3. Kasey
Ketika Kasey membuka pintu, jam sudah mendekati pukul empat pagi. Mempertimbangkan fakta bahwa dia akan pulang ke rumah lebih lambat, dia seharusnya terbiasa dengan kegelapan. Tidak seperti apa yang dia katakan kepada Tess, Henry bahkan tidak tahu kapan dia kembali ke rumah dan laki-laki itu mungkin sedang menyelami mimpi keenamnya saat ini.
Dia menghela napas, menjatuhkan kunci-kuncinya ke dalam sebuah mangkuk, kemudian melangkah dengan perlahan ke kamarnya tanpa suara. Namun, dia berhenti sejenak saat melewati dapur, dia melihat bayangan seseorang di dalam sana. Bayangan itu adalah ibunya yang sedang duduk ketika dia menyala lampu. "Bu," bisiknya lembut, "Kenapa kau masih terjaga?"
"Tidak bisa tidur," jawab ibunya, tersenyum, tetapi dari matanya yang tampak lelah, jelas dia benar-benar terjaga karena menunggu putrinya pulang. "Bagaimana harimu, Sayang?" dia bertanya, bangkit dengan menyangga dirinya pada ujung meja. "Apakah kau menginginkan sesuatu yang hangat?"
"Baik," gumam Kasey, karena itulah kebenarannya sampai sebelum Jian tiba. "Tapi aku sangat lelah, terima kasih, Bu. Aku akan tidur saja—harus bangun dalam tiga jam."
"Apakah kau yakin dapat melakukan ini?" tanya ibunya dengan sorot khawatir. "Kau pulang sangat terlambat."
Kasey melihat tepat ke mata ibunya sebelum menariknya ke dalam pelukan, dia bergumam, "Aku akan baik-baik saja, jangan khawatir." karena kita sangat membutuhkan ini, pikir Kasey tetapi dia tahu akan seberapa sedihnya ibunya—jika wanita terkasihnya itu mendengarnya mengatakan hal semacam itu. Walaupun orang tuanya tidak pernah menekannya, Kasey selalu merasa memiliki kewajiban untuk membantu mereka dalam cara apa pun setelah mereka bangkrut. "Selamat malam, Bu."
"Tidur nyenyak, Sayang," jawab ibunya, lalu mencium pipinya. Kasey berjalan ke kamarnya, dan menutup pintunya setelah itu. Dengan cepat menyingkirkan pakaian hariannya, dia segera mengenakan piama dan memeriksa ponselnya. Tidak ada yang meneleponnya atau mengiriminya pesan selain Tess.
Apakah kau sudah di rumah? Tess bertanya.
Yep.
Tess membalasnya lagi secepat kilat. Yeay! Aku telepon, ya?
Bukannya menjawab pesan itu, Kasey menelepon temannya. "Hei."
"Hai," sapa Tess. "Jadi, kau sudah bertemu Jian?" Kasey seharusnya sudah bisa menebak, Tess pasti sangat ingin tahu segala detailnya.
"Ya," Kasey bertkata, menguap. "Aku sudah bertemu dengannya."
"Dan?" desis Tess. "Kau tidak bisa mengabaikan pertanyaanku seperti ini. Teruskan."
"Tess, aku sekarat—ayo tidur."
"Whitton, berjanjilah kau akan memberitahuku semuanya tanpa melewatkan detail apa pun besok, oke?" Kasey sudah kebal terhadap semua ancaman Tess setiap kali sesuatu terjadi.
"Baik, Yang Mulia. Pinky promise."
"Selamat malam."
"Sampai jumpa."
Kasey sebenarnya tidak semengantuk itu, dia hanya berakting. Namun, dia tidak merasa cukup bersemangat untuk menjawab pertanyaan dan tuntutan Tess. Selain itu, dia tidak benar-benar merasa ingin mengingat apa yang terjadi dengan Jian karena memikirkannya saja sudah membuatnya hampir gila.
