5. Jian Li



"Mr. Li," gadis di hadapannya, Kasey, berbisik, kedua matanya terbuka lebar. Jian benar-benar tidak mengerti mengapa gadis ini terus memanggilnya Mr. Li atau Sir, karena pada kenyataannya usia mereka hanya terpaut dua tahun, tetapi dia sendiri enggan mengoreksinya. Kasey mungkin merasa lebih nyaman dengan jarak yang hadir akibat panggilan hormat yang diciptakannya sendiri atau apa pun itu.

Tidak mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda seperti biasanya, hari ini rambutnya tergerai jatuh dan dia mengenakan gaun berwarna biru menggemaskan dengan heels putih tinggi. Jian tidak pernah bermaksud untuk sengaja membiarkan tatapannya menjelajahi tubuh Kasey—semata-mata itu adalah tindakan naluriah, tetapi gadis itu memandangnya dengan cara seolah-olah ada beruang raksasa muncul di ambang pintu rumahnya. Tiba-tiba Jian merasa tidak nyaman dengan keheningan ini, dan hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya, dia berdehem dan mengambil satu langkah lebih dekat ke arah Kasey. "Hai."

Kata-kata Matt seketika terngiang di telinganya ketika dia menatap tepat ke arah bola mata Kasey yang terlihat sangat terkejut. Kau tidak boleh menjadi brengsek kepadanya, kata Matt, dia sahabat adikku, Jian. Poin kunci dalam kalimat itu adalah bahwa Kasey mengatakan—mengeluhkan tentang—perilaku kasar dan brengseknya pada Matt. Itu hanya hal sepele; sesuatu yang kau tahu bahkan sejak di bangku sekolah dasar. Apa pun masalah yang kau miliki dengan seseorang, kau harusnya pergi menemui mereka terlebih dahulu untuk menyelesaikannya. Bukan mengadu kepada sahabatnya. Menelan amarahnya, menjedanya untuk beberapa waktu kemudian, dia berkata, "Bolehkah aku masuk atau kita akan terus berdiri di sini memandang satu sama lain?"

Seketika gadis itu seolah baru terbangun dari mimpi buruknya, dia melangkah ke samping, mempersilakan Jian masuk. "Maaf, hanya saja—" dia bergumam, sebelum Tess memotongnya dengan suara bernada tinggi. "Jian! Selamat datang!"

Jian, dengan canggung mengalihkan pandangannya dari Kasey, lalu memeluk Tess. Ketika Tess memeluknya, gadis itu mendesis di telinganya. "Apa yang kau belikan untuknya?" pagi ini, Tess meneleponnya—Jian tidak mengenali suaranya selama hampir beberapa menit—dan memberitahunya bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Kasey dan sebagai majikan yang baik, tentu saja itu murni sarkasme, dia harus datang dan membelikan hadiah yang bagus untuk menebus kesalahannya pada Kasey. Tidak peduli seberapa kali pun Jian mengatakan dia memiliki suatu hal yang harus dikerjakan, Tess tidak mau mendengarkan dan menyuruhnya untuk tetap datang walau hanya setengah jam.

Menurunkan lengan Tess dari bahunya, Jian memandang gadis itu dengan seringai penuh arti. "Jangan khawatir," bisik Jian, dengan suara yang bahkan lebih rendah dari desisan Tess sebelumnya. "Dia akan menyukainya." kembali menghadap ke arah Kasey, yang memperhatikan mereka dengan curiga, dia menyeringai tipis dan berkata, "Selamat ulang tahun."

"Terima kasih," katanya dengan hati-hati lalu bertukar pandangan dengan sahabatnya. Jian biasanya tidak mengerti wanita, dari arti tatapan penuh rahasia mereka, tetapi Kasey sangat polos sehingga Jian sadar dia dapat dengan mudah membaca isyarat gadis itu. Misalnya, sekarang, kerlingan sekilas yang diarahkannya kepada Tess, bermaksud mati aku. Jelas sekali Kasey tidak tahu bahwa pria yang dia panggil sebagai brengsek itu akan datang ke pesta ulang tahunnya. Ketika kedua gadis itu mulai melangkah, Jian hanya diam mengikuti mereka masuk ke dalam ruangan.

