3. Yeet
"Cup, cup, cup. Sori anak baik, Sori anak comel ...." Kurang lebih begitulah mantera yang berulang-ulang diucapkan oleh Glacier selagi ia mengayun-ayun dan menimang-nimang. Berbagai macam cara mengayun dicoba oleh Glacier untuk mendiamkan si adik. Beruntungnya suara tangis Sori berangsur melembut sampai akhirnya lenyap total.
Walau sudah berhenti menangis, tetap saja Sori terisak-isak kecil.
Setelah keadaan mulai tenang barulah saudara-saudara sepupu Glacier yang tadi sempat berhamburan mulai berkumpul kembali.
Bagai sedang meneliti sebuah granat yang bisa meledak tanpa peringatan, Blaze, Thorn dan Taufan mengendap-endap menengok Sori di dalam gendongan Glacier. Ketiga kakak sepupu yang dikenal sebagai trio troublemaker itu mengamati Sori dengan perhatian penuh. Jarang sekali ketiganya bisa melihat seorang bayi dengan jarak yang begitu dekat.
"Comelnyaaa," gumam Thorn. Kedua matanya kontan membulat berbinar-binar saat ia mengamati Sori dari jarak dekat.
"Mirip kamu waktu masih bayi lho," komentar Taufan membandingkan Sori dengan Thorn saat Thorn masih seumuran Sori.
Blaze menggelengkan kepalanya setelah mendengar komentar Taufan. "Ngga deh kayaknya. Di foto jaman dulu itu Thorn sering ngences," ucap Blaze setengah menyindir Thorn. "Kayaknya Sori ngga suka ngences."
Alih-alih tersinggung, Thorn yang secara spesifik dijadikan contoh perbandingan oleh Blaze itu hanya tertawa gugup sembari menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang sebetulnya tidak terasa gatal.
"Sssh ...," desis Glacier sembari memberi isyarat mata memicing ke arah Taufan, Blaze dan Thorn secara bergantian. Buru-buru Glacier menjauhkan Sori yang sudah mulai agak tenang dari ketiga kakak sepupunya yang terkenal sengklek itu sebelum kembali terjadi huru-hara.
Berbeda dengan yang lain, Gempa yang melihat ketiga saudaranya yang sudah sedikit terlalu dekat mengerubungi Sori langsung mengambil tindakan tegas dan terukur. "Sudah, sudah, bubar," desis Gempa selagi meletakkan tangannya di pundak Taufan dan Blaze. Buru-buru Gempa menarik Taufan dan Blaze menjauh dari Glacier dan Sori.
"Yaaah." Blaze kontan menggerutu, lengkap dengan bibir monyongnya. Rupanya dia masih penasaran dengan tamu agung di rumahnya itu. Berkelitlah Blaze dari cengkeraman Gempa dan berkat kegesitan yang ia miliki, Blaze berhasil kembali mendekati Sori dan Glacier.
"Kak Blaaaze ...." Glacier menggeram dan berusaha menjauhkan Sori dari Blaze yang kian mendekat.
Untungnya Blaze tidak mencolek-colek Sori lagi. Sebaliknya, Blaze malah bermain cilukba dengan adik sepupunya yang masih bayi itu. Di sisi lain Glacier bisa bernapas lega karena Sori menunjukkan ketertarikan pada Blaze. Bahkan Sori mulai tertawa-tawa riang melihat ekspresi wajah Blaze yang berubah-ubah setiap kali Blaze menutup wajah dengan kedua tangan dan membukanya.
"Huft." Glacier mendenguskan napas lega melihat Sori menggapai-gapai ke arah Blaze. "Sori, itu Abang Blaze," ucap Glacier sembari menunjuk dan mengarahkan Sori kepada Blaze.
"Aaa .... Lez!" Sori menunjuk-nunjuk ke arah Blaze. Tidak hanya menunjuk, bocah bayi itu mulai bergerak-gerak hendak melompat berpindah gendongan dari kakaknya.
Serta merta Glacier memindahkan Sori ke dalam gendongan Blaze.
"Eeeh? Tu-tunggu!" Blaze yang tidak menyangka akan ketempelan momongan dadakan hanya bisa bertindak sesuai refleknya dan menerima Sori. "G-Glacieeer?" cicit Blaze lagi yang kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Astaga Blaze, itu cuma bayi saja," komentar Ice sembari menggelengkan kepala. "Bully di sekolah kamu hajar, tapi sama bayi saja kok takut?" lanjutnya meledek si kakak yang semakin gelisah.
Tidak hanya dari Ice, celetukan lain datang menyusul. "Baguslah, dia jadi belajar tanggung jawab." Dari arah pintu rumah yang menuju halaman belakang terlihatlah Halilintar bersama Solar. Keduanya baru saja keluar dari tempat persebunyian mereka ketika menghindar dari tangisan Sori.
