Bagian 7 || Kematian Margareth Storozhenko

Maret yang ripuh datang melanglang. Cuaca doyan betul beringsang.

"Eh, kenapa tuh dia?" Kak Lara bertanya ketus. Tatapannya terpatok pada sumur tua di sudut kiri halaman belakang rumah (luasnya dua kali halaman depan, tetapi berupa tanah, tanpa rumput terpangkas rapi). Pekarangan belakang ini merangkap pula kebun rambutan mini (pohonnya cuma lima).

"Oh, itu," sahutku, menyeka peluh di dahi. "Tenang sajalah, Kak."

Di pagi merangkak siang ini, aku sedang membabati gulma dengan parang di tepian teras belakang. Di samping sumur kedaluwarsa berlumut yang kakakku maksud, tampak B menungging khidmat, mengais-ngais sebukit pasir bekas material bangunan yang dijadikannya matras, bertudung pohon rambutan rindang. (B, secara harfiah, mudah sekali bermerah jambu kalau kelamaan terpapar surya.)

"Kalau dia pup sembarang lagi?" Kak Lara menyangsikanku. Semakin berisiklah gesekan sapu lidi yang diayukannya pada tanah guna menyingkirkan guguran daun. "Kamu pengin Ayah marah lagi, hah!?"

"Sudahlah, Kak." Kutumpuk ilalang yang tuntas kupotong di satu tempat. "Kucing itu sudah sadar dan paham adab dan etika buang air besar dan kecil dengan baik dan benar," jawabku retorik.

"Kalau kotorannya sampai tercium lagi," disemampaikannya suara, "kakak bakal lapor ke Ayah langsung!"

Kuacungkan sesibir jempol, yang dibalas gerutu infrasonik olehnya.

Lagi pula, apa lagi yang mesti dirisaukan?

Semenjak tragedi nista di teras sore itu, kujaga B dan merawatnya seoptimal mungkin. Skeptis kuteropong dia manakala mempresentasikan manuver-manuver tak seronok sesaat sebelum eksekusi ekskresinya.

Dulu, pengetahuanku zero pada indikasi apa saja yang B pamerkan kala hendak mengejan tinja. Namun, setelah bergabung ke dalam diskusi online PSK! (Pintar Sekali Kucingnya!), sudah lebih dari cukup kiat-kiat penanganan komprehensifnya itu kumengerti. Dan, ternyata tidak serumit mengeja hati kaum hawa.

Seiring hari, B sudah khatam mengaplikasikan beragam tips ampuh pup berperikehewanan. Terampil menimbuni gerombolan feses berwujud pasta atau cair; sedikit bau, bau, atau sangatlah bau; kekuningan, kecokelatan, atau kehitaman; lancar, seret, maupun mandek; secara aman ke dalam gundukan pasir yang telah terverifikasi laik pakai (area-area strategis yang tak menowel kemaslahatan umat). Bahkan tanpa ketersediaan Litter Box sekalipun. Alias, B bisa memilah sendiri boleh tidaknya suatu onggokan pasir dipergunakan. Hebat, bukan?

Kembali ke Kak Lara, wajahnya persisten masam. (Aku luar biasa heran, tumben-tumbennya dia ceriwis begini?) Sebagaimana yang pernah kujabarkan, konklusi ini kucaplok selepas otakku senam aerobik dahulu sebelum mengenkripsikan enigma ekspresinya.

Ya, dari dulu Kak Lara memang demikian, hanya punya satu pose close up saat difoto. Patut diingat, kelempengan romannya ini bukanlah dampak operasi plastik, suntik botoks, tanam benang, apalah. Dia itu duplikatnya Ibu. (Aku sendiri duplikatnya Ayah, yang sayangnya minus di wajah.) Paras Kak Lara itu tipikal yang dimaui produser sinetron. Aku berasumsi, keganjilan ini mungkin berasosiasi dengan nama lengkapnya.

