Bagian 6 || Konversasi Balon Menggesek Kaca
"Saya bingung."
"Bingung kenapa, Tuan?"
"Kemarilah. Tak elok bercakapnya berjauhan begini. Naiklah ke tempat tidur saya."
"Serius, Tuan?"
"Serius. Lah, Saudara gila, ya? Tengkurap kok di tengah pintu siang bolong begini."
"Saya takut, Tuan."
"Takut kenapa?"
"Takut Tuan masih marah."
"Marah sama siapa?"
"Sama saya, Tuan."
"Saya tidak marah."
"Serius, Tuan?"
"Serius."
"Hm, Tuan memang tampak damai-damai saja sih. Rebahan di atas kasur. Tuan lagi baca buku?"
"Yup."
"Sebaiknya Tuan bersandar sajalah. Kasihan mata Tuan. Tidak dianjurkan baca buku dekat-dekat. Bunda pernah bilang begitu soalnya."
"Saudara suka baca!?"
"Bunda yang suka baca, Tuan."
"Serius?"
"Serius, Tuan."
"Bunda Saudara belajar baca di mana?"
"Autodidak, Tuan."
"Berarti persis kemampuan Saudara yang tahu pengoperasian tombol-tombol ponsel?"
"Persis, Tuan. Sama seperti saya yang pernah beberapa kali jadi Ajudan, Bunda juga demikian. Bahkan seingat saya, sampai dua puluh sembilan kali beliau menjabat Ajudan. Saya sendiri baru tiga kali, masuk kali keempat bersama Tuan."
"Bunda Saudara mampu membaca karena diajari Master-Masternya, begitu?"
"Bukan, Tuan. Kata Bunda, carilah Master yang berperut lumayan buncit atau buncit sekalian, atau yang berdompet tidak begitu tebal atau tipis sekalian. Sebab, mayoritas yang seperti itu sering mengajak kami ke bazar makanan murah, yang sering dipromosikan melalui reklame atau brosur dan semacamnya. Nah, dari situlah, tiap kali Masternya Bunda menyuarakan atau menggumamkan tulisan pada brosur bergambar makanan tersebut, pasti Bunda langsung mengerti, bahwa tulisan itu merujuk kepada bakso misalnya, atau apa. Tanpa menghafal abjad, Bunda dapat bebas dari buta aksara."
"Buku jenis apa yang kerap Bunda Saudara baca?"
"Maaf, Tuan. Kemahiran membaca Bunda terbatas."
"Hah?"
"Selain selebaran kuliner tadi, Tuan, Bunda cuma bisa baca buku menu di restoran, iklan makanan di televisi, serta buku resep masakan. Itupun masih dibatasi lagi, hanya yang bergambar yang dapat Bunda pahami."
"Begitukah?"
"Begitu, Tuan."
"Hem, tadi saya bicara apa?"
"Maksud, Tuan?"
"Jawaban dari pertanyaan Saudara."
"Pertanyaan yang mana ya, Tuan?"
"Tadi, yang di awal sekali."
"Oh, itu. Tuan bilang, Tuan tidak hendak tidur siang."
"...."
"Sebab kata Tuan, Tuan sedang bingung."
"Oh. Kalau begitu, Saudara naiklah ke sini. Siapa tahu Saudara bisa bantu."
"Serius, Tuan?"
"Serius."
"T-tapi ...."
"Tapi apa?"
"T-tapi ...."
"Ya?"
"Tidakkah Tuan jijik terhadap saya?"
"Tidak."
"Apa Tuan bercanda?"
"Tidak."
"Baik, Tuan."
"Silakan."
"Tapi ...."
"Apa lagi!?"
"Saya duduk di kursi depan meja belajar itu saja ya, Tuan?"
"Saudara risi ya sama saya? Apa karena bentuk kelamin kita sama?"
"Bu—"
"Ah, Saudara ini ada-ada saja. Saya masih normal, kok."
"Bukan, bukan begitu, Tuan."
"Lalu?"
"Ya ... saya tak enak saja. Saya Ajudan, sedangkan Tuan Master. Rasanya saya tak pantas berada satu ranjang dengan Tuan."
"Oh."
"Jadi, bolehkah saya duduk di kursi itu, Tuan?"