Tentu saja kedatangan si kakak tertua dan si adik terkecil itu disambut dengan lirikan tajam dan senyuman berlapis racun maut dari Gempa. "Bagus ...," ketus Gempa sembari bertolak pinggang bagaikan sebuah ceret dengan sebelah ujung kaki menghentak-hentak lantai rumah. Raut wajah Gempa yang masam jelas sekali menunjukkan kekesalan akan kelakuan Solar dan terlebih Haliliintar.
"Kamu yang paling tua mestinya jadi contoh .... Ini malah kabur." Mulailah Gempa menggerutu.
"Hey, telingaku sensitif." Halilintar menjawab sembari mengedikkan bahu seakan tidak terjadi apa-apa. "Aku harus melindungi telingaku," ucapnya lagi membela diri.
Sementara Gempa dan Halilintar beradu argumen, Glacier mempermisikan diri menuju dapur. Dari dalam tas ransel yang menempel di punggungnya, dia mengeluarkan beberapa kaleng susu dan botol susu. Segera Glacier merebus sepanci kecil air dan menyiapkan susu untuk Sori.
"Bagaimana cara membuat susunya Sori?" Taufan bertanya sembari memperhatikan gerak-gerik Glacier.
"Gampang kok," jawab Glacier sembari menengok ke arah kakak sepupunya. Dengan cekatan Glacier memasukkan tiga sendok susu bubuk ke dalam botol susu. Sisa ruang di dalam botol susu berukuran sebesar genggaman tangan itu diisi dengan air hangat. "Nah tinggal dikocok deh."
Sekuat tenaga Glacier mengocok botol susu yang sudah ia tutup untuk mencampur bubuk susun dengan air hangat di dalam botol itu. "Praktis 'kan? Jadi ngga usah pakai sendok lagi," ucap Glacier sebelum berlalu kembali ke ruang keluarga untuk menghantar susu Sori yang baru saja selesai dibuat.
"Soriii, susu," panggil Glacier dengan suara melagu.
"Nya! Ucu! Ucu!" Sori yang tadinya sedang bermain cilukba dengan Blaze langsung menggeliat antusias. Bocah bayi itu merangkak di atas sofa secepat kedua tangan dan kakinya mampu untuk menghampiri Glacier.
Kedua alis mata Sori melengkung sementara kedua kelopak matanya memejam kesenangan saat ia mengulum puting botol susunya dan menghisap cairan bernutrisi yang memang menjadi asupan wajibnya. Tiada suara yang terdengar dari Sori kecuali suara susu yang dihisap dengan sangat antusias.
"Aih ... comelnya." Semakin gemaslah Thorn melihat Sori yang begitu bersemangat menikmati susu buatan Glacier.
Melihat adiknya mudah beradaptasi dengan lingkungan dan wajah-wajah baru di sekelilingnya, Glacier pun menghela napas lega. "Alhamdullilah .... Sori sepertinya suka dengan kakak-kakak semua," ucap Glacier sembari menjatuhkan dirinya ke atas sofa yang kosong.
Barulah terlihat kelelahan mendalam yang telah dilalui oleh Glacier. Sofa yang bagi para kakak sepupu adalah hal yang biasa saja seakan adalah kenikmatan luar biasa bagi Glacier. Bahkan wajah Glacier yang tadinya tegang berlapiskan kerutan-kerutan tidak sehat kini seakan mengendur. Kelopak mata Glacier pun mulai mengedip-ngedip perlahan seiring dengan kepalanya yang mengangguk-angguk.
"Glacier? Kau oke tak?" tanya Gempa sembari berjalan menghampiri si adik sepupu. Serta merta si kakak sepupu yang bernetra cokelat madu itu menemani Glacier duduk di sofa.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Glacier. Memang tidak perlu jawaban karena Glacier langsung menyandarkan kepalanya pada pundak Gempa. Kurang dari beberapa detik berselang dan terdengarlah dengkuran lembut dari Glacier yang kini tertidur bersandarkan pundak Gempa.
Ice yang melihat adik sepupunya tertidur dengan menggunakan pundak Gempa sebagai sandaran itu menggelengkan kepala. "Glacier," panggil Ice dengan nada datar. "Ayo bangun, pindah ke kamar. Sengklek nanti lehermu."
"Ngrh." Geraman lembut menjadi jawaban dari Glacier. Yang tadinya dia menggunakan pundak Gempa sebagai sandaran, kini Glacier merebahkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya di atas paha Gempa.
