4. Kasey



Kamis adalah hari liburnya.

Jadi, Kasey memutuskan untuk pergi berjalan-jalan pagi, seperti apa yang biasa dia lakukan ketika dia tidak sibuk. Berjalan membantunya bersantai dan menjernihkan pikiran. Dia menggunakan celana ketat hitam dan kaos longgar. Dengan botol minum yang terisi, dia membawa tas berolahraganya dan meninggalkan rumah.

Itu bukanlah alasan satu-satunya kenapa dia ingin berjalan-jalan hari ini. Hari ini adalah ulang tahun Kasey dan dia selalu suka menghabiskan waktu singkat untuk dirinya sendiri di hari ulang tahunnya. Matahari dengan perlahan menyingsing tinggi di balik awan ketika dia menatap langit yang memerah.

Kasey biasanya melewati rumah Jian dalam rute perjalanannya tapi berhubung dia tidak ingin melihat wajah Jian dalam kesempatan apa pun kecuali jam kerjanya, Kasey mengganti rute dan menuju ke arah sebaliknya. Dia memulai dengan langkah pelan dan berlari sebentar untuk pemanasan. Hari yang panjang sedang menantinya jadi dia tidak ingin terlalu lelah.

Di perjalanan pulang, Kasey berhenti sebentar di depan toko kue, yang sering dia kunjungi, dan membeli kue kecil dengan satu lilin untuk dirinya. Sebuah senyum terukir di bibir Kasey, dia berjalan pulang dengan sebuah kotak di tangan dan matanya menatap pada kotak itu dengan rasa humor rahasia. Tidak seperti banyak orang, Kasey memang menantikan ulang tahunnya dan dia suka merayakannya. Tapi saat favoritnya adalah ketika dia membeli kue untuk dirinya sendiri dan membuat harapan dengan sebuah lilin. Kasey sendirilah yang membuat hari ulang tahunnya istimewa.

Ketika Kasey kembali ke rumah, dia mendengar beberapa suara, yang diasumsikan datang dari dapur, Kasey segera melemparkan sneakers-nya ke samping dan melenggang ke arah suara tersebut, Ini masih sangat pagi dan dia tidak mengharapkan ibunya untuk bangun. yah Kasey, sebaliknya, pasti sudah pergi kerja sekarang. Dengan semua rentetan pertanyaan dalam pikirannya, Kasey memasuki dapur dan menemukan ibunya yang sedang menyiapkan sarapan.

Tanpa bisa dikendalikan senyumnya merekah lebar—walaupun ibu Kasey selalu bangun lebih awal di hari ulang tahunnya dan memanggang kue wortel miliknya yang terkenal. "Ibu," Kasey berbisik walaupun dia tidak perlu melakukannya karena hanya ada Kasey dan ibunya di rumah. "Aku tidak bisa mempercayaimu."

"Ini adalah tradisi," jawab ibunya, memeriksa kue di dalam oven. "Tentu saja, Ibu tidak ingin melewatkan hari ulang tahunmu." kemudian, dia berjalan ke arah putrinya untuk mengalungkan kedua tangannya di tubuh Kasey. "Selamat ulang tahun, sayangku. Kau adalah anak perempuan terbaik yang bisa aku miliki."

"Ibu hanya mengatakannya saja," ucap Kasey, tertawa sambil memeluk kembali ibunya. "Bu, aku minta maaf untuk segalanya—belakangan ini aku mengabaikan Ibu dan Ayah tapi itu karena aku sangat sibuk."

Ibunya tahu betul kalau Kasey adalah anak berdedikasi dan dia tidak akan pernah mengabaikan mereka. Dia masih sama seperti saat masih kecil. Kasey selalu sangat peduli dengan orang tuanya dan meletakkan orang tuanya di tempat yang tinggi di dalam kehidupannya. Pendapat mereka selalu penting bagi Kasey.

Setelah mengobrol sedikit, Kasey meninggalkan ibunya dengan kue dan pergi menjawab telepon. "Halo?"

