1. Sori Not Sorry

Mentari pagi menanjak semakin tinggi di timur cakrawala pada hari Sabtu yang indah. Bagaimana tidak indah? Sudah lama tidak ada hari libur tanggal merah bersambungan dengan akhir pekan yang menjadi rangkaian long weekend. Tidak hanya para manusia, bahkan burung-burung pun bernyanyi riang menyambut hari indah yang terasa dinanti-nanti. Begitu kental dan padat rasa gembira atmosfir bumi hingga bisa terasa di udara.

Begitu pula dengan rumah kediaman ketujuh kakak beradik favorit kita yang berlokasi di Pulau Rintis. Beberapa dari jendela rumah itu sudah terbuka, mengalirkan udara segar sekaligus membuang udara pengap dari dalam rumah. Selain udara pengap, tercium pula aroma makanan yang bersumber dari dapur dimana Taufan sedang memasak sarapan.

"Kandaaa, dimanakah kau beradaaa. Rindu aku ingin jumpaaa ...." Begitulah suara cempreng Taufan terdengar menyanyikan sebuah lagu dari negara tetangga selagi ia membentuk adonan kue beraroma kayu manis dan cokelat ke atas loyang panggang. Seperti biasa, si remaja bernetra biru safir itu bergerak kesana kemari dengan lincahnya di dalam dapur di tengah suara dentingan alat masak yang berbenturan dengan meja, tembok atau dengan alat masak yang lainnya.

Walau indah, tidak semua mahluk menyambut pagi hari itu dengan antusias. Seperti Gempa contohnya ....

Raut wajah remaja bernetra cokelat madu itu bercampur-campur antara kesal dan khawatir. Di dalam batinnya, Gempa menyesali keputusan yang ia ambil semalam utuk memperbolehkan Taufan memasak sarapan. Tidak pernah Gempa menyangka bahwa kakaknya yang satu itu malahan membuat kue biskuit untuk sarapan daripada masakan sederhana yang umum seperti nasi goreng.

Tidak hanya mengkhawatirkan peralatan masak yang dipakai oleh Taufan yang kini membuat Gempa mengaruk-garuk kepalanya. "Fan. syair lagumu salah. Dinda, bukan kanda!" ketus Gempa yang dari tadi sudah gatal ingin mengkritik si biduan dadakan di dalam dapur.

Tentu saja yang diprotes langsung tertawa cengengesan. "Oh ya kah?" tanya Taufan di tengan kekehan gugupnya. "Aku lupa syairnya, maklum lagu lama."

Komentar si kakak membuat Gempa menggelengkan kepalanya. "Sekarang aku-"

"Bagaimana kalau lagu lain?" celetuk Taufan sebelum Gempa sempat berkata-kata lebih lanjut. Sepertinya efek gembira dari libur akhir pekan yang panjang benar-benar sudah mengalahkan akal sehat Taufan. "Old McDonald has a farm and .... Bingo was his name ... Eh?"

Sebuah sweatdrop pun menitik di kepala Gempa. "Lagu macam apalagi itu ...." Dengan itu Gempa memutuskan untuk mengevakuasi dirinya sendiri dari dapur sebelum gendang telinganya menjadi korban merdunya suara nyanyian Taufan.

Merasa tidak ada lagi yang dapat diperbuat selain menunggu Taufan selesai menggunakan dapur untuk acara masak sarapan, Gempa memutuskan untuk bersantai saja. Segelas teh chamomile pun diseduh oleh Gempa karena dirasanya cukup untuk menjadi teman menikmati acara televisi.

Hanya saja sayangnya ruang utama rumah dimana televisi berada sudah keduluan dihuni oleh beberapa adik-adik Gempa. Sofa panjang yang terletak tepat berhadapan dengan televisi sudah ditempati oleh Solar dan Ice.

Seperti biasa Solar dan Ice masing-masing mengisi tepian sofa di mana mereka bisa menyandarkan tubuh dengan nyaman. Seperti biasa pula pada kala santai, Solar mengenakkan kaus armless abu-abunya. Yang tidak biasa adalah Ice yang kala itu mengenakkan kaus singlet dan kain sarung.

"Kalian nonton apa?" tanya Gempa setibanya dia di ruang keluarga.

