Chapter 9

Anjani sedang mengganti pakaian kerjanya dengan setelan kaos oblong berwarna abu-abu juga jogger pant yang berkaret dibagian pinggangnya. Memasukan kemeja dan celemek yang digunakan untuk bekerja ke dalam loker yang tersedia di ruang ganti.

Anjani baru selesai bekerja. Lelah sekali, hari ini cafe sangat ramai sehingga dia harus bekerja dengan lebih gesit dari biasanya.

"Pulang sekarang?" sapa Roy, manager cafe ini.

"Iya pak," jawabnya.

"Apaan sih pake panggil pak segala, kan udah selesai kerjanya," ucap Roy yang agak sebal dengan panggilan pak yang kerap kali dia terima dari bawahannya.

"Kamu kan atasan aku Roy, udah seharusnya aku panggil pak,"

"Kayak ke siapa aja panggil pak, berasa tua tahu ... mau pulang bareng, kebetulan kerjaanku udah selesai," tawar Roy pada Anjani.

"Nggak usahlah, kita kan beda arah. Aku duluan ya, udah malem. Bye," Anjani pun segera beranjak dari sana.

Roy adalah temannya semasa SMA dulu. Sebenarnya sudah sejak SMA Roy menyukai Anjani. Namun tak pernah mengungkapkannya karena malu, juga dulu Anjani seorang wanita yang sangat pendiam. Susah untuk di dekati.

Tangannya baru saja akan bergerak membuka pintu kaca cafe ketika dering telepon mengagetkannya. Dilihatnya id caller dari sang penelepon. Alisnya berkerut, ada apa menelepon malam-malam begini?

"Hallo," Anjani menjawab dengan ragu. Kemudian mengeryitkan ledua alisnya seketika mendengar ucapan si penelepon.

Tanpa banyak berpikir, Anjani segera berjalan dengan cepat namun menjaga agar tetap hati-hati.

Kenapa dia? Suara rintihannya seakan menahan sakit. Semoga tidak ada apa-apa. Batinnya sambil menekan tombol lift di angka lima menuju kamar apartemen nomor 136.

Tanpa basa basi lagi, Anjani membuka pintu kamar itu yang ternyata tidak terkunci. Masuk ke dalam, terlihat sepi. Sekilas dia memperhatikan ruang tamu di apartemen itu. Perabotannya terlihat mewah. Pasti mahal. Banyak pajangan antik juga guci-guci kristal yang indah.

Tapi dia segera ingat tujuannya kemari bukan untuk mengagumi interior ruangan ini. Anjani melanjutkan langkahnya memasuki ruangan yang ternyata adalah kamar. Namun berbanding terbalik dengan ruang tamu yang baru saja dilihatnya, yang tampak mewah dan rapi. Kamar ini begitu acak-acakan. Seprai yang berhambur ke lantai. Benda-benda yang sudah tidak pada tempatnya lagi. Ruangan itu terlihat sangat kacau.

Anjani melangkah semakin ke dalam, dan betapa kagetnya dia melihat seseorang yang tergeletak di lantai dekat ranjang. Matanya terpejam, tapi bibirnya bergerak-gerak berbisik meminta tolong.

"Dania ... Dania," Anjani mengguncang tubuh lemah Dania. Berhasil, matanya terbuka dan langsung menangis ketika bersitatap dengan Anjani.

"Tolong ... tolong aku, Jani," ucapnya lemah.

"Kamu kenapa?" Anjani mencoba membangunkan Dania, lalu kekagetan kembali melandanya ketika melihat darah yang menempel di kaki Dania. Dengan sigap Anjani menelepon ambulans.

"Tolong aku, Jani. Selamatkan anakku ... tolong," Dania terisak.

"Ya, kamu sabar. Ambulans sedang dalam perjalanan, stttt ... nggak apa-apa, semuanya pasti baik-baik aja," ucap Anjani mencoba menenangkan Dania yang terus menangis.

Anjani pun sebenarnya tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Dia hanya bisa mencoba menenangkan Dania. Dan berharap semoga kondisi Dania dan janinnya baik-baik saja.

~°°°~

Anjani menunggu dengan tegang di luar ruang periksa dokter. Untungnya Dokter Charlene masih berjaga di rumah sakit jadi bisa langsung ditangani olehnya.

"Dokter, gimana keadaan Dania?" tanya Anjani begitu melihat Charlene keluar dari ruang periksa.

"Janinnya baik-baik saja, sekarang Dania sedang tidur. Hanya saja Dania harus bed rest selama seminggu untuk memulihkan kondisinya. Besok saya akan memeriksa ulang keadaannya untuk memastikan pendarahannya sudah berhenti atau belum," jelas Charlene mengenai keadaan Dania.