Andai aku yang lebih dulu lahir, sudah barang tentu langsung kusodokkan KBBI kepada Ayah dan Ibu agar kakakku yang loyal membimbingku Matematika jelang UN itu tidak dikaruniai nama "seindah" ini:

Lara Malalayu

lara a 1 sedih; susah hati; 2 sakit.

mala n bencana; (ke)celaka(an); (ke)sengsara(an).

layu a 1 lisut tidak segar lagi (tt tumbuhan, bunga, dsb); lusuh; loyo; 2 pucat dan lemah, tidak sehat.

***

Bicara soal kesejahteraan cacing-cacing di usus, B tak pernah neko-neko. Duri ikan, tulang ayam, puyunghai; tiga itu favoritnya. Tidak berdaun dan tidak beracun; sekasual itu prinsipnya. Todongkanlah sepiring salad, dan dia seketika was-was. Sorongkanlah sepotong cokelat, dan dia seketika tewas.

B tidak menuntutku supaya menyuplai kebutuhan primernya. Dia mampu memperolehnya independen. Malam hari terutama (semenjak skedul tumpangannya di rumahku setengah hari; semenjak dia tak lagi mendistribusi wangi tahi ke sana-kemari).

Dari ATM-lah B belajar mandiri; ATM sudah menjelma idola abadi di hatinya. Jujur, sebelumnya tidak terangankan olehku B bakal bersarang di sebuah konsorsium penawanan tikus legendaris berplakat ATM. Apalagi kehati-hatian Uk-Uk dalam memobilisasi modus operandi ATM, patut kiranya ditimpuki buket; itulah mengapa kupercayakan ATM mendidik B berburu, sebab safety adalah yang nomor wahid bagiku. Pelbagai risiko yang menjegal agenda kerja mereka jeli dideteksi oleh Uk-Uk. Ditemukanlah variabel pengacau berlabel Guk-Guk.

Guk-Guk adalah anjing patroli kelurahan yang lama jadi rival bebuyutan ATM. Dahulu, relasi ATM dan Guk-Guk tidak teranyam runyam. Biarpun diberitakan berseteru, menurut kacamataku, keduanya akur. Sering mereka dipersuakan takdir dalam berbagai momentum, entah itu membantu hansip siskamling, mengejar orang gila dan maling, atau sekadar menyinkronkan kode etik kaidah kencing. Guk-Guk pun sudah ATM anggap tutor dalam hal menggertak musuh.

Akan tetapi, cenayang sekalipun kandas meramalkan bahwa, keduanya kini justru telah menyebut satu sama lainnya musuh. Saling berkisruh. Acuh tak acuh. Bagaimanapun, belum dapat disahihkan apa sejatinya kausa persengketaan mereka. Konon, semuanya bermula manakala beberapa tahun silam, tak jauh dari rumahku, Margareth Storozhenko ditemukan tewas tanpa busana.

Seingatku kejadiannya waktu aku kelas 2 SD. Guk-Guk, yang merupakan anjing ras Siberian Husky dewasa, dikandangkan majikannya di depan pekarangan rumah selama sepuluh hari. Dikandangkan dalam artian leher Guk-Guk "dirantai" dengan seutas tali kekang anjing ke pagar besi di samping gerbang. Sepuluh hari merujuk kepada rentang waktu sang majikan meninggalkan rumah, mendaulat Guk-Guk sebagai satpam, lalu sekonyong-konyong pulang kampung (imbas atas ketiban durian runtuh sebab menyabet undian gratis mudik dari sebuah merek obat kumur). Majikan Guk-Guk ini seorang duda. Jadilah rumah bertingkat dua tersebut kosong, hanya berpengawal Guk-Guk yang hobi menggonggong.