Sudah lama sejak terakhir kali Jian berada di antara lebih dari dua orang. Dia dulu sering bersosialisasi; datang ke setiap pesta. Sekarang, dia hampir tidak punya waktu untuk bernapas, dan dia hanya mengunjungi bar untuk menuangkan minuman. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Kasey dan tersadar, gadis itu sedang menatapnya penuh harap—Kasey pasti baru saja menanyakan sesuatu tetapi dia tidak mendengarnya. "Apa?"

"Siapa yang menjaga Carl?" terlepas dari semua hal, cinta kasih Kasey pada putranya sangat pantas untuk dihargai.

"Mrs. Dowry," jawabnya saat mereka masuk ke ruang tamu. Untuk sesaat, semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangan kepada mereka bertiga, terutama Jian, dan laki-laki itu merasa sedikit lebih tenang ketika matanya mendapati keberadaan sahabatnya. Matt menyapa Jian dengan mengangkat jus apelnya. Di sebelah Matt, berdiri seorang laki-laki lain yang tengah merangkul pundak seorang gadis—yang mungkin adalah kekasihnya.

"Hei, Bung," sapa Matt, menepuk punggung Jian sebelum kemudian dia menyerahkan segelas jus apel pada sahabatnya itu. Jian membenci minuman itu, tetapi dia tetap menyesap minumannya. "Ini Jian," Matt memperkenalkannya kepada laki-laki di sebelahnya.

"Aku tahu," jawab laki-laki itu, senyum miring terbit dari sudut bibirnya. "Jian Li." Namanya yang keluar dari mulut laki-laki itu entah mengapa terdengar sangat asing, walaupun sesungguhnya dia terbiasa mendapati orang-orang mengenali sosoknya sejak dulu. Jadi, apa yang berubah sekarang? "Aku Chris. Christian Holt," laki-laki itu memperkenalkan dirinya, mengulurkan tangannya. "Dan ini Hazel, kekasihku." Jian menjabat tangan Christian, dan mengangguk pada Hazel, yang juga terlihat seperti mengenalinya sebelum ini. "Aku mahasiswa tahun ketiga," katanya selanjutnya. Dia tampaknya suka banyak berbicara. "Kasey adalah teman Hazel."

Saat mendengar nama gadis itu disebut, Jian seketika teringat di mana dia berada dan juga sebuah hadiah yang ada di dalam sakunya yang entah mengapa mendadak terasa memberat di sana. "Ah, begitu," gumamnya, seraya menatap Kasey. Jian pernah melihat gadis itu sebelumnya—di pesta ulang tahun Matt, kampus, atau di mana pun itu. Kehidupan mereka sudah saling terhubung berkali-kali sebelum ini, tetapi interaksi mereka tidak pernah lebih dari sekadar saling menyadari keberadaan. Gadis itu adalah Kasey Whitton dan dia adalah Jian Li; hanya itu yang mereka ketahui tentang satu sama lain. Namun, sekarang, gadis itu adalah pengasuhnya, oke, bukan pengasuhnya. Lebih tepatnya, pengasuh putranya.

Sudah seminggu sejak Kasey mulai bekerja mengasuh Carl, tetapi Jian hanya pernah melihat keberadaan gadis itu di rumahnya tak lebih dari sekitar lima menit secara keseluruhan. Jian menyadari dia tidak pernah melihat Kasey bersama teman-temannya. Bahkan di pesta-pesta yang pernah mereka hadiri, Kasey bukanlah seseorang yang benar-benar diperhatikannya. Dia tidak ingat banyak tentang Kasey saat itu, hanya tahu gadis itu sahabat Tess karena Matt sering mengatakannya. Melayang menjauh dari pikirannya, Jian sekali lagi menatap Kasey. Gadis itu banyak bicara, penuh cahaya dan ceria. Dia melihat Kasey menyenggol lengan laki-laki di sebelahnya dengan ekspresi pura-pura terganggu dan pria itu menangkap lalu menarik tangannya sebelum melabuhkan sebuah ciuman di sana. Terkekeh, Kasey menangkup wajah laki-laki itu dan menciumnya tepat di bibir.

"Henry," gumam Matt di telinganya. Jian dengan cepat menolehkan kepalanya pada temannya itu, malu karena tertangkap basah sedang mengamati Kasey, dan dia mendapati Matt menyeringai padanya. "Kekasihnya." dia bisa merasakan Matt tidak akan dengan mudah melepaskan topik ini.