"Saya dekatkan dulu kursinya ke samping tempat tidur, supaya mengobrolnya lebih intens."
"...."
"Nah, sudah."
"Saya boleh duduk, Tuan?"
"Silakan."
"Ka—"
"Tunggu!"
"Maksud, Tuan?"
"...."
"Kenapa hidung Tuan buka-tutup seperti itu?"
"...."
"Tuan?"
"Wah, Saudara wangi. Saudara pakai parfum?"
"Tidak, Tuan."
"Terus?"
"Tadi, Tuan, saya itu habis wara-wiri di dapur la—"
"KENAPA SAUDARA KE DAPUR!? BUKANKAH SUDAH SAYA LARANG!?"
"...."
"Aduh, maaf, saya masih trauma. Sudah sebulan berlalu ... ah, sukar sekali untuk move on dari insiden itu."
"Saya mengerti, Tuan. Itu pastilah berat. Namun, bagaimanapun, Tuhan pasti menghibahkan kepada kita waktu guna mengobati dan memperbaikinya. Lagi pula, sayalah yang semestinya minta maaf."
"Dimaafkan."
"...."
"Halo?"
"Kalau boleh tahu, apa alasan Tuan memaafkan kesalahan fatal saya?"
"Tak perlulah Saudara tahu. Cukup Tuhan dan saya sendiri yang tahu. Hem, bukankah kondisi Saudara saat ini bagaikan semalaman mandi kembang?"
"...."
"Nah, itulah sepersekian bagian dari alasan mengapa saya mencurahkan maaf. Saudara wangi. Saya tidak perlu khawatir lagi terhadap ketidaksenonohan Saudara sore itu."
"Ini berkat Ibu Tuan."
"Maksudnya?"
"Tadi, di dap ... eh, maksud saya, tadi sewaktu Ibu Tuan cuci piring, saya kejatuhan syanbraigkh mama lemon."
"Hah!? Saudara bisa bahasa Inggris?"
"Tidak, Tuan."
"Kenapa Saudara dapat menyanyikan "Diamonds"-nya Rihanna dengan cukup baik?"
"Saya tidak sengaja mendengarnya, Tuan. Kakak Tuan yang wajahnya sulit ditelaah itu kerap memutar lagu tersebut belakangan ini. Makanya saya ... sedikit hafal."
"Mungkin, maksud Saudara tadi, Saudara ketiban sabun cuci piring Sunlight. Begitu?"
"Ya, ya. Itu maksud saya, Tuan."
"Saya pikir Rihanna konser di dapur."
"Rihanna, Tuan?"
"Penyanyi."
"Penyanyi apa, Tuan?"
"Penyanyi lagu."
"Lagu apa, Tuan?"
"Lagu yang ada musiknya."
"Memangnya ada lagu yang tak ada musiknya ya, Tuan?"
"Beberapa."
"Contohnya, Tuan?"
"Itu."
"Itu apa, Tuan?"
"Tidakkah Saudara dengar?"
"Tidak, Tuan."
"Semacam suara balon mengembang yang digesekkan pada kaca."
"Balon, Tuan? Kaca?"
"Iya."
"Maaf, Tuan. Saya kurang—"
"Ayolah."
"Sejujurnya pendengaran saya tidak terlampau bagus, Tuan. Terkadang saya tidak paham sama sekali apa yang lagi saya dengar."
"Misalnya?"
"Misalnya malam itu. Tuan keroncongan. Saya barangkali mendengarnya, tetapi saya tidak tahu bahwasanya itu keroncongan."
"Begitukah?"
"Begitu, Tuan."
"Kalau begitu, sekalipun saudara tidak tahu apa yang Saudara dengar, apakah Saudara bisa mendengar suara yang tadi saya dengar?"
"Entahlah, Tuan. Lagi pula di kamar Tuan ini 'kan tidak ada balon. Kaca pun tidak. Eh, kalau kaca ada sih, Tuan. Kaca jendela. Namun, balon tetap tidak ada. Yang ada hanyalah kaca, sedangkan balon tidak."
"...."
"Kenapa Tuan mengernyit?"
"Saya heran."
"Heran kenapa, Tuan?"
"Tutur kata Saudara hilir mudik begitu. Setahu saya Saudara berujarnya sistematis."
