7. Garong Tengah Malam.
Perlahan sepasang kelopak mata membuka di tengah gelapnya malam, menyibak manik netra oranye. Tidak lain dan tidak bukan, empunya netra bermanik oranye seperti itu adalah Blaze.
Tidak dengan sukarela Blaze terjaga dari tidurnya. Dia merasakan colekan-colekan kecil pada pinggangnya yang tidak tertutup baju kaus tanktop ekstra lebar yang ia kenakan malam itu.
"Mmhh ... tidur sana, Thorn." Melantunlah gerutuan dari mulut Blaze tanpa menoleh ke arah teman sekamarnya. Kembali Blaze memejamkan kelopak matanya, dia sama sekali tidak berniat bangun tengah malam buta raya.
"Bless ...." Alih-alih suara Thorn, yang terdengar malahan suara Sori.
Barulah Blaze ingat bahwa beberapa jam yang lalu Thorn mengajak Sori tidur bersama di kamar. Perlahan-lahan Blaze memutar tubuhnya dan benar saja dia mendapati dirinya bertatapan langsung dengan Sori. Terlihat jelas oleh Blaze bahwa Sori terjaga sepenuhnya, tidak ada tanda-tanda mengantuk yang terlihat di wajah bocah itu.
"Kenapa Sori?" tanya Blaze sembari menghela napas panjang. Sepertinya keutuhan dan kedamain tidurnya ke depan akan terganggu.
"Nyum ...," ucap Sori sembari menarik-narik baju tanktop Blaze.
Mengetahui bahwa tiada gunanya berdebat melawan bocah bayi, Blaze pun bangkit dari ranjangnya. Di dalam hati sebetulnya Blaze sama sekali tidak rela waktu tidurnya terganggu.
Perhatian Blaze kini beralih kepada Sori. "Ayo, kita ke bawah," ucap Blaze sembari mengamit tangan si adik sepupu.
Sori membalas dengan anggukkan kepala tanpa bersuara. Dia berjalan mengikuti Blaze keluar dari kamar.
Selangkah demi selangkah Blaze menuntun Sori menuruni tangga rumah. Si kakak sepupu cukup berhati-hati dalam menuntun Sori karena selain tangga yang agak curam, keadaan di dalam rumah agak gelap. Hanya beberapa lampu saja yang dinyalakan untuk menghemat listrik di malam hari.
Hati-hati Blaze menuntun Sori menuju dapur.
"Sori mau minum apa?" tanya Blaze setibanya di depan kulkas.
"Cola!" Mengembanglah senyum ceria Sori.
Sejenak Blaze terdiam. Dia mempertimbangkan apakah bijak memberikan bocah bayi itu minum Coca Cola. Hal terakhir yang Blaze inginkan adalah Sori yang mendadak hyper karena sugar rush. Namun seorang Blaze tetaplah seorang ... Blaze dan oleh karena itu Blaze mengambil sekaleng Coca Cola dari dalam kulkas.
Tutup kaleng bukanlah masalah. Segera saja minuman bersoda itu terbuka dan berpindah tangan dari Blaze ke Sori.
"Yay!" Sori langsung mengambil minuman bersoda itu dari tangan Blaze. Segera bocah itu meneguk Coca Cola pemberian Blaze sampai habis.
Sementara Sori menghabiskan minumannya, Blaze memutuskan untuk mencuci muka dengan air dari keran wastafel dapur. Seperti kebiasaannya, Blaze tidak lupa membasahi kedua ketiaknya. Setidaknya kini kedua kelopak matanya terasa lebih ringan karena bersih dan tubuhnya terasa sedikit lebih segar.
"Ayo balik ke kamar." Blaze menuntun Sori setelah si adik sepupu menghabiskan sekaleng Coca Cola.
Apa yang terjadi kemudian membuat Blaze heran. Dia merasakan tangan Sori mendadak terasa berat. Tentu saja Blaze langsung menengok ke belakang, ke arah si adik sepupu.
"Ehm ehm." Sori menggelengkan kepala.
Jelas sekali bocah itu menolak untuk kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur. Tentu saja Sori tidak berniat untuk kembali ke alam mimpi. Kedua kelopak matanya terbuka lebar dan tetlihat awas. Wajar saja Sori tidak lagi mengantuk karena dia sudah tidur cukup lama sejak sore hari.
Tidak hanya itu karena Sori menunjuk-nunjuk ke arah kulkas. "Nyam."
