2. Babysitter Untuk Kedua Kalinya.
Perlahan-lahan jarum jam dinding bergulir seiring dengan semakin tingginya matahari di atas langit Pulau Rintis. Ketujuh bersaudara yang menghuni rumah mendiang Tok Aba pun lengkap berkumpul di ruang keluarga rumah mereka dengan kompaknya. Beberapa dari mereka yang tidak tahu-menahu alasan mereka berkumpul di ruang keluarga terlihat tengak-tengok celingukan dengan rasa bingung yang jelas terlihatdari raut wajah mereka. Di lain pihak, Solar dan Ice yang mengerti apa yang akan terjadi malah terlihat gelisah.
Memang hanya Solar dan Ice yang mengetahui persis kronologi kejadian ketika Halilintar datang dengan berita yang cukup mengejutkan. Mereka berdua pula yang menjadi saksi silang pendapat antara Haliliintar dan Gempa. Walaupun tidak melihat langsung kedua kakak-beradik yang terkecil itu sudah bisa menebak dan menyimpulkan keputusan akhir dari silang pendapat Gempa versus Halilintar.
Keputusan pun bulatlah sudah berkat sumbangan suara dari Taufan. Karena pendapat yang saling berlawanan maka hanya suara dari Taufan yang mampu menyelesaikan perbedaan di antara Halilintar dan Gempa.
Gempa pun didaulat untuk menyampaikan berita dan keputusan yang diambil. Beberapa kali Gempa berdehem membersihkan tenggoroknnya sebelum membuka suara. "Jadi begini .... Thorn, Blaze, Ice, Solar .... Saudara kita di KL sedang ada masalah."
"KL? Kuala Lumpur?" tanya Blaze. Mendadak dia teringat bahwa dahulu ia pernah secara mendadak diajak ke Kuala Lumpur oleh Solar. Waktu itu Blaze diajak menginap oleh Solar di rumah paman mereka untuk menjaga tiga orang keponakan yang masih kecil. "FrostFire kah?"
Gempa menjawab dengan anggukkan kepala. "Iya, mereka sekeluarga positif Covid," lanjut Gempa lagi dengan helaan napas simpatik. "Cuma dua orang yang ngga kena Covid."
Berita yang baru disampaikan Gempa itu membuat Blaze dan Thorn terkejut. Terutama Blaze yang pernah menjaga ketiga orang sepupunya itu.
"A-apa mereka masih hidup?" tanya Blaze.
"Heh!" Halilintar melayangkan tangannya dan menampar pundak Blaze. "Jangan nyumpahin begitu! Kualat nanti. Kalau ngomong itu dipikir dulu"
"Ah, maaf, maaf." Seperti kebiasaannya jika sedang salah tingkah, Blaze langsung cengengesan sembari menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "Aku panik," ralat Blaze sebelum saudara-saudaranya yang lain ikutan menghajarnya.
Beruntung bagi Blaze bahwa Halilintar hanya diam dan menganggukkan kepala saja.
"Seperti yang aku bilang tadi," lanjut Gempa setelah melihat gelagat Blaze lebih tenang daripada sebelumnya. "Ada dua orang yang masih negatif Covid. Glacier sama adik mereka yang baru lahir, Sori. Cuma mereka yang negatif ... sejauh ini."
"Waduuh." Thorn menggelengkan kepalanya. Bahkan dia yang biasanya cuek dan polos bisa merasakan keseriusan yang mencekam. "Semoga mereka cepat sembuh."
"Untungnya mereka cuma gejala ringan, tapi tetap saja jadi masalah karena mereka ngga bisa kemana-mana. Nah, kembali ke masalah Glacier dan Sori .... Glacier bakalan sibuk mengurus kakak, adik dan orangtuanya. Jadi-"
"Jadi kita diminta tolong untuk mengurus Sori." Taufan menyambung penjelasan Gempa.
"Haaah?!" Blaze, Thorn, Ice dan Solar tercengang cengo bersamaan.
"Yakin, Kak?" tanya Solar. "Kita memang pernah mengurus anak kecil, tapi itu Pipi Zola lho, yang umurnya lima tahun (Fanfic: Babysitter). Sori belum ada setahun umurnya." Kekhawatiran dan keraguan terpampang jelas di wajah Solar.
"Sebetulnya," gumam Halilintar. "Kali ini aku setuju dengan Solar ....Tapi mau bagaimana lagi? Itu mahluk dua sudah memutuskan." Sembari menggerutu, Halilintar mengedikkan kepala ke arah kedua orang adiknya yang tidak lain adalah Gempa dan Taufan.
"Tsk, tsk, tsk." Laksana orang bijak, Taufan menggelengkan kepala dan menggoyang-goyangan jari telunjuknya. "Paman kita itu orang kaya tajir melintir, Hali. Kita pasti dapat bayaran yang lumayan."