"Kasey, hai."

"Matt?" Kasey menjawab, sedikit terkejut. Dia tidak punya nomor telepon Matt, meskipun dia adalah kakak laki-laki dari sahabatnya. Jadi, Kasey menganggap hal ini mengejutkan ketika Matt memiliki nomornya dan menghubunginya. "Apa semuanya baik-baik saja?"

"Ya ya," katanya, terkekeh. "Aku cuma ingin bertanya apakah kau punya waktu untuk secangkir kopi... atau makan siang?"

Kasey dan Matt adalah teman, well, tapi tetap tidak begitu dekat. Mereka tidak pernah makan siang berdua sebelumnya—tidak sedekat itu. Itulah mengapa Kasey sangat khawatir dengan tawaran ini. Apa tujuannya? Apakah dia akan mengatakan sesuatu tentang Tess? "Apa Tess juga akan ikut?"

"Tidak," dia menjawab, sedikit tanda rahasia dalam suaranya membuat Kasey semakin sedih. "Tapi jangan khawatir. Aku hanya ingin bicara tentang Jian."

"Jian?" sekarang dia terkejut. Kasey tiba-tiba teringat kalau Matt bersahabat dengan Jian. Dia masih tidak dapat menghubungkan antara dia dan Jian. Apa dia mengatakan sesuatu kepada Matt? That prick, pikirnya. Kasey merasa cukup setia dan patuh. Tidak peduli seberapa galaknya dia, Kasey mencoba untuk menjaga kedamaian dan menghiburnya. Bahkan ketika itu mustahil. "Kenapa dengan dia?"

"Aku tidak bisa menceritakannya lewat telepon."

"Kau menakutiku, Matt," ucap Kasey.

"Jangan khawatir, doll, semuanya baik-baik saja." Matt terkekeh. "Aku akan menjemputmu sejam lagi."

"Baiklah, sampai nanti."

Untuk satu jam penuh, Kasey tidak dapat berhenti memikirkan apa yang akan dikatakan Matt kepadanya soal Jian. Kemudian, dia teringat semua misteri yang hadir bersama dengan Jian. Matt adalah jalan satu-satunya bagi Kasey untuk mendapatkan jawaban tanpa harus khawatir dengan Jian. Tapi, dia harus mencari tahu dengan cara yang bersih. Dia bisa bertanya tentang Jian di dalam pembicaraan sehingga Matt tidak merasa curiga.

Kasey hanya sangat penasaran di mana sang ibu.

Ketika dia sudah berpakaian, Kasey sadar masih ada sisa waktu sepuluh menit jadi dia menghubungi Tess. Sejak pagi ini, Tess tidak menelpon dia dan walaupun dia yakin Tess tidak akan melupakan hari ulang tahunnya, dia masih tetap merasa kesal.

Sambungan telepon berdering beberapa kali tapi Tess tidak mengangkat teleponnya. Itu cukup mencurigakan, karena Tess seharusnya sudah bangun sekarang dan dia benar-benar tidak bisa lepas dari ponselnya. Ketika Kasey menghubungi lagi, dia mendengar suara bell pintu berdering dan membatalkan sambungannya. "Ibu," Kasey berseru sambil berjalan melewati koridor, mengambil mantel dari gantungan. "Aku pergi dulu."

Ibunya keluar dari pintu dapur dengan senyuman. "Bersama Henry?"

"Tidak, Matt." Kasey dengan cepat memakai mantelnya. "Dia mau mendiskusikan sesuatu." Dengan cepat Kasey menggunakan sneakers sementara ibunya melambaikan tangan dan kembali ke dapur. Setelah membuka pintu, dia melihat Matt yang sudah menunggunya. "Hei Matt," Kasey memberi salam sambil berjalan keluar.