"Baik, Dokter," jawab Anjani.

"Kalau begitu saya permisi, kamu juga harus istirahat,"

"Iya Dok, terima kasih,"

Anjani masuk ke ruangan perawatan. Terlihat Dania yang sedang tertidur. Anjani tak habis pikir, apa yang terjadi pada Dania hingga membuatnya babak belur seperti itu? Siapa yang tega berbuat begitu? Bukannya hari ini suaminya pulang dari perjalanan bisnis?

Anjani duduk di sofa mini diruangan itu, mencoba untuk beristirahat. Anjani tak bisa pulang, dia khawatir dengan keadaan Dania. Sebisa mungkin dia memejamkan matanya. Badannya sudah lelah setelah seharian bekerja.

Baru saja matanya terpejam hendak tertidur, Dania bangun dengan berteriak histeris.

"Nggak mas ... jangan!!" teriaknya.

Anjani menghampiri Dania dan segera memeluknya untuk menenangkan Dania.

"Ini aku, Dania ... tenanglah," ucap Anjani.

Dania pun berangsur tenang. Napasnya masih memburu seperti habis berlari.

"Anjani," ucap Dania setelah tenang, lalu melihat sekeliling. "Dimana?"

"Rumah sakit," jawab Anjani. Dania ingat, dia menghubungi Anjani tadi dan ternyata Anjani memang datang, menolongnya. "Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?" tanya Anjani perlahan. Bukannya menjawab Dania malah menangis. Anjani memeluk tubuh Dania yang bergetar karena tangis. Sambil sesekali mengusap punggung Dania. "Lebih baik sekarang, istirahatlah. Kalau kamu nggak mau cerita nggak apa-apa, tapi ingat kamu nggak boleh stres untuk menjaga kandungan kamu. Tenangkanlah dirimu lalu tidurlah," Dania mengangguk menanggapi ucapan Anjani. Dia pun berbaring perlahan dibantu oleh Anjani. Dania memejamkan matanya masih menyisakan isak tangis.

~°°°~

Keesokan paginya, Dania terbangun oleh sinar matahari pagi yang masuk ke ruangan melalui jendela. Dia menatap berkeliling, dilihatnya Anjani yang tidur meringkuk di sofa kecil.

"Anjani," panggilnya pelan. Anjani terbangun lalu menghampiri Dania dengan wajah cemas.

"Ada apa? Apa ada yang sakit?" pertanyaan Anjani membuat Dania terharu. Dania menggelengkan kepalanya.

"Nggak ada, terima kasih kamu udah nolong aku," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Nggak usah sungkan, udah seharusnya aku nolong orang yang membutuhkan,"

Dania mencoba bangkit dari tidurnya, lalu mengerang merasakan sakit dibagian perutnya.

"Jangan bangun dulu. Dokter bilang kamu harus bed rest selama seminggu," Anjani menatap Dania dengan ragu. Ragu untuk bertanya tentang apa yang telah terjadi.

"Semalam kamu tidur disini?" tanya Dania. Anjani hanya mengangguk. "Apa suamimu nggak marah kamu diam disini menemaniku?" lanjut Dania. Anjani menghela napas, pertanyaan itu sangat menyentaknya.

"Nggak apa-apa," jawabnya singkat. Anjani tersenyum getir. Seandainya ada seseorang yang akan mengkhawatirkanku.

"Selamat pagi," seorang perawat masuk membawakan sarapan untuk Dania berupa bubur ayam. "Selamat makan," ucap perawat itu lalu beranjak keluar.

"Ayo sarapan dulu," ucap Anjani membantu Dania bangkit dan bersandar pada kepala ranjang. Dania mengambil mangkok yang di sodorkan Anjani padanya sedikit mengeryit. "Aku tahu makanan rumah sakit memang nggak terlalu enak tapi kamu harus tetap makan," lanjutnya.

"Dan saya jamin makanan disini nggak sehambar di rumah sakit lain," ucap Dokter Charlene yang tiba-tiba masuk mengagetkan kedua wanita itu. "Pagi, bagaimana keadaanmu?" tanyanya pada Dania.

"Pagi, Dok. Perut saya masih sakit, tapi apa akan baik-baik aja?"

"Rasa sakit pada perut bawah akan hilang seiring kondisi kamu yang membaik nantinya, maka dari itu kamu harus istirahat total," jelas Charlene. Lalu memeriksa Dania. "Kondisinya stabil, semua baik-baik saja. Pendarahan pun sudah berhenti," jelas Dokter Charlene di akhir pemeriksaannya.