Sudah terlalu lama sejak terakhir kali Jian berhubungan dengan seseorang. Dia sudah lama tidak datang ke pesta-pesta dan selalu mengacuhkan setiap wanita yang mencoba menggodanya di bar. Kehidupannya saat ini pada dasarnya berlawanan dengan kehidupannya yang dulu, tetapi semua itu atas keinginannya sendiri. Dia tidak pernah bisa melupakan konsekuensi kejadian satu malam itu.

"Lalu? Aku tidak bertanya," sergahnya, menyesap jus apelnya lagi. Ketika dia mencuri pandangan sekali lagi ke arah mereka, Kasey sedang menatapnya dan saat mata mereka bertemu, gadis itu tersenyum sekilas. Cukup aneh, Jian mendapati dirinya balas tersenyum, dengan otot-otot wajahnya yang tidak dia kira masih ada karena kurangnya latihan.

Percakapan antara dia dan Matt terputus di tengah, dan Jian tidak keberatan sama sekali, ketika Tess mulai berbicara. "Pesta apa ini tanpa sesuatu yang menyegarkan?"

"Aku tidak ingin mabuk di hari ulang tahunku, Tess," kata Kasey tetapi dia tersenyum lebar dan Jian tahu gadis itu akan mengizinkan mereka melakukannya. Akhirnya, pikir Jian ketika dia menghela napas dan saat Matt meletakkan tangan di bahunya sebagai isyarat agar Jian ikut bergabung bersamanya.

Segalanya menjadi lebih menyenangkan ketika Tess membuka sebotol tequila. Dia menuangkannya untuk semua orang ke dalam gelas-gelas sloki, dan saat menyerahkannya kepada Kasey, dia berkedip penuh maksud. Matt dan Jian mendekati meja dan mengambil satu gelas untuk mereka sendiri. Jian memutuskan akan segera pergi setelah meneguk satu atau dua sloki, karena dia harus pulang dan mengurus Huan. "Gelas pertama untuk gadis yang sedang berulang tahun," Tess menggoda Kasey dan gadis itu memutar bola matanya. "Dalam satu tegukan, Sayang."

Jian memperhatikan gadis itu mulai mengangkat gelas slokinya ke bibir dan langsung menenggaknya sampai tandas. Kasey meringis karena rasa minuman itu di tenggorokannya dan saat membuka matanya kembali, Jian tahu Kasey mulai terbakar. Jian menyusulnya dengan satu tegukan cepat dan dia kini merasakan hal yang sama. "Astaga, aku melupakan ini," kata Matt, menatapnya. "Kau seorang ayah sekarang dan aku membutuhkan teman pesta yang baru."

"Pergilah bersama Tess," Jian menggodanya. "Dia terlihat sangat cocok untuk menjadi teman pesta barumu."

"Shut up."

Dengan tawa kecil, dia meneguk satu gelas lagi dan meletakkan gelas itu di sampingnya. Saat dia berbalik untuk duduk di sofa, Jian mendengar Kasey berkata, "Oh, aku lupa memperkenalkanmu kepada Mr. Li." beberapa detik kemudian, dia bersalaman dengan Henry. "Henry, kekasihku, dan Mr. Li, Ayah Carl."

"Jian," dia mengoreksinya. Jian merasa seperti orang tua ketika Kasey memanggilnya Mr. Li. Terlepas dari semua itu, Henry terlihat cukup ramah, dan dia sedikit lebih tinggi darinya. Tingginya hampir sepantar dengan Matt.

"Henry," katanya tersenyum. "Aku sudah banyak mendengar tentangmu, terima kasih kepada Kase," Jian hanya mengangguk dengan senyum ramah. "Kau teman Matt, kan?" Jian mengangguk lagi. "Eh, tapi bukankah kau terlalu muda untuk memiliki seorang anak? Apakah kau sudah menikah?"

Jika laki-laki ini bukan kekasih Kasey, dan jika Kasey tidak menatapnya dengan tatapan menyesal dan penuh permintaan maaf, Jian akan menjawabnya dengan sesuatu yang jauh lebih buruk. "Huan—Carl—adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Sampai kapan pun itu."

