Bagian 2 || Hormon, Lara, dan Cacing Bunting

Seninnya, mengacu deadline, aku dan rekan satu grup mengumpulkan tugas yang telah kami rampungkan tempo hari. Serenteng PR yang kesemuanya—dan janggalnya—dari bidang studi yang sama: Biologi.

Sangatlah yakin kami bakal menggondol poin tertinggi. Paradoks apabila jerih payah kami—begadang semalaman—tidak diganjar ponten sempurna.

Walaupun, aku agak khawatir juga. Beberapa hari lalu, Topan, yang habis dari WC, menotifikasi kami sekelas yang asyik main gaple, merumpi, melamun, konsultasi dengan tembok, atau yang melakukan aktivitas unfaedah sejenis—karena guru sedang rapat—untuk segera kembali ke kursi masing-masing.

Letak kesalahannya adalah, setiba di pintu, Topan berseru,

"WOY PAK SAR!"

Aku tahu komando ketua kelas kami itu sementereng dusta di SMS Mama Minta Pulsa. Buktinya kami langsung tergopoh melipat tangan di atas meja. Pak Sar, guru Biologi killer, tengah mengarah ke sini, sehingga, supaya tidak dicabik-cabik, dianjurkanlah untuk pasang tampang baik-baik. Masalahnya, bagaimana kalau Pak Sar mengira bahwa "WOY PAK SAR!" itu ditujukan kepadanya?

Topan lupa menyelipkan koma, spasi, dan "ada" di antara "WOY" dan "PAK SAR!".

"Enggak bakalan, Iko," Topan coba mereduksi kekhawatiranku, "Pak Sar itu orangnya objektif. Mana mungkin dia balas dendam pakai nilai murid sendiri." Kini, mewakili kelompokku mengambil hasil PR Biologi—yang telah dinilai Pak Sar—ke depan kelas, aku melangkah tanggap, tersenyum mangap(?). Teman-teman setimku di belakang sana mengangguk, turut mengusung optimisme yang ekuivalen. Minimal, akan terbaring Menara Eiffel mini di sudut kanan atas sampul berkas PR kami.

Akan tetapi, kenyataan memanglah tak semenawan harapan.

Pandanganku nanar, tepar, dan menggelepar pada apa yang terhampar.

Tepat di sana, di pojok kanan atas PR kami, terkulailah, dengan posisi tubuh menyamping, seekor cacing bunting berperut ganda—satu di bagian dada, satunya lagi di bagian umumnya perut berada.

B.

Ringkas kata, begitulah kujuluki makhluk bertitel ilmiah Felis domestica, berperawakan cenderung sedang, berekor panjang, berbulu putih bersih, dan bermata sebiru samudra yang kutemukan di Minggu pagi silam dengan nama yang mustahil terplagiatisasi tersebut.

B. Bukankah nama itu terdengar tulen?

B. Bukankah nama itu terdengar sangat keren?

B. Bukankah nama itu terdengar tidak begitu ganjen?

***

Apa?

Ambigu?

Begitukah?

Baiklah, akan kuperjelas lagi kalau begitu.

Begini. Desiran memabukkan yang kurasai tepat ketika aku jatuh cinta kepada perempuan bernetra selegam arang itu kulabeli dengan istilah "Selayang Pandang". Jadi, aku mencintainya hanya sesaat, barang sedetik pun kukirai tiadalah sampai. Lantas setelahnya? Aku amnesia. Perempuan berhidung mancung tanpa baking soda itu macam sekadar numpang lewat. Tidak mutlak menggugah hati, tidak rancak menggeledah hati, juga tidak mendepositokan senoktah serdak apa pun di sana. Nama perempuan berlesung pipit sebelah itu saja hingga kini manalah pula kutahu.

Sementara, perasaanku kepada B?

Rasa cintaku kepada B?

Nah, inilah yang paling representatif guna mendefinisikan afeksi yang melinukanku itu.

Coba renungkan, manusia mana yang nuraninya tak menungging manakala mendapati seekor kucing tertidur nyenyak dengan fisik kurus kerontang terbungkus selembar selimut kumal—berornamen bulatan-bulatan norak—dan tampak luar biasa malang di sebuah kardus bekas mi instan rasa kari ayam spesial?

Tak seorang pun, bukan?

Untuk lebih akuratnya, dan supaya tidak dicap "penyembah subjektivitas", di bawah ini kuuraikan data-data saintifiknya.

