6. Miapah

Kesegaran kembali terasa oleh Glacier saat hangatnya air dari kepala pancuran membasahi seluruh tubuhnya. Walau seluruh tubuhnya terasa seperti terkena setruman karena efek samping dari sabun mandi cair beraroma menthol, tetap saja Glacier meneruskan ritual mandi tengah malamnya. Memang mandi tengah malam tidak aik untuk kesehatan, namun ia membutuhkan hal itu untuk memulihkan kesegaran tubuh setelah beristirahat alias bobo cantik.

Nikmat sekali rasanya bisa menghabiskan waktu membersihkan badan di tengah kucuran air hangat. Sudah lama Glacier tidak merasakan kenikmatan duniawi yang sebetulnya begitu simple namun sulit dilaksanakan karena kesibukannya beberapa hari terakhir merawat adiknya yang masih bayi.

Memang Glacier berbagi tugas menjaga Sori dengan kedua saudaranya, yaitu FrostFire dan Supra. Hanya saja akibat terpapar virus Covid, terpaksalah Glacier menjaga Sori seorang diri karena hanya Glacier yang beruntung tidak terpapar virus yang sedang mewabah di dunia itu. Selain itu, Glacier adalah yang paling bisa dianggap bertanggung jawab dalam hal mengurus Sori jika dibandingkan dengan FrostFire atau Supra.

Karena terpapar virus Covid itulah FrostFire, Supra dan kedua orangtua mereka terpaksa mengungsikan Glacier dan Sori ke tempat yang lebih aman. Sebetulnya bsa saja mereka menyewa sebuah apartemen untuk tempat tinggal sementara bagi Glacier dan Sori namun tidak mungkin bagi Glacier seorang diri untuk mengurus bayi. Belum lagi Glacier juga masih mempunyai kewajiban untuk bersekolah walaupun secara online.

Oleh karena itulah keluarga Glacier dan Glacier sendiri memutuskan bahwa tempat terbaik untuk mengungsi adalah rumah mendiang Tok Aba yang ditinggali oleh ketujuh saudara sepupu Glacier. Selain letak yang relatif tersisolasi dari pulau utama Malaysia, tenaga yang bisa membantu Glacier pun jumlahnya lebih banyak.

Walaupun ada sedikit kendala, Glacier bersyukur bahwa masih ada yang bisa membantunya mengurus Sori. Otomatis kini Glacier memiliki sedikit waktu untuk me-time yang sangat ia butuhkan biarpun hanya untuk hal-hal yang sebetulnya sepele seperti nikmatnya mandi tanpa gangguan dengan air hangat tanpa terburu-buru.

"Fuaaah ... enak sekali rasanya," gumam Glacier saat ia melangkah keluar dari kamar mandi. Tanpa terburu-buru dia mengeringkan tubuhnya dan berpakaian.

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam ketika Glacier melihat pada jam yang terpasang di ruang keluarga rumah mendiang Tok Aba. Tidak terlihat tanda-tanda akan berhentinya kegiatan di dalam rumah itu walau sudah larut malam. Hampir semua saudara sepupu Glacier berkumpul di ruang keluarga bersama Sori kecuali Blaze, Solar dan Ice. Ketiga saudara sepupu Glacier itu memang tidak terlihat batang hidungnya, namun terdengar erangan-erangan dan suara-suara aneh dari lantai dua yang diduga adalah suara ketiganya.

"Jadi juga kamu mandi tengah malam begitu, Laci?" Taufan menyapa Glacier dari ruang keluarga. Si kakak sepupu bernetra biru safir itu tengah menuntun Sori dan melatih bocah bayi itu untuk berjalan.

Glacier menggeram lembut sembari memutar bola matanya ke atas. "Glacier. Cuma Sori yang boleh memanggilku Laci," protesnya sembari melangkahkan kaki menuju ruang keluarga.

"Laci!" Melihat kakaknya datang, Sori langsung tertawa riang. Bocah bayi itu langsung menghampiri si kakak dengan langkah gamang. "Enyon! Enyon!" celoteh Sori lagi sembari menggapai-gapai ke arah Glacier.

"Enyon?" Thorn yang menyaksikan interaksi antara Sori dan Glacier langsung mengernyitkan dahi.