"Apa yang ditonton Solar," jawab Ice sembari menunjuk ke arah Solar.

Otomatis Gempa langsung menengok ke arah Solar.

"Drama China, Kak." Solar menjawab sebelum Gempa sempat mengulang pertanyaannya. "Sini Kak, nonton bareng."

Ajakan Solar yang tidak pernah diduga itu membuat Gempa sedikit kebingungan. Jarang sekali dia mendapat tawaran untuk menonton TV bersama-sama oleh Solar. Mungkin selera siaran TV pilihan Gempa adalah salah satu alasan mengapa tidak banyak dari adik-adiknya yang mengajak menonton bersama.

"Daripada Kak Gempa nonton sinetron India melulu ...." Celetukan dari Ice itu sudah cukup menjadi alasan mengapa jarang ada yang suka menonton TV bersama Gempa.

"Tapi-"

"Coba dulu nonton yang ini, Kak." Solar lanjut mengajak Gempa tanpa memberikan si kakak kesempatan untuk berargumen.

Pada akhirnya Gempa pun mengambil posisi duduk di antara kedua adiknya. Dia merasa tidak ada gunanya beralasan dan tidak ada salahnya mencoba menonton film serial drama Tiongkok yang sedang ditonton oleh Solar.

"Ceritanya apa nih?" tanya Gempa sembari meletakkan segelas teh hangat yang ia bawa di atas meja kecil yang terletak di depan sofa.

Jadilah secara singkat Solar menjelaskan jalan cerita drama Tiongkok yang seng ia tonton itu kepada Gempa. "Ceritanya mengenai tiga kerajaan pada jaman Dinasti Han di China pada tahun 190-an. Sebetulnya bukan kerajaan tapi lebih mirip penguasa lokal. Mereka bersaing untuk mempersatukan negeri China."

Gempa mengangguk-anggukkan kepala saat mendengarkan penjelasan Solar yang tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Setitik ketertarikan pun muncul di dalam batin Gempa saat ia menyimak penjelasan si adik sembari menonton film yang tengah diputar di televisi.

"Tunggu, kok aku pernah lihat orang itu ...," ucap Gempa saat melihat salah satu karakter yang muncul di televisi.

Orang yang dilihat Gempa itu berbadan tinggi tegap dengan kedua alis tebal menghias wajah yang berkulit kemerahan. Terlihat pula jangut dan kumis panjang menjuntai anggun sampai ke dada orang itu.

Solar tersenyum tipis. "Ah, pasti Kak Gempa sering lihat patungnya ya? Dia namanya Guan Yu, dikenal juga dengan nama Yunchang. Dia dianggap Dewa Perang oleh orang-orang Tiongkok."

"Hm .... Menarik juga," komentar Gempa. Sembari menyeruput tehnya, dia menyimak jalannya cerita drama Tiongkok yang berlangsung di TV.

Tidak seperti cerita drama Tiongkok bertemakan jaman dahulu pada umumnya, drama yang ditonton oleh Gempa itu tidak terlalu menonjolkan adegan pertarungan silat yang menjadi ciri khas drama Tiongkok. Jalan cerita drama itu lebih mempertontonkan filosofi Tiongkok yang banyak sekali mengandung kemiripan dengan kehidupan sehari-hari.

Hanya beberapa menit berselang ketika kembali terdengar suara cempreng nan kampret Taufan menggema di dalam rumah. "Biskuitnya selesai!" Begitulah suara riang Taufan mengalahkan kerasnya suara dari TV.

Cukup aneh melihat biskuit yang disajikan Taufan. Bukan bentuk,warna atau aroma yang membuat biskuit itu terlihat janggal namun ukurannya yang nyaris menyaingi lebar telapak tangan.

"Wow ...." Bahkan Gempa tidak dapat menemukan kata-kata yang bisa diungkapkan untuk mengomentari masakan hasil karya kakaknya yang kini tersaji di hadapannya.

Solar pun tidak jauh berbeda. Belum pernah dia melihat biskuit yang besarnya hampir selebar telapak tangan. Terdorong rasa penasaran, Solar mecoba mencolek-colek biskuit buatan Taufan itu. "Ini biskuit betulan 'kan?" tanyanya dengan hati-hati seakan biskuit buatan kakaknya itu akan berubah menjadi sesatu yang menyeramkan.