Sesungguhnya, Guk-Guk benci menggonggong. Selain gonggongannya yang acap dicap gangguan, juga lantaran Guk-Guk sendiri mengaku bahwa dia tak bakat jadi biduan. Selaku anjing patroli andalan warga, Guk-Guk mafhum dia harus tempel citra terpuji di muka khalayak. Muak dia menelurkan rumor yang tidak-tidak. Dia ingin jadi sosok anjing karismatik tanpa banyak lagak. Dia ingin dihormati, bukan ditakuti. Dia ingin dicintai, bukan dikentuti.

Walau naturalnya anjing seyogianya menggonggong, Guk-Guk justru enggan terlalu normatif. Dia konversi mandat menggonggong itu dengan dogma yang dinilainya lebih adaptif. Guk-Guk hanya menggonggong pada saat tertentu saja, yakni (1) saat bertugas, (2) saat sedang kawin, serta (3) saat yang dia kategorikan "krusial".

Dan, dari ribuan hari yang terpunggungi, pada suatu malam keramat, untuk kali perdana, mendaratlah saat yang Guk-Guk kategorikan "krusial" tadi.

Malam itu, bertepatan malam takbiran, guntur menyepak angkasa, Guk-Guk menyalak tak peduli hari itu Selasa(?). Cakrawala mengamuk; nyamuk berpesta; petasan batal disulut; bersungutlah cecongor bocah; buncah kemudian dari masjid gema takbir; air jutaan kubik dimuntahkan langit; sangit entah dari mana bau kemenyan; hujan turun deras. Guk-Guk akhirnya bebas.

Lah?

Memang, pada awalnya Guk-Guk tidak protes terhadap kepergian mudik empunya. Dia bukan tipikal manja yang ngotot mengemis iba dari sang tuan. Mandiri dia untuk sekadar tetek bengek pemuasan lambung.

Akan tetapi, bagi Guk-Guk pribadi, sepuluh hari itu tak ubahnya bersepeda menempuh jarak sejuta tahun cahaya. Apalagi belitan tali kekang itu; semakinlah meruwetkan situasi. Muskil dia menjangkau mangsa karena bidang edar yang terwatasi. Padahal, dia itu maestro dalam hal menciduk tikus. Dia pun hanya mampu mengerotkan bibir, menontoni parade para tikus yang petantang-petenteng di sekelilingnya. Sebab bertepatan bulan puasa pulalah, maka—secara tak langsung—Guk-Guk turut menyemarakkan Ramadan. Yang kemudian, setelah tiga hari tidak makan, tidak "sahur", juga tidak "berbuka", dia putuskan angkat tangan.

Pada malam keramat itu, kilat bersahut-sahutan menyambar, seiring hujan yang kian menggahar. Sebatang kara, Guk-Guk masih jua menyalak lantam, tepat di bawah sebatang pohon jengkol yang tegap di ruas trotoar depan kediaman tuannya. Salakan Guk-Guk bertambah nyaring, lain halnya dengan sang pohon yang betah bergeming.

Ironis, yang terjadi berikutnya ... malang tak dapat ditampik dan mujur tak dapat dibidik.

Detik itu juga, pohon jengkol tersebut koit; mengembuskan napas terakhir.

KRAK!

Pohon jengkol tersebut berderak, patah, tercerabut dari akar, melayang jatuh, digeret gravitasi, kemudian ...

BRUK!

Terkapar tak berdaya.

Tergolek di pematang jalan raya.

Petir telah menjelma malaikat mautnya.

Terus, bagaimana nasib Guk-Guk?

Seharusnya, Guk-Guk ditimpa batang pohon jengkol tersebut; kesakitan, berdarah, meraung, sekarat, matilah dia di tempat. Namun ... malang dapat pula ditampik dan mujur dapat pula dibidik.

Guk-Guk selamat.

Alih-alih menimpa anjing bersangkutan, pohon jengkol itu malah menonjok tali kekang yang mempertautkan Guk-Guk dengan pagar. Tali itu pun terpenggal. Guk-Guk batal meninggal.

Lantas, apa benang merah dari ceracau panjang lebarku ini dengan Margareth Storozhenko?