Dia terlihat tampan seperti biasa. Kasey kenal Matt sejak mereka masih anak-anak dan dia tidak pernah bimbang dengan gayanya. Dia selalu menjadi orang yang dewasa dan baik, kebalikan dari Tess, yang bisa menjadi gila dan marah seperti gunung merapi ketika dia mau. Kapanpun keduanya berdebat, Matt hanya akan memutar bola matanya dan itu selalu dapat membuat Tess meledak. "Selamat ulang tahun, doll," ucapnya, memeluk Kasey erat-erat. Oh, dan terkadang dia akan memanggil Kasey doll.

"Terima kasih," jawab Kasey dengan senyum lebar. "Jadi, ke mana kita akan pergi?"

"Di mana kau ingin makan? Aku tidak keberatan dengan apa pun."

Kasey menyarankan nama makanan kesukaannya lalu mereka naik ke dalam mobil Matt. Ketika keheningan merayap di antara mereka karena hubungan keduanya yang tidak begitu akrab, Kasey mulai memperhatikan bagian dalam mobil itu: sebuah cangkir Starbucks, kunci rumahnya, tumpukan kartu bisnis miliknya dan sebuah gelang emas. Kasey berkedip ketika melihat itu. Sepengetahuannya, Matt tidak punya kekasih dan Tess tidak punya gelang seperti itu. "Matt," panggilnya. Matt menoleh kepadanya sebentar dengan senyum. "Gelang milik siapa itu?"

"Oh, itu," Matt bergumam, tapi dia bisa merasakan ketegangan dalam nada suara Matt. Bagaimanapun juga Kasey adalah wanita—indra keenamnya bekerja dengan sangat baik. "Seorang kolega."

Kasey merosot di kursinya, melihat ke arah jendela untuk menyembunyikan wajahnya. Dia tahu sesuatu yang bisa dikatakan ke Tess sekarang—tidak heran jika Tess akan sangat terkejut kalau dia tahu Matt membawa gelang seseorang di dalam mobilnya.

"Aku mau memberikan itu kepadanya," dia mendengus sambil tertawa. "Tapi lupa untuk—Kasey."

"Matt," Kasey menjawab dengan nada bercanda yang sama.

"Don't you dare tell Tess."

Kasey berbalik menghadapnya dengan ekspresi yang sangat manis. "Tentu saja tidak..." ekspresi Matt melembut dan dia mulai tersenyum. "Dengan satu syarat." wajahnya tetap menghadap ke jalanan, Matt tetap diam. "Matt."

"Katakanlah."

"Kau akan menjawab sebuah pertanyaan."

"Pertanyaan seperti apa?"

"Tentang Jian." Alisnya terangkat. "Jangan lakukan itu—dengar, aku sudah bekerja selama seminggu benarkan? Tapi aku punya beberapa pertanyaan yang masih belum bisa kutanyakan kepadanya. "

"Dan apa yang memberimu ide kalau aku akan berkhianat pada sahabatku untukmu?"

"Karena aku mengkhianati sahabatku untukmu. "

"Poin yang bagus."

Mereka memasuki restoran dengan pembicaraan panas ini. Kasey senang karena sudah menemukan titik lemah Matt untuk dimanfaatkan, walaupun dia sama sekali bukan orang yang seperti itu. Mereka duduk di sebuah meja dan tidak bicara sampai mereka memutuskan untuk makan apa. Ketika pelayan restoran pergi, Kasey tidak bisa menahannya lebih lama lagi. "Jadi apa yang ingin kau katakan?"

"Jian sudah menjadi seorang yang brengsek kepadamu," kata Matt tanpa basa-basi.

"Benar," Kasey bergumam, tertegun. "Biar ku tebak, Tess yang mengatakan kepadamu." Matt mengangguk. "Dia tidak pernah bisa menjaga rahasia," dia mendengus.

"Dengar, aku bisa bicara padanya jika ini sangat mengganggumu."

"Boleh aku mengajukan syarat dariku?" tanyanya. Kemudian dia merasa kalau ponselnya bergetar dalam sakunya. "Tunggu sebentar." Kasey mengeluarkannya dan melihat Henry menelpon. Sial, dia lupa memberitahukan kepadanya kalau dia akan pergi dengan Matt. Dengan helaan napas, Kasey menjawab "Henry."