Henry menggelengkan kepalanya, apa yang laki-laki ini tahu tentang menjadi ayah, dan dia akan membuka mulutnya lagi untuk mengajukan pertanyaan lain, tetapi dia mengaduh ketika Kasey secara tidak sengaja—sesungguhnya Jian sangat tahu gadis itu sengaja—menginjak kaki kekasihnya itu. "Ya Tuhan, apa kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Kasey, lalu memegang lengan Henry dan mendorongnya ke tempat lain. Jian mungkin akan menganggap ini sebagai permintaan maaf Kasey karena telah mengatainya brengsek. Bagaimanapun, gadis itu telah menyelamatkannya dari kekasihnya sendiri.

Satu jam kemudian, semua orang selesai dengan tegukan gelas sloki kelima mereka, terkecuali Jian. Dia cukup mengerti, Matt sudah mabuk ketika mulai berbicara omong kosong. Saat dia mendudukkan temannya, untuk mencegah Matt melakukan sesuatu yang benar-benar bodoh, matanya tertuju pada Kasey. Yah, dia mulai bertanya-tanya bagaimana tampang mabuk seorang Kasey, tetapi bukan itu alasan Jian memandangnya. Sesuatu menarik perhatiannya. Jian menemukan Kasey tengah menuangkan segelas tequila ke dalam pot bunga di sudut ruang tamu.

Roknya sedikit terangkat sampai ke pahanya, kakinya tampak sangat halus dan... lembut. Jian tidak menyentuhnya, tetapi kedua tungkai itu terlihat lembut. Itu hanya asumsinya, dan itu akan selalu menjadi asumsi, kecuali dia memutuskan untuk bertanya kepada Henry tentang hal itu dan membuat dirinya terbunuh. Kemudian, Jian memaksa dirinya untuk mengalihkan fokus pada bagian atas tubuh gadis itu, seperti wajahnya. Ya, wajahnya juga cantik. Menarik. Bibirnya berbentuk seperti hati, mengekspresikan sisi sensual dari wajahnya. Bibirnya—juga terlihat lembut. Warnanya merah muda yang tampak begitu alami, Jian tidak tahu apakah itu karena efek lipgloss atau memang warna bibir natural Kasey seperti itu. Bibirnya. Lembut. Dan kali ini, dia tidak perlu Henry untuk mengujinya sendiri. Sebuah kesempatan liar. Siapa yang akan tahu? Dia tiba-tiba menyukai gagasan itu hingga sebuah seringai nakal terbit di bibirnya.

Alkohol yang berbicara, Jian mencoba berunding dengan dirinya sendiri, meskipun pada kenyataannya dia tidak minum sebanyak itu. Ketika Kasey menegakkan tubuhnya, berbalik untuk bergabung dengan yang lainnya, mata mereka bertemu. Sebuah sentakan kuat tiba-tiba merambati tubuhnya, awalnya dia hanya dia terpaku, tetapi kemudian Jian mengangkat alisnya. Dia benar-benar tidak menyangka Kasey akan tersenyum padanya sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir.

Gerakan itu sangat menarik. Kasey pada dasarnya memang menarik. Hari ini, Jian mengoreksi dirinya sendiri, gadis itu tampak begitu menarik hari ini.

"Aku ingin bercinta dengan Janie," Matt menghela napas di sebelahnya, kepalanya bersandar pada kepala sofa. Matanya sedikit tertutup dan dasinya sudah longgar, dia terlihat sangat mabuk.

Jian mengalihkan atensinya pada Matt setelah mendengar komentar tak terduga itu. "Siapa Janie?" tapi Matt sudah tenggelam dalam lamunannya, jadi dia tidak mendapatkan jawaban yang semestinya sebagai balasan. Jian membuka aplikasi permainan di ponselnya dan mulai fokus memainkan itu, mencoba untuk menjinakkan hormon-hormonnya yang bergejolak. Mungkin itu isyarat untuknya pergi meninggalkan pesta itu sebelum semuanya menjadi lepas kendali.

Satu jam berlalu, dan Jian Li masih di sana bermain dengan ponselnya. Semua orang mabuk, kecuali dia dan Kasey. Dia meraba sakunya dan tersadar akan fakta bahwa hadiahnya masih belum diberikan. Berdiri di atas kedua kakinya, dia berjalan ke arah Kasey dan menyentuh bahu gadis itu dengan hati-hati. Tangannya bertahan di sana untuk beberapa saat tetapi tidak cukup lama. Ujung jemarinya dapat merasakan tekstur kulit Kasey dan dengan itu dia menjawab pertanyaannya sendiri yang sebelumnya tidak terjawab. Sebenarnya tanpa perlu bertanya-tanya pun, jawabannya sudah sangat pasti: kulit Kasey sangat lembut. Walau itu hanya bahunya, tetapi tetap saja. Jian enggan menarik tangannya kembali ketika Kasey memandangnya dengan tatapan bertanya. "Bisakah kita berbicara secara pribadi?" Jian bertanya. Dia bisa saja memberikan hadiahnya di sana, tetapi Jian juga ingin mengatakan sesuatu pada Kasey.