Ingin sekali Gempa rasanya memberi jitakan kepada Taufan yang kadang sama sekali tidak peka dengan situasi yang sedang terjadi, namun Gempa memutuskan untuk tidak menjitak kakaknya itu karena tidak ingin kehilangan sekutunya dalam mengambil keputusan kali itu. "Coba kalau ngomong itu disaring dulu, Fan." Memang Gempa tidak menjitak namun masih bisa memberi lirikan tajam penuh kekesalan pada si kakak yang sering loss filter jika bicara.
Secara reflek, Taufan buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Seperti biasa jika salah tingkah karena berbuat salah, Taufan terkekeh cengengesan. Seperti biasa pula sifat Taufan yang seperti itu mengundang geraman kesal dari si kakak tertua.
"Yah, karena sudah diputuskan ...." Kali ini Ice pun angkat bicara. "Kita siap-siapin deh kamarnya buat Glacier dan Sori."
"Sebetulnya aku juga ngga yakin," ucap Halilintar. "Aku ngga tahu apa cuma Sori saja yang menginap atau Glacier ikutan menginap juga. In case Glacier ngga ikutan menginap, salah satu dari kita harus bergiliran menemani Sori ... dan itu yang membuat aku keberatan."
Kembali hening yang memekakkan telinga menggema di ruang keluarga dimana ketujuh bersaudara itu berkumpul. Mereka saling memandang satu sama lain seakan menunggu seseorang untuk memulai pembicaraan.
Taufan yang paling tidak tahan dengan suasana tegang mencoba untuk kembali mengangkat mood saudara-saudaranya yang lain. "Hey, kita coba saja. Toh ada YouTube, bisa kita jadikan contoh tutorial mengasuh bayi .... Lagipula anggap saja ini latihan kalau kia punya anak nanti."
"Punya anak dengan siapa?" desis Halilintar sembari melirik ke arah Taufan. Sebuah senyuman mengulas di wajah si kakak tertua, walaupun senyuman itu terlihat lebih ke arah sinis daripada senyum ceria.
"Dengan kecoa? Kamu lama sekali kalau pakai kamar mandi." Lanjutlah Halilintar menyindir si adik yang bernetra biru safir.
"Kak Ufan sendiri juga masih jomblo 'kan?" celetuk Blaze tanpa basa basi dengan diiringi cengian jahil.
Sindiran balik dari Halilintar dan Blaze itu membuat Taufan meneguk ludah. Tenggorokannya langsung terasa kering dan tidak nyaman. Selain tenggorokan, rona merah merambati wajah Taufan. "Ahahahaha," kekeh Taufan dengan suara yang jauh dari kata meyakinkan. "A-aku masih sibuk," ucapnya lagi menawarkan alasan.
"Sudah, sudah," sergah Gempa sebelum Taufan menjadi sasaran bully lebih lanjut dari audara-saudaranya yang lain. "Yang penting kita harus siap-siap .... Nah sekarang Hali, Solar, ambil sapu. Taufan, Thorn, ambil tongkat pel. Ice, Blaze, ikut aku, ambil sanitizer, alkohol. Kita bersihkan rumah."
Reaksi atas perintah dari Gempa pun beragam. Ada yang antusias seperti Taufan, Blaze dan Thorn. Ada yang datar-datar saja nyaris tanpa ekspresi seperti Solar dan Ice. Pastinya Haliliintar terlihat bersungut-sungut. Memang si kakak yang tertua itu kurang bisa mengambil hati anak kecil terutama bayi karena jarang bisa tersenyum atau tertawa lepas.
"Ah brengsek," gerutu Halilintar sembari berjalan menuju gudang kecil yang terletak di bawah tangga rumah tempat sapu dan peralatan kebersihan rumah lain disimpan. "Padahal aku niatnya mau santai-santai libur long weekend ini-"
Belum selesai Halilintar mengeluarkan uneg-uneg kekecewaan dan kekesalan ketika mendadak dia merasakan adanya tangan yang mencengkeram pundaknya. Cengkeraman tangan itu begitu keras dan membuat si empunya pundak meneguk ludah. Sepertiya suara gerutuan Halilintar sedikit terlalu keras sehingga terdengar oleh orang lain.
"Jangan begitu, lah sama saudara sendiri ...." Berdirilah Gempa di belakang Halilintar. Sebuah senyuman manis namun bercampur racun maut menghias wajah si adik selagi ia mencengkeram pundak si kakak. Jangan lupakan sebuah perempatan urat berdenyut di kening Gempa.
"Ah, i-iya," cicit Halilintar panik. Buru-buru si kakak tertua itu memaksakan sebuah senyum yang sangat kaku dan sangat jauh dari kata meyakinkan. Seakan dipecut seorang firaun Mesir, Halilintar langsung bergerak secepat kilat, mungkin seperti namanya, untuk mengambil sapu dari dalam gudang bawah tangga.