"Nah, habiskan sarapannya lalu minum obatnya agar cepat kembali pulih. Saya permisi," Charlene pergi dari kamar Dania.

"Baik, Dok," ucap Dania patuh.

Dania menyendokkan bubur itu dengan perlahan lalu menyuapkannya ke dalam mulut. Lalu ...

"Hmmm ... enak," gumamnya, Anjani hanya tersenyum melihat Dania yang lahap memakan bubur.

"Baiklah kalau begitu, aku permisi. Mau pulang dulu. Nanti aku pasti datang lagi agak sore," ucap Anjani.

"Jani, terima kasih. Maaf merepotkan,"

"Nggak apa-apa, udah aku bilang jangan sungkan," ucap Anjani sambil tersenyum, senyum yang tulus. Baru sekali ini Dania melihat Anjani tersenyum seperti itu. Selama mereka kenal, Anjani tidak pernah memperlihatkan senyum itu. Dia sangat cantik, pikir Dania.

~°°°~

Seharian dirumah sakit sangat membosankan. Apalagi dia hanya diam berbaring di atas ranjang. Dania melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah hampir jam tiga sore.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Setelah keluar dari rumah sakit ini aku nggak mungkin kembali ke apartemen. Mas Surya pasti akan menyiksaku lagi. Kembali ke Malang pun nggak mungkin, Ibu pasti kaget melihat keadaanku yang seperti ini. Aku harus pergi kemana?

Ditengah lamunannya itu, datanglah seseorang yang langsung masuk begitu saja tanpa permisi. Seorang wanita dengan usia sekitar tiga puluhan tahun, duduk di atas kursi roda yang di dorong seorang lelaki yang menggunakan jas hitam. Wajah aristokratnya menggambarkan kalau wanita ini adalah wanita yang berpendirian tegas. Wanita ini pasti orang kaya, terlihat dari gaun hitam yang dipakainya juga perhiasan serba berlian yang menempel indah di lehernya. Siapa wanita ini?

"Saya Marina," ucap wanita itu seakan tahu apa yang dipikirkan Dania.

"Marina?" Dania terbelalak mendengar nama wanita dihdapannya itu.

"Kita belum pernah bertemu, tapi saya yakin kamu pernah mendengar nama saya," ucapnya dengan nada tegas. "Saya tahu siapa kamu. Saya sudah menyelidiki dari awal, dimulai saat kamu menyepakati perjanjian dengan Surya. Hingga kondisi kamu saat ini," jelas Marina, Dania hanya bisa diam menganga. Ternyata dari awal Marina sudah tahu tentangku. Terdengar helaan napas dari Marina sebelum dia mulai berbicara lagi. "Saya salut dengan kamu yang berhasil bertahan sejauh ini," Dania tidak mengerti ucapan Marina. "Apa Surya berlaku kasar padamu?"

"Maksud Anda?" tanya Dania dengan alis berkerut, bingung akan kata 'kasar' yang Marina maksud.

"Surya memang bukan tipe pria yang lembut, dia cenderung kasar saat berhubungan intim. Dan kamu satu-satunya wanita yang tahan dengan sifatnya yang kasar," Marina berkata dengan tenang, tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. "Kebanyakan wanita lain akan lari setelah tahu sifatnya dibalik wajah tampan yang terlihat alim itu. Tapi kamu bertahan setelah lebih dari dua tahun menjadi pemuas nafsu Surya. Yang kalian jalani di atas kontrak senilai seratus juga, bukan begitu?" Dania makin membelalakan matanya mendengar penjelasan yang dipaparkan Marina.

"Awalnya saya memutuskan untuk diam saja, pura-pura tidak tahu apa yang Surya lakukan dibelakang saya. Namun setelah tahu keadaan kamu yang seperti ini saya berubah pikiran ... saya akan menolong kamu dan anak yang kamu kandung," bagai hujan di gurun pasir, perkataan Marina membuatnya lega seketika.

"Dengan syarat," lanjut Marina, rasa leganya ternyata tak berlangsung lama.

"Syarat apa?" Dania berubah gusar dengan menanti lanjutan kata-kata Marina.

"Setelah anak itu lahir, jauhi Surya. Jangan pernah datang lagi padanya," syarat yang mudah karena aku juga nggak mau berhubungan lagi dengan Surya.

"Juga ... " masih ada lagi? tanya Dania dalam hati. "Serahkan anak itu dan kamu boleh pergi sejauh mungkin dari sini. Aku akan memberikan apa pun yang kamu minta sebagai imbalannya," ucap Marina dengan angkuhnya. Apa? Seenaknya sekali dia berkata seperti itu.