Apa itu? Apakah berbicara secara pribadi dengan seorang gadis yang kakinya membuat pikiranmu sibuk sekarang adalah pilihan yang sangat bijaksana? Apa yang harus dia katakan—tetapi kemudian, dia ingat. Kasey mengatainya brengsek.

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum dan memimpin perjalanan menuju ruangan lain—yang kebetulan adalah kamarnya sendiri. Ketika Jian masuk, dia ragu-ragu. Mengamati interior kamar, Jian tahu kamar itu milik seorang perempuan, dia ingat saat pertama kali diundang masuk ke kamar perempuan. Waktu itu dia kelas sembilan, dan mereka berencana untuk menyelesaikan sebuah proyek sekolah. Namun entah bagaimana, ketika mereka duduk di ranjang, dia merasakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dan di saat yang tepat, Jian mencium gadis itu. Itu bukan ciuman pertamanya dan jelas bukan yang terakhir. Dia ingat gadis itu memang menyukainya dan memintanya datang untuk proyek sekolah lainnya. Namun dia tidak mau; gadis itu bau keringat.

"Sir," kata Kasey, dan Jian menyadari bahwa gadis itu mungkin sudah berbicara kepadanya untuk beberapa waktu sekarang. Kasey memanggilnya Sir lagi—apakah dia tidak merasa kalau panggilannya itu sangat aneh? "Apa yang ingin kau bicarakan?" Jian bersiap membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi gadis itu tiba-tiba meraih lengannya dengan panik. "Apakah itu soal Carl? Apakah dia baik-baik saja—"

"Ya," Jian memotongnya, memegang lengan Kasey untuk melepaskan tangannya dari cengkeraman erat gadis itu. "Dia baik-baik saja, jangan khawatir." sSketika suara Matt merasuki benaknya dan memicu kemarahannya kembali ke puncak. Kasey berpikir kau brengsek, dan dia mungkin benar."Kau berpikir aku ini brengsek, ya?" dia berkata tiba-tiba. Bukan kalimat itu yang direncanakannya akan keluar untuk membuka percakapan ini, tetapi di antara pikiran kotor dalam benaknya dan amarah, dia harus membuat sebuah keputusan.

Jangan mendekati seorang gadis yang telah memiliki pasangan, terutama jika kekasihnya ada di sana.

Alisnya mengernyit, Kasey mundur selangkah dan melipat tangannya. "Siapa yang memberitahumu?" Jian perhatikan, Kasey tidak terlihat terpengaruh oleh topik itu tetapi justru lebih ke persoalan bagaimana Jian mengetahuinya.

"Apakah itu penting?"

"Tess, kan?"

"Jadi, menurutmu aku memang brengsek."

Memutar bola matanya, Kasey mendengus, "Bukannya memang begitu? Maksudku, itu hal yang kau lakukan sepanjang minggu kemarin."

"Kau tidak bertemu denganku lebih dari lima menit dan sudah menganggapku brengsek—bayangkan kalau kita menghabiskan waktu sepanjang hari untuk bersama-sama."

"Tuhan mengharamkannya," gadis itu mengerang. Ketika Jian menatap mata Kasey, dia tahu bahwa gadis ini bersungguh-sungguh akan ucapannya. Jian jadi merasa enggan mengeluarkan kalung itu—gadis ini tidak pantas menerima hadiah. "Kalau itu saja," kata Kasey, mengusik pikirannya, "Aku akan pergi."

Jian belum ingin melepaskannya. Dia tidak membeli hadiah ini untuk cuma-cuma. Ketika Kasey hendak membuka pintu, dengan cepat Jian membanting pintunya tertutup, menarik lengan dan memerangkap Kasey di antara pintu dan tubuhnya. Saat itulah Jian baru menyadari seberapa dekat jarak mereka tetapi dia tidak ingin mundur. Dari posisinya saat ini, dia dapat melihat bibir Kasey yang sempurna. Tidak terlalu tipis tetapi juga tidak terlalu tebal. Warna merah mudanya berasal dari lipgloss. Dia mendapati tubuhnya perlahan-lahan semakin condong ke arah Kasey—kita semua pernah mempelajari hal semacam ini di kelas: gravitasi. Sebuah kesempatan liar.

