8. Lapor?

Beberapa hari telah berselang semenjak kedatangan Sori dan Glacier di Pulau Rintis. Boleh dibilang keduanya diterima dengan cukup baik oleh ketujuh kakak sepupu mereka walau ada sedikit keberatan dari Halilintar.

Si kakak bermanik netra merah rubi itu memang tidak terlalu suka dengan anak kecil sehingga dia tidak terlalu diandalkan dalam menjaga Sori. Kecuali apabila dalam situasi terjepit dan Sori menangis tanpa henti. Jika keadaan memburuk seperti itu barulah Halilintar turun tangan.

Oleh karena itu Halilintar hampir tidak pernah ikut campur tangan dalam menjaga Sori. Oleh karena itu (juga), kali ini dua orang adik Halilintar dipercaya menjaga Sori.

Hanya saja kedua orang itu agak minim pengalaman. Setidaknya satu orang mampu menghibur dan yang satu lagi mampu menemani Sori jika tidur.

Minimal seperti itulah yang diharapkan oleh pemilik manik netra hijau tua dan biru terang yang saling bertatapan. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah Thorn dan Ice. Kedua bersaudara itu sedang berada di ruang keluarga, menemani Sori yang sedang menonton acara kartun di televisi bersama Glacier.

Sementara Sori melimpahkan perhatian pada televisi, mulutnya sibuk berkomat-kamit mengunyah makanan yang disuapkan oleh Glacier.

Entah sudah keberapa kalinya Ice menghela napas panjang. Tatapan kedua matanya sangat awas, berganti-ganti melirik ke arah Thorn, Sori dan dapur. Raut wajah Ice pada siang hari itu muram, sama sekali tidak menunjukkan gairah.

"Aku ngga habis pikir," gumam Ice. Nada suara yang keluar dari mulutnya pun terdengar berat. "Masa iya tikus satu ekor bisa menjarah habis lemari makananku?" Dia bertanya tanpa tentu sasaran sambil menggaruk-garuk kepala.

"Sudah," timpal Thorn. "Namanya juga tikus lapar."

Ice menggelengkan kepala. "Aku curiga tikus kepala belang."

Sementara itu di kedai BoBoiBoy-Tok Aba Kokotiam ....

"ADUH!" Begitulah jeritan yang sudah kesekian kali terdengar dari mulut Blaze. Jari telunjuknya baru saja bersenggolan dengan dinding panci berisikan air panas.

"Kamu kenapa sih, Blaze?" Tanya Taufan. Si kakak bermanik netra biru safir itu memperhatikan gelagat adiknya sembari menaikkan sebelah alis mata. "Tadi jempol kakimu ketiban panci, lalu kepalamu kejeduk pintu lemari, sekarang jarimu kena panci. Ngga biasanya kamu teledor begini?"

"Mmhmm?" Blaze menjawab dengan mengedikkan kedua bahu tanpa berkata-kata karena mulutnya sibuk mengemut jari yang sempat bersinggungan dengan panci.

Mungkin hanya kebetulan semata, namun pada saat yang bersamaan di rumah, Ice pun juga mengedikkan kedua bahu. "Entahlah, mungkin aku terlalu curiga. Toh juga makananku sudah aku beri mantera."

"Mantera?" Kedua kelopak mata Thorn mengedip cepat saat ia mendengar apa yang terucap oleh Ice. "Memang kamu kasih mantera apaan?"

Ice memejamkan kedua kelopak matanya sementara dahinya berkerut serius. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengulurkan tangan ke arah lemari penyimpanan cemilan miliknya. Perlahan jari telunjuk Ice merentang bergetar terarah pada lemari. "Tang tung tang tung. Yang ngambil tangannya buntung." Begitulah mantera yang terucap.

Thorn tercengang mendengar untaian mantera Ice. "Me-memang manjurkah?"

Ice mengedikkan kedua bahunya. "Entah? Terakhir kali kejadian jari Kak Ufan kena pisau dan bibirnya sariawan setelah minum Coca Cola punyaku."