"Sayang," ucapnya dengan riang. "Apa yang sedang kau lakukan?"

"Dengan Matt," jawabnya cepat, memberikan senyum sekilas kepada Matt yang memperhatikannya dengan alis bertaut. "Saudara laki-laki Tess." Dia mengangguk kepada pelayan yang membawakan pesanan mereka. Kasey menyesap limunnya.

"Bersenang-senanglah," katanya. Tunggu, apa? Pikir Kasey. Bukankah dia akan bertanya apa yang mereka lakukan bersama? "Sampai nanti, sayang." kemudian, dia mematikan sambungan teleponnya. Apakah dia sangat marah sampai tidak bisa bicara lebih banyak lagi atau apa yang terjadi? Dan kenapa tidak ada orang yang ingat dengan ulang tahunnya selain Matt dan ibunya? Ini agak memilukan.

Kasey melihat ke arah Matt tatapan meminta maaf. "Apa yang ku bicarakan tadi?"

"Jawabanmu."

"Oh, itu. Matt, dengar. Pertanyaan ini sebenarnya tentang Carl." Kasey sadar pada perubahaan suasana pada matanya ketika dia menyebutkan Carl. "Ibu Carl tidak terlihat di mana pun dan Mrs. Dowry adalah ibunya. Di mana dia? Tidak ada yang mengatakannya kepadaku."

"Tidakkah menurutmu ada alasan mengapa tidak ada yang memberitahukan ini kepadamu? Seperti misalnya Jian masih belum siap." Dia memotong ayamnya dengan pisau dan memasukkan potongannya ke dalam mulut.

"Inilah kenapa aku punya kau, Matt," kata Kasey. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

"Kau selalu saja tidak sabaran," Matt tertawa. "Oke, jadi pertanyaannya adalah di mana dia, benarkan?" dia mengangguk cepat dan Matt terkekeh, menyesap sodanya. "Kasey," katanya, nada bicaranya tiba-tiba menjadi serius dan berkabut dengan kesedihan. "Aku berasumsi kau tahu kalau Cate bukanlah kekasih Jian."

"Ya. Hanya kencan satu malam—maksudku seluruh sekolah tahu."

Matt mengangguk. "Dia tidak pernah lebih dari sekedar ibu Carl bagi Jian."

"Ini bukan pertanyaanku, Matt. Di mana dia?"

"Dia meninggal saat melahirkan." Kasey terkesiap. Ketika dia ingin mengetahui kebenaran, dia berpikir wanita itu meninggalkan Carl dan Jian. Dia meninggal—oh Tuhan. Tidak heran Jian berubah menjadi batu. Dia menjaga anaknya sendirian, pikirnya dan gambaran tentang Jian dalam pikirannya berubah. "Ini sangat berat bagi Jian—Kasey, tolong rahasiakan ini di antara kita. Jian tidak boleh tahu kalau aku menceritakannya kepadamu."

Ini bukan sesuatu yang harus disembunyikan dari Jian. Tapi dia akan merahasiakannya demi Matt. Kasey mengubur wajahnya di balik telapak tangannya. "Maafkan aku tapi kau ingin tahu," Matt bergumam, memegangi tangan Kasey. "Doll, bersemangatlah, ini hari ulang tahunmu."

Kasey mengusap air matanya, dia melihat ke arah Matt dengan senyum lembut. "Terima kasih, Matt. Ini tentunya akan membantuku mentoleransi kegalakannya."

"Jika ini bisa mengubah Jian, maka ini sesuatu yang lebih baik. Carl adalah seluruh hidupnya sekarang. Sebelumnya, aku pikir Jian tidak bisa mencintai. Jadi kau bisa sekasar apa pun yang kau mau jika dia berlaku brengsek kepadamu."

