tidak lantas menciutkan langkahnya. Dia harus mencari cara untuk bertemu laki-laki itu dan membicarakan tentang kehamilannya. Dia tidak bisa mengulur waktu atau bahkan menunda sampai besok. Elena akan menyelesaikan urusannya hari ini juga. Setelah itu dia akan menghilang.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide. "Aku tahu kau mungkin akan menolakku lagi, tapi ini benar-benar penting. Katakan pada atasanmu jika orang kepercayaan Sebastian Marquet dari Virginia ingin bertemu."
I am sorry, Dad.
Lily menaikkan sebelah alisnya.
"Kumohon. Aku sudah jauh-jauh dari Virginia untuk datang ke sini dan aku tidak bisa kembali begitu saja." Elena menangkupkan kedua tangannya di dada. Dia benar-benar terlihat menyedihkan.
Setelah beberapa saat akhirnya Lily bersuara. Dia akan mengatakan kalau perwakilan dari Virginia datang. Namun, jika atasannya menolak maka giliran Elena yang harus segera angkat kaki dari sini. Lily mulai berbicara di pesawat telepon untuk beberapa saat.
Elena mengangguk setuju. Dia berdoa dalam hati agar laki-laki itu mau menemuinya sebentar. Elena akan sangat berterima kasih pada Lily jika semua itu terjadi.
Dan untuk ayahnya, Elena merasa bersalah karena menggunakan nama keluarganya atas kepentingan sendiri. Dia tidak akan melakukannya jika tidak terdesak.
I am sorry, Dad.
Suara interkom menginterupsi kegiatan Jefferson siang itu. Tangannya dengan gesit menekan tombol dan menjawab.
Dahinya mengernyit ketika mendengar ada orang yang ingin menemuinya dan orang itu berasal dari Virginia.
"Berikan aku waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan pekerjaanku. Setelah itu antar wanita itu masuk untuk menemuiku."
Jeff menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Lima menit kemudian dia melihat seorang gadis masuk dengan pakaian yang sedikit compang-camping menurutnya. Tangannya menggenggam sebuah tas berukuran sedang. Jefferson menatapnya dingin.
"Hai...," sapa Elena canggung. Kakinya berjalan kaku ke arah Jeff. Dan berhenti dua langkah tepat di depan meja kaca besar di depan laki-laki itu.
Gadis itu tidak tahu bagaimana berbasa-basi dengan baik. Elena sebenarnya sedang menyembunyikan rasa takutnya sendiri. Dia berusaha untuk mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi Jeff saat ini.
Jeff masih terpaku di tempat duduknya. Dia sedikit terkejut tapi kemudian bisa mengendalikan diri. Dia tidak tahu harus membalas apa. Ketika gadis itu masuk rasanya ada sesuatu yang salah.
Otaknya mulai berpikir untuk sesaat.
Matanya mulai meneliti penampilan gadis di depannya. Dandanannya sedikit aneh. Kemeja kebesaran dan jeans sobek-sobek khas sekali dengan pedesaan.
"Ada sesuatu yang penting ingin kau sampaikan?" tanya Jeff akhirnya berbicara setelah diam saja selama lima menit.
Dada Elena berdesir dan suhu tubuhnya tiba-tiba terasa panas. Lidahnya kaku untuk mulai berbicara dan tenggorokannya kering. Juga kepalanya terasa pening seketika itu. Bumi yang dipijaknya seolah berputar. Tangannya berkeringat. Elena mengusap telapak tangannya beberapa kali seraya mengumpulkan keberanian. Dia berusaha meredakan debaran jantungnya yang sudah tidak beraturan.
Bagaimana tidak, aura Jeff begitu mengintimidasi. Laki-laki itu mengenakan jas berwarna biru tua dengan kemeja putih serta dasi dengan warna serupa jas tersebut. Wajahnya datar tapi masih terlihat tampan di mata Elena. Rambut hitam legamnya disisir rapi ke belakang. Mata birunya menambahkan kesan angkuh. Kedua tangannya berada di atas meja dengan jari-jari yang saling bertautan. Matanya menatap lurus ke arah Elena.
Ditatap seperti itu membuat Elena semakin galau dan gugup. Nyali yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit berkurang. Dia bingung harus mulai bicara dari mana. Aura dingin Jeff begitu mendominasi. Tiba-tiba rencana yang telah dia susun dalam otaknya buyar begitu saja. Elena membasahi bibirnya sebelum berbicara.
"Aku hamil."
****
Hallo, aku update lagi.
Semoga suka dengan cerita ini dan jangan lupa untuk memasukkan dalam perpustakaan kalian.
Berikan komentar, kritik dan saran yang membangun agar saya terus bisa menulis.
Terima kasih untuk kalian yang sudah mampir dan membaca.
Peluk cium Vea Aprilia 😍
Minggu, 29 Juli 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top