Apa yang pernah terjadi pada Jian hingga dia dapat bertingkah sebrengsek itu? Dia bagai robot tidak berperasaan, Kasey menyimpulkan ini dalam benaknya, karena tidak ada penjelasan lain yang membuatnya dapat memahami sifat kelewat dingin seorang Jian Li. Jika dia ingin terus bekerja di sana, dia harus terbiasa akan suasana hati laki-laki itu, tetapi jelas itu tidak mudah. Kasey sangat suka berceloteh dan dia akan semakin bersemangat ketika lawannya melakukan hal sebaliknya. Dia sama sekali tidak menyukai keheningan, dan akan melakukan segala cara untuk melenyapkannya.
Dengan Jian, yang ada hanya kesunyian—dan situasinya sama sekali tidak berubah sebanyak apa pun dia telah berusaha.
Menarik pikirannya dari si brengsek itu, pikirannya kini berlabuh pada Henry lagi ketika dia mulai berbaring di tempat tidur. Menutupi dirinya dengan selimut, Kasey menghela napas dan menerawang keluar jendela. Tempat tidurnya menempel ke dinding dan dari tempatnya berada, langit terlihat sangat jelas. Dia memikirkan kemajuan hubungan mereka dalam beberapa bulan. Semuanya berubah dengan cara yang paling buruk. Dia tidak bisa merasakan getaran yang sama darinya lagi.
Adalah kesalahannya untuk membatalkan acara mereka, tetapi ini hari pertamanya bekerja dan seharusnya Henry mengerti seberapa berartinya pekerjaan ini baginya. Henry tahu usaha kerasnya dalam mencari pekerjaan malam yang layak dan dia pikir kekasihnya itu juga ingin dia mendapatkan pekerjaan ini. Dia sibuk dan Henry seharusnya mengerti bahwa dia tidak memiliki banyak waktu luang untuknya seperti sebelumnya lagi.
Pada akhirnya, dia memutuskan untuk hanya menunggu langkah pertama yang diambil kekasihnya kali ini. Jika Henry benar-benar mencintainya, laki-laki itu akan mencoba untuk memenangkan hatinya kembali. Jika tidak... dia tidak tahu. Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu.
Hidup ini keras, pikir Kasey ketika kelopak matanya mulai tertutup.
Ketika Tess menepuk pelan pundaknya, Kasey masih tertidur. Dia terkejut, dan menolehkan kepalanya perlahan, matanya setengah terbuka dan langsung meletakkan kepalanya kembali di atas meja setelah dia mendapati itu hanya Tess. "Halo, Sayang," Tess berbisik terlalu keras di telinganya, membuat Kasey terlonjak dari tempat duduknya.
Mata Kasey terbuka paksa karena terkejut, dan dia terbatuk kecil sebelum mendapatkan keseimbangannya kembali. Tess, sementara itu, sibuk menyeringai padanya dengan tangan terlipat di depan dada. "Aku membencimu," erang Kasey, dia sangat benci dibangunkan dengan cara seperti itu. Dia menyukai momen saat dia tertidur tiba-tiba, terlebih karena semalam dia tidak bisa tidur.
"Berani taruhan kau sangat membenciku," kata Tess, duduk di samping kursinya dan menunggu sampai Kasey juga duduk dengan sempurna. "Jadi, ceritakan padaku tentang semalam."
"Tentang apa?"
"Jian," kata Tess tanpa basa-basi. "Ceritakan tentang wajahnya yang tampan."
"Maksudmu wajah galaknya, kurasa." Kasey mencibir, memutar bola matanya sementara kilas balik semalam kembali berputar dalam benaknya. Dia masih sangat kesal ketika mengingat betapa memalukan dirinya harus memanggil laki-laki itu dengan sebutan Sir, Mr. Li atau menunjukkan rasa hormatnya kepada laki-laki yang sama sekali tidak pantas menerimanya. "Dia tidak banyak bicara."
"Tipikal Jian."
"Dan aku memanggilnya Sir atau Mr. Li. Dan dia tidak melarangku untuk melakukannya."
Tess melepaskan tawa yang begitu keras, lalu meredamnya ketika dia mendapati semua orang menatap mereka. "Sir? Wow. Dia bahkan hanya dua tahun lebih tua."
"Aku tahu," Kasey berbisik. "Tapi itu terlontar begitu saja dari lidahku dan dia tidak pernah mengoreksinya. Apa yang kau harapkan padaku? Aku tidak bisa langsung memanggilnya Jian saja."