Solar yang melihat itu hanya bisa menghela napas panjang dan mengelus dada. "Sabar ...," keluhnya dengan tertunduk lesu. "Mungkin semua ini cobaan-"
Belum selesai Solar mengeluh ketika sebatang sapu telak mendarat di wajahnya.
"Jangan ngomong sendiri, ayo bantu aku." Tanpa berbasa-basi, Halilintar langsung menggandeng tangan Solar dan menarik adiknya itu menuju sebuah kamar.
"Iya, iya." Solar mengeluh dan menghela napas panjang. Dengan sangat berat hati dia mengikuti Halilintar masuk ke dalam kamar tamu yang harus dibersihkan.
Kamar yang sekarang kosong itu dahulu dipakai oleh almarhum kakek mereka. Karena tidak ada yang mau menempati, maka kamar itu lebih sering dijadikan kamar tamu jika ada saudara atau teman yang menginap. Pada saat ini, kamar kosong itu menguarkan sedikit aroma lavender karena sering ditempati oleh Fang yang merupakan kawan dekat dari Halilintar, Gempa dan Taufan.
Paling tidak kondisi kamar tamu itu masih terjaga bersih dan tidak memerlukan tenaga ekstra untuk pembersihannya. Secara teliti Halilintar dan Solar untuk membersihkan debu tipis yang menempel pada perabotan di kamar itu serta menyapu debunya keluar dari kamar.
"Untung Kak Fang ngga bau ya?" komentar Solar sembari menyeka keringat setelah menyapu keluar sebagian debu yang berhasil dibersihkan.
"Dia terlalu populer untuk berbau badan." Halilintar menimpali sembari mengedikkan bahunya.
Sebentar saja kekompakan duet antara si kakak tertua dan si adik terkecil itu membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Tidak terlalu mengherankan sebetulnya karena di rumah itu Halilintar dan Solar terkenal sebagai penghuni rumah yang paling rapi dan bersih setelah Gempa. Setidaknya ada sedikit persamaan dari kedua bersaudara yang terkenal jarang akur itu.
Setelah disapu, lantai kamar tamu yang sedang disiapkan untuk kedatangan Glacier dan Sori langsung dipel oleh Taufan. Menyusul mengikuti Taufan adalah Blaze sudah siap tempur dengan sebotol semprotan berisi alkohol dan kain lap.
"Jangan sampai kebakaran ya kamarnya," celetuk Halilintar sembari melangkah keluar dari kamar tamu diikuti oleh Solar. Secara spesifik memang Halilintar tidak menyebut kepada siapa celetukannya itu dilayangkan, namun Blaze dan Taufan yang merasa tersindir langsung terkekeh salah tingkah.
"Bagaimana bisa kebakaran? Kita kan ngga bawa korek api ...," gerutu Blaze setelah Halilintar dan Solar melangkah keluar dari kamar tamu. Raut wajah si adik yang bernetra oranye itu jelas sekali menunjukkan ketersindirannya atas kata-kata Halilintar. "Kesannya aku ini sumber bencana ...."
Taufan yang melihat adiknya itu menggerutu langsung berusaha mencairkan suasana. "Sudah, sudah. Kamu kan memang troublemaker ... eh?"
Sepertinya Taufan sudah salah bicara karena raut wajah Blaze semakin bertekuk masam. "Oh ya, terima kasih, Kak Ufan." Sarkastik jelas sekali terdengar melapisi ucapan geram Blaze. "Darimana lagi aku belajar rusuh kalau ngga dari Kak Ufan ya?" ucap Blaze seakan yang disinggung namanya itu tidak ada di tempat.
"Ahahaha." Sebuah sweatdrop imajier pun menitik di kepala Taufan. "Maaf, maaf. Sudah, ayo kita bersihkan kamarnya." Buru-buru si kakak mengkoreksi kata-katanya sebelum adiknya itu semakin tersinggung.
Beruntung tidak ada insiden lagi saat Taufan dan Blaze membersihkan lantai dan perabot kamar tamu. Setidaknya Gempa yang mengintip dari luar kamar bisa bernapas lega karena kekompakan Taufan dan Blaze tidak hanya dalam membuat kerusuhan saja.
"Tensi darahku pasti turun kalau setiap hari mereka bisa anteng begitu," komentar Gempa sembari tersenyum puas. Setelah yakin bahwa tidak ada huru-hara yang akan muncul dari kombinasi Taufan dan Blaze barulah Gempa bisa melanjutkan pekerjaannya membersihkan ruang keluarga bersama Thorn dan Ice.
Hanya sebentar saja rumah yang dihuni ketujuh kakak beradik itu sudah selesai dibersihkan dan dirapikan. Tidak ada lagi yang bisa diperbuat oleh mereka kecuali bersiap menunggu kedatangan sepupu mereka.