"Sir," bisik Kasey, terkejut. Jian memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas kepanikan dan keterkejutan gadis itu karena jarak mereka saat ini. Gumaman Kasey memutus semua ketegangan dan gairahnya. Jian tiba-tiba mundur, bangun dari mimpi. Dada gadis itu bergerak naik-turun—Kasey terkesiap, matanya bahkan lebih lebar dibandingkan dengan saat dia melihat Jian di pintu rumahnya. Untuk menenangkan dirinya sendiri, Jian mengambil kalung itu dari sakunya, lalu menunjukkannya tepat di depan mata Kasey.

"Ini hadiah dari si brengsek," katanya dengan senyum pahit. Jian benar-benar mencarinya di lebih dari sepuluh toko untuk menemukan hadiah yang paling pas dan akhirnya menjatuhkan pilihannya pada sebuah kalung dengan sayap malaikat. Dia memperhatikannya dengan seksama ketika mata Kasey mulai beralih dari wajahnya ke kalung yang dipegangnya. Mata gadis itu, melebar dan bibirnya terbuka karena terkejut sekali lagi. Jian membiarkan dirinya terus mengamati bibir Kasey sementara mata gadis itu masih menatap lekat-lekat pada kalung itu.

"Terima kasih," bisik Kasey. Mengambil kalung itu dari tangannya, gadis itu langsung mengenakannya di lehernya. Jian ingin membantunya, tetapi dia bahkan tidak memintanya. Bandul sayap itu berada di antara tulang selangkanya dan Jian tahu dia telah memilih hadiah yang tepat untuk Kasey. Namun, dia lengah ketika Kasey tiba-tiba mendekat ke arahnya dan memberikan sebuah ciuman yang lembut, dan sangat perlahan di pipi kanannya. Bibirnya lembut. Kemudian, bergerak mundur dari posisinya, Kasey menarik pintu terbuka dan meninggalkan ruangan itu. Butuh waktu agak lama untuk Jian tersadar dan akhirnya meninggalkan ruangan itu juga.

Menjelang dini hari, situasinya menjadi seperti ini: Jason mengantar Chris dan Hazel pulang. Matt mabuk dan terdampar di salah satu sofa, sementara adik kandungnya di sofa yang lain. Kasey masih sadar—meski mulai kehilangan keseimbangan—dan sedang membereskan meja. Jian membantunya, dan memastikan gadis itu tidak merusak apa pun.

"Aku benar-benar memiliki stamina yang baik," katanya, terkikik, meletakkan piring lain di dalam mesin cuci piring. "Tapi tadi Tess membuatku minum sepuluh gelas,"—dia menunjukkan kesepuluh jemarinya—"dan kau tahu, aku tadi membuang tiga di antaranya ke dalam pot bunga."

"Sekarang, bunga itu juga mabuk," komentar Jian sambil tertawa, dia menyerahkan piring lain kepada Kasey.

"Puff, sudah biasa begitu—Ayahku selalu melakukannya."

"Apakah menyiram tanaman dengan tequila adalah semacam tradisi keluarga?"

"Shh," desis gadis itu, menatap Jian dari balik bahunya. "Ibuku akan membunuhku kalau dia sampai tahu." ketika Kasey tertawa, Jian secara mengejutkan bergabung bersamanya. Rasanya aneh, tetapi senyuman Kasey menular. Dan gadis cantik itu sangat lucu.

Oke, jadi, ada satu hal penting. Jian sudah lama tidak bergaul dengan siapa pun, dan dia sudah lama tidak bercinta juga, dan karena salah satunya terjadi saat ini, tubuhnya secara alami menginginkan yang lainnya. Itulah yang selalu terjadi pada seorang Jian Li. Dia tidak pernah benar-benar mencari seseorang untuk bercinta dengannya, karena yang satu ini selalu sudah ada yang mengurusnya.