Walau tanpa bahasa yang benar, Blaze dengan mudah memahami keinginan si adik sepupu. "Duh ... Sori mau makan apa?" tanya Blaze.
"Mmhmm." Sori mengedikkan kedua bahunya.
Sejenak Blaze berpikir. Dia yakin bahwa tidak ada makanan yang cocok untuk Sori di dalam kulkas. Artinya Blaze harus mencari di tempat lain dan perhatiannya kini tertuju ke arah lemari kecil di dekat kulkas.
Sementara itu di lantai dua, tepatnya di dalam sebuah kamar....
"Ngh ... rampok ...." Begitulah erangan yang terdengar dari teman sekamar Solar. Tidak lain suara itu bersumber dari Ice yang tidurnya mendadak gelisah. Beberapa kali ia membolak-balikkan badan di atas ranjang.
Kembali ke dapur....
Lemari tempat dimana Ice menyimpan beragam cemilan-cemilan miliknya tengah dijarah dengan leluasa oleh Blaze. Beberapa kaleng keripik kentang Pringles dievakuasi oleh Blaze keluar dari lemari.
Kedua mata Sori membelalak lebar serta berbinar ceria saat ia melihat apa yang dibawa oleh Blaze. "Nya! Otato cipiss!" Bahkan Sori mulai meloncat-loncat menggapai kaleng Pringles di tangan Blaze.
Untuk sementara krisis teratasi. Betapa lega rasanya bagi Blaze melihat Sori duduk bersila di lantai dapur sambil menikmati kepingan-kepingan keripik kentang Pringles. Begitu nikmat rasanya melihat kepingan-kepingan Pringles itu masuk ke dalam mulut Sori satu demi satu sampai-sampai Blaze merasakañ air liurny terbit.
"Bagi satu yaaa?" Blaze pun mengulurkan tangan hendak mengambil sekeping Pringles dari dalam kaleng.
"Nyo!" Sori dengan sigapnya menjauhkan kaleng Pringles yang ia pegang dari jangkauan tangan si kakak sepupu.
Sebuah sweatdrop menitik di kepala Blaze. "Ini bocah pelitnya sama kayak Solar ...," gerutu Blaze sambil menggelengkan kepala.
Kembali Blaze menjarah lemari tempat Ice menyimpan cemilan. Blaze mencari sesuatu yang bisa ia konsumsi selagi menunggu Sori selesai makan.
Pencarian Blaze berakhir dengan dengkusan napas berat dan tangan hampa. Tidak ada yang menarik perhatian dan sepertinya strategi Ice mengganti cemilannya dengan cemilan produk Korea berhasil membuat Blaze mengurungkan niat. Hampir semua cemilan yang ada di dalam lemari itu bertuliskan huruf keriting yang tidak bisa dibaca oleh Blaze, apalagi diartikan.
Terpaksalah Blaze berpangku tangan sambil memandangi Sori. Memang Blaze tidak lapar, namun alangkah nikmatnya jika ia juga bisa ikut menikmati keripik Pringles yang dikuasai oleh Sori. Di sisi lain, Sori mulai membuka kaleng Pringles kedua dan mulai menyantap isinya. Jika yang pertama adalah Pringles rasa original, yang kedua adalah rasa sour cream and onion. Tidak lupa Sori meneguk Coca Cola diantara kesibukannya menikmati Pringles.
Setidaknya Blaze merasa tenang karena untuk saat ini Sori tidak menimbulkan masalah, kecuali menjarah persediaan cemilan Ice. Hanya saja Blaze perlu mencari akal supaya dirinya tidak diamuk oleh Ice atau Gempa kalau Ice sampai mengadu ke Gempa.
Kembali sebuah ide cemerlang melintas di otak Blaze. Dia menggigit beberapa bungkusan cemilan yang tersisa di dalam lemari tanpa memakan isinya. Tidak lupa Blaze memastikan lemari itu terbuka sedikit.
"Nah, Ice pasti menyangka kalau makanannya dihajar tikus," gumam Blaze sambil menyungging senyum kemenangan penuh kepuasaan.
Kaleng Pringles kedua pun habis oleh Sori, demikian juga dengan sekaleng Coca Cola. Suara sendawa nyaring dan berat cukup menjadi tanda bahwa bocah itu sudah kenyang.
Hanya beberapa detik berselang sebelum Sori terlihat gelisah. Dia mulai celingukan mencari sesuatu yang bisa ia mainkan. Sayangnya, di dalam dapur tidak ada yang bisa dijadikan mainan untuk bocah.