"Apa dia benar-benar segalak itu?"
"Kau tidak akan bisa membayangkannya, Tess. Dia adalah batu berjalan. Dia hampir tidak pernah tersenyum, atau bereaksi, dan kalimat terpanjang yang dikatakannya kepadaku kemarin hanyalah, aku mengenalmu. Aku bahkan tidak tahu harus mengatakan apa."
"Tapi dia mengenalmu," kata Tess menggaris bawahi fakta itu, mengabaikan tatapan membunuh sahabatnya. "Oke, dia benar-benar brengsek tapi bagaimana dengan anaknya? Apakah dia membuatmu lelah?"
"Tidak, dia sangat luar biasa. Carl membuatku sangat senang untuk terus berada di dekatnya. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk tidak lagi memusingkan Jian—selain itu, aku juga akan jarang bertemu dengannya sehingga sesungguhnya dia bukanlah masalah." Kasey benar-benar tidak menganggap Jian Li sebagai gangguan, tetapi jika saja laki-laki itu orang yang baik, semuanya akan menjadi lebih sempurna.
"Apakah kau memberi tahu Henry? Apa pendapatnya?" Kasey tidak berbicara dengannya sejak semalam. Dia tahu ucapan permintaan maafnya tidak akan menghasilkan apa pun, jadi dia akan berusaha membuat permintaan maaf dalam bentuk lain, sebuah kejutan—makan malam, mungkin. Dia sungguh-sungguh mencintai Henry, tetapi terkadang dia berpikir mereka berdua terlalu berbeda dan hubungan ini pada akhirnya akan menabrak gunung es jika dia tidak membujuknya. Seiring dengan berjalannya waktu, dia mulai bosan menjadi orang yang terus berusaha membuat hubungan mereka berhasil. Terkadang dia mempertanyakan apakah hanya cinta saja cukup atau apakah Henry benar-benar mencintainya.
Melihat ke arah bukunya, dia bergumam, "Aku tidak memberitahunya."
"Apakah semuanya baik-baik saja?" Tess bertanya dengan lembut, dan Kasey dapat merasakan Tess tengah berusaha sebaik mungkin untuk menahan dirinya dari mengatakan sesuatu yang akan terdengar kasar seperti biasanya kepadanya. Dia mungkin juga merasakan ada sesuatu yang salah.
"Aku lelah," Kasey mengakui, memiringkan kepalanya. "Tapi aku juga mencintainya. Aku tidak tahu... aku hanya... aku tidak merasakan semua ini seperti dulu." Alih-alih mengatakan sesuatu kepadanya, Tess bersandar pada tangannya. Kasey menatap bukunya lagi, kali ini, logikanya menuntutnya untuk belajar serius atau dia akan gagal ujian. "Ayo belajar."
Menyunggingkan sebuah senyuman kepadanya, Tess juga membuka bukunya, dan mereka mulai mengulang beberapa materi lagi.
Kasey tidak pernah berharap akan menemukan Henry sedang menungguinya di dalam mobil ketika dia hendak pulang. Sepanjang hari, dia terus memeriksa ponselnya dan menanti pesan apa pun, meskipun dia mengatakan pada dirinya sendiri untuk tetap bersabar, dia tidak bisa menahan dirinya untuk merasa sangat senang saat melihat kekasihnya itu di sana sebelum dia menjadi gila dan pada akhirnya mengiriminya pesan terlebih dulu. Mencengkeram tasnya lebih erat, dia melangkah lebih cepat dan menarik pintu penumpang terbuka. "Hei," sapanya ketika Kasey duduk di kursi dan menatapnya. Wajahnya baru dicukur, dan yang Kasey paling lakukan saat ini adalah menciumnya, tetapi dia tetap berusaha menahan diri sampai pria itu benar-benar meminta maaf.
"Hai," gumamnya, ada sedikit pengharapan dalam nada suaranya, yang tidak berusaha dia sembunyikan. Kasey sungguh bertanya-tanya tentang alasan yang membuat Henry ada di sini, jika bukan karena ingin meminta maaf.