Lebih dahulu Glacier mengulurkan kedua tangannya dan menganggapi Sori. "Maksud Sori gendong, Kak Thorn," tutur Glacier sembari menaikkan Sori ke dalam gendongannya. "Namanya juga masih bayi, ngomongnya belum jelas."

"Oooh." Thorn mengangguk-anggukkan kepalanya. Jelas sekali Thorn sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal berinteraksi dengan bocah bayi. Walau begitu tetap saja si kakak bernetra hijau tua itu tidak ragu-ragu berinteraksi dengan adik sepupunya yang masih bayi itu.

Berbeda hal dengan Halilintar. Si kakak tertua terlihat mencoba membuat jarak sejauh mungkin dengan Sori. Tidak hanya dengan Sori, malam itu Halilintar juga terlihat enggan untuk mendekati Gempa.

"Kak Hali kenapa?" tanya Thorn sembari sedikit memiringkan kepalanya.

"Ngga ada apa-apa," dengkus Halilintar. Si kakak tertua kontan memalingkan wajah dari semua adik-adiknya. Gorden pada jendela rumah terasa lebih menarik bagi Halilintar untuk saat itu.

"Kak Hali salah makan ya?" Dengan cepat Thorn mendekati Halilintar. Tanpa meminta ijin atau menunggu persetujuan dari si empunya, Thorn langsung meraba perut Halilintar.

"Hoi! Jangan pegang-pegang perut orang-"

"Hali, Thorn cuma khawatir. Ngga perlu judes begitu 'kan?" tutur Gempa memotong ucapan Haliliintar. Tidak lupa sebuah senyuman manis mengulas di wajah Gempa, sayang saja di balik senyuman itu menguar aura gelap mencekam.

"I-iya," ucap Halilintar singkat. Dia langsung terbayang akan ketiga adiknya yang sedang ternista karena ulah mereka. Malam itu terlalu indah untuk dilewatkan dengan terpasung di atas ranjang menurut firasat Halilintar.

Glacier yang melihat interaksi kakak-kakak sepupunya itu hanya bisa menggelengkan kepala. "Horor ...," komentarnya sembari meneguk ludah.

"Kalian bertiga juga sama saja," celetuk Gempa. Tentu saja yang dimaksud olehnya adalah Glacier sendiri, FrostFire dan Supra. "Aku dengar dari Blaze apa yang terjadi dengan Solar ketika dia menjaga kalian (Fanfic: Sepupuku)."

"Ahahahaha ...." Glacier tertawa gugup sembari menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Itu ... sudah biasa."

Gempa menggelengkan kepala sebagai pernyataan tidak setuju dengan cara adik sepupunya itu bermain di rumah. Walau tidak setuju, Gempa tidak berkomentar lebih lanjut karena hal yang hampir serupa juga terjadi dengan kakak-kakak dan adik-adiknya sendiri. "Semoga Sori ngga ikutan meniru kalian ... apalagi Sori itu cepat belajar sesuatu."

"Eedeeyot!" Kembali Sori berceloteh di antara tawa riangnya ketika ia diayun-ayun oleh Glacier.

"Nah, seperti itu contohnya," keluh Gempa sembari mengingatkan pada dirinya sendiri untuk memasung Solar lebih lama daripada Blaze atau Ice.

"Sssh, Sori jangan ngomong begitu. Sori anak baik 'kan?" Sebisa mungkin Glacier menegur Sori walau tidak yakin apakah adiknya yang belum berusia satu tahun itu bisa mengerti.

Mungkin Sori yang ditegur Glacier mengerti karena bocah bayi itu langsung merengut. "Laci eedeeyot!" Tidak hanya merengut, bocah bayi itu membuang muka dari Glacier.

"Ajaran Solar sih ...," celetuk Thorn. "Sori jangan tiru Kak Solar ya? Ngga baik."

Semakin masamlah wajah Sori setelah Thorn ikutan menegur. Situasi pun tidak berangsur membaik karena Sori yang berada dalam gendongan Glacier mulai terlihat gelisah. Usaha yang dilakukkan Glacier untuk menenangkan Sori pun tidak terlihat membuahkan hasil, sebaliknya Sori malah terlihat semakin gelisah.