Tenang.

Aku belum selesai.

Persis di saat bersamaan, tetangga sebelah rumahku, seorang mahasiswi Ilmu Hukum perantauan—yang gagal mudik akibat tak dikirimi orang tua ongkos—mengobrak-abrik indekosnya, tak peduli di luar sana halilintar recok. Dia menyesal. Seekor kucing mahal yang belum lama ini jadi hak patennya dilaporkan menghilang. Padahal, demi beli kucing itu, dia telah merogoh tiga bulan uang saku.

Pernah kuselisik penampakan kucing yang diklaimnya ningrat itu. Di teras indekosnya, seekor kucing berbulu kelabu-cokelat tampak mengekorinya yang rakus mengganyang sesuatu beraroma sambal belacan. Dahiku mengkeret. Betapa kontras visual di depan. Kucing itu pantasnya disuguhi menu sebangsa spageti, lasagna, piza, atau hamburger.

Belakangan diketahui, mahasiswi berperawakan tambun itu gandrung betul akan kucing ras Scottish Fold. Di hari ulang tahunnya yang ke-20, perempuan itu hendak menghadiahi dirinya sendiri kucing berkuping kerdil yang sejak TK ingin dikencaninya. Kucing itulah Margareth Storozhenko.

Malam semakin larut dan mahasiswi itu pun ikut kalut. Putus asa dia. Tiada barang yang tak porak-poranda akibat kebrutalan sepasang tangan bergelambirnya. Kamarnya sudah macam lubang hunjaman meteorit gigantis. Dia tak henti berseru kencang, berharap keajaiban singgah, segera memulangkan kucing tercintanya.

Keesokan hari; Lebaran; cuaca cerah. Dalam perjalananku berangkat salat Id, kulihat ramai orang kasak-kusuk mengerumuni robohan pohon jengkol yang tadi kuceritakan. Terbujurlah di situ Margareth Storozhenko.

Peristiwa itu pun gempar dan memuncratkan varia spekulasi. Berikut tiga kejanggalan di TKP:

1) Jasad Margareth Storozhenko posisinya telentang, dengan keempat kaki terentang lebar;

2) Jenazahnya negatif luka bakar. Pohon jengkol yang gosong menjadi jejak tunggal bertamunya guntur malam itu;

3) Tiada setetes darah pun berikut sidik jari terendus di TKP, melainkan serakan jengkol yang mendadak jadi primadona ibu-ibu.

ATM mengimani: Guk-Guk menghamili Margareth Storozhenko yang masih sangat belia (kata B, kucing yang bersekelamin sebelum akil balig itu riskan sekali berkain kafan). Sebaliknya, Guk-Guk memfitnah bahwa ATM-lah yang memfitnahnya. Sebab, sekembalinya mudik, majikan Guk-Guk langsung menggelar konferensi pers, menampakkan Guk-Guk yang dikira buron. "Guk-Guk tidak punya kesaktian apa pun yang bisa meracun kucing!" kilah sang majikan yang naik setum anjingnya dipidanakan.

Tak dinyana, tiba-tiba dari angkasa menggelontorlah Sila ke-4 Pancasila ke meja perundingan tersebut, mengimbau warga supaya lekas memutuskan jalan tengah. Disepakatilah bahwa jam biologis Guk-Guk wajib dikaji ulang, yakni harus sudah lelap sejak pukul 00.00. Demikianlah, berlandaskan hal itu ATM menetapkan termin perburuannya.

Untuk lebih lanjut, aku enggan berkomentar. Selain menyandang predikat saksi di pagi menyongsong salat Id itu, kisah Guk-Guk tadi kudengarkan dari mulut ke mulut.

Hanya saja, kalau boleh berandai-andai, semisal Margareth Storozhenko masih hidup, akan kurestui B bila dia berminat mempersunting kucing bahenol tersebut. Kupikir keduanya serasi, sama-sama suka terasi. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top