Blaze pun mencari akal untuk membuat kesibukan bagi adik sepupunya. Sempat terpikir olehnya untuk menjadikan peralatan masak milik Gempa sebagai mainan untuk Sori, namun bayangan di dalam benak Blaze akan Sori yang memainkan pisau dapur membuat Blaze mengurungkan niat. Hal terakhir yang Blaze inginkan adalah dirinya menjadi bahan percobaan Sori dengan peralatan masak milik Gempa.
"Ah!" Sebuah ide melintas di dalam kepala Blaze. "Sori mau nonton film kartun?"
"Filem?" Kedua kelopak mata Sori berkedip-kedip saat ia mendengar istilah yang belum pernah didengarnya.
"Uhm ... Pokemon? Pikaaachuuu." Blaze menirukan gaya bicara sebuah tokoh film anime yang pernah ia tonton.
"Nya!" Sepertinya trik Blaze cukup manjur karena kini Sori mengangguk-angguk antusias. "Pokè poke!"
Blaze langsung menghela napas lega. Paling tidak tugasnya membuat Sori terhibur malam itu menjadi lebih mudah.
Kembali Blaze menuntun Sori. Kali ini dia menuntun si adik sepupu menuju ruang keluarga dimana televisi berada.
Salah satu sumber pencahayaan pada saat itu berasal dari layar televisi yang masih menyala. Samar-samar suara dari televisi itu mampir di indera pendengaran Blaze saat ia tiba di lantai bawah bersama Sori. Selain suara televisi, Blaze juga mendengar suara hembusan angin dari sebuah kipas angin yang menyala di dekat televisi.
Agak aneh bagi Blaze menemukan televisi masih menyala, apalagi jam di dinding menunjukkan pukul dua malam atau pagi, tergantung perspektif masing-masing. Biasanya yang hobby menonton televisi sampai larut malam di rumah itu hanya Gempa saja, namun tidak sampai selarut itu.
Terdorong rasa penasaran, Blaze beranjak mendekati sofa. Dia mengintip dari balik sandaran sofa dan menemukan sebuah pemandangan aneh menanti.
"Astaga ...," gumam Blaze. Dia menemukan Glacier terlelap di atas sofa. Sebetulnya bukan keberadaan si adik sepupu yang membuat Blaze sedikit terkejut, namun cara Glacier berpakaian di malam itu.
Dari wujud Glacier yang terlelap bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek saja, Blaze menyimpulkan bahwa adik sepupunya itu tidak tahan dengan hawa panas. Kebetulan ruang keluarga juga rumah di Pulau Rintis itu tidak dipasangi AC, berbeda dengan rumah Glacier di Kuala Lumpur.
"Indah juga ...." Blaze berbisik lembut saat menatap dan mengamati sosok Glacier yang terlelap bertelanjang dada di atas sofa. Manik netra oranye Blaze pun bergerak-gerak, mengikuti setiap lekuk tubuh si adik sepupu yang terpampang demikian bebasnya seakan mengundang untuk dijelajahi.
Kun fayakun dan terjadilah. Sebuah ide jahil terbit dari inspirasi terdalam Blaze yang tak pernah padam digerus waktu dan umur. Cengiran jahil pemuda bernetra oranye itu pun mengembang sepenuhnya, pertanda sebuah rencana telah terbentuk di dalam otaknya.
"Psst ...." Blaze berbisik kepada Sori. Dia mengisyaratkan Sori supaya tidak bersuara sebelum mengajaknya berjalan sesunyi mungkin mendekati televisi.
Sori menganggukkan kepala dan berjalan mendekati Blaze. "Ka Bless?" celoteh Sori sambil menatap si kakak sepupu dengan raut wajah keheranan.
"Sori suka Pokemon 'kan?" tanya Blaze. Cengiran lebar masih terpampang di wajah.
"Uh huh." Sori menganggukkan kepala.
"Tunggu disini sebentar." Blaze berlari jinjit kembali ke dapur. Entah apa yang diperbuat olehnya namun yang pasti Blaze kembali ke ruang keluarga dan menghampiri Sori dengan membawa sebuah dua buah spidol.
Sori menatap si kakak sepupu sembari sedikit memiringkan kepala. Jelas sekali dia tidak mengerti dengan apa yang direncanakan oleh Blaze, terlebih ketika dia menerima sebuah spidol dari si kakak sepupu.
Blaze menunjuk ke arah Glacier yang masih terlelap sambil menggoyang-goyangkan spidol di tangannya.