"Ngga lah!" protes Taufan riang. "Tuh lihat, Ice ngga ragu-ragu."

Betul saja, tidak ada yang sempat melihat Ice ketika ia meraih sebuah biskuit dan mulai mencicipi kue hasil karya si kakak.

"Enak!" Senyum lebar Ice pun terkembang sepenuhnya ketika ia mengecap rasa cokelat berpadu kayu manis dan sedikit madu dari segigitan biskuit buatan Taufan. Tanpa berkomentar lebih lanjut, Ice lanjut menyantap biskuit buatan si kakak dengan penuh kenikmatan.

"Yaaay! Kak Ufan bikin biskuit!" Terdengarlah pekik sorak gembira dari pintu yang meghubungkan rumah dengan taman belakang. Di balik ambang pintu itu menyembul sepasang kepala yang berhiaskan senyum cemerlang nan lebar. Warna mata mereka sudah cukup menjadi petunjuk untuk mengenali kedua bersaudara yang baru saja masuk ke dalam rumah.

"Hey, hey, hey!" Gempa langsung berdiri dan menghentikan langkah kedua adiknya yang baru saja tiba. "Ayo Blaze, Thorn! Kalian mandi dulu! Tangan kalian kotor! Belum lagi bau kalian menyaingi bau comberan depan rumah!"

Tentu saja Blaze dan Thorn langsung cemberut karena tudingan Gempa. Namun apa yang dikatakan Gempa ada benarnya. Blaze dan Thorn yang baru saja selesai mengurus kebun belakang rumah memang menguarkan aroma tidak sedap dari tubuh mereka yang berkeringat. Terutama Blaze yang baru saja mengurus ayam-ayam peliharaannya dan memang dia belum mandi sejak kemarin siang.

Jika Thorn tidak berbuat apa-apa selain berupaya mematuhi suruhan kakaknya, Blaze malah berupaya melanggar. Dia berkelit menghindar dari Gempa yang menghadang dan langsung menyambar sepotong biskuit buatan Taufan dari genggaman Solar. Sembari tertawa terbahak-bahak, Blaze langsung menggandeng Thorn dan berlari menuju kamar mreka berdua.

"Hoi! Blaze rusuh!" dengkus Solar yang kalah cepat dalam mempertahankan biskuit.

"Sudah, sudah. Namanya juga Blaze ...." Ice menggelengkan kepala. Bahkan dia tetap terlihat kalem dan tenang saat membelah biskuit miliknya dan membagi potongan biskuit itu kepada Solar. "Nah, untung biskuit buatan Kak Taufan besar."

Solar pun meraih biskuit pemberian Ice walaupun dengan tampang cemberut dan bibir monyong bagaikan brutu ayam. Beruntung rasa manis dan gurih biskuit buatan Taufan yang diterima Solar dari Ice itu cukup untuk mengobati rasa kesal Solar terhadap Blaze.

Suasana rumah pun berangsur kembali tenang. Taufan kemali ke dapur untuk melanjutkan acara membuat biskuit yang sempat terhenti sementara adik-adik Taufan yang lain kecuali Blaze dan Thorn berkumpul di ruang keluarga sambil masih mentonton TV. Begitulah keadaan rumah yang dihuni oleh ketujuh bersaudara bermarga BoBoiBoy itu dalam menjalani awal long weekend . Sepertinya tidak ada yang akan mengganggu kedamaian rumah mereka.

Paling tidak sampai kemunculan si kakak tertua, Halilintar. Si kakak yang memeiliki warna netra merah rubi itu berjalan menuruni tangga rumah. Langkah-langkah kedua kakinya kaku, tidak seperti biasanmya. Bukan hanya langkah, raut wajah si kakak tertua pun terlihat kaku seakan bisa meledak tanpa pemberitahuan sebelumnya.

"Hali?" Gempa menegur Halilintar ketika si kakak tertua itu tiba di lantai pertama rumah. "Ada apa?" Raut wajah Halilintar yang kaku itu tentu saja menarik perhatian Gempa.

Sebelum menjawab, Halilintar lebih dahulu mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku celana. Jari-jemari Halilintar membuka aplikasi Whatsapp dan memperlihatkan sebuah percakapan kepada Gempa. "Read it and weep."