Jarum pendek jam dinding nyaris mendarat di angka sepuluh sementara jarum panjangnya tepat mendarat di angka sembilan ketika bel pintu rumah mendiang Tok Aba diketuk lembut.
"Nah itu pasti Glacier." Antusias Gempa jelas sekali terlihat karena praktis dia berlari-lari kecil menuju pintu rumah untuk menyambut kedatangan tamu mereka.
Benar saja, tamu yang baru saja tiba itu tidak lain adalah Glacier dan adiknya.
"A-Assalamu alaikum, Abang Gempa ...." Salam langsung terucap oleh Glacier ketika Gempa membukakkan pintu baginya.
"Wa alaikum salam, Glacier?" Gempa membalas salam dari Glacier. Kedua kelopak mata Gempa langsung mengedip cepat ketika ia mengamati kedua adik sepupunya yang baru saja tiba. Tidak terlihat adanya kendaraan yang mengantar Glacier dari Kuala Lumpur. Si adik sepupu pun terlihat lusuh dan sorot matanya pun terlihat sangat lelah sementara Sori terlelap pulas di dalam gendongan Glacier. "Ayo, masuk." Buru-buru Gempa mengajak Glacier masuk ke dalam rumah.
Tidak ada kata-kata yang terucap dan hanya helaan napas lega yang terdengar dari Glacier ketika ia melangkah masuk ke dalam rumah.
"Waaah! Glacier!" Seperti biasa, Taufan menyambut kedatangan tamu mereka dengan antusias.
Kedua kelopak mata Glacier langsung membelalak horor ketika Taufan datang menyambut. "Sssh!" desis Glacier panik. "Ja-jangan berisik, nanti Sori bangun." Buru-buru Glacier menjauhkan Sori dari sumber suara berisik, cempreng nan kampret yang berasal dari Taufan.
"Olololo, comelnyaaa ...." Butuh perjuangan mental mati-matian bagi Thorn untuk tidak mencubit pipi si sepupu kecil. Jari-jari Thorn pun berkedut-kedut ingin mencolek Sori yang masih tertidur pulas. Beruntung saja ada Blaze yang menyentil jari Thorn sebelum betulan terjadi.
Hampir seluruh penghuni rumah mendiang Tok Aba menunjukkan antusias yang tidak biasa akan kehadiran Sori. Bahkan Ice yang biasanya jarang tertarik pada suatu hal yang baru pun ikutan merubungi Glacier dan Sori. Hanya dua orang yang terlihat tidak antusias dan bahkan perlahan-lahan menyingkir, mempermisikan diri mereka dari kerumunan yang terjadi.
Kegemasan serempak terjadi ketika Sori kecil menguap dan sedikit berguliing posisi tidurnya. Kembali jari-jari Taufan, Thorn, Ice dan bahkan kini Blaze bergerak mendekati pipi mungil Sori yang seperti bakpao.
"Jangan ....," desis Gempa memperingatkan saudara-saudaranya yang lain untuk tidak bertindak gegabah.
Sayangnya peringatan Gempa jatuh pada telinga-telinga tuli. Tidak ayal lagi pipi Sori dhujani colekan-colekan semena-mena.
"Habislah ...," lirih Glacier ketika ia melihat kedua kelopak mata Sori perlahan membuka. Seiring dengan terbukanya kelopak mata Sori, semakin memucat pula wajah Glacer.
Dan ....
"OEEE!!" Pecahlah tangisan melengking Sori seketika bocah bayi itu terbangun dari tidurnya. "LACI! LACI! OEEE!" Membahanalah suara tangis cadel Sori memanggil kakaknya.
"Wuaaa!" Blaze, Ice, Taufan, dan Thorn memekik terkejut nyaris serempak ketika indera pendengaran mereka diserang suara tangisan Sori. Alih-alih membantu mendiamkan, mereka langsung bubar berpencar mencari aman masing-masing.
"Astaga!" Tinggalah Gempa seorang diri yang kalang kabut panik berusaha membantu Glacier mendiamkan Sori. "HALI? SOLAR?" jerit Gempa memanggil bala bantuan.
Sementara yang dipanggil Gempa?
"Untung kita menyingkir duluan ya?" ucap Solar sembari melirik ke arah Halilintar.
"Sudah kubilang padahal ini ide terburuk dari sejarah ide-ide buruk yang pernah kita jalani ...," keluh Halilintar sembari memijit keningnya yang terasa berdenyut-denyut. Dia dan Solar tidak terlihat batang hidungnya, kecuali kalau ada yang mencari ke balik semak belukar di sudut halaman belakang rumah, di dekat kandang ayam milik Blaze.
.
.
.
Bersambung.
Credit: Rra_012 (IG, Comission)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top