"Ya ... itu, Tuan."
"Itu, apa?"
"Pusing, Tuan."
"Pusing?"
"Mendadak saja kepala saya pening, Tuan. Mungkin otak saya ikut pening."
"Pemicunya?"
"Barangkali karena hidung saya tersumbat, Tuan. Sepengetahuan saya, saraf di hidung itu posisinya bertetangga dengan otak. Dan otak ada di dalam kepala. Jadilah saya pusing."
"Begitu, ya?"
"Begitu, Tuan."
"Apakah Saudara tahu muasal tersumbatnya hidung Saudara?"
"Tidak sepenuhnya tahu, Tuan."
"Coba Saudara ungkapkan bagian yang tidak sepenuhnya itu."
"Menurut praduga saya, Tuan, hidung saya ini tersumbat akibat bau."
"Bau?"
"Betul, Tuan."
"Bau apa?"
"Bau ... lah, saya sendiri heran, mengapa Tuan terkesan gigih menanyakan pertanyaan ini kepada saya?"
"Saya bingung. Makanya saya heran. Makanya pula saya bertanya kepada Saudara."
"...."
"Bisa diteruskan?"
"Bisa, Tuan."
"Silakan."
"Yang saya perkirakan, sumber bau itu tidaklah jauh dari sini. Dekat sekali dengan saya dan Tuan."
"Seperti apakah bau itu?"
"Baunya bau, Tuan."
"...."
"Tuan?"
"...."
"Oh, saya mengerti. Tuan mengira bau yang saya maksud itu wangi badan saya, ya?"
"Bukan."
"Lantas, Tuan?"
"Begini, Saudara. Sebelumnya Saudara berkata, hidung Saudara tersumbat. Kemudian, Saudara berkata lagi bahwa tersumbatnya hidung Saudara lantaran bau. Nah, yang ingin saya tanyakan, bau apakah itu?"
"Yang pasti bukan wangi tubuh saya, Tuan."
"Memang bukan itu yang saya maksud. Saya pikir, ada perbedaan fundamental antara bau dan wangi."
"Perbedaan apa itu, Tuan?"
"Wangi lazim diidentikkan dengan yang baik-baik, sementara bau yang buruk-buruk."
"Eh, saya dapat ilham, Tuan."
"Ilham?"
"Sepertinya saya tahu, Tuan."
"Tahu apa?"
"Tahu sekarang bau apa yang sedari tadi Tuan pertanyakan."
"Bau apa itu?"
"Bau kentut Tuan."
"Bau kentut saya!?"
"Bukan, Tu—"
"Terus!?"
"Maaf, Tuan. Saya lupa membubuhkan tanda koma."
"Koreksi!"
"Bau kentut, Tuan."
"Yah, saya kira bau kentut saya."
"Maaf, Tuan."
"Hem ... tidak apa-apa. Tapi, lain kali Saudara harus lebih berhati-hati. Tanda baca itu sangat penting dalam kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Lupa menyisipkan koma bisa memultitafsikan kalimat. Bahkan bisa membuat seorang guru mengurangi nilai muridnya. Saudara paham?"
"Paham, Tuan."
"Hem, Saudara ingin menyampaikan sesuatu?"
"Betul, Tuan."
"Apa?"
"Saya kagum akan kecerdasan Tuan."
"Maksud Saudara?"
"Analogi yang Tuan ciptakan tadi sungguhlah genius."
"Analogi apa?"
"Balon tadi itu, Tuan. Betapa cerdasnya Tuan mencampurbaurkan sepasang kata yang saling berlainan arti, tetapi menelurkan satu makna brilian sarat arti. Suara kentut ... Tuan ibaratkan dengan suara balon mengembang yang digesekkan pada kaca. Sekarang saya mampu membayangkannya. Tuan hebat."
"Terima kasih."
"Omong-omong, siapa ya yang kentut, Tuan?"
"Bukan saya."
"Saya tidak menuduh, Tuan. Saya—"
"Ah, bahas yang lain sajalah."
"Bahas apa, Tuan?"
"Bahasa."
"Maksud Tuan?"
"Lebih baik kita memperbincangkan bahasa, sastra, dan semacamnya sajalah."
"Baik, Tuan."