Manik netra cokelat madu Gempa bergerak-gerak mengikuti barisan tulisan yang terpampang di layar ponsel milik Halilintar.

"Ada apa, Kak?" tanya Solar. Perhatiannya beralih dari televisi ke interaksi antara Gempa dan Halilintar.

"Yak ...." Gempa baru saja selesai membaca tulisan di layar ponsel Halilintar. "Siap-siap kita kedatangan tamu."

"Haaah?" Secara serempak Ice dan Solar menengok ke arah Gempa. Raut wajah penuh kebingungan mereka bertolak belakang dengan raut wajah Halilintar yang semakin tegang.

Gempa menarik napas panjang beberapa kali. "Paman kita yang di Kuala Lumpur terkena Covid sekeluarga-"

"Waduuh?" Kekhawatiran jelas terlihat di wajah Solar. "FrostFire, Glacier, Supra kena juga?"

Gempa menganggukkan kepala. "Cuma dua orang saja yang negatif Covid."

"Siapa?" tanya Solar dan Ice bersamaan.

"Glacier sama adik mereka yang paling kecil," jawab Gempa sembari mengembalikan ponsel milik Halilintar kepada pemiliknya.

"Hah? Siapa? Mereka punya adik lagi?" Rasa penasaran Solar pun bertambah besar. Tidak hanya Solar, Ice pun terlihat ikutan penasaran.

"Adiknya yang baru lahir itu lho. Sori."

"Sorry? Kak Gempa minta maaf kenapa?" tanya Ice yang kebingungan dengan jawaban si kakak.

Gempa menggelengkan kepalanya. "Bukan Sorry tapi Sori. Adik sepupu kita yang baru lahir tahun lalu," jawab si Kakak. "Masa kamu lupa?"

Alih-alih terlihat yakin, Ice yang belum pupus rasa bingung dan penasarannya malahan menggaruk-garuk pipinya. "Aku ngga ingat-"

"Itu karena kamu tidur melulu," celetuk Solar dengan memasang tampang seakan tanpa dosa. "Jadi cuma Glacier sama Sori yang negatif ya?"

"Ya," ucap Halilintar yang sedari tadi masih mengirit pemakaian kuota suaranya yang terkenal sangat terbatas. "Glacier yang sehat malah diisolasi. Makanya dia dan Sori ... dititipkan ke-"

"Kita." Gempa menyambung ucapan Halilintar. "Kalau kata pesan Whatsapp dari paman sih, Glacier lagi di jalan membawa Sori kesini."

Mendadak sekujur tubuh Hailintar berkedut kejang untuk sesaat. Demikian pula dengan alis mata sebelah kirinya yang ikutan berkedut-kedut beberapa kali. Perlahan-lahan Halilintar melangkahkan kakinya mundur. Sebisa mungkin dia mengabsenkan diri dari ruang keluarga tanpa disadari atau diketahui oleh siapapun.

Baru saja Halilintar bernapas lega karena dia bisa berbalik badan, yang dikiranya tidak menarik perhatian, ketika ia merasakan cengkeraman tangan keras yang menggenggam baju yang ia kenakan pada bagian leher. Belum sempat Halilintar membuka mulut untuk melancarkan protes ketika mendadak di merasakan aura yang sangat tidak mengenakkan dari belakang.

Perlahan-lahan Halilintar menolehkan kepala ke belakang dan benar saja, aura mencekam yang ia rasakan itu bersumber tidak lain adalah dari Gempa yang menebar senyuman manis berlapiskan racun.
"Mau kemana kau, Hali?" tanya Gempa, yang lebih tepat disebut mendesis. Senyum manis yang terpatri di wajah Gempa tidak mampu menutup aura mencekam.

Otomatis Halilintar meneguk ludah. "Ah .... A-aku ada urusan dengan ... Fang," ucap Halilintar dengan gugup.

Begitu kerasnya cengkeraman tangan Gempa sampai Halilintar bisa mendengar suara gemerutuk tulang-belulang tempurung tangan adiknya itu.