"Kau teman yang buruk, Matt," Kasey terkekeh. "Aku yakin Jian akan menendangmu jika dia tahu kau berpikir seperti ini."

Matt memeriksa waktu dan sadar kalau ini sudah larut. "Siapa bilang aku tidak mengatakan ini kepadanya?" kemudian, dia bangkit dan membayar tagihan. "Ayo pulang, ini sudah larut."

Kembali ke mobil Matt, Kasey memperhatikan keluar jendela, terus menerus memikirkan tentang kematian Cate. Hatinya sakit untuk Carl—bayi kecil polos itu. Tanpa ibu. Lalu dia memikirkan tentang Mrs. Dowry. Dia kehilangan anak perempuannya terlalu cepat, sebelum dia dapat menyaksikan pernikahan putrinya. Jian harus menanggung beban keluarga pada usia yang masih muda. Walaupun, jika dipikir-pikir, dia paling marah kepada Jian. Dia menghamili seorang gadis maka dia harus menanggung konsekuensi yang perlu diperhitungkan.

Setelah Matt berhenti di depan pintu masuknya, dia menoleh ke arah Matt sambil tersenyum. "Terima kasih untuk makan siangnya, Matt...dan menceritakan kepadaku tentang Jian. Aku akan menutup mulutku, kau bisa percaya padaku." Matt menepuk-nepuk pundaknya dengan seringaian dan mereka turun dari mobil. "Kau tidak perlu mengantarku," ucap Kasey.

Matt mengarahkannya perlahan melewati teras dengan meletakkan tangannya ke pinggang Kasey, Matt berkata, "Aku sebenarnya ingin minta segelas air." Saat mereka tiba di depan pintu, Kasey mencari kuncinya dan membuka pintu. "Aku akan ambilkan air untukmu," ucapnya sambil tersenyum, melemparkan sepatunya ke samping dan berlari menuju dapur.

Tapi kemudian dia membeku saat melihat teman-temannya berkumpul mengelilingi meja, sebuah kue ulang tahun dengan lilin di tengahnya, semuanya menatap ke arahnya dengan senyum lebar. Tess, Henry, Hazel dan kekasihnya Chris, Jason semuanya melihat ke arah Kasey. "Guys," dia berbisik, dan berbalik ke arah Matt ketika Kasey sadar dia masih di belakang. "Kau tahu?" tanya Kasey terkejut dan Matt menundukkan kepalanya, tertawa. Menoleh lagi ke arah Tess dan Henry, dia berseru, "Aku sangat marah pada kalian dan...sekarang aku sangat sayang pada kalian!" Dia berlari ke arah mereka, memeluk mereka semua yang terkekeh. Kasey melingkarkan tangannya ke tubuh kekasihnya dan menekankan bibir mereka secara singkat.

"Tiup lilinnya," ucap Hazel sambil tertawa. "Kami sudah menunggu lama dan kuenya terlihat sangat menggiurkan." Dia melirik ke balik pundaknya ke arah Chris. "Chris hampir saja mencolek kuenya."

"Permisi," Kasey menjawab dengan gelagat bercanda. "Aku yang boleh merasakan kueku untuk pertama kali." kemudian, dia mencolek ujung kuenya dan menjilat jarinya. Saat mereka semua meringis dengan suara keras, Kasey tertawa dan meniup lilin. Kemudian, dia mendengar suara bel pintu dan menolehkan kepalanya ke arah Tess. "Siapa lagi yang kau undang?"

Tess mengedik. "Pergi dan lihatlah."

Kasey memutar bola matanya kepada temannya, sambil meminta izin untuk pergi memeriksa siapa yang datang. Dia tersenyum, mendengar semua orang bicara dan diam-diam berterima kasih kepada Tuhan karena sudah mengelilinginya dengan orang-orang yang menakjubkan. Bagaimana mungkin dia berpikir mereka akan melupakan ulang tahunnya? Sambil menarik napas, dia membuka pintu.

Mata Kasey melebar pada orang yang kini berdiri di depan pintunya: Jian Li.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top