Sekarang, mengeringkan piring dengan handuk, dia juga memperhatikan Kasey sedang membilasnya dan matanya—di luar kendali—beralih mengamati tubuh gadis itu untuk yang kesekian kalinya malam ini. Jian tidak bisa memutuskan yang mana dari bagian tubuhnya yang menjadi favoritnya. Untuk mengalihkan dirinya dari pertanyaan menarik ini, dia menanyakan satu pertanyaan pada gadis itu. "Kenapa kau tidak minum?"

Kasey akhirnya selesai mencuci piring dan tengah mengeringkan tangannya dengan handuk. "Aku benci kehilangan kendali," akunya, sambil menatap Jian. "Aku minum tapi tidak terlalu banyak." Gadis itu menggelengkan kepalanya dan tertawa. "Tapi tetap saja, pikiranku buram."

Saat mereka membersihkan rumah, Kasey mengucapkan terima kasih kepada Jian atas bantuannya. "Bisakah kau mengantar Matt dan Tess pulang?" dia bertanya, memandang temannya yang sedang mendengkur di atas sofa. Jian hanya mengangguk. "Aku akan membantumu membawa mereka."

Jian membantunya saat gadis itu berusaha melingkarkan lengannya di seputar lengan Tess untuk mengangkatnya. "Hmm," gumam Tess, membuka sebelah matanya. "Bu." mata Jian bertemu dengan milik Kasey, sementara laki-laki itu berusaha menahan tawanya, pada akhirnya mereka berdua menertawakan tingkah Tess. Tak lama kemudian, Tess kembali mengarungi mimpinya. Mereka berhasil membawa kakak beradik itu ke mobil Matt. Proses yang sama—tetapi lebih berat—terjadi pada Matt, beruntungnya dia sedang pingsan.

Ketika mereka berhasil menempatkan kedua saudara kandung itu ke dalam mobil, Jian mengucapkan terima kasih atas bantuannya. "Terima kasih juga sudah datang," jawab Kasey. Rambutnya menari-nari ditiup angin malam, dan Jian dapat melihat bahu gadis itu bergetar sesaat karena cuaca yang dingin.

Masalahnya adalah, Jian tidak tahu bagaimana mengucapkan selamat tinggal sekarang. Secara naluriah, dia ingin lebih lama lagi berbicara dengan Kasey—masih terlalu dini untuk melepasnya. Sementara itu, teleponnya berdering di sakunya dan kedua tatapan mereka beralih ke layar ponsel Jian. "Mrs. Dowry," katanya dalam hati, lalu menjawab teleponnya.

"Jian," kata wanita itu melalui telepon. "Kapan kau akan pulang? Carl menangis."

"Aku sedang dalam perjalanan," jawab Jian. "Tolong, buat dia sibuk sedikit lebih lama." ketika dia menutup teleponnya, Kasey sedang menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Huan," jelasnya. "Dia belum tidur—dia mungkin merindukanku," Kasey tersenyum mendengarnya, lantas mengangguk. "Jadi, uh, sampai jumpa besok."

"Ya," gumam Kasey, mundur selangkah. "Selamat malam."

Menarik pintu mobil Matt terbuka, dia melirik sahabatnya dan Tess, masih tertidur. Melihat ke belakang bahunya, Jian berkata, "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan pada mereka."

"Biarkan saja," gadis itu terkekeh. "Omong-omong," tambahnya, sebelum Jian bisa berbalik dan duduk di kursi kemudinya, "Terima kasih lagi untuk hadiahnya—sayap malaikat. Aku sangat menyukainya."

Sebuah senyuman tersungging di bibirnya, dia berkata, "Itu terlihat bagus untukmu," tepat seperti yang aku bayangkan, Jian bergumam di dalam hatinya sendiri, dan dia tidak akan membiarkan Kasey mengetahui isi kepalanya itu. Ketika tidak ada lagi yang bisa diucapkan, Kasey melambai perlahan dan berbalik untuk berjalan kembali ke pintu rumahnya. Jian memperhatikan langkah gadis itu, berusaha mengamankan roknya dan ketika dia sampai di pintu, Kasey berbalik sekali lagi untuk tersenyum dan melambai padanya. Jian merasakan sesuatu yang sudah begitu lama tidak pernah dirasakannya lagi—sesuatu yang hangat seperti cokelat panas.

Jian menunggu sampai Kasey menutup pintu dan mematikan lampu. Mencuri pandang ke arah kakak beradik yang tidur di kursi belakang, dia menyalakan mesin mobilnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top