"Maaf nyonya, sampai kapanpun saya tidak akan menyerahkan anak ini kepada Anda atau kepada siapapun. Kalau Anda meminta saya untuk meninggalkan Surya, dengan senang hati saya akan pergi. Tapi tidak dengan anak ini," ucap Dania dengan nada agak naik karena emosi. Dirinya merasa terhina dengan ucapan Marina.

"Masih ada waktu sampai kamu berubah pikiran," Marina pergi dengan pengawal yang mendorong kursi rodanya keluar dari ruangan Dania. Meninggalkan Dania yang gusar memikirkan nasibnya kelak.

"Dania," Dania tersentak kaget dari pikirannya, mendengar suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya.

"Anjani, bikin kaget aja," ucap Dania sambil mengurut dada.

"Maaf, aku nggak sengaja mendengar pembicaraan kamu sama wanita tadi," Anjani berjalan mendekati Dania dan duduk di sampingnya.

"Siapa dia? Ada apa sebenarnya Dania?" Dania diam saja, dia menunduk malu. Malu akan keadaan dirinya yang tidak diketahui orang lain. Anjani menggenggam tangan Dania meyakinkan. "Kamu bisa cerita semuanya sama aku ... kita teman bukan?" Dania menatap Anjani. Teman? Sudah lama sekali sejak dia memiliki teman. Tempat berbagi suka dan duka. Tempat dimana bisa mencurahkan semua isi hati. Tempat saat kita butuh penopang untuk bersandar.

Begitu pun Anjani, dirinya pun kaget saat mengucapkan kata 'teman'. Pasalnya sangat sedikit orang yang bisa berteman dengannya. Dan saat ini, apa dirinya sungguh-sungguh menganggap Dania sebagai temannya? Kenapa tidak, mereka berdua sama-sama wanita yang tersesat di dunia fana. Sama-sama wanita yang dibutakan oleh cinta yang tidak akan pernah bisa tercapai.

"Aku malu buat menceritakan hidupku," Dania berhenti sejenak, menguatkan dirinya untuk bercerita. "Aku ini cuma istri simpanan dari seorang pengusaha kaya. Dan wanita tadi adalah istri sahnya. Kami menikah kontrak selama dua tahun dengan imbalan uang seratus juta ... Saat itu tanpa pikir panjang aku menerima kontrak yang Surya tawarkan, belum lagi segala kemewahan yang dia janjikan makin membuatku terlena ... aku nggak peduli dengan perkataan orang tentangku, yang penting aku bisa hidup senang bergelimang harta," Dania menghela napas. Anjani mendengarkan dalam diam.

"Ini bukan kehamilanku yang pertama, setahun lalu aku pernah hamil, namun Surya berhasil membujukku untuk menggugurkan kandunganku yang saat itu baru berusia empat minggu," air mata meleleh di pipi Dania. "Aku mencoba bertahan dengan sifat kasar Surya. Dia nggak pernah memperlakukanku dengan lembut saat kami berhubungan. Selalu ada tamparan yang mendarat di tubuhku," Anjani mengeryit membayangkan perlakuan Surya.

"Kenapa kamu nggak berhenti?" tanya Anjani, dia pun tidak kuat menahan air yang merembes dari matanya.

"Entahlah, aku juga nggak ngerti. Kenapa aku nggak berhenti setelah tahu sifatnya yang kasar? Saat kami bersama dia bisa berubah menjadi Surya yang baik, yang bisa berbuat romantis dan sangat perhatian padaku. Tapi berubah kasar saat kami di ranjang. Mungkin aku udah jatuh cinta sama kepribadian Surya yang hangat. Maka dari itu aku mencoba bertahan sekuat tenaga, tapi ternyata aku nggak sekuat itu ..." Dania mulai menangis tersedu. Anjani memeluknya sambil menangis juga. "Aku tahu, rasa cintaku ini salah. Nggak seharusnya aku mencintai orang seperti Surya yang hanya bisa menyakitiku,"

"Nggak ada yang salah sama yang namanya cinta. Cinta memang nggak punya logika. Cinta memang nggak pernah memilih orang untuk berlabuh. Cinta juga kadang nggak seindah yang kita bayangkan. Tapi tanpa cinta kita nggak bisa hidup. Mungkin cinta kamu sama Surya nggak pernah terbalas tapi masih ada makhluk kecil yang harus kamu jaga dan kamu cintai sepenuh hati," ucap Anjani.

Perkataannya itu seperti berbalik pada dirinya sendiri. Cintanya yang tak akan pernah sampai pada Rangga, namun masih ada makhluk kecil yang tumbuh di rahimnya sebagai pengganti Rangga. Malaikat kecilnya. Penyemangat dirinya. Penguat hidupnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top