"Kupikir akan lebih baik jika berbicara secara langsung," dia memulai. Kasey hanya diam menunggu; dia tidak ingin menjadi yang pertama menginisiasi. Dia menahan napas tangan Henry meraih tangannya. "Maafkan aku." Ini adalah kata-kata yang jarang gadis itu dengar keluar dari bibir kekasihnya. Jadi tanpa bisa ditahan, Kasey mendekat untuk mencium bibir laki-laki itu, tetapi sebelum bibir mereka bertemu, Henry menahan dagunya. "Tunggu," katanya.
Dia mengerutkan keningnya. "Kenapa?"
"Biarkan aku melakukannya dengan benar. Aku tidak sering melakukan ini." Kasey terkekeh di bibirnya sebelum kembali memberi jarak dan menatap tepat bola mata Henry. "Aku seharusnya tidak marah padamu dan mendengarkanmu. Aku tahu kau tidak sengaja melupakanku, dan kita selalu bisa pergi berkencan di lain waktu. Hanya saja aku sangat merindukanmu dan kita harus menebusnya ketika kau memiliki waktu luang."
Dia sangat pengertian, pikir Kasey, hatinya menenggelamkan dinding penghalang yang tercipta sebelumnya.
"Sekarang, kau dapat menciumku." Dan Kasey segera melakukannya.
Setelah beberapa menit menghabiskan waktu untuk saling menebus kesalahan satu sama lain, laki-laki itu membawa Kasey ke restoran favoritnya. Henry menceritakan tentang kesibukan di kantornya, lalu mereka juga berbincang tentang studi dan pekerjaan baru Kasey. Gadis itu tidak memberitahu Henry tentang Jian, Kasey hanya mengatakan kepadanya bahwa anak itu memiliki dua orang tua walau dia tidak sepenuhnya yakin; bagaimanapun kebenarannya, akan jauh lebih baik jika Henry berpikir begitu.
Setelah makan malam, Henry mengantarnya ke rumah Jian. "Telepon aku ketika kau perlu tumpangan untuk pulang," kata Henry sebelum Kasey keluar dari mobilnya. Menariknya ke dalam ciuman sekali lagi, Kasey akhirnya berhasil meninggalkan kekasihnya dan berjalan ke rumah Jian. Dalam hati dia sungguh berharap akan bertemu dengan Mrs. Dawry dan bukannya Jian; tetapi senyumannya seketika memudar ketika sosok Jian menyapanya dengan ekspresi wajah sekokoh batu.
Dia masuk ke dalam rumah, mengabaikan tatapan Jian pada dirinya dan terus mengayunkan kakinya menuju ruang tamu untuk melepas mantelnya dan menjatuhkan tasnya di sofa. Dia menghela napas, tetapi spontan diam membeku ketika Jian mendekat ke arahnya. "Aku akan mandi," katanya dengan nada datar dan menghilang ke bagian lain rumah. Beberapa detik kemudian, barulah Kasey mendengar suara pintu tertutup.
"Brengsek," gumamnya sambil berjalan menuju kamar laki-laki itu, tempat Carl saat ini tidur, dia harus memeriksa keadaannya. Rupanya mata Carl sudah terbuka, dan anak itu tengah menatap sekelilingnya. Ketika dia melihat Kasey, dia mulai tertawa. Kasey tertawa kecil juga, sulit sekali mengendalikan tawanya. Memeluk tubuh mungil Carl dari sisi tempat tidur, dia bertanya, "Bagaimana kabarmu, Sayang?" kekehan kecil adalah jawaban yang bocah itu berikan. Selain itu, bocah kecil itu tampaknya benar-benar tertarik bermain-main dengan rambut ikal Kasey. "Oh, kau menyukai gadis berambut ikal," Kasey berseru sambil tertawa lagi.
"Goo," gumam Carl, tangannya mengepal di mulut.
"Kau lapar, bocah kecil?"
Dengan Carl di lengannya, dia berjalan keluar dari kamar. Setelah menutup pintu dan saat hendak berbalik, Kasey malah menabrak sesuatu yang keras. Dia dengan hati-hati mengangkat wajahnya dan mendapati pemandangan dada telanjang, datar dan keras, kepalanya mendadak kosong, sampai akhirnya dia bertatap muka dengan Jian yang setengah telanjang, hanya mengenakan handuk yang melingkari pinggangnya. "Aku—aku..."