Terbayang oleh Thorn perih dan ngilunya luka di ujung jari. Tanpa kendali sadar, Thorn bergidik dan menggelengkan kepala. "Untung aku ngga pernah ngambil makanan atau minumanmu."

"Aku tahu." Segaris senyum tipis mengukir di wajah Ice. "Kak Thorn 'kan-"

Belum selesai Ice berkata-kata ketika ia merasakan kain sarung yang melilit pinggangnya ditarik-tarik. Tangan mungil Sori memegangi kain yang dikenakan si kakak sepupu.

"Eh? Sori? Ada apa?" Perhatian Ice tertuju kepada Sori. Segera Ice berjongkok menyamai tinggi si adik sepupu sebisa mungkin.

"Osen," ucap Sori. Raut wajah cemberut bocah bayi itu dilengkapi dengan bibir monyong.

Jawaban Sori membuat Ice dan Thorn saling bertatapan. Keheranan jelas terpampang di wajah kedua kakak sepupu.

"Osen? Kue apa itu?" tanya Ice.

"Entah? Aku tahunya onsen. Kata Solar itu pemandian air panas." Thorn menawarkan alternatif jawaban.

Di sisi lain Glacier tepok jidat setelah melihat interaksi kedua kakak sepupunya. 'Duh, pada ngga peka amat sih?' gerutu Glacier di dalam batin. 'Kenapa ngga Kak Hali atau Kak Gempa yang menemani aku...."

"Osen!" ketus Sori lagi. Kali ini tampang cemberut si bocah ditambah dengan pipi gempal yang menggembung bagaikan ikan buntal kalau diganggu.

"Glacieeer," desis Ice memanggil si adik sepupu sebelum situasi bertambah parah.

Glacier menghela napas panjang. "Sori bosan," jawab Glacier singkat.

Kompak Ice dan Thorn mengangguk-anggukkan kepala. "Ooh, bosan," ucap keduanya membeo.

Glacier melipat kedua tangannya di depan dada. "Jadi ...?"

"Ayo kita jalan-jalan!" seru Thorn menyumbang pendapat.

Sementara raut wajah Ice jauh sekali dari mencerminkan terkesan atau antusias. "... Tidur saja. Gratis, ngga capek, ngga buang tenaga."

"Lama-lama Kak Ice jadi beruang kutub ...," sindir Glacier dengan tampang tanpa dosa. "Hibernasi 24 jam nonstop-"

"Sudah." Thorn sebagai yang tertua di antara ketiganya langsung menengahi. "Ayo kita jalan-jalan ke taman." Serta merta pula Thorn menarik Ice melangkah menuju pintu rumah.

"Heeey! Aku belum setujuuu!" Protes pun melayang dari si empunya tangan yang ditarik Thorn. Apapun alasannya, Ice lebih suka menghabiskan waktu berada di dalam rumah, apalagi jika AC dinyalakan. Akan lebih sempurna apabila Ice bisa berbaring di ranjang miliknya yang setia menunggu.

"Alaah, nanti juga setuju." Thorn mendorong Ice dan Glacier keluar dari rumah. Tidak lupa Thorn menuntun Sori mengikuti Glacier.

Beruntung cuaca hari itu tidak panas. Hembusan angin dari arah gunung membawa nyaman kesejukan di daerah sekitar Kota Rintis. Berjalan kaki pun tidak terlalu terasa apalagi di bawah rindangnya pepohonan di sepanjang jalan menuju taman kota.

Sesekali Thorn menggendong Sori di atas pundak. Sensasi berada di ketinggian yang mustahil dicapai oleh Sori seorang diri membuat bocah bayi itu tertawa riang gembira saat berada di atas pundak si kakak sepupu. Tangan-tangan mungil Sori pun sibuk memain-mainkan topi berwarna hijau tua di kepala Thorn.

"Olaa!" celoteh Sori saat dia memutar topi milik Thorn sampai lidah topinya menghadap ke kiri depan.

"Ah ya, itu gaya Solar memakai topi." Tanpa ekspresi Ice menganggukkan kepala.

Sekali lagi Sori memutar topi di kepala Thorn. "Aiss!" celotehnya lagi saat ludah topi yang dikenakan Thorn menghadap ke depan dan sedikit ke bawah....