"Saudara tahu buku apa yang tengah saya baca?"
"KBBI, Tuan."
"Maksud Saudara?"
"Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuan."
"Dari mana Saudara tahu saya sedang baca Kamus Besar Bahasa Indonesia?"
"Dari Tuan."
"Maksud Saudara?"
"Karena saat ini Tuan tengah memangku KBBI yang terbuka, dengan sikap tubuh duduk menyandar pada sandaran ranjang."
"Lantas, dari mana Saudara tahu judul buku di tangan saya ini?"
"Karena pada sampulnya tertera tulisan Kamus Besar Bahasa Indonesia."
"Saudara bisa baca?"
"Bisa, Tuan."
"Serius!?"
"...."
"Dari Bunda Saudarakah Saudara belajar membaca?"
"Tidak, Tuan."
"Lalu?"
"Saya sendiri tidak tahu, Tuan, apa penyebab saya bisa membaca."
"Jadi?"
"Mungkin, Tuan, saya itu ... sudah dikaruniai kemampuan baca sejak lahir."
"Pencetusnya, Saudara tahu?"
"...."
"Halo?"
"...."
"Kenapa Saudara diam?"
"...."
"Lah, kenapa Saudara merem melek begitu? Saudara kelilipan?"
"Tidak, Tuan."
"Lantas?"
"...."
"Oh, saya mengerti. Iris mata Saudara yang sebiru samudra itu kemungkinan merupakan medium talenta yang Tuhan karuniakan kepada Saudara. Bukan begitu?"
"Mungkin saja, Tuan."
"Ah, ya, saya paham. Tapi ... bermasalahkah mata Saudara? Kenapa masih kedap-kedip?"
"Sepertinya kemasukan debu, Tuan."
"Butuh airkah Saudara?"
"Tidak us—"
"Ayolah. Jangan sungkan. Akan saya ambilkan air untuk membasuh mata Saudara."
"Tidak—"
"Sudahlah, tidak apa-apa. Saya juga mau ke belakang. Saudara ikut?"
"Tid—"
"Saya tidak marah, kok. Sekalian saja."
"...."
"Halo?"
"S-sebenarnya, s-saya ... takut air, Tuan."
"Bukankah tadi Saudara bilang bahwa Saudara kena sabun cuci piring Sunlight yang berbahan baku air dan kini Saudara justru terlihat baik-baik saja?"
"Kalau itu akibat ketidaksengajaan, Tuan. Saya sebetulnya fobia air. Namun apalah daya saya yang tak mampu menghindar. Tetapi Tuan tenang saja, ya. Saya janji ke depannya bakalan jadi Ajudan yang lebih gesit lagi."
"Saya pegang janji Saudara. Lalu, alasan Saudara membenci air?"
"Kaum saya mayoritas membenci air, Tuan. Kami sebisa mungkin menjauhi air—hanya untuk kebutuhan minum saja. Karena, sebagaimana yang kita ketahui bersama, air merupakan tempat paling subur bagi kuman melangsungkan keturunan."
"Tapi, kenapa Saudara senantiasa bersih tatkala saya sentuh? Saudara mandinya pakai apa kalau bukan dengan air?"
"Inilah yang acap disalahpahami, Tuan. Banyak yang mengira bahwa kaum saya dianggap terlalu individualis. Sesungguhnya, bukannya kami antisosial. Kami hanya ingin memberdayakan tubuh secara optimal. Kami ingin mandiri. Kami tak mau bikin repot orang ataupun Master seperti Tuan ini untuk sekadar perkara mandi. Karena, kami punya saliva, yang kebetulan bisa dipakai mandi."
"Pantas saja saya sering lihat Saudara menyendiri di pojokan, mematuk-matukkan kepala ke sekujur badan. Saya pikir Saudara lagi depresi atau apa. Eh, rupanya mandi."
"...."
"Saudara kelihatannya ... gelisah. Ada masalah?"
"Hm, Tuan dengar sesuatu?"
"Sesuatu apa?"
"Sesuatu yang Tuan analogikan tadi."
"Analogi apa?"
"Itu, Tuan, tentang balon mengembang yang digesekkan pada kaca."
"...."
"Tuan?"
"Saya pergi dulu."
"Ke ma—?"
"Jamban." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top