Secara gamblang, jatuh cinta itu tidaklah seekspres sebagaimana Usain Bolt—sprinter tercepat di dunia—mampu mencapai 100 meter jarak tempuh hanya dalam 9,69 detik saja, melainkan mendaki lima tingkatan berikut:

Level 1: Tertarik

Level 2: Kagum

Level 3: Suka

Level 4: Sayang

Level 5: Cinta

Nah, kalau boleh mengevaluasi sendiri, terhadap perempuan berbibir delima merekah itu, dapat disimpulkan: taraf perasaanku hanyalah mentok di Level 3—walau secara teknis ketiga level tersebut ludes kulibas tak sampai sekerling mata.

Di lain pihak, meski mesti melayari negosiasi batin dahulu dalam prosesnya, Level 4 dan Level 5 barulah kurasai absolut manakala B hadir, dan mulai menjelma arsitek balairung tresnaku.

B-lah yang secara tak langsung mendesainkan palka sukma terartistik untukku; mengembangkan konstruksinya, menggenjoti piston pengebornya, lalu mengintegrasikannya supaya paralel dengan voltase cinta yang dia persembahkan saat perjumpaan perdana kami.

Intinya, anggap sajalah kelima level tersebut bertemali erat dengan bagaimana aku mencintai B. Pun sebaliknya. Menyoal bagaimana mekanismenya, pelajarilah sendiri bagaimana-bagaimananya.

Selain informasi barusan—yang pastinya kusadur dari sumber terpercaya—Pak Sar, suatu kali, juga pernah mengemukakan kajian Biologi yang ternyata berkorelasi dengan topik perona pipi alami ini, yakni hormon.

Karena agaknya seru, mari kupas tuntas satu per satu.

Di hadapan 32 murid bertampang tragis—seperti meringis membaui amis—berdirilah seorang guru senior sadis, fobia kismis, yang gosipnya suka nonton gosip artis, bernama Saryawan Tigris. Bersenjatakan spidol dan papan tulis, dalam setelan formal necis, berkoarlah dia menerangkan hormon cinta aneka jenis. Berpadu intonasi dramatis, diksi puitis, juga kumis, dan tak lupa rambut klimis yang sepertiganya telah habis, mewujudlah dia setitik sentral bagi secarik visual yang rentan mengakibatkan muntaber kronis. Sungguh tidaklah etis. Sungguh sangatlah mistis. Sungguh—

Kembali ke hormon.

Dikutip dari seminar Pak Saryawan—dengan sekubit modifikasi dariku—tatkala kita jatuh cinta, di dalam tubuh ini tengah berdinas sejumlah hormon; beberapa di antaranya mengendalikan asmara. Hormon-hormon itulah, yang untuk seterusnya, dapat mengklasifikasikan jatuh cinta ke dalam tiga tahap, yaitu Gairah, Ketertarikan, serta Cinta Sejati.

1) Tahap Gairah (Lust), tahap paling primitif dari proses jatuh cinta. Diindikasikan dengan tren emosi sederhana, semisal rasa ingin menggandeng lengan pasangan. Hormon yang bekerja: estrogen, testosteron, dan feromon. Estrogen (pada wanita) dan testosteron (pada pria) menyulut api seksual di tingkatan mendasar. Feromon menginisiasi kohesi antarpersonal, dengan gejala: jantung akrobat dan napas minta tobat;

2) Tahap Ketertarikan (Attraction), tahap paling sensitif dari proses jatuh cinta, melibatkan kerumitan emosional—yang kadangkala semrawut, macam tak tahu mana yang beatbox dan mana yang kentut. Hormon yang bekerja: adrenalin, dopamin, serta serotonin. Adrenalin dapat menyebabkan telapak tangan berkeringat dan jantung minta minggat. Dopamin memicu perasaan senang dan adiktif, contohnya pada saat mengopi dan mengupil. Serotonin mengguyurkan kantuk, tetapi di kala sedang jatuh cinta kadarnya surut, sehingga bikin susah tidur—karena dibayang-bayangi wajah si doi melulu;

3) Tahap Cinta Sejati (Attachment), tahap yang dilalui hanya bagi pasangan yang sudah menikah. Oksitosin dan vasopresin-lah hormonnya. Umumnya kedua hormon ini berperan dalam praktik gotik di atas ranjang. Khusus vasopresin, bila kadarnya megap-megap, berpotensi merangsang kumatnya watak poligami.