Entah mengapa Ice malah gelisah dan tidak nyaman melihat Glacier menggunakan paha Gempa sebagai bantal. "Blaze," panggil Ice. "Ayo bantu aku angkat Glacier ke kamar tamu-"
"Nanti!" Sayangnya Blaze yang dimintai pertolongan oleh Ice itu masih sibuk bermain cilukba dengan Sori.
Kekehan dan tawa riang Sori membuat suasana rumah yang didiami oleh ketujuh bersaudara bermarga BoBoiBoy itu menjadi lebih ceria. Jarang sekali ada tawa riang bocah bayi di rumah itu. Terakhir kali ada tawa riang bocah bayi ketika Yaya, sahabat Taufan membawa adiknya bermain ke rumah mereka.
"Sini sama aku aja." Solar menawarkan diri untuk membantu Ice.
Karena ukuran tubuh yang kecil dan tenaga yang tidak terlalu besar, jadilah Solar membantu Ice menggotong Glacier ke dalam kamar tamu.
Walaupun niat Ice dan Solar baik, tetap saja cara keduaya menggotong Glacier ke dalam kamar tamu itu membuat sebuah sweatdrop menitik di kepala Gempa. "Kalian menggotong mayat atau orang?" Begitulah komentar Gempa selagi ia memperhatikan Glacier yang dibopong di sisi kanan dan kiri oleh Solar dan Ice. Beruntung keduanya cukup berhati-hati menggotong Glacier melewati pintu kamar tamu sehingga tidak ada insiden lebih lanjut.
"Kyaaaa! Pan Pan!" Tawa riang Sori kembali terdengar. Bocah bayi itu kini sedang dalam gendongan Taufan.
"Sori! Yeet!" pekik Taufan selagi ia melontarkan Sori ke atas. Bocah bayi itu laksana terbang ketika terlepas dari tangan Taufan.
Semakin tinggi Sori di yeet oleh Taufan, semakin riang pula cekikikan bocah bayi itu. Namun semakin kencang pula jantung Gempa berdetak.
"Alamak! Hoi! Taufaaan!" pekik Gempa kelabakan melihat penerbangan Sori dari tangan Taufan. Hal terakhir yang ia inginkan adalah bocah bayi itu sampai patah tulang atau geger otak karena ulah si kakak yang bernetra biru safir itu.
Beruntung Sori mendarat mulus dalam tangkapan Taufan yang sigap. Di akhir penerbangan dadakan itu, Sori masih saja tertawa-tawa riang. Tidak hanya tertawa-tawa riang, bocah bayi itu menggapai-gapai sampai mencolek-colek wajah Taufan.
Sepertinya memang Taufan mempunyai bakat alami untuk bisa dekat dengan anak-anak. Aura yang terpancar dari pembawaan diri Taufan yang senantiasa riang itu selalu mampu mengundang anak-anak kecil untuk mendekati dan bermain bersamanya. Walaupun menyenangkan, trait positif itu tetap saja mempunyai efek samping, yaitu terkadang Taufan lupa diri dan lupa umur jika sudah bermain dengan anak-anak kecil.
"Aku punya firasat buruk." Halilintar yang sengaja menjaga jarak dengan adik-adiknya yang mengerumuni Sori akhirnya berkomentar. Kedua manik netra merah rubi Halilintar bergerak-gerak mengikuti Sori, yang kini sedang diperebutkan di antara Taufan dan Gempa. "Lima ... empat ... tiga ... dua ... satu ... Daaan ...."
Seperti hitungan detik jarum jam yang sangat presisi, Sori mendadak terdiam. Tentu saja Taufan dan Gempa mendadak kebingungan karena mimik muka bocah bayi yang tengah mereka perebutkan itu mendadak berubah-ubah tidak menentu.
"Sori?" Bahkan Taufan meneguk ludah ketika melihat bibir mungil adik sepupunya yang masih bayi itu mulai bergetar.
"Aduh! Sori kenapa?" Gempa pun ikutan panik. "Pa-patah tulang?"
Halilintar yang seakan tidak peduli dengan keadaan mulai merogoh dan menggali tas ransel milik Glacier yang sedari tadi terbengkalai di atas sofa.
Dari gemetaran kecil, kini mulut Sori membuka lebar. Tentu saja dengan diiring suara jerit tangis membahana.
"Alamak!" Taufan yang panik buru-buru mendekap Sori dan mengayun-ayun bocah itu. "Ke-kenapa ini?!"
Tiba-tiba Taufan merasakan tangannya menjadi basah oleh suatu cairan. Dengan cepat rasa basah itu menyebar ke baju bagian dada dan perut Taufan. Penyebaran cairan hangat itu diiringi dengan aroma khas amonia yang tidak lain adalah ....
"Mati aku!" pekik Taufan yang kini berusaha menjauhkan tubuhnya dari Sori. "Sori ngompol!"
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top