chapter 7
"Yang, aku bingung mau ganti cat warna apa, ya?" ucap Syara yang sibuk membolak-balik katalog warna cat dinding dengan posisi tiduran di paha Gary.
Syara ingin mengganti cat kamar yang tidak terpakai di apartemen mereka untuk calon anaknya nanti.
"Tinggal pilih aja mana yang kamu suka," ucap Gary menanggapi.
"Aku suka warna baby pink ini," ucap Syara menunjuk warna yang disukainya. "Pasti bakal cocok kalau di padu sama warna ungu, iya kan Yang?" lanjutnya.
"Bagus juga, tapi kan warna pink buat anak perempuan. Kita kan belum tahu si Junior ini lelaki atau perempuan,"
"Iya juga ya Yang, jadi gimana dong? Aku bingung nih," Syara semakin bingung membolak-balikan katalog. "Yang, ngapain sih? Kok kayanya sibuk banget sama ponsel. Ketik-ketik terus dari tadi," protes Syara yang melihat Gary hanya terfokus pada ponselnya. Gary segera mematikan ponselnya, menyimpannya di meja dekat sofa.
"Ini, si Yana. Nanya soal kerjaan," jawab Gary sambil mengelus perut Syara yang sudah agak buncit.
"Yana lagi," ucap Syara kesal. "Kenapa si Yana itu selalu aja gangguin kamu Yang. Kalau masalah kerjaan kan bisa nanti di kantor," lanjutnya dengan bibir agak maju ke depan.
"Kita lagi ada proyek dengan tender yang lumayan besar, makanya kita nggak boleh sembarangan bertindak. Dan Yana itu partner aku di proyek ini, wajar dong kalau Yana sering menghubungiku," jelas Gary sambil tersenyum tenang.
"Tapi kan, ini di rumah masa masih harus bawa-bawa soal kerjaan. Hari libur pun kamu pasti keluar sama Yana, jadi curiga. Yana itu ... laki-laki kan?" Syara menyipitkan matanya bertanya penuh selidik pada Gary. Sontak Gary tertawa terbahak mendengar ucapan Syara.
"Laki-laki dong Sayang, emangnya kamu pikir Yana itu perempuan? Kamu juga kan pernah ketemu,"
"Iya sih, tapi aku pernah nggak sengaja baca chattingan kalian, kamu panggil dia Yank' terus dia juga balas pesan kamu pakai emoticon hati,"
"Ohh, aku salah ketik mungkin. Kalau dia sih emang suka gitu, tiap chatting suka pakai emoticon yang aneh-aneh, becanda doang," ucap Gary. Gary melihat Syara yang masih nampak kebingungan. Dengan perlahan Gary membangunkan Syara dari posisi tidurnya, mendudukannya. Gary mendekatkan wajahnya, mencium istrinya dengan mesra. Syara hanyut dalam kemesraan suaminya itu, mendesah nikmat akan sentuhan Gary dibibirnya. Tak lama Gary lalu membopong Syara ke dalam kamar, membaringkan Syara perlahan kemudian disusul olehnya. Dan malam ini mereka habiskan dengan saling bercumbu. Menikmati tubuh satu sama lain.
~°°°~
Syara terbangun saat menjelang subuh, masih dalam keadaan telanjang dengan Gary yang telungkup di sebelahnya. Setelah percintaan mereka semalam, keduanya langsung tertidur.
Percintaan yang panas hingga Syara mencapai puncak sampai tiga kali. Namun, Gary hanya memberikan stimulasi, sentuhan juga kecupan panas di seluruh tubuh Syara tanpa adanya penetrasi yang seharusnya mereka lakukan, seperti layaknya hubungan suami istri pada umumnya. Syara memang terpuaskan, tapi bukan dengan cara yang dia ingin.
Hampir tujuh bulan mereka menikah, dan bisa dihitung berapa kali Gary memberinya kepuasaan dengan penyatuan dirinya dengan Gary. Selebihnya, Gary hanya melakukannya dengan sentuhan-sentuhan dan ciuman panas pada Syara. Gary memang romantis, perhatiannya memang selalu tercurah untuk Syara. Namun Syara mengharapkan kehidupan mereka seperti layaknya pernikahan lain yang memberi kepuasaan satu sama lain melalui proses hubungan suami istri pada umunya, bukan hanya sekedar memberinya ciuman panas atau sentuhan saja.