Mungkin terlalu ke bawah karena Thorn mendadak panik. "Heeey! Aku ngga bisa lihat!"

Melihat gelagat buruk, Glacier langsung memgambil alih Sori dari atas pundak Thorn. Hanya saja mungkin sedikit terlambat.

Terbutakan oleh lidah topinya sendiri, Thorn tidak mengetahui kemana ia berjalan dan ....

-PLUOK!-

"Awas, Thorn ...," gumam Ice lembut SETELAH ia melihat kakaknya menabrak tiang listrik.

"Telaaaat!" gerutu Thorn kesal. Dia mundur terhuyung-huyung sembari mengusap-usap wajah dan hidungnya yang berciuman dengan tiang listrik beton.

Glacier hanya menghela napas panjang. "Kadang aku ragu apa Kak Ice ini benar-benar niat menolong atau ngga ..."

"Niat kok, cuma aku ngga mau buang tenaga." Ice menjawab dengan nada datar ibarat tanpa dosa dengan ekspresi wajah datar namun masih dilengkapi dengan gedikan kedua bahu.

"Ka Aiss bobo-bobo muyu." Sori pun ikutan berceletuk.

Alih-alih marah, Ice tersenyum dan menepuk-nepuk lembut kepala Sori. "Anak pintar. Bobo-bobo bagus untuk pertumbuhan."

"Ya, tumbuh ke samping dan ke depan." Masih belum hilang sewot dan kesalnya Thorn. Wajar saja dia masih ngedumel karena wajahnya ketambahan garis merah hasil dari ciuman dengan tiang listrik.

Begitu mengena sindiran balik dari Thorn karena kini Ice langsung berjongkok pundung di bawah pohon terdekat sambil mengorek-ngorek tanah dengan ujung jarinya. "Nanti aku bilangin Kak Gempa..." Begitu ketus Ice berulang-ulang.

Gantian Thorn langsung pucat. "Jangan!" Buru-buru Thorn menghampiri Ice. 'Bahaya kalau Ice sampai lapor Kak Gempa! Bisa ngga makan seharian aku!' seru Thorn di dalam batin sembari memutar otak guna mencari cara untuk menghibur si adik.

"Maaf, Ice. Kamu ngga gendut kok." Thorn berupaya menghibur Ice. "Itu 'kan dulu, sekarang sudah ngga."

Upaya Thorn dibalas oleh Ice dengan lirikan sinis. Tidak hanya dari Ice, tatapan serupa juga datang dari Sori dan Glacier.

"Sekarang badanmu sudah bagus lho. Percaya deh." Thorn yang panik menarik-narik tangan Ice dan membantu adiknya itu berdiri. 'Dimana Kak Ufan kalau lagi dibutuhkan sih?!' kutuk Thorn di dalam batin.

"Aku bilangin Kak Gempa," ucap Ice lagi sambil menggoyangkan tubuhnya maju mundur. "Kecuali..."

"Apa?!" Thorn langsung antusias bertanya.

Ice terdiam. Dia melirik ke arah Thorn sebelum akhirnya menjawab. "Aku lagi pengin durian."

Tanpa pikir panjang, Thorn langsung menyanggupi permintaan si adik. "Iya nanti aku carikan!"

"Janji ya?" tanya Ice sambil memasang tampang serius-mati (baca: dead serious).

"Iya janji!" Buru-buru Thorn setuju. Apapun asalkan Ice tidak laporan kepada Gempa.

Bagaikan didorong pegas ekstra kuat, Ice langsung berdiri. "Ayo kalau begitu." Digenggam dan ditariknya tangan Thorn oleh Ice. "Aku mau durian monthong Thailand. Tiga buah cukup lah."

Memucatlah Thorn. "Alamak... habislah akuu," keluhnya sembari tertunduk lesu.

"Hoyee! Duyen!" Sorakan bahagia dari mulut kecil Sori tidak membuat Thorn merasa lebih baik. Demikian pula senyuman sumringah dari Glacier.

"Mimpi apa aku semalam." Thorn hanya bisa menggaruki kepalanya.
.
.
.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top