"Aku rasa urusanmu itu bisa ditunda 'kan?" Pertanyaan Gempa kali itu terdengar lebih mirip anjuran yang lebih tepat disebut perintah. "Aku tahu kamu ngga suka anak kecil, Hali .... Tapi ini sepupumu sendiri lho .... Masih bayi pula."

"Justru karena masih bayi!" ketus Halilintar. "Carikan babysitter aja!"

"Jangan harap! Babysitter itu mahal!" protes Gempa, lengkap dengan kedua matanya yang mendelik. "Lebih baik kita yang urus, toh kita bakal dibayar!"

Solar, Ice dan kini Taufan yang menyimak perdebatan antara Gempa dan Halilintar itu hanya bisa menghela napas panjang. Mereka hanya bisa prihatin dengan perdebatan yang sebetulnya sudah bisa ditebak kemana arahnya itu.

"Yah ... aku sama Ice permisi ke kamar dulu," keluh Solar sembari mendorong tubuhnya berdiri dari sofa yang ia tempati. Yang diajak Solar pun menyambut dengan anggukkan kepala tanpa berkata-kata lebih lanjut.

Tinggalah Taufan yang hanya bisa tengak-tengok ke arah Gempa dan Halilintar selagi kedua saudaranya itu beradu argumen. Pada prinspnya Taufan tidak suka jika harus terlibat dalam pengambilan keputusan di dalam rumah yang dihuni oleh kakak dan adik-adiknya. Pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah kerap menunjukkan kalau Taufan kurang bisa diandalkan dalam mengambil keputusan karena sifatnya yang sering berbuat tanpa berpikir panjang. Sifat impulsif Taufan itu seringkali membawanya ke dalam masalah baru jika hendak menyelesaikan sebuah masalah.

Namun kali ini sepertinya Taufan tidak bisa tinggal diam karena mendadak dia mendapati dirinya dibawah tatapan Gempa dan Halilintar secara bersamaan.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Gempa dan Halilintar secara nyaris bersamaan saat keduanya menatap ke arah Taufan.

Seperti kebiasaannya jika gugup, mulailah Taufan menggaruk-garuk pipinya yang tidak terasa gatal. "Eheheheh," kekeh Taufan yang semakin gelisah. "Ter-terserah kalian saja."

Sebetulnya Taufan telah memberikan jawaban yang salah karena lirikan dari Gempa dan Halilintar semakin menusuk tajam. Sebagai salah satu dari trio tertua di rumah itu, hanya Taufan yang bisa mengakhiri debat antara Gemp dan Halilintar.

"Ehm .... Aku dukung yang ngasih aku uang seribu Ringgit?"

"Mata duitan!" ketus Halilintar sembari menunjuk ke arah Taufan dengan jari yang gemetaran.

Mendadak wajah Taufan bertukar menjadi sangat serius. Kedua alis matanya menjadi nyaris lurus sementara kelopak matanya menyipit tajam. Jarang sekali seorang Taufan bisa menjadi serius, namun sekalinya serius maka Taufan betul-betul berubah seakan dia adalah pribadi yang tidak kalah sangarnya dengan Halilintar.

"Hali .... Kalau kamu ngga mau ngasih aku uang, lebih baik kamu diam saja," desis Taufan dengan nada sinis. "Aku perlu uang untuk-"

"Skincare!" sergah Gempa menyambung ucapan Taufan. "Aku tahu kamu ikutan skincare .... Jangan bohong."

Dan seketika itu pula lunturlah wajah sangar Taufan. Alih-alih sangar, Taufan malah terkekeh cengengesan. "Ahahahaha .... Da-darimana kamu tahu?"

"Solar," jawab Gempa dan Halilintar bersamaan yang tentu saja membuat Taufan semakin tersudut.

'Aih Solar .... Habislah aku jadi bahan ledekan,' keluh Taufan di dalam batinnya. Sekarang mau tidak mau Taufan harus memilih antara mengikuti kemauan Gempa atau Halilintar. Butuh waktu beberapa menit bagi Taufan untuk berpikir dan menimbang-nimbang kedua pilihan yang tersaji. Memang pilihan yang harus diambil bukanlah perkara yang mudah.

"Jadi?" Kembali Gempa dan Halilintar bertanya.

Taufan berdehem beberapa kali sebelum akhirnya memberikan jawaban. "Jadi menurutku ...."

.
.
.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top