Mendadak Sori tersenyum lebar. Dia mendadak mengerti apa yang diperagakan oleh kakak sepupunya.
"Igglipaff!" Sori menganggukkan kepala dan mencabut tutup dari spidol yang ia genggam.
"Bukan Igglipaff sih, tapi Jigglypuff." Sebuah sweatdrop menitik di kepala Blaze.
"Nya. Jigglypuff." Tanpa disuruh dua kali, Sori langsung merangkak mendekati Glacier.
.
Beberapa jam kemudian....
.
Merdunya nyanyian burung berkicau menyambut datangnya hari baru. Mentari pagi menyelimuti bumi Pulau Rintis dengan sinar yang cerah.
"Ah ... sudah pagi...." Glacier menggumam saat ia membuka kelopak matanya. Terangnya sinar matahari cukup untuk membuatnya terjaga dari tidur.
"Aku ketiduran ya?" gumam Glacier lagi saat menemukan bahwa televisi masih menyala.
Berat rasanya bagi Glacier untuk mendorong dirinya bangkit dari sofa, namun ia tidak memiliki banyak pilihan karena harus memenuhi panggilan alam. Daerah selangkangan Glacier yang terasa sesak cukup menjadi sinyal baginya untuk segera mencari kamar mandi terdekat.
Bagai zombie yang absen kesadaran, Glacier melangkahkan kaki ke dalam kamar mandi. Tanpa perlu berpikir ia langsung mendekati kloset sebelum melepas hajat kecil.
Hampir semenit lamanya Glacier menjawab panggilan alam. Setelah merasa lebih lega, barulah Glacier membasuh wajahnya, namun ....
"WUAAAGH!" Meledaklah jeritan Glacier memecah keheningan pagi.
Apa yang dilihatnya di dalam cermin di atas wastafel membuat Glacier terkejut.
Wajah Glacier penuh dengan lukisan-lukisan tidak karuan. Belum lagi lukisan di wajah Glacier tidak bisa dihapus begitu saja dengan air. Siapapun yang telah berulah menggunakan spidol permanen.
"Glacier?! Apa yang-" Jeritan Glacier tentu saja mengundang penyelidikan dan seorang kakak sepupunya menerobos paksa pintu kamar mandi.
"Pffft." Berkedutlah bibir si kakak sepupu yang bernetra merah rubi ketika mendapati wajah si adik sepupu yang telah menjadi kanvas dadakan oleh artis avantgarde gadungan. Tidak lain si kakak sepupu adalah Halilintar.
"Astaga, Abang Hali!" Glacier menunjuk ke arah Halilintar.
"Hah?" Kedua kelopak mata Halilintar mengedip cepat saat melihat reaksi Glacier. Lebih heran lagi karena Glacier menunjuk ke arah wajah Halilintar sendiri.
Kontan Halilintar langsung menengok ke arah cermin dan ....
"AHHH! ULAH SIAPA INI?!" jerit Halilintar, tidak kalah nyaringnya dengan jeritan Glacier sebelumnya.
Jeritan dua orang itu sudah cukup untuk membuat seluruh penghuni rumah terbangun. Ternyata bukan Glacier dan Halilintar saja yang mendapat lukisan tato dadakan di wajah melainkan seluruh penghuni rumah.
"Gem..." Taufan melirik ke arah Gempa. "Mulai besok kamu mulai ngaji lagi deh. Biar kalem lagi penunggu rumah kita," keluh Taufan lagi sambil menggelengkan kepala.
"O-omong kosong! Hantu itu ngga ada!" protes Halilintar sembari membuang muka, yang sebetulnya sudah pucat pasi ketika Taufan membahas soal penunggu rumah.
"Untung Sori ngga ikutan dicolek setan rumah ini," tambah Ice. "Tapi ... kenapa setannya juga makan cemilanku?"
Blaze yang sedari tadi terlihat diam saja akhirnya membuka suara, "Lain kali tutup lemarinya yang rapat...."
Sama seperti yang lainnya, Blaze pun tidak luput dari sasaran tukang tato dadakan. Dalam batinnya Blaze bersumpah untuk tidak ketiduran lagi ketika menemani Sori bermain.
Sori sendiri?
Si pelaku utama hanya terkekeh-kekeh selagi memperhatikan kepanikan dadakan di rumah itu. "Heh heh heh ... eedeeyot...."
.
.
.
Bersambung.
Ilustrasi comission.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top