Apalagi semenjak Syara hamil, kegiatan itu menjadi semakin jarang. Dengan alasan, Gary takut menyakiti janin dalam kandungan Syara jika mereka melakukannya. Mau tak mau Syara menerima alasan Gary yang tidak ingin janinnya tersakiti dengan perasaan mengganjal.
~°°°~
Syara memasukan beberapa lembar pakaian ke dalam tas berukuran sedang. Tak lupa alat perang -make up- dimasukan juga. Dia berencana akan menginap dirumah orangtuanya selama tiga hari, tanpa Gary karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
"Kamu hati-hati nanti dirumah Mama, ya. Jangan terlalu cape, jangan ngelakuin pekerjaan rumah apapun, jangan naik turun tangga terus. Banyak istirahat," ucap Gary memberi wejangan pada Syara. "Susunya udah dimasukin ke tas belum? Obatnya? Vitamin?" lanjut Gary sambil ikut mengecek isi tas Syara.
"Udah semua, Sayang," jawab Syara dengan enggan. Gary selalu mencerewetinya seperti itu, karena seperti itulah bentuk perhatian Gary pada Syara. Syara senang akan perhatian suaminya itu, tapi Syara bosan mendengar segala wejangan yang dilontarkan Gary untuknya. Dari pagi tadi, entah sudah berapa kali Gary mengucapkan segala larangan pada Syara.
"Nggak perlu tambahan baju? Kamu kan cepat gerah terus dirumah Mama nggak ada AC, kalaubaju kamu abis, gimana? Bawa lagi aja ya," Gary bangkit dari duduknya hendak mengambilkan beberapa potong pakaian lagi untuk Syara.
"Nggak usah sayang, aku kan cuma tiga hari disana, baju segini juga udah cukup kok, lagian kan ada Fara. Aku bisa pinjam bajunya kalau bajuku habis," ucap Syara sedikit kesal. Terkadang perhatian Gary dirasa berlebihan untuknya, selalu memperlakukannya seperti anak kecil yang harus di ingatkan segala sesuatunya.
"Oke, oke. Jangan manyun gitu dong, nanti babynya juga ikutan manyun," ucap Gary terkikik melihat Syara yang mulai kesal dengan ocehannya. "Udah siap semua, kan? Aku antar ke rumah Mama," Gary menenteng tas pakaian yang akan di bawa oleh Syara.
Sejam lebih mereka habiskan dijalanan, menembus kemacetan kota yang makin padat oleh kendaraan. Sampai di pelataran halaman rumah yang ditumbuhi pepohonan juga bunga-bunga. Tanaman perdu setinggi pinggang menjadi pagar pembatas antara jalanan juga halaman rumah.
Syara berjalan memasuki rumah yang sudah 25 tahun menjadi tempatnya berlindung. Disana sudah ada orangtuanya yang menunggu. Syara segera memeluk mereka bergantian.
"Mama, aku kangen," ucapnya memeluk erat sang ibu lalu mencium pipinya. "Papa," pelukannya berganti ke dalam dekapan tangan yang mulai tua milik sang ayah. Lalu gantian Gary yang menyalami mertuanya dengan hormat.
Gary menuju kamar yang dulu di tempati oleh Syara, menyimpan tasnya di ranjang.
"Aku pasti kangen banget sama kamu nanti,"ucap Gary memeluk Syara dan menciumi tengkuknya dari belakang.
"Makanya, kamu juga nginep aja disini," bujuk Syara.
"Inginnya sih begitu, sayangnya kerjaanku harus selesai secepatnya," Gary berbicara dengan nada menyesal. "Mungkin lain kali, kalau aku bisa lepas dari kerjaanku "
"Hhhh ... " desah Syara. "Ya, udahlah, lagian kerjaan kamu juga kan penting, buat masa depan si junior,"
"Betul, betul, betul," ucap Gary mengikuti logat salah satu film animasi yang tayang di televisi. Keduanya pun tertawa mendengar gurauan Gary. "Aku langsung ke kantor, ya. Jaga diri baik-baik, ingat pesan aku jangan ..."
"Jangan cape, jangan banyak ngelakuin aktifitas, harus banyak istirahat, minum susu dan jangan lupa minum vitaminnya juga," ucap Syara memotong perkataan Gary yang hanya ditimpali dengan senyuman oleh Gary.
"Bagus, aku pergi ya." Gary mengecup bibir istrinya dengan mesra dan di balas oleh Syara tak kalah panasnya membuat keduanya terengah setelahnya. "Nakal," bisik Gary ditelinga Syara.