Pengecekan rutin pun langsung dilakukkan oleh Glacier. Dengan cekatan Glacier menarik turun celana Sori dan memeriksa pampers di balik celana dalam si adik. "Masih kering .... Sori haus?" Setelah yakin bahwa pampers Sori masih kering, Glacier langsung menyodorkan sebotol susu kepada adiknya itu.

"Gah!" Alih-alih menerima botol susu yang disodorkan kepadanya, Sori malah mendorong botol susu itu sampai terjatuh dan tumpah. Karena tidak ada yang kunjung mengerti apa yang dikehendaki olehnya, mulailah Sori terisak-isak kecil.

"Alamak!" Sori kenapa?!" Tanpa pikir panjang, Thorn langsung merebut Sori dari gendongan Glacier. Buru-buru Thorn menimang dan mengayun-ayun Sori dengan cepat seakan tak ada hari esok.

"Astaga! Kak Thorn!" Melihat si kakak sepupu panik, Glacier pun menjadi ikutan panik. Bukan kekhawatiran akan Sori yang akan menangis semakin menjadi, namun Glacier khawatir Sori terlepas dari gendonga Thorn yang tentunya akan berakibat buruk. Segera Glacier berusaha melepas Sori dari Thorn.

"Oeee! Laci eyek!" Jadilah Sori menangis sekuat tenaganya sembari meronta-ronta hendak menjauh dari Glacier. Tak ayal Sori berpindah tangan dan kembali memeluk Thorn.

"Ba-bagaimana ini?" Thorn meneguk ludah. Dia sama sekali tidak mengerti harus berbuat apa dan enggan membuat Sori menangis lebih keras lagi, walaupun sebenarnya sudah terlambat karena kini rengek tangis bocah bayi itu menggema di seluruh penjuru rumah. Berbagai upaya yang dilakukkan Thorn tidak membuahkan hasil. Dari memberikan susu, mengayun lebih cepat sampai menimang-nimang, semua tidak ada yang meredakan jerit tangis Sori.

Gempa yang menyaksikan bencana di dalam rumah mereka itu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia mencoba mengalihkan perhatian Sori dan memindahkan bocah bayi itu dari pelukan Thorn ke dalam pelukannya sendiri. Memang untuk sesaat terlihat akan berhasil karena Sori terlihat antusias untuk pindah ke dalam pelukan Gempa, namun ....

"Aaaa! Bau!" Sori mendorong dirinya sendiri menjuh dari pelukan Gempa.

Barulah Gempa sadar bahwa ia belum mandi dan hal itu membuat Sori menjadi sangat tidak nyaman.

Terdorong putus asa dan kepanikan yang urung mereda. Keadaan semakin memburuk karena Sori mulai memberontak keras melawan pelukan Gempa. Sebetulnya bisa saja Gempa mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan Sori, namun dia tidak ingin menyakiti si adik sepupu. Walau begitu tetap saja melawan tenaga Sori yang tidak kunjung diam itu membuat Gempa kerepotan dan mulai kelelahan. Merasa tidak ada lagi jalan keluar, Gempa pun memaggil bala bantuan terakhir.

Sejauh ini hanya ada satu orang yang terbukti manjur membuat Sori tenang dan orang itu tidak berbuat apa-apa selain mengamati huru-hara antara Glacier, Thorn, Gempa dan Sori. Tidak lain dan tidak bukan orang itu adalah Halilintar.

"Hali! Tolong!" jerit Gempa.

"...," jawab Halilintar sembari mengangguk-anggukkan kepala seakan sedang mendengarkan alunan musik di dalam kepalanya.

"HALI!" paggil Gempa lagi.

".... Apa?" Perlahan-lahan Halilintar melirik ke arah Gempa.

"TOLONG!"

"Hm ... 'gimana ya .... Aku sebetulnya-"

"Serius Hali! TOLONG!" Kini Gempa benar-benar panik.

"Serius? Miapah?" Sebuah senyuman sinis nan menyebalkan menghias wajah Haliliintar yang sepertinya sengaja dibuat kepolos-polosan oleh si empunya.

"Kutukarpet kau Hali!" Gempa reflek melontarkan sumpah serapahnya. "kutukupret!" ralatnya dengan cepat.