***

Sudah cukup lama B bermukim di sini, betah bertualang ruang demi ruang di rumahku yang bak labirin lantaran penuh barang. Ibarat kerbau yang dicucuk hidungnya, kedekatan kami pun telah terbina solid. Hanya saja, suatu ketika kala kuajak cuci mata ke luar, B malah marah tak jelas. Aih, sok alergi iklim tropis saja dia itu. Terbahaklah aku menyaksikannya bersungut-sungut memaki matahari.

Malam ini, seperti biasa, aku belajar dan mengerjakan PR sambil—sebagai selingan—menonton di ruang keluarga. Tepat tengah malam ketika semua beres. Terdengar geraman kucing-kucing di luar. B sudah terlelap sedari jam tujuh tadi pada karpet bulu biru tua di sampingku.

Kulemaskan leher yang pegal, meneguk sisa air dingin dari gelas di meja. "Kabarnya kakak mau nikah, ya?" aku menyeletuk asal, menggoda kakakku yang sukarela jadi guru privatku menghadapi UN. Tadi dia sempat mengoceh—dalam mode bisikan—perihal model kebaya Kartini; aku curiga.

Mulanya, perempuan yang berselisih sepuluh tahun daripadaku itu menggantungkan ucapanku. Kak Lara, begitulah dia biasa kupanggil, menyibukkan diri menyapu—padahal lantai tampak bersih mengilap. Namun, sewaktu kugebrak-gebrakkan gelas pada meja, buru-buru disanggakannya sapu ijuk bulukan di tangannya itu ke dinding, berjalan kikuk, lalu tak dinyana berderap memasuki kamar. Sesaat sebelum pintu kamarnya berdebum menutup, ditolehnyalah aku. Wajahnya menyiratkan sesuatu.

Sesuatu itulah jawabannya!

Laksana remaja pubertas, dia "tersipu".

Kendati, seperti yang sudah-sudah, harus kuperiksa kembali makna "tersipu" tersebut.

Begini. Kakakku yang baru tiga tahun bekerja sebagai akuntan itu, selain pendiam, termasyhur berkat wajahnya yang datar selalu. Datar di sini konotasinya bukan kepada tak ada mulut, hidung, dan seterusnya; melainkan apa pun suasana, ekspresinya bagai tak kenal dinamika. Bahagia, sedih, takut, jijik, marah; semua serupa. Tiap senti tarikan mukanya pelik diterjemahkan mereka yang bukan kerabatnya, cenayang, dan Tuhan.

Intonasi suaralah satu-satunya sekoci penolong. Sebab, cara bicara Kak Lara selazimnya orang normal; siapapun mudah memahami. Saranku, untuk efisiensi, bercakaplah dengannya via benda temuan Alexander Graham Bell.

Ketika beranjak berdiri, hendak menonaktifkan TV sebelum ke kamar, mendadak aku terperenyak. Berkelebat dialog interaktif pada layar yang kontan ...

mematirasakanku.

Berikut cuplikannya:

"Prof. Xavier Xiauxiau, saya Sarah Saia, reporter Deilimeil. Saya dengar bahwa sudah 22 tahun ini Anda mempelajari kucing beserta pemiliknya. Baru-baru ini media ramai memberitakan Anthrozoology Institute di University of Ghrogol bentukan Anda. Sesungguhnya, lembaga apakah itu?"

"Ah, kucing. Anthrozoology Institute kami dirikan untuk lebih mendalami relasi antara manusia dan kucing. Kami ingin mengetahui bagaimana tabiat kucing seratus tahun mendatang. Kami meyakini, terlepas dari fantasi ekstravaganza yang Hollywood selama ini jual, bahwa di masa depan, kucing bakal memengaruhi peradaban manusia."

"Maksud Anda?"

"Ah, kucing. Evolusi kucing. Meskipun sudah ratusan tahun menjadi binatang piaraan, sebenarnya kucing masih tergolong liar."

"Mengapa Anda menyimpulkan demikian?"

"Ah, kucing. Lagi-lagi kucing. Teori Transformasi. Bahwa, berlangsung kekontrasan yang cukup signifikan dalam sejarah evolusi kucing. Transformasi kucing dari pemburu tikus ke binatang kesayangan masih tergolong baru dan terjadi dengan sangat cepat, yang dari perspektif kucing sendiri, transformasi ini belumlah genap."

Geraman kucing-kucing di luar sana telah menjelma tiupan sangkakala. Aku melabuhkan tatap pada gundukan seputih salju—yang barangkali tengah dibuai mimpi indah—itu seraya mengulum senyum.

Aku mencintai B. Cinta pertamaku adalah seekor kucing. Kendati terlampau terlambat kusadari, ternyata B berkelamin laki-laki. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top