"Perhatikan langkahmu," katanya datar, ekspresi wajahnya tidak sedikit pun goyah. Kasey terkejut akan fakta bahwa laki-laki itu bisa begitu stabil menjaga kesabarannya, dia begitu tenang namun di saat yang bersamaan bisa sangat menyebalkan. Kemudian, mata Jian berkedip pada putranya. "你好吗我儿子?" ini adalah kali pertama Jian berbicara dalam bahasa Mandarin di depan Kasey dan hal pertama yang melintas di kepala gadis itu adalah bahwa bahasa yang baru saja diucapkan Jian sangatlah berbeda tetapi sungguh bersesuaian dengan lidahnya. Dia membungkuk untuk mencium kening Carl, membelai kepala bocah itu dengan amat perlahan, dan matanya lantas menyorot lembut wajah putranya.
Kepada Carl, Jian benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Kasey tidak bisa mempercayai matanya ketika dia bahkan melihat laki-laki itu tersenyum kepada putra mungilnya. Ketika Jian mengangkat pandangannya kembali padanya, ledakan terang pemahaman tanpa kata menyadarkannya. Dia sedang berdiri di kamar Jian, dan juga memeluk putra laki-laki itu, sementara itu Jian hampir telanjang—dan dia dengan tidak sopan sudah melihat sekilas tubuh kekar laki-laki itu. Tetapi bukan itu inti masalahnya, kan?
"Kau yang menabrakku, Sir," katanya datar.
Jian mendengus, mengusap rambutnya yang basah, dan Kasey memilih menunduk agar tidak perlu bersitatap dengannya lagi. Kemudian, sebelum laki-laki bisa membalasnya, Kasey bergerak melewatinya sambil membawa Carl ke dapur. Dia tidak berencana untuk menghabiskan waktunya—dengan melamuni dada telanjang majikannya sepanjang hari. Mendudukkan Carl di kursi tinggi khusus bayi, dia menarik lengan bajunya untuk menyiapkan makan malam untuk bocah itu.
"Perhatikan langkahmu," dia menirukan ucapan Jian diam-diam. "Kau sendiri berkeliaran setengah telanjang dan malah menyuruhku untuk memperhatikan langkahku."
"Apa kau mengatakan sesuatu?" Jian muncul tiba-tiba di pintu, menatap gadis itu dengan waspada.
"Tidak."
"Bagus." Karena gadis itu tidak melirik ke arahnya, Jian berjalan ke arah Kasey, dalam diam dia mengawasi gadis itu memotong bahan makanan untuk makan malam Carl. Kasey dapat merasakan tatapan Jian kepada dirinya dan itu membuatnya sangat gugup. Kenapa Jian terus mengawasinya? Bicaralah. "Aku akan pergi," katanya setelah beberapa saat, seolah dia dapat mendengar doanya.
"Bagus."
"Tulis daftar belanjaan dan tempelkan pada magnet di kulkas. Aku akan membelinya nanti. Kau dapat menuliskan semua kebutuhan Carl ... dan juga yang kau butuhkan." Walau Kasey tidak memandangnya, dia dapat mengetahui dari nada suaranya bahwa laki-laki itu sedang berusaha bersikap baik. Pemikiran itu membuat senyum miring terbit di sudut bibirnya. Dia agak suka melihat Jian kesulitan dalam usahanya berkomunikasi dengan ramah—karena dia tidak terbiasa melakukan hal-hal semacam itu.
"Keinginanmu adalah perintah bagiku untuk mewujudkannya, Mr. Li," balasnya, menjatuhkan pisau dan bersandar di meja, dia berbalik untuk menghadap ke arah Jian. "Semoga harimu menyenangkan."
Jian hanya menatap tepat ke arah mata Kasey, menganalisis kata-kata dan ekspresi wajah gadis itu sebelum dia mencium putranya sekali lagi dan berlalu pergi. Ketika Kasey kembali menyiapkan makan malam, dia tersenyum.
Jian Li adalah makhluk paling brengsek yang pernah ada, tetapi Kasey begitu ingin mencari tahu alasannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top