Dalam sebuah momen yang langka, Halilintar tertawa terbahak-bahak. Belum pernah dia melihat Gempa yang selama ini didakwa menjadi mama di dalam rumah itu demikian paniknya. Entah mengapa, kepanikan Gempa menjadi hiburan tersendiri bagi Halilintar.

"Yah .... Aku sih mau saja menolong," gumam Halilintar seakan tanpa beban sedikit pun. "Tapi aku rada malas ... apalagi tadi siang kita cuma makan nasi goreng telur saja .... Tak cukup mengisi tenagaku lho."

Barulah Gempa sadar bahwa ada sesuatu yang diinginkan oleh Haliliintar. Si kakak tertua butuh sesajen untuk mau turun tangan menolong. "A-apa yang kamu mau?!"

Halilintar melirik ke arah Gempa. Kedua alis mata si kakak tertua melengkung tinggi menandakan mood yang semakin membaik. "Sudah lama aku ngga makan udang karang saus Padang ... atau kepiting bakau saus Padang."

"Mahal-"

"Ya sudah, urus saja Sori sendiri kalau begitu," tutur Halilintar sembari menyandarkan tubuh sesantai mungkin di atas sofa.

Terpaksa Gempa mempertimbangkan opsi-opsi yang bisa ditempuh untuk mengembalikan kedamaian rumah. Masalahnya waktu untuk berpikir tidaklah banyak karena tangisan Sori semakin menjadi. Tidak hanya itu, Thorn, Taufan dan Glacier pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkan Sori.

"Iya! Udang karang saus Padang!" seru Gempa ditengah keputusasaannya.

"Nah 'gitu dong." Melebarlah senyum Halilintar. Si kakak tertua langsung bangkit dari sofa yang ia duduki dan tanpa ragu-ragu sedikit pun mengambil Sori dari dekapan Gempa.

Tidak ada terlihat keraguan saat Halilintar kembali duduk di atas sofa sembari mendekap Sori. Bocah bayi itu dipeluk erat oleh Halilintar supaya merasa hangat. Sesekali Halilintar menimang-nimang Sori diselingi tepukan-tepukan lembut pada bokong bocah bayi itu.

Hanya beberaa menit berselang sebelum Sori menguap lebar-lebar. Kedua kelopak mata bocah bayi itu mulai mengedip-ngedip perlahan.

"Sinyo bobo ooo sinyo bobo." Halilintar menggumamkan lagu ninabobo hasil modifikasinya. "Kalau tidak bobo dtubruk kebo ...."

Sweatdrop secara bersamaan menitik di kepala Gempa, Taufan, Thorn dan Glacier ketika mereka mendengar lagu karangan Halilintar itu. Walau terdengar ngawur, tetap saja tidak ada dari mereka yang melontarkan kritik karena lagu yang dinyanyikan oleh Halilintar berhasil membawa Sori masuk ke dalam alam mimpi.

Setelah yakin bahwa Sori telah terlelap, Halilintar meletakkan adik sepupunya itu di atas sofa. "Nah, begitu caranya. Aku tahu Sori sudah ngantuk karena dari tadi siang dia belum tidur .... Kalian saja yang ngga peka .... Nah, Gempa, kamu hutang lobster seekor .... Aku mau yang lima kilogram."

Seakan tanpa beban hidup, Halilintar melenggang ke dalam dapur. Dari dalam kulkas di dapur dia mengambil sekaleng minuman energi yang dirasanya cukup untuk membuatnya tetap terjaga selama beberapa jam.

Taufan yang kembali menyaksikan kepiawaian Halilintar mendiamkan Sori hanya bisa tercengang dengan mulut ternganga. "Halilintar benar-benar calon suami idaman ya?"

Sebuah suara batuk tidak elit terdengar dari dalam dapur.

"Kamu nikahi saja dia!" ketus Gempa sembari melirik sebal ke arah Taufan dan ke arah dapur dimana Halilintar berada.

Bukan hanya batuk-batuk saja, kali ini terdengar suara Halilintar tersedak minuman yang sedang direguknya.

Sementara Halilintar terbatuk-batuk, Taufan langsung menundukkan dan memalingkan kepala. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya yang mendadak merona merah.
.
.
.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top