Gary pun pergi meninggalkan kediaman mertuanya. Sebelum kembali menyetir mobilnya, dia mengirim pesan pada seseorang. Setelah terkirim barulah dia menjalankan mobilnya dengan senyum yang penuh misteri.
~°°°~
Rencana Syara untuk menginap selama tiga hari di rumah orang tuanya terpaksa harus di batalkan, karena mendadak kedua orangtua dan adik kembarnya harus pergi ke Malang untuk menghadiri pesta kerabat ayahnya.
Syara ingin ikut, tapi dengan kondisinya sekarang yang mudah mual dan muntah bila berkendara tidak memungkinnya untuk ikut.
Jadilah, Syara hanya sehari di sana dan pulang sendiri menggunakan taksi.
Sengaja dia tidak memberi tahu Gary karena ingin memberi kejutan. Dan lagi biasanya jam segini Gary masih di kantor. Hari sudah larut saat Syara sampai di gedung apartemen tempat tinggalnya. Dengan menggunakan kunci cadangan dia membuka pintu apartemen. Lampu-lampu diruang itu sudah menyala. Apa Gary sudah pulang? Batin Syara.
Namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Gary disana. Syara berkeliling, melihat dapur. Tidak ada Gary. Lanjut ke kamarnya, tidak ada. Ditengoknya ke kamar mandi, Gary tidak ada juga. Kembali ke luar kamar, berjalan menuju kamar tamu yang terletak di penjuru ruangan.
Syara mendengar suara aneh di dalam sana. Seperti desahan seorang lelaki. Apa itu suara Gary? Apa yang dia lakukan? Pikir Syara.
Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, Syara mencoba mengintip dari celah pintu. Tidak jelas apa yang dia lihat. Namun suara aneh itu makin terdengar. Dan jelas itu adalah suara desahan dengan Gary yang berulang kali berkata 'sayang'.
Jantungnya berdegup dengan kencang. Tidak mungkin suaminya yang amat mencintainya berani selingkuh di belakangnya. Tidak mungkin.
Syara memberanikan dirinya membuka lebih lebar pintu di hadapannya. Dan betapa terkejutnya dia melihat pemandangan yang sangat menjijikan. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat itu juga.
Gary. Suaminya. Yang dia percayai amat sangat mencintai juga menyayanginya. Berselingkuh di belakangnya. Dengan seorang ....
Pria!!
Betapa menjijikannya pemandangan dihadapannya. Gary yang sedang menusuk-nusukan kepunyaannya ke bagian belakang seorang pria yang berulang kali merintih merasakan nikmatnya sodokan Gary dengan mata terpejam. Namun Syara sama sekali tidak berkedip. Dirinya terlalu shock. Dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya kini.
Entah sudah berapa lama Syara berdiri diambang pintu mengamati tingkah laku suaminya dengan hati hancur. Sampai Gary menyadari kehadirannya yang mematung dengan mata terbelalak.
"Syara!!" seru Gary, mencabut dengan kasar kepunyaanya dari pria itu yang dikenalnya sebagai Yana.
Dengan tergesa dia memakai baju ala kadarnya yang tergapai olehnya. Lalu menghampiri Syara yang segera lari dari sana menuju kamarnya. Menguncinya. Dan bersandar di belakang pintu. Air matanya meleleh tak tertahankan.
Hatinya hancur. Begitu tega suaminya yang sangat dia cintai berselingkuh darinya. Betapa tega suaminya mengkhianatinya. Dengan seorang pria.
"Sayang, buka pintunya ... aku mohon, buka. Biar aku jelaskan, Sayang. Please !!" Gary terus menggedor-gedor pintu kamar, meminta Syara mau membukakan pintunya agar dia bisa menjelaskan apa yang terjadi.
"Apa lagi yang mau kamu jelaskan, Gary. Semuanya sudah jelas. Apa yang aku lihat itu sudah cukup menjelaskan apa pun!!" teriak Syara dari dalam sambil terisak.
"Sayang, please. Aku minta maaf, aku khilaf. Maafkan aku!" Gary terus saja meminta maaf sambil memohon agar Syara keluar dari kamarnya dan mau mendengarkannya. "Sayang, aku memang salah. Tapi aku mohon, keluarlah. Biar aku jelaskan semuanya ... Sayang!!"
Tangis Syara makin kencang di dalam sana. Tangis kehancuran. Tangis kepedihan.
Tega kamu Gary, teriaknya dalam hati. Sambil menekan-nekan dadanya yang terasa sesak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top